Share

8. Pulang Kampung

Tepat pukul tiga shubuh, mereka tiba di kampung halaman Parmi. Terlihat ibu dan kakak Parmi yang bernama Parni, sudah menunggu di pelataran rumah mereka. Rumah jaman dahulu dengan halaman luas, hanya saja masih berlantaikan tanah. 

"Parmi!" ibu Parmi setengah berteriak, menyusul Parmi. Diiringi Parni yang mengekori ibunya. Parmi dan yang lainnya turun dari mobil. Parmi tersenyum sangat senang, menyambut ibu dan kakaknya. Mereka berpelukan cukup lama, maklum saja sudah tiga bulan Parmi tidak pulang, sebelumnya, Parmi tidak pernah kerja jauh dari rumahnya. 

"Tuan, nyonya, bapak, tuan Iqbal. Kenalkan ini ibu dan kakak saya. " ucap Parmi memperkenalkan anggota keluarganya. Ibi dan kakak Parmi mencium punggung tangan Bu Rasti, Pak Andi, bahkan Iqbal dan Anton. 

"Eh, jangan Bu." Anton menepis lembut tangan calon mertuanya.

"Mari masuk Pak, Bu!" Bu Parti mempersilakan tamunya untuk masuk ke dalam rumah sederhana mereka.

Semuanya duduk rapi di kursi bale. Parmi sudah masuk ke dalam rumahnya.

"Pak, Bu. Ayo kita sahur dulu, setelah itu baru istirahat." ucap Parni, kakak Parmi yang mempersilakan tamunya masuk ke dalam rumah.

Mereka makan dalam hening, lebih tepatnya keluarga Parmi cukup sungkan untuk sekedar berbasa-basi. Mungkin karena memang baru bertemu.

"Yang namanya Anton yang mana?" tanya Bu Parti menatap kedua lelaki yang kelihatan tidak terlalu muda, sedang duduk bersila di depannya.

"Saya, Bu." sahut Anton sambil tersenyum.

"Gantengkan, Bu!" celetuk Parmi, sambil mencolek lengan ibunya. Bu Parti tersenyum.

"Beruntung anak saya dapat calon suami seperti nak Anton, semoga Nak Anton tidak merasa buntung ya mendapatkan Parmi." ujar Bu Parti sambil menyeringai.

Semua yang ada disana hanya senyam-senyum saja, Anton dan Pak Andi tidak menyahuti ocehan Bu Parti.

"Justru anak saya pasti beruntung mendapatkan Parmi, Bu," ucap Bu Rasti kemudian.

"Hhmm...saya bersyukur Parmi tidak jadi dengan Agus yang gagap itu, ga bakalan kepikiran saya gagap dan budeg bersamaan dalam rumah tangga,"gumam Bu Parti yang masih terdengar di telinga tamu-tamunya.

"Eh, gak boleh gitu Bu. Mas Agus, kan orangnya baik, ga suka marah-marah pula." Ucap Parmi sambil melirik Anton.

Tak ada sahutan lagi dari ibunya Parmi, semua makan dengan lahap.

"Masakan ibu enak, persis masakan Parmi!" puji Bu Rasti, kepada calon besannya. 

"Alhamdulillah, kalau ibu cocok dengan masakan saya dan Parmi." 

"Kira-kira kapan akan kita nikahkan anak kita ya Bu?" tanya Bu Rasti kemudian.

"Ga buru-buru, kan. Bu. Parmi tidak hamil duluan, kan!" 

Huk..huk..

Anton tersedak mendengar ucapan Bu Parti barusan. Parmi segera menuangkan air ke dalam gelas, lalu memberikannya pada Iqbal, Iqbal menerimanya dengan senang.

"Parmi, itu lho calon suamimu yang tersedak." Bu Parti menginterupsi Parmi. 

Dengan santai Parmi duduk kembali di lesehannya, tanpa mengindahkan ucapan ibunya.

"Parmi!" kali ini Bu Parti memanggilnya dengan suara cukup keras. Parmi menoleh.

"Ibu panggil saya?" 

"Bukan, ibu lagi manggil malaikat maut." sahut Bu Parti sambil memainkan bola mata malasnya.

"Emang ibu kenal di mana sama Malaikat maut? Malaikatkan  tidak terlihat Bu. Aneh ibu Mah!" sahut Parmi kemudian.

"Kapan kenalannya?" 

Yang lain sudah tertawa cekikan mendengar saling sahut antara Parmi dan ibunya.

"Maaf ya Pak, Bu. Ibu saya suka aneh gitu, mana mungkin ya kan, ibu bisa manggil malaikat maut, emangnya malaikat punya WA."

Lagi-lagi ocehan Parmi membuat semuanya tertawa dan menggeleng-gelengkan kepala. Acara makan sahur selesai, dilanjutkan dengan sholat shubuh berjamaah. Kali ini Iqbal yang menjadi imamnya. Selesai sholat, Bu Rasti, Pak Andi dan Iqbal, berpamitan. Mereka berencana untuk istirahat di penginapan yang tidak jauh dari desa Parmi.

"Nak Anton di sini saja!" 

"Eh, iya Bu," sahut Anton sedikit kikuk.

"Nanti siang kami kembali, membicarakan perihal pernikahan Anton dan Parmi ya bu. Kami sekarang istirahat dulu!" kali ini Pak Andi yang bersuara.

"Iya, Pak. Mohon maaf, rumah saya kecil, kamarnya cuma satu, jadi tidak bisa untuk bapak dan ibu istirahat." 

"Iya, Bu. Ga papa. Asal calon mantu ibu, boleh istirahat disini." 

Bu Parti tersenyum, lalu menganggukkan kepala, mengantarkan tamunya sampai hilang dari pandangan.

"Mari Tuan, masuk!" ajak Parmi. Cuaca di desa sangat dingin, mentari mulai malu-malu menampakkan wujudnya.

"Temani saya jalan-jalan dulu yuk! saya ingin melihat kampung kamu." 

Parmi mengangguk patuh, berpamitan kepada ibunya, lalu berjalan menyusuri kampung bersama dengan Anton. Satu dua tetangga yang mengenal Parmi, ikut menyapa, bahkan mereka terpesona dengan seorang pria tampan yang berjalan dengan Parmi. Langkah Parmi semakin berat, saat akan melewati rumah mantannya, Agus.

"Kenapa?" tanya Anton melihat Parmi dengan gelagat aneh.

"Itu rumah mantan pacar saya, Tuan." 

"Oh." Anton mengangguk paham, matanya nampak mengerucut, memikirkan sesuatu.

Tampak seorang lelaki muda, keluar dari rumah tersebut. Memakai kaos oblong hitam dan celana pendek, di belakangnya ada seorang wanita berwajah ayu, mengantarnya sampai di depan teras.

"Parmi!" teriak wanita tersebut, yang tak lain adalah sepupu Parmi.

"Mi, kamu dipanggil," bisik Anton.

"Pura-pura gak denger aja, tuan. Dia tahu kok saya budeg." sahut Parmi, kini mempercepat langkahnya.

"Parmi." wanita itu mendekat, menghampiri Parmi dan Anton, sedangkan sang pria disana sedang menatap Parmi, dengan tatapan sulit diartikan.

"Kapan balik kamu?"

"Tadi pas sahur."

"Ini siapa?" 

"Saya, Anton. Calon suami, Parmi." Anton menjulurkan tangannya pada Siti, sepupu Parmi. Hendak berjabat tangan.

"Wah, hebat kamu." puji Siti sambil tersenyum. Sedangkan Parmi terlihat sangat malas menanggapinya.

"Pasti dong, calonku S2, SMA sama sarjana," sahut Parmi, dengan maksud pamer.

"Wah, beruntung kamu ya." 

"Mas, Agus. Sini!" panggil Siti pada suaminya yang masih terbengong. Lelaki itu dengan langkah malas menghampiri Siti.

"Kenalin, Mas. Ini calon suami Parmi." 

"Anton." 

"Agus." 

Keduanya berjabat tangan.

"Eh iya, selamat atas pernikahan kalian ya. Maaf saya tidak datang." Parmi tampak memaksakan senyum.

"Punya nomor rekening, Mas. Saya akan transfer kado dari saya dan Parmi," ucap Anton tiba-tiba, membuat Parmi menoleh, ada apa dengan Anton? Pikirnya.

"Eh, ndak punya Mas. Mentahnya aja!" celetuk Siti, sambil tersenyum senang.

"Ya sudah nanti saya titipkan pada Parmi ya. Permisi kami mau jalan-jalan pagi lagi," pamit Anton kemudian, tangannya menggandeng Parmi.

"Ayo, sayang. Kita jalan lagi. Kamu belum cape, kan?" Anton berakting sangat profesional.

Siti cemberut, merasa iri dengan keberuntungan Parmi. Lalu masuk ke dalam rumah, meninggalkan Agus yang masih terdiam, menatap kepergian Parmi dengan calon suaminya. Tampak mesra, karena Parmi menggandeng tangan Anton.

"Parmi, kamu pake deodoran ga sih?" Anton mengendus pundak Parmi.

"Gak, saya ga punya teman namanya ,deodoran." 

"Doedoran bukan nama orang, Parmi. Tapi obat ketiak, biar gak bau," terang Anton, sambil memutar bola mata malasnya.

"Tapi ketiak Tuan ga bau!" kali ini Parmi yang terang-terangan mengendus ketiak Anton. Membuat Anton mundur beberapa jarak.

"Bukan ketiak saya, tapi ketiak kamu!" 

"Masa sih?" Parmi mengangkat tangannya sampai atas, lalu mengendus ketiaknya. Lalu menyeringai menatap Anton.

"Ya, Kan. Bau." 

"Dikit ini mah," sahut Parmi cuek.

"Cukur dong bulunya!"

"Buku!" 

"Bukan buku, tapi bulu." Anton menarik nafas panjang.

"Ih, mesum. Lagi puasa juga," sahut Parmi sambil tersenyum malu-malu.

"Bulu ketiak kamu yang dicukur, Parmi. Bukan bulu yang di bawah, di mana mesumnya?" Anton memijat pelipisnya.

"Oh, itu mah, jangan dicukur Tuan, nanti kekuatan saya hilang!" 

"Emangnya kamu samson betawi!" 

Parmi tertawa cekikikan melihat kekesalan Anton.

" Makasih ya Tuan udah bantu saya tadi!".

Cup...

Parmi mengecup cepat pipi Anton. Lalu berjalan mendahului Anton, wajahnya sudah sangat memerah.

"Parmi!" Anton menyusul Parmi setengah berlari, wajah Anton pun berseri.

****

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status