Setelah pembicaraan yang tak membuahkan hasil, Aira kembali terlebih dahulu. Ia mengatakan ada urusan lain. Namun, Nindi jelas mengerti Aira sakit hati dengan apa yang dikatakan Saga tadi. Nindi masih berada di ruangan, menatap anak laki-lakinya yang tengah membaca beberapa laporan.
"Kamu kok judes gitu sih?""Ya, terus aku harus gimana, Mi?" tanya Saga tanpa mengalihkan perhatian dan tetap fokus pada laporan di hadapannya."Apa salahnya sih kamu bikin Aira buat bantu kamu? Bisa aja kamu minta Aira memberi warna baru untuk resort itu."Saga masih membuka lembar demi lembar laporan, membiarkan sang mami mengoceh sejak tadi. "Hm, niat Mami sebenarnya apa?"Nindi kemudian berjalan mendekat, ia duduk di kursi yang berada di seberang meja Saga, keduanya kini duduk berhadapan. "Mami mau jodohin kamu sama Aira."Saga melirik Nindi, lalu berdecak kesal. "Ngapain sih, Mi? Dia itu bukan tipe aku.""Tipe kamu siapa? Lauren? Vinny? Sarah? Mereka itu udah ketahuan enggak bener, suka dugem, kelakuan mereka itu udah jadi rahasia umum. Mami mau kamu menikahi perempuan baik-baik. Dari semua anak pengusaha yang dekat dengan Candramawa, yang memenuhi kriteria itu hanya Aira." Nindi menjelaskan panjang dan lebar.Saga sebenarnya malas sekali ketika membahas masalah seperti ini, apalagi tentang perjodohan. Ia merasa kegiatannya bisa terganggu karena hal yang diinginkan sang ibu. Menurutnya, ini bukan zamannya lagi dijodohkan, semua orang berhak menentukan jodoh mereka sendiri."Mami enggak bisa judge orang kalau enggak kenal sama mereka. Vinny, Lauren, mereka cantik dan baik. Mami belum kenal aja sama keduanya," sergah Saga lagi"Dengan Mami bicara begitu, Mami jelas udah menuduh tanpa mengenal Vinny dan Lauren."Nindi menghela napas, kesal juga jika ia harus adu mulut dengan Saga. Sejak dulu Saga keras kepala, adu mulut tak akan membuahkan hasil yang menyenangkan selain rasa kesal dan emosi yang memuncak. Maka Nindi kini memilih diam, menatap putra semata wayangnya yang sibuk dengan pikirannya sendiri."Terserah kamu mau pacaran sama siapa, tapi kami harus menikah dengan Aira. Karena Mami ada rencana kerja sama dengan perusahaan ayahnya Aira."Saga melirik sambil membuka laporan miliknya. "Kalau Mami ada kerja sama dengan perusahaan lain, nanti Saga cerai sama Aira terus nikah lagi sama anak dari pemilik perusahaan lain, begitu?""Ga, bisa enggak sih kamu jangan bikin Mami kesel?"Saga terkekeh melihat Nindi yang sudah naik pitam. "Saga cuma tanya, Mi. Kenapa Mami marah sih?""Kamu itu bener-bener, ya, buat Mami sebel terus. Lagian oma juga udah setuju banget sama Aira. Lusa, Mami undang keluarga Aira makan malam dan kamu harus persiapkan diri.""Hm, Mami atur aja." Saga menyerah, keduanya sama-sama keras kepala dan Saga mulai jengah dengan desakan sang mami.Sementara Saga dan ibunya bertengkar di dalam ruangan, Reres merebahkan kepala di meja kerja Haris yang tepat berada di sampingnya. Haris sesekali melirik sambil membuat jadwal kerja yang sempat kacau karena liburan dadakan yang dilakukan sang atasan."Res, kamu sakit?" Haris bertanya membuat Reres menoleh."Aku ngantuk, Mas," jawab Reres yang kini menatap Haris masih sambil merebahkan kepala ke lipatan tangannya."Kemarin di Bali kecapekan? Kurang tidur?" tanya Haris yang jelas terlihat cemas hingga membuat kedua sudut alisnya bertaut.Reres mengangguk. "Capek, kurang tidur juga. Nano-nano, Mas."Haris menghentikan kegiatannya, memutar kursi dan kini menatap Reres, lalu sentuh kening gadis itu. "Demam kamu. Emang kemarin di sana Pak Saga ngapain?"Reres terdiam sejenak, ia tak mungkin mengatakan apa yang Saga dan dirinya lakukan saat mereka sedang berada di Bali. "Ya, begitu. Dengan kegiatannya. Hehehe.""Dia sibuk sama perempuan?" Pria itu bertanya dengan setengah berbisik, takut jika sang atasan tiba-tiba keluar dari ruangan.Tentu saja jawabannya adalah 'iya' dan perempuan itu tidak lain dan tidak bukan adalah dirinya sendiri. Lalu bagaimana ia harus menjawab pertanyaan-pertanyaan Haris yang bisa saja membuat apa ia lakukan dengan Saga terbongkar akibat dirinya yang sering menjawab sembarangan."Mas, aku tidur lima menit, ya?" pinta Reres, coba alihkan pembicaraan."Iya, tidur aja kamu," jawab Haris sambil menatap dan tersenyum. Ia iba karena Reres yang terlihat begitu kelelahan.Selama ini Haris banyak beri perhatian pada Reres. Sayangnya Reres tak mengerti jika pria itu menaruh hati. Gadis tambun itu kekeh pada pikirannya bahwa ia tak sempurna, tubuhnya gemuk, dan ia tak cantik. Karena semua hal itu, tak ada yang menyukainya. Namun, Reres salah. Ada seseorang yang diam-diam jatuh hati tanpa ia sadari."Mas Haris?" Reres kemudian berjalan mendekat. "Katanya mau ke sini kemarin?""Masih ada beberapa yang harus diurus. Kamu tahu kan kalau semua itu nggak segampang itu." Haris berujar menjawab pertanyaan yang diberikan oleh Reres.Kemudian reres mengajak Haris untuk berjalan-jalan di depan rumah. Lokasi yang dipilih Reres memang cukup asri. Keluar dari rumah itu langsung dihadapkan dengan sawah dan juga bangunan-bangunan rumah yang masih terkesan begitu tradisional. Nuansa etik begitu kental, namun di bagian belakang rumah yang menjadi toko brownies, memiliki penampilan yang lebih modern. Itulah alasan mengapa Reres memilih tinggal di lokasi itu.Keduanya berjalan keluar bersama si kembar. Haris mendorong stroller yang digunakan oleh Uca dan Una. Kebetulan juga keduanya begitu senang ketika diajak berjalan keluar rumah. Sejak tadi keduanya juga terlihat senang berinteraksi dengan Haris. Mereka sampai di sebuah taman, biasanya Reres memang suka duduk di sana bersama Brian menikmati sor
Reres dan juga Saga kini berada di dalam bioskop. Sengaja Reres memesan film horor karena tau Saga pasti akan merasa ketakutan. Saga sejak tadi sudah hela napasnya berkali-kali, padahal lampu dalam ruangan saja belum dimatikan. Reres melirik dan tersenyum jahil."Takut pasti kamu kan?" tanya Reres."Jangan aneh-aneh kamu, mana ada aku takut nonton ginian doang." Saga protes karena tak mau merasa diremehkan. "Kamu tuh enggak ada apa-apanya sama Mas Ha--" Ucapan reres terputus, belum sempat ia selesai mengatakan nama Haris, Saga udah membungkam bibir wanita itu dengan bibirnya. Saga menatap dengan serius, lalu menghapus bibir Reres yang basah karena ulahnya."Setiap kamu sebut nama Haris aku cium kamu." Saga mengancam. Lalu dengan cepat Reres menutup bibirnya dengan tangan sambil terus menyebutkan nama Haris. "Saga kalah sama Mas Haris, Saga cemen," ledek Reres sambil terus menutup mulutnya. Saga jadi kesal karena dia jelas tak bisa melwan dalam situasi seperti ini. Saga masih menat
Reres mendadak jadi pusing sekali karena kelakuan nenen Ayu dan Aira tadi. Bahkan Aira mengatakan akan membiarkan Reres kembali setelah memberikan salah satu buah hatinya dan jelas Reres tak akan melakukan itu. Baginya si kembar adalah hal yang paling ia sayangi melebihi dari dirinya sendiri. Dan tentu saja Reres tak akan memberikannya. Ia merebahkan diri dan merencanakan sesuatu. Harus bisa keluar dari rumah ini apapun caranya. Saat itu ponselnya berdering. Reres segera menerimanya. "Halo, Mbak Lauren?""Hai, Res, nomor kamu akhirnya aktif ya? Long time no see. Ketemuan yuk, mau lihat anaknya Saga aku. Saga bilang anaknya cantik-cantik. Mumpung lagi di Indo aku.""Loh memang Mbak Lauren di mana sekarang?""Sekarang di Indo, aku harus balik ke Singapore. Ikut kerja suami. BTW, apa kabar?""Sehat Mbak, Kamu gimana mbak?""Sehat juga, makanya mau ketemu sama kamu. Siapa tau ketularan terus aku punya baby juga. Gimana? Aku jemput deh.""Boleh Mbak,tapi aku ngajak temen ya, karena engg
Reres tengah menyuapi si kembar saat pagi ini Saga melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar gadis itu. Reres menatap tanpa senyum, sementara Saga berusaha tersenyum dan melupakan kekesalannya kemarin. Ia berjalam mendkeat lalu duduk di samping Rere. Yang ia lakukan adalah segera menyapa kedua putri kecilnya. Dan mencoba menyuapi Una sementara Uca dibiarkan makan sendiri karena lebih siap untuk metode itu. "Uca memang makan sendiri ya Love?" tanya Saga.Reres anggukan kepala, "Udah lebih siap dan lebih lahap kalau makan sendiri." Reres menjawab seraya memerhatikan Saga yang menyuapi Una. Keduanya benar-benar mirip dan memang acap kali menatap Una reres selalu teringat Saga. Bahkan sama-sama sulit tersenyum. Saga menoleh menatap Reres yang tak mengalihkan tatapannya. Saga mengusap wajah Reres, "Capek ya kamu?"Reres gelengkan kepala, lalu kembali menatap pada Uca. Saga tau Reres masih marah dan ia akan terima itu karena memang ia sudah memutuskan akan membatasi ruang temu Reres dan H
Reres berada di kamar bersama Brian, setelah tadi adu diam bersama Saga. Saga ada di kamar, tapi ia hanay sibuk dengan si kembar. Bermain bersama kedua buah hatinya itu. Saga memilih untuk mengacuhkan Reres. Karena merasa kesal, Reres memilih untuk keluar bersama dengan Haris. Keduanya sama -sama keras kepala, batu dan bat yang saking diadu kemudian akan hancur. Dan Reres sadar sekali hal itu, mereka terlalu keras kepala dengan keinginan masing-masing dan pada akhirnya akan menyakiti satu sama lain. Brian mengerti itu, melihat Reres selama ini sudah keras kepala sekali, kemudian ia bertemu dengan Saga yang ternyata sama saja. Meskipun ia menyayangi Reres dan bahkan sudah bersama Reres sejak lama sekali. Saga tetap tak bisa menekan rasa egoisnya. Intinya keduanya sama saja. Sama-sama keras dan buat orang -orang yang ada di sekitar mereka jadi pusing sendiri. "Gue capek di sini, sama semua tekanan yang Saga kasih Bri," ucap Reres.'Terus lo mau gimana?""Kita pindah, gue ada rencana s
Saga baru saja kembali dari rumah sakit. Yang menjadi tujuan utamanya adalah Reres dan si kembar. Dokter mengatakan kalau kondisinya sudah lebih baik. Dan dikatakan juga kalau ia sudah bisa melakukan rutinitas seperti biasanya. Hanya saja, masih belum bisa mengangkat benda-benda berat. Kehadiran wanita yang ia cintai dan juga kedua buah hatinya agaknya menjadi salah satu penyembuh bagi Saga.Si pucat melanggarkan kakinya masuk ke dalam rumah bersama Aira. Sementara akhirnya memilih berjalan menuju kamar karena ingin beristirahat pria itu memilih untuk segera menghampiri Reres dan juga kedua putrinya. Saga kemudian melangkahkan kakinya menuju kamar Reres. Ia cukup terkejut, hanya menemukan Brian yang kini tengah merebahkan tubuhnya sambil membaca artikel dari ponsel. Saga kemudian berjalan mendekat dan duduk di samping Brian. "Reres sama si kembar?" Pria itu bertanya pada Brian."Tadi pergi sama Haris, mau ke rumahnya Haris ketemu sama ibunya." Brian menjawab dengan cuek. Ia tak terla