Pagi-pagi Terryn mendengar suara mobil berhenti sejenak di depan rumah mereka, bergegas Terryn membuka pintu dan yakin jika itu adalah Deva yang pulang.
“Kak Deva! kakak nginap dimana? Kak Aluna tanyain Kakak terus, kami khawatir kak, ponsel Kakak juga tidak aktif.”
“Berisik! Aku nginap di rumah ibu.” Deva merasa terganggu dengan kehebohan Terryn yang menyambutnya pulang.
“Kak Deva mau Yin buatkan teh? Mau sarapan apa?” Terryn sudah tahu betul kebiasaan Deva jika pagi dia harus sarapan jika tidak asam lambung dari laki-laki ini pasti kumat lagi.
“Buatkan saja aku susu hangat, dan roti bakar. Apa kemeja biruku sudah kamu setrika Yin?”
Terryn yang sedang menyiapkan sarapan Deva hanya menyahut dari balik dapur.
“Iya sudah kak, celananya juga dan kaos kaki ada di dekat sepatu kak Deva.”
Kadang Deva juga merasa jika dirinya keterlaluan untuk memerintah Terryn melakukan banyak hal tapi itulah cara dirinya agar menjaga jarak dengan Terryn. Entah mengapa jika Deva berada dekat dengan Terryn ada desir halus yang terasa di jantungnya dan dia tidak suka itu.
“Sarapannya sudah siap Kak, bagaimana kabar ibu, apa sehat-sehat saja?”
Deva hanya mengangguk sambil mengunyah roti yang masih hangat itu.
“Kak Deva gak bilang mau nginap di rumah ibu, kak Aluna sampai bolak balik tanyain apa Kak Deva sudah pulang apa belum.”
“Mana dia sekarang?” tanya Deva pendek.
“Sudah berangkat ke rumah sakit Kak di jemput sama kak Roby.”
Deva menatap sekilas Terryn yang sedang tersenyum kepadanya, tiba-tiba kepalanya berdenyut mengingat perintah ibunya untuk segera menyelesaikan masalahnya dengan gadis yang bernama Keke itu. Deva tidak sanggup membayangkan jika Terryn si babu kumal yang sering dibullynya ini akan menjadi istrinya.
"Kenapa Kak Deva ngeliatin Yin kayak gitu?"
Deva tergagap dan kembali mengunyah rotinya dengan cepat. Teryn tidak boleh tahu isi kepalanya yang mengakui jika babu kumal ini sebenarnya cantik.
"Gak apa-apa, habis ini siapkan tas kantor aku. Oh ya, apa kamu ke kantor juga hari ini?"
"Iya Kak, kenapa?" tanya Terryn heran, biasanya Deva tidak menanyakan hal-hal pribadi dirinya.
"Aku akan antar kamu ke kantor jadi siap-siap cepat, kamu telat aku tinggal."
Deva menyelesaikan sarapannya dan meninggalkan Teryn yang masih melongo. Sedetik kemudian Terryn tersadar dan melahap segera sarapannya kemudian bergegas bersiap ke kantor. Durian sedang runtuh pikir Terryn dan ini pastinya tidak terjadi setiap hari. Betapa hari ini adalah hari keberuntungan bagi Terryn.
Terryn masuk ke mobil Deva dan mengambil posisi di bagian belakang. Deva yang duduk di belakang stir berdecak kesal.
"Ck ... kenapa kamu duduk di situ Yin? Aku bukan sopir kamu tau, duduk di depan sini!" perintah Deva.
Lagi-lagi Terryn terkejut dan tersenyum dengan girang, dia masih merasa jika keberuntungannya belum selesai. Dengan senang hati dia pindah tempat duduk di samping Deva. Pemuda itu terlihat biasa saja dan memilih lebih banyak diam hingga di tempat tujuan. Kantor mereka hanya bersebelahan saja dan Deva menurunkan Terryn yang berkali-kali mengucapkan terima kasih.
Deva masuk ke kantornya dan disambut dengan dua sahabatnya yang terlihat cemas menunggunya.
"Kemana aja lu Bro semalam menghilang?" Desta menghampiri Deva yang baru saja masuk ke ruangannya.
"Heh ... lu berdua udah gila yaa jebak gue sama cewe yang namanya Keke itu?" tanya Deva dengan wajah yang menakutkan.
"Yang ulang tahun semalam kan dia, mana kita tahu kalo Keke kenal juga sama lu. Emang Keke kenapa?" Willy juga ikut balik bertanya. Deva membuang napasnya dan mengusap wajahnya dengan gusar. Kemudian dia menceritakan apa yang terjadi semalam. Kedua sahabatnya itu terlonjak kaget mendengar aksi nekat Keke dan ancamannya.
"Waduh Dev, masalah besar buat lu tuh, lu tau gak siapa bokapnya Keke?"
Deva menggeleng dan melihat ke arah Willy yang menanyainya.
"Emang siapa?" tanya Desta ikut penasaran.
"Sandi Atmaja!" seru Willy sambil menepuk dahinya dengan keras.
"Matiii... Sandi pemilik New Sky Corps itu? Dia orang berbahaya Meeen... lu udah nolak dengan kasar anak gadis semata wayangnya Sandi Atmaja!" seru Desta yang tak kalah panik.
"Emang kenapa?" tanya Deva tak mengerti.
"Sabar lu yaa ... mulai sekarang hidup lu udah gak aman dan tenang lagi kecuali lu bisa cari jalan keluarnya. Sandi itu pengusaha kelas kakap yang disebut-sebut juga seorang mafia yang ditakuti."
Deva hanya melongo mendengar kalimat Willy barusan yang seperti ancaman terbesar dalam hidupnya.
Ibu Imelda kembali memanggil putranya untuk datang, dia semakin berang mengetahui latar belakang perempuan yang sedang mengincar putranya.
“Kamu tahu siapa Keke ini hah? Dia putri seorang mafia kejam dan jahat, kok kamu bisa bergaul sama dia siiih Deva Danuarta?!” dengan gemas ibu Imelda menoyor kepala putranya. Deva hanya terdiam jika ibunya sudah menyebut namanya dengan nama lengkap berarti ibunya memang sudah maksimal marah kepadanya.
“Sandi itu orangnya licik, bukan cuma kekuasaan dan tak boleh kalah gertak menghadapi dia tapi juga kita harus pintar. Dia itu manusia yang paling ibu hindari untuk hubungan bisnis. Lha kenapa sekarang kamu malah terjerat jebakan anaknya?”
“Bu, Deva tidak pernah bermaksud untuk menjalin hubungan atau apapun dengan perempuan ini, Deva tuh yang nyaris diperkosa sama dia, dia punya foto-foto Deva waktu Deva setengah sadar.” Anak-anak ibu Imelda tidak menggunakan kata ‘aku’ atau ‘saya’ jika sedang menghadapi ibunya yang tengah marah, mereka akan menyebut nama agar ibunya melunak.
Ibu Imelda terperanjat kaget mendengar penuturan Deva barusan, dengan gemas dia menggulung koran yang ada di meja kantornya dan memukul kepala anaknya itu.
“Hah! Laki-laki apa yang hendak diperkosa perempuan? Jaman memang sudah edan!”
Deva mengusap kepalanya yang tidak merasa sakit. Dia belum bisa menaikkan wajahnya menatap ibunya yang masih murka dan pusing dengan masalah yang terjadi.
“Kamu ngomong apa aja ke perempuan itu?”
Sejenak Deva ragu mengatakannya entah bagaimana reaksi ibunya nanti.
“Deva cuma bilang kalo Deva sudah tunangan dengan seorang gadis dan akan segera menikah, jadi dia gak bisa ganggu Deva lagi.”
Ibu Imelda memijit pelipisnya kini bukan hanya pelipisnya saja yang berdenyut tapi seluruh kepalanya ikut sakit. Berurusan dengan Sandi Atmaja dan keluarganya bakal berbuntut panjang. Mereka tidak akan berhenti jika bukan mereka sendiri yang memutuskan untuk berhenti mengganggu.
“Jadi kamu sebenarnya sudah punya pacar yang siap kamu nikahi gitu?” tanya ibu Imelda lagi karena sebelumnya dia menanyakan hal yang sama pada Deva. keningnya berkerut, sebuah kejutan jika putranya yang tertutup dan pendiam ini sudah punya kekasih.
Deva menggeleng pelan, takut-takut dia melihat wajah ibunya.
“Deva belum punya, Bu.” Laki-laki muda itu tersenyum cengengesan yang membuat ibu Imelda menepuk jidatnya.
“Baiklah Anak Muda, sekarang kamu ingin selesaikan masalah ini sendirian atau ibumu ini juga harus turun tangan?” tanya ibu Imelda dengan serius.
“Deva akan selesaikan ini sendiri Bu, semoga tidak terjadi hal yang lebih buruk lagi.”
Ibunya mengusap kepala Deva dan menepuk-nepuk bahunya penuh kasih sayang.
“Ibu percaya kamu putra Ibu yang baik, kamu gak bakalan macam-macam. Pulanglah, ohh ya kasih tahu Terryn yaa akhir pekan nanti Ibu akan berkunjung, Ibu sudah kangen dengan dua anak gadis ibu itu. Ibu mau dimasakin sama Terryn.”
“Iya, baik Bu.” Deva pun berdiri dan mencium tangan ibunya dengan takzim lalu pamit pulang.
Apapun bisa terjadi jika Tuhan berkehendak. Dalam kasus Terryn bisa saja dia tidak akan bisa punya bayi yang lucu dan sehat, kegigihannya untuk menjalani program hamil hanya butuh waktu yang singkat. Semua adalah kebesaran Tuhan yang tidak akan pernah berhenti disyukuri Terryn. Hidup dengan paru-paru baru juga merupakan kemurahan Tuhan lainnya, bahkan Deva suaminya yang sudah siap menjadi pendonor di detik-detik terakhir digantikan oleh pendonor lain. Manusia memang berencana dan rencana Tuhan yang akan tetap berlaku dalam hidup manusia. Terryn sedang memilihkan baju untuk Sheira, usianya kini enam bulan. Artinya sudah setengah tahun juga operasi besar yang dijalani Terryn sudah berlalu. Walaupun harus meminum obat seumur hidupnya, Terryn bisa beraktifitas seperti biasa. Hanya saja Deva mengawasi Terryn dengan ketat a
Jantung Terryn berdegup kencang ketika mobil sudah terhenti tepat di halaman rumah, Deva membukakan pintu mobil untuknya dan membimbingnya keluar dari mobil. Ibu Asih dan ibu Imelda sudah menyambut kedatangannya dengan penuh sukacita. Dalam gendongan ibu Asih tampak bayi Sheira yang menatap ke arahnya. Mata Terryn berkaca-kaca ketika tangan Sheira bergerak-gerak seakan ingin menggapainya. “Hey … Baby Sheira, Mama kangen banget Sayang….” Terryn mengambil tangan mungil itu dan mengecupnya, apalah daya Terryn belum bisa menggendong Sheira karena bekas operasi di dadanya itu. “Selamat datang kembali, Nak.” sambut ibu Asih sambil membelai kepala Terryn lembut. Bergantian dengan Ibu Asih kini Ibu Imelda yang hati-hati memeluknya dan mencium dahi Terryn lembut. Deva masih sibuk membawakan barang-barang Terryn dan memasukkannya ke kamar mereka. Matanya hanya mampu membaca betapa bahagianya kedua ibunya menyambut kepulangan Terryn dan betapa berbahagianya pula Terryn melihat putrinya. “Y
Terryn tertawa kecil mendengar lelucon Ashiqa sahabatnya, setelah melahirkan Sheira Terryn baru sekali saja melihatnya. Selebihnya Sheira dirawat di ruang khusus anak dan dirinya pun terkulai tak berdaya di kamar ini.“Jika jodoh mereka tak akan kemana.” Terryn menyunggingkan senyumnya.“Oh yaa Yin, aku dengar dari ibu Asih kalau kak Deva nyaris saja jadi pendonor paru untukmu, gak nyangka banget kalau perjuangan cinta kak Deva memang benar-benar total sama kamu. Untungnya kakak ipar kamu, mba Aluna menemukan donor yang tepat lebih cepat hingga dia meyakinkan adiknya kalau dia tidak perlu jadi donor.” Ashiqa memandang wajah Terryn yang tiba-tiba menegang. Tentunya Terryn tidak pernah tahu tentang rencana suaminya untuk menjadi pendonor baginya.
“Sudah berapa lama Deva tertidur, Bu?” Deva kembali memungut botol minuman yang terlepas dari tangannya. Dengan kegusaran dia menghela nafas berharap mimpinya tadi bukan pertanda buruk.“Sekitar hampir sejam, kau pastinya kelelahan, Nak. Tentang Terryn jangan khawatir, Aluna dan rekan dokter lainnya sedang mengusahakan yang terbaik untuk istrimu.” Ibu Imelda mengusap bahu anaknya dengan lembut. Deva mengangguk perlahan, dengan kekuatan yang tersisa di dalam dirinya dia berusaha untuk tetap tenang.Tak lama kemudian Aluna muncul dan Deva berdiri untuk menyambutnya serta bersiap mendengarkan apa kata kakak perempuannya itu.“Kak ….” Deva hanya mampu menyapanya pendek tak mampu untuk menanyakan lebih lanjut kondisi Te
Deva bergegas menyusuri lorong rumah sakit, jantungnya berdegup tidak karuan. Selain memikirkan operasi Terryn tentunya dia juga gugup dengan operasinya sendiri yang dimajukan lebih cepat dari jadwalnya. Willy tetap berusaha menenangkan Deva yang jelas terlihat cemas.Di ujung selasar matanya menangkap sosok perempuan yang sangat dikenalinya, Aluna. Kakak perempuan Deva itu merentangkan tangannya, jauh-jauh dia terbang dari San Fransisco untuk mendampingi adik dan adik iparnya yang tengah dalam masa sulit. Aluna memeluk erat Deva sambil terisak, dia tidak menyangka jika adik ipar kesayangannya itu akan terbaring dengan kondisi yang memprihatinkan.Aluna berbisik-bisik mengatakan sesuatu pada Deva yang membuatnya tersentak dan melepas pelukan Aluna sambil memandang heran.
Wanita itu tak pernah menduga jika suatu saat nanti putranya adalah seorang laki-laki luar biasa yang melakukan pengorbanan untuk perempuan yang dicintai oleh anaknya. Tidak ada pilihan terbaik selain menyerahkan keputusan kepada Deva sendiri untuk menjadi donor paru bagi Terryn. Ibu Imelda hanya sanggup memeluk putranya itu dan merapalkan doa-doa serta harapan terbaik untuk anak dan menantunya.Senyum Terryn mengembang ketika melihat Deva masuk ke kamarnya, tangannya terulur untuk memegang tangan Deva. Wajahnya pucat dengan bibir yang keunguan, terdengar berat di setiap tarikan nafasnya meski sudah dibantu dengan tabung oksigen.“Bagaimana kondisi anak kita, Kak? Apa dia baik-baik saja?” tanya Terryn dengan suaranya yang parau nyaris seperti tercekik.