Beranda / Romansa / Babu Jadi Menantu / 7. Mengutarakan Niat

Share

7. Mengutarakan Niat

last update Terakhir Diperbarui: 2021-07-07 12:07:03

Sore ini buka puasa di rumah Anton, lebih terasa ramai, karena ada Iqbal yang bertandang kesana. Papa Anton juga pulang lebih awal, mereka semua berkumpul di meja makan.

"Enak banget kolaknya ya," puji Iqbal saat menyantap kolak buatan Parmi.

"Enak dong, buatan calon mantu Bude kamu ini," sahut Bu Rasti sambil menyeringai. Matanya melirik Anton, yang makan dengan khusyu.

"Kalau Anton gak mau, buat saya aja gak papa, Bude." 

"Enak aja, limited edition gitu mah, harus jadi mantu Bude.

"Ada ya, budeg limited edition!" celetuk Anton, bertepatan dengan Parmi yang lewat di dekatnya, sambil menenteng piring kotor yang ia bawa dari kamarnya. Karena Parmi lebih memilih buka puasa di dalam kamarnya.

"Siapa yang budeg? Tuan?" tanya Parmi melihat ke arah Anton cukup serius.

"Periksa Tuan, jangan dibiarkan nanti tambah parah, jadi tuna wisma. Tau kan tuna wisma itu apa?" 

Iqbal, Papa dan Mama Anton sudah terbahak mendengar percakapan Parmi dan Anton.

"Jangan sok tahu kamu! Udah sana ke dapur, nyambung aja kaya kabel!" 

"Ye ... udah budeg, galak. Hehehe ... maaf, Bu." Parmi salah tingkah setelah meledek Anton. Karena melihat Bu Rasti menatap Parmi dengan seksama. 

Parmi melangkah ke dapur, membereskan alat makan. Sambil menunggu yang lain untuk melaksanakan sholat magrib berjamaah. Anton melirik sekilas ke arah Parmi yang masih sibuk di depan wastafel.

"Mau jamah ga, Parmi?" panggil Anton. Parmi diam saja, fokus pada kerjaannya.

"Ck, Astaghfirulloh." Entah sampai kapan dia harus bersabar dengan Parmi.

"Biar gue yang panggil, pasti dia nengok. Lihat cara gue manggil dia," ujar Iqbal antusias, sambil menyeringai.

"Mi, sholat magrib dulu yuk, nyucinya lanjut nanti," ucap Iqbal mendayu-dayu, membuat Parmi menoleh ke arah Iqbal. Lalu tersenyum.

"Eh, iya Pak Guru, saya ikut jamaah, sebentar saya wudhu dulu," sahut Parmi sambil tersenyum, kemudian bergegas ke kamar mandi belakang untuk berwudhu.

"Lihat'kan? Begitu caranya Mas bro, serius gue, kalau lu gak mau, buat gue aja si Parmi." Iqbal menepuk pundak Anton.

"Gue heran, kenapa sama lu, dia langsung nengok, sama gue nggak ya?" 

Iqbal mengendikkan bahunya.

"Mama yakin, kalau sudah jadi istri kamu, pasti budegnya sembuh," sambung Bu Rasti yang sudah rapi dengan mukenanya.

"Mana ada begitu, Ma. Penyakit budeg harus diobati dengan dokter, bukan dengan menikah." 

"Setiap hari kamu cium dong telinganya, terus dibisikin kata-kata mesra, pasti sembuh deh." 

"Iihh ... bau kali Ma, kupingnya." Anton bergidik jijik.

"Kuping siapa yang bau? Tuan?" potong Parmi tiba-tiba hadir di sana. Anton dan Bu Rasti sampai kaget, Bu Rasti berusaha menahan tawanya.

"Kamu kenapa selalu datang tiba-tiba sih?" Anton meninggalkan Parmi yang masih mengerutkan kening kebingungan.

Sholat magrib berjamaah pun dilakukan mereka dengan cukup khusyuk. Sholat yang dilakukan di depan ruang keluarga. Diimami oleh Papa Anton. Shaf kedua diisi oleh Anton dan Iqbal, sedangkan shaf belakang diisi oleh Parmi dan Bu Rasti.

Selesai sholat semua saling bersalam-salaman. Parmi dengan patuh mencium punggung tangan Bu Rasti dan suaminya, lanjut kepada Iqbal dan Anton.

"Kayak hari raya ya," celetuk Parmi dengan polosnya. Semua tertawa, begitu juga Anton.

"Mi, ibu mau bicara. Bisa duduk dulu di sini?" panggil Bu Rasti saat melihat Parmi bangkit dari duduknya untuk masuk ke kamar. Parmi menoleh, lalu duduk kembali persis di samping Bu Rasti dan di depan Anton.

"Bu, saya bukan mau dipecat'kan?" tanya Parmi ragu-ragu.

"Maaf ya Parmi, sebenarnya saya berat mengatakan ini."

"Duh, Ibu. Saya jadi deg-degan. Saya salah apa, Bu?" 

"Masakan saya ga enak ya? Kerjaan saya gak rapi ya, Bu. Aduh maaf bu kalau soal sempak Tuan Anton waktu itu, saya beneran gak tau. Ini bukan karena sempak'kan. Bu?"  cecar Parmi takut, sambil meremas jemarinya. Iqbal dan Papa Anton kembali terbahak. 

"Ada tragedi sempak ya, Om?" bisik Iqbal pada Omnya. Pak Andi mengangguk. Anton masih menunduk, ada rasa malu juga saat ini, duduk berhadapan dengan Parmi. Membicarakan perihal pernikahan.

"Kamu kayaknya gak bisa jadi pembantu saya lagi," ucap Bu Rasti dengan lemah lembut, menatap Parmi yang tengah terperangah.

"Ya Allah, Bu. Pak. Tuan, tolongin saya. Saya salah apa?" Parmi mendadak histeris mendengar ucapan Bu Rasti barusan. Matanya menatap penuh mohon kepada Pak Andi dan Anton.

"Ibu saya sakit-sakitan, Bu. Kalau saya diberhentikan bagaimana?" Parmi sudah meneteskan air mata sedihnya.

Bu Rasti menjadi merasa bersalah, saat berusaha meledek Parmi.

"Begini, kamu tenang dulu."

Bu Rasti merangkul pundak Parmi, air mata Parmi tumpah membasahi mukenanya. Anton melirik sekilas saat Parmi menangis, ada rasa iba disana.

"Begini, mmm ... kamu aja yang ngomong Ton."

Anton kaget, menatap wajah Bu Rasti yang menuntut, sedangkan persis di depannya, Parmi sedang menatapnya cukup serius.

"Jadi, Tuan Anton yang gak suka sama saya gara-gara sempak? Tapi sekarang saya sudah hapal kok, Tuan. Merah dua, biru dongker tiga,kuning satu, cream dua, hitam dua, abu-abu enam.  Lebih banyak yang abu-abu sih emang. Tuan suka abu-abu ya? Sama saya juga punya sempak abu!" semua yang ada di sana tertawa terpingkal-pingkal mendengar penuturan Parmi, begitu juga Anton, air matanya sampai menetes, karena ocehan Parmi yang entah kemana-mana.

"Bukan karena sempak Parmi," ucap Bu Rasti sambil menggandeng lengan Parmi.

"Saya mau kamu tidak jadi pembantu saya lagi, tapi jadi menantu saya. Bagaimana?" Bu Rasti menatap Parmi dengan serius, Parmi masih terdiam, mencoba mencerna kalimat yang diutarakan majikannya barusan.

"Tuhkan, lemot. Pasti ga ngerti dia mah, susah-susah!" Anton menggaruk rambutnya yang tidak gatal.

"Parmi," panggil Bu Rasti sambil menggoyangkan lengan Parmi. Membuatnya menoleh.

"Maksud, Ibu?" Parmi memberanikan diri melirik Anton yang menunduk.

"Kamu mau gak jadi istri anak saya?" Bu Rasti menarik ekor matanya kepada Anton. Wanita paruh baya itu tersenyum.

"Hah!" Parmi melotot kaget, tiba-tiba dadanya berdebar.

"Ga ah, Tuan Anton budeg!" 

"PARMI!" 

***

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi
Komen (1)
goodnovel comment avatar
Joy Julia
Aduh, ngakak sampe nangis ...
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terbaru

  • Babu Jadi Menantu   62. Happy Ending

    Empat bulan berlalu semenjak kejadian tragis itu. Berdasarkan pasal 340 KUHP, barang siapa yang sengaja dengan rencana terlebih dahulu, yang bisa mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang, maka pertanggung jawabannya adalah hukuman mati atau penjara seumur hidup, atau paling lama dua puluh tahun. Hakim memutuskan, Safira akhirnya dihukum dua puluh tahun penjara, sedangkan bik Isah dihukum selama lima belas tahun.Parmi yang masih merasa sangat khawatir, memilih mengajak ibu dan tetehnya untuk tinggal bersama. Suatu keharuan tersendiri bagi Parmi. Saat suaminya memberikan kunci rumah baru untuk Parmi. Rumah yang sudah ia beli dengan kerja kerasnya. Kini ia berikan atas nama Parmi, istrinya.Anton juga mendatangkan seorang lagi saudara Parmi yang bisa membantu untuk menjaga si kembar."Apa?teteh pacaran dengan mas Iqbal!" pekik Parmi tidak percaya, saat Parni membisikkan sesuatu di telinga Parmi."Huuusstt....jangan denger Anton, teteh malu." Parni menu

  • Babu Jadi Menantu   61. Siapa yang Meracun

    Parmi menangis sejadi-jadinya di depan ruang NICU, ketiga bayi kembarnya tidak sadarkan diri, setelah keracunan obat yang mengandung obat tidur. Bahkan Parmi pingsan hingga dua kali. Betapa hancur hatinya melihat di tubuh ketiga puterinya, dipasang alat. Untuk membantu mereka tetap bernafas dan membantu mereka mengeluarkan racun dari dalam tubuh.Bu Rasti yang baru saja tiba, ikut menangis hingga terduduk di lantai tepat di depan ruang NICU. Ia sangat kaget, saat ditelepon oleh bibik, kalau si Kembar mengeluarkan busa dari dalam mulutnya. Bu Rasti yang saat itu sedang ada rapat dengan Kementrian Agama, meninggalkan ruang rapat begitu saja. Kakinya serasa tidak menapak, pikiran buruk berkecamuk di kepalanya. Ia tidak sanggup jika harus kehilangan cucu kembar tiganya."Mamah, anak saya, Mah," lirih Parmi dengan lemah menghampiri ibu mertuanya. Mereka berpelukan erat."Kenapa bisa seperti ini, Mi?""Ada yang sengaja memasukkan obat tidur ke dalam badan

  • Babu Jadi Menantu   60. Obat Tidur

    Hari ini, Parmi dan Bu Rasti membawa Angkasa, juga si kembar pergi bermain ke Taman Margasatwa Ragunan. Bik Isah dan bibik tentu saja diajak. Sedangkan Anton tidak bisa meninggalkan kelas, karena sedang mengawas mahasiswa yang sedang ujian.Angkasa nampak antusias, melihat aneka hewan disana. Bahkan seolah tiada lelah, ia berlarian kesana-kemari agar cepat sampai dari satu kandang ke kandang lainnya. Angkasa sangat senang, saat berada di depan kandang gajah. Ada empat ekor gajah besar disana. Dan satu ekor gajah berukuran lebih kecil. Angkasa mengambil foto hewan-hewan tersebut dengan ponselnya. Ia juga memotret Parmi, nenek dan ketiga adiknya.Foto-foto keseruan disana, Angkasa kirimkan kepada mommy dan juga papanya. Eh iya, kepada daddy Xander, ayah sambungnya juga ia kirimkan fotonya."Bibik, kenapa?" tanya Angkasa saat tanpa sengaja melihat bik Isah memegang hidung Andrea.Bik Isah yang memang kebagian menggendong Andrea, karena Andrea tidak mau

  • Babu Jadi Menantu   59. Berkeringat

    Hujan rintik-rintik membasahi tanah pedesaan. Air mulai menggenang di selokan tanah yang berlubang. Harumnya begitu memesona, karena bercampur aroma daun segar yang ikut tersapu air hujan. Parni masih fokus dengan kegiatan merajutnya. Sesekali ia tersenyum malu-malu, sambil melirik ponselnya. Sepertinya ia sedang menunggu pesan dari seseorang.Ting! ting!Parni kaget, bahkan benang rajutnya yang bewarna merah itu, terlempar ke lantai rumah. Bunyi pesan masuk berbunyi, wajah Parni tampak gembira. Dengan cekatan, ia membuka pesan yang masuk.["De Parni sedang apa?ganggu ga kalau saya telpon."]Parni mesem-mesem, wajahnya pun merona bahagia. Apakah ia jatuh cinta?Ragu Parni mengetik balasan pesan dari seseorang itu. Ponsel masih ia genggam dengan tangan sedikit berkeringat. Jujur setelah luka lama yang menganga bertahun-tahun lalu, baru kali ini ia coba membuka hati."Udah sana masuk kamar, kalau mau teleponan!" Bu Parti tersenyum menggoda Parni

  • Babu Jadi Menantu   58. Menjemput Angkasa

    Parmi dan Anton sudah berada di bandara. Menunggu kedatangan penerbangan dari Belanda. Anton dan Parmi sudah tidak sabar melihat Angkasa. Sedari turun dari mobil, Parmi dan Anton selalu bergandengan tangan. Persis pasangan yang sedang dimabuk asmara. Anton juga tidak jengah sesekali mencium kepala Parmi."Jangan dicium terus rambutnya, Mas!" rengek Parmi, merasa cukup jengah dengan tingkah alay suaminya."Kenapa sih, Sayang? Wangi kok rambutnya," sahut Anton, sambil memegang rambut panjang Parmi."Ntar kutunya nempel di bibir, baru tahu rasa!" Anton menelan salivanya, cepat ia meraba bibirnya. Merasa kurang puas, ia mengambil ponselnya lalu membuka menu kamera depan. Ia bercermin dari layar ponselnya, memeriksa kembali bibirnya. Apakah ada kutu rambut yang menempel di sana? Tapi sepertinya tidak, bibirnya masih terlihat segar dan sedikit bengkak, efek digigit oleh Parmi.Anton bergidik ngeri bila nengingat semalam, betapa ganas istrinya. Kopi yang i

  • Babu Jadi Menantu   57. Malam Panas Part 2

    Parmi keluar dari kamar, sayup-sayup ia mendengar suara ibu mertuanya seperti sedang berbicara di teras. Ia berjalan menghampiri dan melihat ada siapa disana."Eh, Parmi sini, Nak." Bu Rasti menepuk kursi kosong di sampingnya, bermaksud agar Parmi ikut duduk. Parmi menurut, duduk di samping ibu mertuanya.Wanita paruh baya yang sedang duduk di lantai. Memerhatikan gerak gerik Parmi dengan seksama, sambil menyunggingkan senyum tipis."Ini, Mi. Kenalkan ibu Isah namanya, dia sedang mencari pekerjaan. Jadi mama menawarkan untuk menjaga si kembar. Bagaimana kamu mau?" bu Rasti memperkenalkan ibu yang sedang duduk di lantai pada Parmi."Emang Ibu rumahnya di mana?" tanya Parmi dengan ramah."Keluar komplek ini gang sebelah kanan, Non.""Oh deket ya, jadi ilIbu nginep apa pulang pergi kerjanya?""Saya datang pagi, lalu pulang malam. Sehabis magrib.""Bagaimana Parmi, boleh ibu ini membantu?kasian dia sedang butuh pekerjaan." Bu

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status