Share

Dijodohkan

Setelah pembicaraan yang tak membuahkan hasil, Aira kembali terlebih dahulu. Ia mengatakan ada urusan lain. Namun, Nindi jelas mengerti Aira sakit hati dengan apa yang dikatakan Saga tadi. Nindi masih berada di ruangan, menatap anak laki-lakinya yang tengah membaca beberapa laporan.

"Kamu kok judes gitu sih?"

"Ya, terus aku harus gimana, Mi?" tanya Saga tanpa mengalihkan perhatian dan tetap fokus pada laporan di hadapannya.

"Apa salahnya sih kamu bikin Aira buat bantu kamu? Bisa aja kamu minta Aira memberi warna baru untuk resort itu."

Saga masih membuka lembar demi lembar laporan, membiarkan sang mami mengoceh sejak tadi. "Hm, niat Mami sebenarnya apa?"

Nindi kemudian berjalan mendekat, ia duduk di kursi yang berada di seberang meja Saga, keduanya kini duduk berhadapan. "Mami mau jodohin kamu sama Aira."

Saga melirik Nindi, lalu berdecak kesal. "Ngapain sih, Mi? Dia itu bukan tipe aku."

"Tipe kamu siapa? Lauren? Vinny? Sarah? Mereka itu udah ketahuan enggak bener, suka dugem, kelakuan mereka itu udah jadi rahasia umum. Mami mau kamu menikahi perempuan baik-baik. Dari semua anak pengusaha yang dekat dengan Candramawa, yang memenuhi kriteria itu hanya Aira." Nindi menjelaskan panjang dan lebar.

Saga sebenarnya malas sekali ketika membahas masalah seperti ini, apalagi tentang perjodohan. Ia merasa kegiatannya bisa terganggu karena hal yang diinginkan sang ibu. Menurutnya, ini bukan zamannya lagi dijodohkan, semua orang berhak menentukan jodoh mereka sendiri.

"Mami enggak bisa judge orang kalau enggak kenal sama mereka. Vinny, Lauren, mereka cantik dan baik. Mami belum kenal aja sama keduanya," sergah Saga lagi

"Dengan Mami bicara begitu, Mami jelas udah menuduh tanpa mengenal Vinny dan Lauren."

Nindi menghela napas, kesal juga jika ia harus adu mulut dengan Saga. Sejak dulu Saga keras kepala, adu mulut tak akan membuahkan hasil yang menyenangkan selain rasa kesal dan emosi yang memuncak. Maka Nindi kini memilih diam, menatap putra semata wayangnya yang sibuk dengan pikirannya sendiri.

"Terserah kamu mau pacaran sama siapa, tapi kami harus menikah dengan Aira. Karena Mami ada rencana kerja sama dengan perusahaan ayahnya Aira."

Saga melirik sambil membuka laporan miliknya. "Kalau Mami ada kerja sama dengan perusahaan lain, nanti Saga cerai sama Aira terus nikah lagi sama anak dari pemilik perusahaan lain, begitu?"

"Ga, bisa enggak sih kamu jangan bikin Mami kesel?"

Saga terkekeh melihat Nindi yang sudah naik pitam. "Saga cuma tanya, Mi. Kenapa Mami marah sih?"

"Kamu itu bener-bener, ya, buat Mami sebel terus. Lagian oma juga udah setuju banget sama Aira. Lusa, Mami undang keluarga Aira makan malam dan kamu harus persiapkan diri."

"Hm, Mami atur aja." Saga menyerah, keduanya sama-sama keras kepala dan Saga mulai jengah dengan desakan sang mami.

Sementara Saga dan ibunya bertengkar di dalam ruangan, Reres merebahkan kepala di meja kerja Haris yang tepat berada di sampingnya. Haris sesekali melirik sambil membuat jadwal kerja yang sempat kacau karena liburan dadakan yang dilakukan sang atasan.

"Res, kamu sakit?" Haris bertanya membuat Reres menoleh.

"Aku ngantuk, Mas," jawab Reres yang kini menatap Haris masih sambil merebahkan kepala ke lipatan tangannya.

"Kemarin di Bali kecapekan? Kurang tidur?" tanya Haris yang jelas terlihat cemas hingga membuat kedua sudut alisnya bertaut.

Reres mengangguk. "Capek, kurang tidur juga. Nano-nano, Mas."

Haris menghentikan kegiatannya, memutar kursi dan kini menatap Reres, lalu sentuh kening gadis itu. "Demam kamu. Emang kemarin di sana Pak Saga ngapain?"

Reres terdiam sejenak, ia tak mungkin mengatakan apa yang Saga dan dirinya lakukan saat mereka sedang berada di Bali. "Ya, begitu. Dengan kegiatannya. Hehehe."

"Dia sibuk sama perempuan?" Pria itu bertanya dengan setengah berbisik, takut jika sang atasan tiba-tiba keluar dari ruangan.

Tentu saja jawabannya adalah 'iya' dan perempuan itu tidak lain dan tidak bukan adalah dirinya sendiri. Lalu bagaimana ia harus menjawab pertanyaan-pertanyaan Haris yang bisa saja membuat apa ia lakukan dengan Saga terbongkar akibat dirinya yang sering menjawab sembarangan.

"Mas, aku tidur lima menit, ya?" pinta Reres, coba alihkan pembicaraan.

"Iya, tidur aja kamu," jawab Haris sambil menatap dan tersenyum. Ia iba karena Reres yang terlihat begitu kelelahan.

Selama ini Haris banyak beri perhatian pada Reres. Sayangnya Reres tak mengerti jika pria itu menaruh hati. Gadis tambun itu kekeh pada pikirannya bahwa ia tak sempurna, tubuhnya gemuk, dan ia tak cantik. Karena semua hal itu, tak ada yang menyukainya. Namun, Reres salah. Ada seseorang yang diam-diam jatuh hati tanpa ia sadari.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status