Mereka telah keluar dari restoran dan saat ini sedang dalam perjalanan pulang. Willi, seperti biasa, fokus mengendarai mobil dengan kecepatan sedang. "Kita mau kemana lagi, Mi?" Zetha bertanya sambil berdiri menempel di kursi Ayra. Ayra menoleh lalu tersenyum. "Pulang aja ya, Sayang. Mami mau istirahat. Nggak apa-apa kan?" tangannya membelai lembut pipi putrinya. "Nggak apa-apa, Mi. Mami kan lagi sakit, jangan capek-capek dulu." anak itu menggeleng lucu. Sangat pengertian. "Besok lusa habis acara di sekolah, papi belikan mainan buat kakak sama adek. Trus kalau mami sudah sembuh, kita jalan-jalan. Oke?" Abrar yang awalnya sibuk memeriksa beberapa pekerjaan bawahannya di ponsel, mendengar obrolan Ayra dan Zetha akhirnya ikut bergabung setelah memasukkan kembali ponselnya di saku kemejanya. Abrar paham maksud dari 'kode' dibalik pertanyaan Zetha barusan. Dia tau anak itu sebenarnya tidak ingin cepat pulang. Masih ingin berlama-lama bermain dan berjalan-jalan. Selama beberapa hari, A
Benar saja, mereka tidak langsung pulang ke rumah. Mereka mampir di restoran untuk makan siang. Pihak restoran yang sudah mengenal Abrar, langsung menyiapkan ruangan VIP seperti biasa. Ayra tidak ingin memakai kursi roda lagi, tapi Abrar tidak mengijinkannya. Dengan telaten, Abrar menyiapkan kursi roda, menuntun Ayra untuk duduk dan mendorongnya masuk ke dalam restoran. Ayra merasa ini berlebihan. Dia sangat sehat dan bisa berjalan, tapi entah kenapa tidak bisa membantah. Abrar seperti menghipnotisnya untuk selalu menurut. Tapi tidak dipungkiri, hatinya tersentuh lagi menerima perlakuan semanis ini.Mereka berempat memasuki ruangan VIP. Sedangkan Willi menunggu di luar, memesan kopi dan makanannya sendiri. "Kamu mau tetap duduk di kursi roda atau mau pindah ke kursi makan?" Abrar bertanya terlebih dahulu pada Ayra. "Pindah aja." Ayra menoleh dan menjawab dengan tegas. "Oke. Ayo kubantu." Abrar mengulurkan tangan kanannya untuk pegangan Ayra berdiri. "Aku bisa sendiri." Ayra tida
Setelah total tiga hari menjalani perawatan, akhirnya hari ini Ayra diperbolehkan pulang oleh dokter. Wajahnya sudah terlihat segar. Semua anggota keluarganya dan juga Abrar, datang untuk menemani dan mendampingi Ayra keluar dari rumah sakit. Arzha dan Zetha berebut untuk mendorong kursi roda Ayra. Akhirnya Abrar menengahi dan meminta keduanya untuk berjalan di samping kanan dan kiri untuk menjaga Ayra. Kini mereka terlihat begitu serius 'mengemban' tugas layaknya seorang pengawal yang fokus menjaga tuannya.Semua orang tersenyum melihat tingkah mereka. Orang di sekitar yang melihat pemandangan Ayra di kursi roda didorong oleh Abrar dengan kedua anak lucu di kedua sisinya, tampak seperti keluarga lengkap yang sangat bahagia.Sesampainya di tempat parkir, Abrar terus mendorong kursi roda hingga di samping mobil keluarga Diandra. Pak Surya, Bu Yasmin dan Diego juga mengikuti di belakang mereka."Adek mau pulang sama Om Abrar." Zetha mengatakan keinginannya sebelum semua orang sempat be
"Enggak kok. Kita lagi ngobrol biasa aja." Ayra menjawab pertanyaan Abrar. Fujia dan Fatih menatap penuh penasaran ke arah Abrar. Fujia ingat pernah bertemu dengan orang ini saat menyerahkan Arzha dan Zetha pada Ayra. Saat itu dia mengaku sebagai polisi untuk meluluhkan hati anak-anak.Sedangkan Fatih jelas merasa sangat asing dengan laki-laki yang terlihat cukup dekat dengan Ayra tersebut.Melihat tatapan Fujia dan Fatih kepada Abrar, Ayra langsung menyadari apa yang sedang dipikirkan oleh mereka. Dia langsung berniat memperkenalkan Abrar kepada Fujia dan Fatih. Lalu begitu pun sebaliknya. "Mbak, Mas, kenalin ini temenku, Abrar." Ayra menunjuk Abrar sambil menatap mereka berdua. "Abrar, kenalin ini Mbak Fujia dan Mas Fatih. Mereka ini kakak dari ayahnya Arzha dan Zetha." Ayra beralih menatap Abrar dan menunjuk ke arah Fujia dan Fatih. Mereka bertiga saling mengangguk sebagai formalitas satu sama lain. Bahkan tatapan Abrar berubah menjadi tajam untuk Fujia dan Fatih. Ayra menyada
Malam ini Nesya datang menjenguk Ayra. Dia baru mendengar kabar yang menimpa Ayra tadi sore saat sengaja menelepon untuk mengajak bertemu."Kenapa nggak langsung ngabarin aku sih. Aku kayak orang asing, masa baru tau dan dateng jengukin kamu sekarang." Nesya mengomel dengan nada protes. Ayra tersenyum. "Yang penting udah datang.""Nggak bisa. Apa aku ini nggak begitu penting buat kamu ya." bibirnya mengerucut dan terlihat lucu. Astaga."Aku nggak ada pegang hape sama sekali. Liat sendiri keadaanku begini." Ayra tetap berusaha menjawab meski masih lemah. "Si brengsek itu emang harus dikasih pelajaran. Dia nggak bisa dibiarin gitu aja. Otaknya bener-bener kriminal. Kamu itu terlalu baik, liat sendiri sekarang kan, dia itu manusia yang nggak bisa dibaikin."Nesya masih saja mengomel panjang lebar. Nada bicaranya terlihat jelas sangat kesal. Mendengar ceritanya dari Ayra dan kedua orang tuanya, lalu melihat sendiri semua luka yang diderita Ayra, kepalanya benar-benar mendidih karena em
Abrar masuk ke ruang perawatan ketika Ayra baru saja membuka pintu kamar mandi dan hendak keluar. Mereka saling tatap dalam beberapa detik. Ayra baru saja selesai buang air kecil. Tangan kirinya menahan daun pintu sedangkan tangan kanannya terangkat ke atas memegang kantong infus. Abrar tersadar. Dia langsung menghampiri Ayra dan meraih kantong infus di tangan Ayra."Ayo kubantu." matanya menatap Ayra penuh perhatian. Ayra tak menjawab. Dia hanya mengangguk lemah dan berjalan perlahan melewati Abrar.Sesaat setelah melewati pintu, pandangan Ayra tiba-tiba kabur. Tubuh dan lantai yang dipijaknya seakan-akan berputar ke segala arah. Tangannya reflek memegang dinding di dekatnya. Abrar yang menyadari ada yang tidak beres, dengan sigap menopang tubuh Ayra dari belakang. Tubuhnya yang kokoh menjadi sandaran Ayra yang lemas dan hendak terjatuh."Kamu nggak apa-apa?" Abrar bertanya penuh kekhawatiran. "Kepalaku pusing banget." Ayra memegang dan memijat pelipis sebelah kirinya. Mulutnya