Tepat pukul tiga shubuh, mereka tiba di kampung halaman Parmi. Terlihat ibu dan kakak Parmi yang bernama Parni, sudah menunggu di pelataran rumah mereka. Rumah jaman dahulu dengan halaman luas, hanya saja masih berlantaikan tanah.
"Parmi!" ibu Parmi setengah berteriak, menyusul Parmi. Diiringi Parni yang mengekori ibunya. Parmi dan yang lainnya turun dari mobil. Parmi tersenyum sangat senang, menyambut ibu dan kakaknya. Mereka berpelukan cukup lama, maklum saja sudah tiga bulan Parmi tidak pulang, sebelumnya, Parmi tidak pernah kerja jauh dari rumahnya.
"Tuan, nyonya, bapak, tuan Iqbal. Kenalkan ini ibu dan kakak saya. " ucap Parmi memperkenalkan anggota keluarganya. Ibi dan kakak Parmi mencium punggung tangan Bu Rasti, Pak Andi, bahkan Iqbal dan Anton.
"Eh, jangan Bu." Anton menepis lembut tangan calon mertuanya.
"Mari masuk Pak, Bu!" Bu Parti mempersilakan tamunya untuk masuk ke dalam rumah sederhana mereka.
Semuanya duduk rapi di kursi bale. Parmi sudah masuk ke dalam rumahnya.
"Pak, Bu. Ayo kita sahur dulu, setelah itu baru istirahat." ucap Parni, kakak Parmi yang mempersilakan tamunya masuk ke dalam rumah.
Mereka makan dalam hening, lebih tepatnya keluarga Parmi cukup sungkan untuk sekedar berbasa-basi. Mungkin karena memang baru bertemu.
"Yang namanya Anton yang mana?" tanya Bu Parti menatap kedua lelaki yang kelihatan tidak terlalu muda, sedang duduk bersila di depannya.
"Saya, Bu." sahut Anton sambil tersenyum.
"Gantengkan, Bu!" celetuk Parmi, sambil mencolek lengan ibunya. Bu Parti tersenyum.
"Beruntung anak saya dapat calon suami seperti nak Anton, semoga Nak Anton tidak merasa buntung ya mendapatkan Parmi." ujar Bu Parti sambil menyeringai.
Semua yang ada disana hanya senyam-senyum saja, Anton dan Pak Andi tidak menyahuti ocehan Bu Parti.
"Justru anak saya pasti beruntung mendapatkan Parmi, Bu," ucap Bu Rasti kemudian.
"Hhmm...saya bersyukur Parmi tidak jadi dengan Agus yang gagap itu, ga bakalan kepikiran saya gagap dan budeg bersamaan dalam rumah tangga,"gumam Bu Parti yang masih terdengar di telinga tamu-tamunya.
"Eh, gak boleh gitu Bu. Mas Agus, kan orangnya baik, ga suka marah-marah pula." Ucap Parmi sambil melirik Anton.
Tak ada sahutan lagi dari ibunya Parmi, semua makan dengan lahap.
"Masakan ibu enak, persis masakan Parmi!" puji Bu Rasti, kepada calon besannya.
"Alhamdulillah, kalau ibu cocok dengan masakan saya dan Parmi."
"Kira-kira kapan akan kita nikahkan anak kita ya Bu?" tanya Bu Rasti kemudian.
"Ga buru-buru, kan. Bu. Parmi tidak hamil duluan, kan!"
Huk..huk..
Anton tersedak mendengar ucapan Bu Parti barusan. Parmi segera menuangkan air ke dalam gelas, lalu memberikannya pada Iqbal, Iqbal menerimanya dengan senang.
"Parmi, itu lho calon suamimu yang tersedak." Bu Parti menginterupsi Parmi.
Dengan santai Parmi duduk kembali di lesehannya, tanpa mengindahkan ucapan ibunya.
"Parmi!" kali ini Bu Parti memanggilnya dengan suara cukup keras. Parmi menoleh.
"Ibu panggil saya?"
"Bukan, ibu lagi manggil malaikat maut." sahut Bu Parti sambil memainkan bola mata malasnya.
"Emang ibu kenal di mana sama Malaikat maut? Malaikatkan tidak terlihat Bu. Aneh ibu Mah!" sahut Parmi kemudian.
"Kapan kenalannya?"
Yang lain sudah tertawa cekikan mendengar saling sahut antara Parmi dan ibunya.
"Maaf ya Pak, Bu. Ibu saya suka aneh gitu, mana mungkin ya kan, ibu bisa manggil malaikat maut, emangnya malaikat punya WA."
Lagi-lagi ocehan Parmi membuat semuanya tertawa dan menggeleng-gelengkan kepala. Acara makan sahur selesai, dilanjutkan dengan sholat shubuh berjamaah. Kali ini Iqbal yang menjadi imamnya. Selesai sholat, Bu Rasti, Pak Andi dan Iqbal, berpamitan. Mereka berencana untuk istirahat di penginapan yang tidak jauh dari desa Parmi.
"Nak Anton di sini saja!"
"Eh, iya Bu," sahut Anton sedikit kikuk.
"Nanti siang kami kembali, membicarakan perihal pernikahan Anton dan Parmi ya bu. Kami sekarang istirahat dulu!" kali ini Pak Andi yang bersuara.
"Iya, Pak. Mohon maaf, rumah saya kecil, kamarnya cuma satu, jadi tidak bisa untuk bapak dan ibu istirahat."
"Iya, Bu. Ga papa. Asal calon mantu ibu, boleh istirahat disini."
Bu Parti tersenyum, lalu menganggukkan kepala, mengantarkan tamunya sampai hilang dari pandangan.
"Mari Tuan, masuk!" ajak Parmi. Cuaca di desa sangat dingin, mentari mulai malu-malu menampakkan wujudnya.
"Temani saya jalan-jalan dulu yuk! saya ingin melihat kampung kamu."
Parmi mengangguk patuh, berpamitan kepada ibunya, lalu berjalan menyusuri kampung bersama dengan Anton. Satu dua tetangga yang mengenal Parmi, ikut menyapa, bahkan mereka terpesona dengan seorang pria tampan yang berjalan dengan Parmi. Langkah Parmi semakin berat, saat akan melewati rumah mantannya, Agus.
"Kenapa?" tanya Anton melihat Parmi dengan gelagat aneh.
"Itu rumah mantan pacar saya, Tuan."
"Oh." Anton mengangguk paham, matanya nampak mengerucut, memikirkan sesuatu.
Tampak seorang lelaki muda, keluar dari rumah tersebut. Memakai kaos oblong hitam dan celana pendek, di belakangnya ada seorang wanita berwajah ayu, mengantarnya sampai di depan teras.
"Parmi!" teriak wanita tersebut, yang tak lain adalah sepupu Parmi.
"Mi, kamu dipanggil," bisik Anton.
"Pura-pura gak denger aja, tuan. Dia tahu kok saya budeg." sahut Parmi, kini mempercepat langkahnya.
"Parmi." wanita itu mendekat, menghampiri Parmi dan Anton, sedangkan sang pria disana sedang menatap Parmi, dengan tatapan sulit diartikan.
"Kapan balik kamu?"
"Tadi pas sahur."
"Ini siapa?"
"Saya, Anton. Calon suami, Parmi." Anton menjulurkan tangannya pada Siti, sepupu Parmi. Hendak berjabat tangan.
"Wah, hebat kamu." puji Siti sambil tersenyum. Sedangkan Parmi terlihat sangat malas menanggapinya.
"Pasti dong, calonku S2, SMA sama sarjana," sahut Parmi, dengan maksud pamer.
"Wah, beruntung kamu ya."
"Mas, Agus. Sini!" panggil Siti pada suaminya yang masih terbengong. Lelaki itu dengan langkah malas menghampiri Siti.
"Kenalin, Mas. Ini calon suami Parmi."
"Anton."
"Agus."
Keduanya berjabat tangan.
"Eh iya, selamat atas pernikahan kalian ya. Maaf saya tidak datang." Parmi tampak memaksakan senyum.
"Punya nomor rekening, Mas. Saya akan transfer kado dari saya dan Parmi," ucap Anton tiba-tiba, membuat Parmi menoleh, ada apa dengan Anton? Pikirnya.
"Eh, ndak punya Mas. Mentahnya aja!" celetuk Siti, sambil tersenyum senang.
"Ya sudah nanti saya titipkan pada Parmi ya. Permisi kami mau jalan-jalan pagi lagi," pamit Anton kemudian, tangannya menggandeng Parmi.
"Ayo, sayang. Kita jalan lagi. Kamu belum cape, kan?" Anton berakting sangat profesional.
Siti cemberut, merasa iri dengan keberuntungan Parmi. Lalu masuk ke dalam rumah, meninggalkan Agus yang masih terdiam, menatap kepergian Parmi dengan calon suaminya. Tampak mesra, karena Parmi menggandeng tangan Anton.
"Parmi, kamu pake deodoran ga sih?" Anton mengendus pundak Parmi.
"Gak, saya ga punya teman namanya ,deodoran."
"Doedoran bukan nama orang, Parmi. Tapi obat ketiak, biar gak bau," terang Anton, sambil memutar bola mata malasnya.
"Tapi ketiak Tuan ga bau!" kali ini Parmi yang terang-terangan mengendus ketiak Anton. Membuat Anton mundur beberapa jarak.
"Bukan ketiak saya, tapi ketiak kamu!"
"Masa sih?" Parmi mengangkat tangannya sampai atas, lalu mengendus ketiaknya. Lalu menyeringai menatap Anton.
"Ya, Kan. Bau."
"Dikit ini mah," sahut Parmi cuek.
"Cukur dong bulunya!"
"Buku!"
"Bukan buku, tapi bulu." Anton menarik nafas panjang.
"Ih, mesum. Lagi puasa juga," sahut Parmi sambil tersenyum malu-malu.
"Bulu ketiak kamu yang dicukur, Parmi. Bukan bulu yang di bawah, di mana mesumnya?" Anton memijat pelipisnya.
"Oh, itu mah, jangan dicukur Tuan, nanti kekuatan saya hilang!"
"Emangnya kamu samson betawi!"
Parmi tertawa cekikikan melihat kekesalan Anton.
" Makasih ya Tuan udah bantu saya tadi!".
Cup...
Parmi mengecup cepat pipi Anton. Lalu berjalan mendahului Anton, wajahnya sudah sangat memerah.
"Parmi!" Anton menyusul Parmi setengah berlari, wajah Anton pun berseri.
****
Pukul satu siang, keluarga Anton, kembali ke kediaman Parmi. Kedua tangan orang tua Anton, turut membawa bingkisan hantaran sederhana untuk Parmi. Bagaimana pun saat ini mereka sedang melamar anak gadis orang, jadi tetap harus dihargai dan diperlakukan sebaik mungkin. Semuanya kini tengah berkumpul di ruang tengah. Tampak Parmi duduk di samping ibunya, begitu juga dengan Parni, kakaknya."Jadi maksud kedatangan kami kemari adalah untuk melamar nak Parmi, untuk menjadi menantu di keluarga kami. Tepatnya untuk menjadi istri anak kami, Anton." Ucap Pak Andi dengan jelas."Bagaimana, Bu. Parmi?""Saya sebagai orangtua, sangat bersyukur akhirnya ada yang melamar anak gadis saya. Namun semua keputusan kembali lagi pada..""Huuuuaachhiimmm..." Parmi bersin di tengah-tengah keseriusan yang terjadi."Ehh ...maaf," ucap Parmi sungkan, sambil menutup hidungnya. Semua yang ada disana menyeringai, begitu juga Anton."Merusak suasana saja Si P
Bu Rasti, Anton dan Parmi. Kini tengah mengantre di sebuah rumah sakit. Tepatnya di poli THT. Parmi bersikeras agar Anton memeriksakan kesehatan telinganya. Padahal berkali-kali Bu Rasti dan Anton memberitahukan bahwa telinga Anton baik-baik saja. Akhirnya Anton memberikan syarat kepada Parmi, agar ia juga ikut memeriksakan telinganya. Pada awalnya Parmi menolak, ia mengatakan bahwa ia mendengar cukup baik hanya sesekali suka budeg, tapi itu hanya sesekali katanya.Parmi duduk tepat tidak jauh dari Anton, sesekali Parmi melirik Anton, yang wajahnya terlihat sedikit kesal. Sedangkan Bu Rasti masih asik dengan ponselnya."Ngapain sih, Ma?" tanya Anton sambil melirik ke arah ponsel mamanya."Ini, mama lagi pilihkan baju kebaya untuk Parmi dan jas untuk kamu." sahut Bu Rasti, matanya masih fokus di layar ponsel."Sewa aja Mah, biar irit!""Hush...nikah sama anak perawan, semua harus baru. Pamali ah sewa!"Anton memutar bola mata mala
Dengan rambut basah Parmi menyiapkan menu sahur. Rambutnya digelung handuk. Kakinya juga masih sedikit pincang, saat mondar-mandir di dapur. Semua penghuni rumah masih terlelap, Parmi melihat jam di dinding, sudah pukul tiga shubuh, sebentar lagi ia akan membangunkan seluruh penghuni rumah, untuk sahur bersama. Parmi menata semua hidangan di atas meja makan, kemudian ia menyisihkan sebagian lauk untuk dirinya. Ia sendiri masih merasa sungkan untuk duduk bersama di meja makan bersama dengan calon suami beserta keluarganya.Cekleek...Pintu kamar Bu Rasti terbuka, Bu Rasti berjalan keluar kamar, sambil menguncir rambut panjangnya."Eh, ibu sudah bangun. Baru saja saya mau bangunin." sapa Parmi ramah, menatap ke arah Bu Rasti yang tersenyum juga kepadanya. Tangan Parmi telaten, menuangkan teh hangat ke dalam satu persatu cangkir yang tertata di meja.Bu Rasti memperhatikan wajah Parmi dari ujun
Sore ini, Parmi tengah menunggu kedatangan kakak beserta ibunya. Mereka akan menyaksikan pernikahan Parmi yang akan dilaksanakan besok. Tepatnya dua hari sebelum lebaran idul fitri. Harusnya sejam yang lalu sudah sampai, Parmi menunggu dengan gelisah, karena kakak dan ibunya belum pernah sama sekali ke Jakarta. Entah dengan siapa mereka diantar, yang jelas saat ini Parmi begitu menanti kedatangan ibu dan kakaknya. Anton yang baru saja selesai mandi dan sudah rapi, menghampiri Parmi yang duduk dengan gelisah."Belum sampe juga ya, Ibu kamu?" tanya Anton sambil melihat ke arah Parmi. Parmi hanya melihat Anton sekilas, lalu menoleh kembali menatap pagar rumah Anton."Ga denger dia mah, Pasti!" gerutu Anton dalam hati. Huuufftt.." Anton menarik nafas panjang lalu duduk di kursi teras, tepat di sebelah Parmi."Mandi dulu sana! Bau tau!" Anton menutup hidungnya, karena memang aroma tubuh Parmi cukup menyengat, sedari pagi Parmi
Parmi cukup lama berada di dalam kamar mandi. Anton menungguinya sampai terkantuk-kantuk, berulang kali Anton menguap, memandang ke arah kamar mandi yang berada di dalam kamarnya. Pintu itu tak kunjung terbuka. Sedangkan Anton sudah gerah ingin segera mandi. Suara pancuran air, sudah berhenti. Namun tak ada tanda-tanda pergerakan dari dalam sana."Ck, dia tidur apa mandi sih!" gerutu Anton, sambil melangkah malas menuju kamar mandi, di pundaknya sudah bertengger handuk bewarna hijau.Tok...tok.."Mi, Mi! Cepetan! Saya juga gerah, mau mandi!" teriak Anton dengan sedikit kencang, sambil menggedor pintu kamar mandi."Iya ... juju aawaayaaa abaawaaya, eh as ," sahut Parmi . Anton memijat pelipisnya. Bagaimana bisa dia mengerti apa yang Parmi katakan?"Apaan sih Mi? Ga ngerti saya," sahut Anton dari balik pintu, kedua tangannya bersandar tiang pintu kamar mandi.KleekkParmi membuka pintu kamar mandi sedikit, lalu melongok keluar. Dengan s
Pagi lebaran pun tiba. Suasana pagi begitu teduh dan menyejukkan, semua orang berlomba menyiapkan diri untuk melaksanakan sholat Idul Fitri. Beruntung di perumahan Anton, tetap diadakan sholat Ied, walau tetap harus menjaga jarak.Anton sudah bangun pukul lima shubuh untuk melaksanakan sholat shubuh.Parmi telah terlebih dahulu bangun, sudah menjadi kebiasaan Parmi, jika harus bangun pukul setengah empat pagi. Selesai sholat shubuh, Anton memperhatikan kamarnya yang selalu rapi saat dia bangun. Parmi pasti yang membereskannya sebelum ia terbangun. Parmi masih asik di dapur, berhubung sedang datang bulan, Parmi jadi cukup santai beres-beres rumah, serta memanaskan aneka hidangan untuk disantap sepulang sholat Ied nanti.Bu Rasti melihat Parmi, sedang menyapu dapur dengan cekatan. Lalu menghampirinya."Mama sudah pesan pembantu baru untuk di rumah," ucap Bu Rasti yang datang menghampiri Parmi, sudah rapi dengan baju lebarannya. Parmi menoleh kepad
Seminggu telah berlalu, rumah tangga yang dijalani oleh Anton dan Parmi, terbilang sangat biasa saja. Malah cenderung hambar. Anton yang sudah mulai masuk kembali ke sekolah, meskipun tidak mengajar, namun selalu ada saja yang ia kerjakan di sana.Pukul enam pagi, Anton sudah berangkat, karena pukul tujuh sudah harus sampai di sekolah untuk absen sidik jari. Ia akan kembali ke rumah pukul empat, terkadang pukul lima sore. Sesampainya di rumah, ia akan sibuk di layar laptopnya, bercengkrama dengan murid-muridnya, hingga malam.Anton hanya berhenti saat makan malam dan waktu sholat. Jarang sekali terlihat Anton dan Parmi terlibat pembicaraan. Hal tersebut sudah diperhatikan oleh Bu Rasti, ia sebenarnya sangat kecewa dengan sikap Anton, bagaimana pun ia harus membantu mendekatkan Parmi kepada anaknya.Malam ini, Parmi tengah mencuci piring, sedangkan bibi yang baru, sedang menyapu lantai dapur. Mereka baru saja selesai menikmati makan malam. Anton sudah langs
21+"Mas...astaghfirulloh, baunya!" Parmi menutup hidungnya sangat rapat dengan jari telunjuk serta jempolnya.Anton hanya bisa menyeringai, antara malu dan kelepasan. Yah, saat sedang asik menjadi bayi, bagian belakang tubuh Anton malah mengeluarkan suara dan bau yang sangat cettar, tanpa bisa ia tahan. Mungkinkah efek kekenyangan?"Yang pengen buang air siapa? yang kentut siapa? Jorok ih!" Parmi berusaha bangun dari ranjang, namun baru meletakkan kedua kakinya di lantai, rasa perih bersarang di pusatnya."Aauu!" pekik Parmi, ia meletakkan kembali bokongnya di atas ranjang."Aduh, sakit, tapi kebelet!" rengek Parmi sambil memegang perutnya. Tubuh telanjangnya tidak ia hiraukan lagi. Anton memperhatikan Parmi sambil mengulum senyum."Sakit ya, tapi enakkan," bisik Anton sambil mendekatkan tubuhnya ke arah Parmi.Parmi menggeser sedikit menjauh tubuhnya, wajahnya merona merah tatkala mengingat kejadian semalam."Saya beneran