Deva tidak segera kembali ke kantornya ataupun ke rumahnya. Dia menuju sebuah café untuk menemui seseorang yang memang sedang ditunggunya.Seorang gadis dengan baju yang masih kekurangan duduk manis menunggu Deva. Keke gadis yang mengejar Deva ini tak kenal kata menyerah.
“Halo calon suamiku, tampangmu jangan kusut begitu doong….” Sambut Keke dengan senyum yang manis merekah. Bibirnya yang dipoles warna merah menyala membuat penampilan Keke terlihat maksimal.
“To the point aja deh, maksud kamu untuk ketemu di sini apa?” tanya Deva dengan dingin bahkan dia menolak untuk memesan sesuatu di café ini.
“Aku mau menikah sama kamu Deva. Aku sudah menyelidiki latar belakang kamu, kamu itu gak punya tunangan atau calon istri, jadi gak usah berkelit lagi deh. Kalo gak foto-foto kita ini akan ku sebar sangat luas.” ancam Keke dengan sorot matanya yang licik.
“Aku akan buktikan jika aku memang sudah bertunangan, aku sangat mencintai calon istriku itu, cintanya juga tidak kalah besar untukku. Kami sangat berbahagia jadi tidak usah kamu merepotkan dirimu untuk merusak hubungan kami.”
“Bohong , kamu pembohong yang hebat Deva, aktingmu luar biasa. Baiklah aku akan menunggu hari di mana kau benar-benar menunjukkan perempuan pilihanmu itu beserta surat resmi pernikahan kalian. Aku tidak akan mengganggu kalian lagi jika memang kalian benar-benar saling mencintai.”
Deva hanya tersenyum sinis tentu dia tidak akan bisa percaya begitu saja pada perkataan Keke, dia tahu Keke tidak akan berhenti mengganggunya. Laki-laki itu memutuskan untuk meninggalkan café terlebih dulu. Keke hanya tersenyum kecil lalu mengetik sebuah pesan yang terkirim untuk anak buahnya, sesuatu sedang direncanakannya lagi kali ini.
Terryn hendak menuju parkiran karena Deva sudah menunggunya untuk pulang bersama, dia berjalan cepat-cepat agar tidak membuat Deva lama menunggu. Terryn baru saja ingin melambaikan tangan ke Deva yang belum melihatnya ketika sebuah mobil minivan berhenti di depan Deva dan memaksa Deva masuk ke dalam mobil. Terryn luar biasa terkejut dan berteriak minta tolong.
Gadis itu segera berlari mengejar minivan yang telah menculik Deva, dan bergegas dia menghadang sebuah mobil taksi dan meminta untuk segera mengikuti mobil berwarna hitam itu. Terryn menelpon ibu Imelda dan mengabarkan apa yang sedang terjadi. Tak ingin putranya kenapa-kenapa ibu Imelda juga segera mengumpulkan anak buahnya untuk mengikuti Terryn sementara dia akan menyusul bersama Aluna.
Terryn mengendap-endap di sebuah rumah kosong di mana mobil itu di parkir. Gadis itu mencoba untuk lebih dekat dan mengintip dari celah dinding yang kayu yang mulai keropos. Dia melihat Deva sedang dalam posisi terikat di sebuah kursi. Mulutnya diberi lakban hitam dan tampaknya dia sudah dipukuli beberapa kali.
“Aku pernah bilang kan Deva Sayang, jika aku tidak bisa memilikimu maka perempuan lain pun tidak. Justru kau semakin menantangku dengan ingin menikahi wanita lain.”
Terryn mencoba memperjelas penglihatannya, dia yakin jika yang bicara barusan adalah seorang perempuan. Gadis itu mencari akal bagaimana caranya untuk menyelamatkan Deva dari gadis psikopat itu. Terryn mencoba mencari celah lain untuk melihat apa yang terjadi karena sudah tak ada lagi suara-suara. Bahu gadis itu seketika menegang tercium bau bensin yang menyengat dari dalam rumah kosong itu.
“Nikmati perjalananmu menuju neraka Tuan Deva Danuarta Sayang, jika kau masih bisa lolos dari maut saat ini aku pasti akan mengejarmu lagi sampai kau bertekuk lutut kepadaku … ha … ha …. ha ….!” Suara tawa gadis itu membahana, Terryn yakin jika dia pasti mengalami sakit jiwa hingga mencoba mencelakai Deva dengan cara sadis seperti ini.
Api mulai tersulut di sudut ruangan, asap mulai memenuhi ruangan tempat Deva disekap. Terryn memastikan jika perempuan itu sudah tidak ada lagi. Terryn menerobos masuk meski api sudah membesar, satu yang harus dipastikannya bahwa Deva harus selamat.
“Kak Deva, Kaak … bangun Kaak, sadarlah, kita harus keluar dari sini cepat.” Terryn membuka tali ikatan Deva dan plester yang menutup mulutnya. Api semakin membesar dan hanya keajaiban saja yang mampu menyelamatkan mereka berdua. Terryn berusaha mencari jalan agar dia bisa membawa Deva keluar meski harus bertaruh nyawa. Dirinya semakin terbatuk dengan hebat, tetapi dia belum mau menyerah. Gadis itu seperti mendapat kekuatan yang luar biasa untuk mendukung Deva di punggungnya dan membawa segera keluar dari kepungan asap dan hadangan api.
Terryn tertatih keluar dari ruangan yang sudah mulai habis terbakar dan masih membawa Deva di punggungnya. Mata dan dadanya terasa perih tetapi dia terus berjalan hingga beberapa meter di tempat yang aman. Diletakkannya Deva di rerumputan, napas Terryn sungguh kini tersisa satu-satu. Di saat yang sama ibu Imelda datang bersama Aluna, suara sirine ambulan terdengar. Terryn merasa lega bantuan sudah tiba. Ibu Imelda menangis histeris melihat putranya yang babak belur tak sadarkan diri dan Terryn yang terlihat lemah.
“Bu … Kak Deva … bawa Kak Deva dulu … Yin … Yin gak apa-apa.” Terryn pun terkulai lemas tak sadarkan diri di sisi Deva.
Ibu Asih mengusap-ngusap kepala putrinya yang sedang terbaring dengan bantuan selang oksigen di hidungnya. Terryn masih belum sadarkan diri karena asap kebakaran yang membuat paru-paru Terryn sedikit bermasalah. Ibu Imelda mendekat pada ibu Asih yang sudah menjaga Teryn, ini hari ketiga Terryn belum sadarkan diri.
“Asih, aku berhutang budi lagi pada putrimu yang pemberani ini. Dia sudah menyelamatkan hidup Deva untuk yang kedua kalinya. Aku meminta maaf jika Terryn harus sampai terbaring di sini Asih, dia sudah kuanggap putriku sendiri, aku menyayanginya.” Air mata ibu Imelda jatuh melihat Terryn yang tergolek lemah.
“Terryn hanya melakukan yang harus dia lakukan Kak, dia pasti tahu resikonya, dia tidak mungkin meninggalkan nak Deva di dalam sana celaka. Putriku pasti akan baik-baik saja.”
Ibu Asih menggenggam jemari ibu Imelda dengan erat. Air mata kedua ibu itu berlinangan.
“Bagaimana kondisi nak Deva sekarang Kak?”
“Deva juga belum sadarkan diri, tapi kalau saja Terryn tidak mengeluarkan Deva dari sana tepat waktu aku sudah tidak memilikinya lagi Asih.” Ibu Imelda terisak, entah bagaimana dia harus bersedih dan bersyukur dalam waktu yang bersamaan.
Sesaat kemudian Terryn bergerak, matanya mulai terbuka, dia sudah sadar dan meraih tangan ibunya.
“Ibu … Ibu ada di sini?” tanya Terryn dengan suara parau, tenggorokannya terasa perih dan dadanya masih terasa sakit.
“Iya Sayang, ibu Imelda menelpon Ibu dan menceritakan semuanya. Kamu anak yang pemberani Sayang.” ibu Asih membelai kepala Terryn dengan lembut.
“Kak Deva, kak Deva bagaimana Bu, apa kak Deva baik-baik saja?” Terryn kemudian teringat dengan kakak angkatnya itu atau lebih tepatnya tuan muda yang selalu bertingkah seperti majikan Terryn.
“Deva masih dirawat juga Sayang, Deva tidak apa-apa, dia baik-baik saja karena kamu Nak, terima kasih sudah menyelamatkan dia.” sambung ibu Imelda dengan cepat.
“Ibu gak tau lagi bagaimana cara ibu membalas hutang nyawa Deva sama kamu Terryn.” Ibu Imelda kembali menangis terisak.
“Tidak Bu, kak Deva tidak punya hutang apa-apa. Tapi kalau boleh Yin mau minta sesuatu,Bu.”
“Katakan Terryn, bilang sama Ibu, pasti Ibu akan penuhi apa yang kamu inginkan.”
“Tolong … tolong jangan kasih tau Kak Deva kalau ada Yin di saat kejadian. Jangan bilang ke kak Deva kalau Yin yang mengeluarkan kak Deva dari sana. Ibu janji?”
Ibu Imelda menatap sesaat pada ibu Asih dan kembali memandang ke arah Terryn yang masih terlihat kepayahan.
“Tapi kenapa Nak?” tanya ibu Imelda tidak mengerti.
“Kak Deva tidak suka jika urusan pribadinya dicampuri oleh orang lain. Aku tidak ingin kak Deva merasa berat karena sudah tertolong oleh Yin. Bilang saja kalau pemadam kebakaran yang menyelamatkannya. Katakan saja seperti itu.” Terryn kembali menarik napasnya yang berat, dia sangat kepayahan hanya untuk berkata seperti itu. Kondisinya memang masih lemah.
“Yin mau pulang dulu ke rumah Ibu di kampung untuk dua tiga hari, nanti Yin akan kembali lagi kalau kak Deva akan keluar dari Rumah Sakit.”
“Tidak bisa Yin, kamu tidak boleh meninggalkan Rumah Sakit, kamu juga masih lemah. Biarkan dokter yang merawat kamu sampai kamu pulih.” Ibu Asih menatap anaknya dengan khawatir.
“Ibu janji tidak akan menceritakan ini pada Deva tapi kamu harus tetap di rumah sakit ini Yin, jangan pergi kemana-mana. Deva tidak akan tahu kamu ada di sini kecuali Aluna karena dia juga yang merawatmu di sini.” Ibu Imelda menggenggam jemari Terryn dan meyakinkannya jika rahasia itu akan dijaga dengan baik.
Terryn mengangguk lemah, dia kembali menutup matanya, paru-paru Terryn mengalami sedikit infeksi akibat asap yang terhirup olehnya. Dia hanya benar-benar memikirkan keselamatan Deva ketimbang dirinya sendiri.
Apapun bisa terjadi jika Tuhan berkehendak. Dalam kasus Terryn bisa saja dia tidak akan bisa punya bayi yang lucu dan sehat, kegigihannya untuk menjalani program hamil hanya butuh waktu yang singkat. Semua adalah kebesaran Tuhan yang tidak akan pernah berhenti disyukuri Terryn. Hidup dengan paru-paru baru juga merupakan kemurahan Tuhan lainnya, bahkan Deva suaminya yang sudah siap menjadi pendonor di detik-detik terakhir digantikan oleh pendonor lain. Manusia memang berencana dan rencana Tuhan yang akan tetap berlaku dalam hidup manusia. Terryn sedang memilihkan baju untuk Sheira, usianya kini enam bulan. Artinya sudah setengah tahun juga operasi besar yang dijalani Terryn sudah berlalu. Walaupun harus meminum obat seumur hidupnya, Terryn bisa beraktifitas seperti biasa. Hanya saja Deva mengawasi Terryn dengan ketat a
Jantung Terryn berdegup kencang ketika mobil sudah terhenti tepat di halaman rumah, Deva membukakan pintu mobil untuknya dan membimbingnya keluar dari mobil. Ibu Asih dan ibu Imelda sudah menyambut kedatangannya dengan penuh sukacita. Dalam gendongan ibu Asih tampak bayi Sheira yang menatap ke arahnya. Mata Terryn berkaca-kaca ketika tangan Sheira bergerak-gerak seakan ingin menggapainya. “Hey … Baby Sheira, Mama kangen banget Sayang….” Terryn mengambil tangan mungil itu dan mengecupnya, apalah daya Terryn belum bisa menggendong Sheira karena bekas operasi di dadanya itu. “Selamat datang kembali, Nak.” sambut ibu Asih sambil membelai kepala Terryn lembut. Bergantian dengan Ibu Asih kini Ibu Imelda yang hati-hati memeluknya dan mencium dahi Terryn lembut. Deva masih sibuk membawakan barang-barang Terryn dan memasukkannya ke kamar mereka. Matanya hanya mampu membaca betapa bahagianya kedua ibunya menyambut kepulangan Terryn dan betapa berbahagianya pula Terryn melihat putrinya. “Y
Terryn tertawa kecil mendengar lelucon Ashiqa sahabatnya, setelah melahirkan Sheira Terryn baru sekali saja melihatnya. Selebihnya Sheira dirawat di ruang khusus anak dan dirinya pun terkulai tak berdaya di kamar ini.“Jika jodoh mereka tak akan kemana.” Terryn menyunggingkan senyumnya.“Oh yaa Yin, aku dengar dari ibu Asih kalau kak Deva nyaris saja jadi pendonor paru untukmu, gak nyangka banget kalau perjuangan cinta kak Deva memang benar-benar total sama kamu. Untungnya kakak ipar kamu, mba Aluna menemukan donor yang tepat lebih cepat hingga dia meyakinkan adiknya kalau dia tidak perlu jadi donor.” Ashiqa memandang wajah Terryn yang tiba-tiba menegang. Tentunya Terryn tidak pernah tahu tentang rencana suaminya untuk menjadi pendonor baginya.
“Sudah berapa lama Deva tertidur, Bu?” Deva kembali memungut botol minuman yang terlepas dari tangannya. Dengan kegusaran dia menghela nafas berharap mimpinya tadi bukan pertanda buruk.“Sekitar hampir sejam, kau pastinya kelelahan, Nak. Tentang Terryn jangan khawatir, Aluna dan rekan dokter lainnya sedang mengusahakan yang terbaik untuk istrimu.” Ibu Imelda mengusap bahu anaknya dengan lembut. Deva mengangguk perlahan, dengan kekuatan yang tersisa di dalam dirinya dia berusaha untuk tetap tenang.Tak lama kemudian Aluna muncul dan Deva berdiri untuk menyambutnya serta bersiap mendengarkan apa kata kakak perempuannya itu.“Kak ….” Deva hanya mampu menyapanya pendek tak mampu untuk menanyakan lebih lanjut kondisi Te
Deva bergegas menyusuri lorong rumah sakit, jantungnya berdegup tidak karuan. Selain memikirkan operasi Terryn tentunya dia juga gugup dengan operasinya sendiri yang dimajukan lebih cepat dari jadwalnya. Willy tetap berusaha menenangkan Deva yang jelas terlihat cemas.Di ujung selasar matanya menangkap sosok perempuan yang sangat dikenalinya, Aluna. Kakak perempuan Deva itu merentangkan tangannya, jauh-jauh dia terbang dari San Fransisco untuk mendampingi adik dan adik iparnya yang tengah dalam masa sulit. Aluna memeluk erat Deva sambil terisak, dia tidak menyangka jika adik ipar kesayangannya itu akan terbaring dengan kondisi yang memprihatinkan.Aluna berbisik-bisik mengatakan sesuatu pada Deva yang membuatnya tersentak dan melepas pelukan Aluna sambil memandang heran.
Wanita itu tak pernah menduga jika suatu saat nanti putranya adalah seorang laki-laki luar biasa yang melakukan pengorbanan untuk perempuan yang dicintai oleh anaknya. Tidak ada pilihan terbaik selain menyerahkan keputusan kepada Deva sendiri untuk menjadi donor paru bagi Terryn. Ibu Imelda hanya sanggup memeluk putranya itu dan merapalkan doa-doa serta harapan terbaik untuk anak dan menantunya.Senyum Terryn mengembang ketika melihat Deva masuk ke kamarnya, tangannya terulur untuk memegang tangan Deva. Wajahnya pucat dengan bibir yang keunguan, terdengar berat di setiap tarikan nafasnya meski sudah dibantu dengan tabung oksigen.“Bagaimana kondisi anak kita, Kak? Apa dia baik-baik saja?” tanya Terryn dengan suaranya yang parau nyaris seperti tercekik.