Share

Kenangan Pahit bersama madu

Flash back on

"Aku sudah menikahi Gita. Kami menikah siri. Kamu memang istri sah. Tapi bukan berarti posisi mu lebih tinggi dari dia. Gita adalah ratu di rumah ini dan ratu di hatiku. Sedangkan kamu. Istri hanya sebatas status demi apa yang kita inginkan. Jadi jangan pernah membantah perkataannya."

Sarah terdiam. Menatap Andra sejenak. Tidak ada rasa bersalah di sorot matanya. Gita juga begitu. Wanita itu tersenyum seakan dirinya adalah pemenang.

"Satu lagi, Rahasiakan ini dari semua orang terutama kedua orangtuaku." Andra berkata sambil menatap Gita dengan mesra. Terlihat mereka saling mencintai.

Sarah menganggukkan kepalanya sambil menahan gemuruh di dadanya. Dia tidak boleh menangis di hadapan pengantin baru itu. Akan terlihat konyol nantinya. Sangat jelas mereka menikah karena di jodohkan. Berbeda dengan Andra dan Gita yang saling mencintai.

Sakit hati. Tentu saja Sarah sakit hati dengan sikap suami dan madunya itu. Meskipun dirinya hanya istri diatas status tidak seharusnya mereka mengotori mata dan pendengarannya yang masih polos. Hampir setiap malam, Sarah menahan rasa sakit hati mendengar erangan nikmat dari dua sejoli itu.

"Bisakah kalian berdua bersikap sopan di rumah ini?" tanya Sarah suatu hari ketika tak sengaja melihat Andra dan Gita bermesraan di ruang tamu.

Andra dan Gita tidak memperdulikan perkataan Sarah. Mereka berdua tanpa canggung berciuman panas. Bukan hanya sekali, Andra dan Gita bermesraan di sembarang tempat di rumah itu.

"Rumah ini dan semua isinya adalah milikku. Aku bebas melakukan apapun. Kamu hanya benalu bagi rumah tanggaku dan mas Andra. Jika tidak suka, kamu boleh pergi."

Hati wanita mana yang tidak sakit diperlakukan oleh wanita lain dan disaksikan oleh suami sendiri seperti itu.

Perkataan Gita itu menjadikan ruang lingkup Sarah di rumah itu hanya sebatas kamarnya dan dapur. Beruntung, kamarnya dilengkapi dengan kamar mandi sehingga dirinya bisa melakukan semua kegiatan hanya di kamarnya terkecuali jika dirinya hendak memakai dapur untuk memasak.

Tak jarang, Sarah harus menunggu Andra dan Gita masuk ke dalam kamar, baru dirinya berani keluar dari kamarnya. Perlakuan Andra dan Gita terkadang membuat Sarah takut berpapasan dengan suami dan madunya itu. Karena setiap berpapasan ada ada saja kata kata yang keluar dari mulut suami dan madunya itu untuk menyakiti dirinya. Penganggu, setan, benalu, wanita tidak tahu malu dan banyak kata kata menyakitkan lainnya yang selalu keluar dari mulut Gita.

Andra juga seperti itu. Hanya kata wanita murahan yang kerap terdengar dari mulut Andra untuk Sarah. Tidak jarang juga Andra membandingkan Sarah dan Gita. Tentu saja, Gita dipuji setinggi langit sedangkan Sarah dihina seperti wanita yang menjijikkan.

"Mas, setelah anak ini lahir. Aku minta kamu menceraikan Sarah dan mendaftarkan pernikahan kita. Kalian boleh bercerai diam diam tanpa sepengetahuan kedua orang tua mu mas. Teruskan saja pengobatan ayahnya Sarah supaya kedua orang tua mu tidak curiga."

"Ide mu sangat cemerlang sayang. Aku juga sudah muak melihat wanita itu di rumah ini. Sebagai hadiah akan kelahiran putri kita. Aku setuju dengan usul kamu itu. Tapi kamu sabar ya sayang. Aku akan mengurus perceraian kami tiga bulan lagi."

"Kenapa harus menunggu tiga bulan lagi mas?"

"Karena perkiraan dokter. Ayahnya Sarah butuh waktu tiga bulan ini untuk mengembalikan kesehatannya."

"Lama mas. Kenapa sih pria tua itu tidak mati saja. Kalau dia sudah mati. Aku sangat yakin Sarah juga pasti otomatis akan mundur dari pernikahan kalian."

Flash back off

Doa yang diharapkan Gita akan kematian pak Burhan berbalik kepada dirinya. Kini wanita itu yang menghadap Yang Maha Kuasa terlebih dahulu dibandingkan pak Burhan yang hidup karena bantuan alat alat medis.

Mengingat semua sikap suami dan madunya. Ingin rasanya Sarah secepatnya pergi dari rumah itu. Ingin membalas semua perbuatan Andra dan Gita tapi Sarah takut. Sarah takut kehilangan sang ayah. Dan demi kesembuhan pak Burhan. Biarlah dirinya menahan luka. Toh, tinggal tiga bulan lagi.

Tidak ada yang berubah akan keadaan Sarah di rumah itu semenjak kepergian Gita. Ruang lingkupnya masih saja di kamarnya. Dia masih tetap keluar dari kamar jika memastikan Andra tidak di rumah.

Ketukan di pintu kamar membuyarkan lamunan Sarah akan kenangan pahitnya selama Gita masih hidup.

"Non Sarah, ini aku bibi Inah."

"Iya Bu, sebentar."

Sarah menjawab dari dalam kamar. Di rumah itu hanya bibi Inah yang menganggap dirinya ada. Itulah sebabnya Sarah juga menghargai wanita tua itu dengan panggilan ibu.

"Ada apa Bu?" tanya Sarah begitu pintu kamar terbuka.

"Dipanggil pak Andra, non. Di tunggu di ruang kerjanya."

"Bu, ruang kerjanya dimana?"

"Di lantai atas non. Di sebelah kamar pak Andra."

Sarah menggaruk kepalanya. Lebih kurang sembilan bulan di rumah itu. Jangankan lantai atas. Menginjakkan kaki di tangga saja tidak pernah. Demi pengobatan sang ayah. Sarah memang benar benar menurut akan perkataan Gita semasa hidupnya.

Sarah masih mematung di depan pintu kamarnya. Dia merasa takut untuk menemui Andra. Sarah takut jika nantinya Andra kembali menyakiti dirinya seperti hari hari sebelumnya. Dulu pernah dia disuruh menghadap seperti saat ini. Hasilnya, dia dituduh melakukan hal yang tidak pernah dia lakukan sama sekali. Saat itu, Andra tidak hanya menyakiti dirinya dengan kata kata hina tapi juga menyakiti fisiknya. Sarah diseret dari dapur hingga ke kamarnya dan dihempaskan dengan kasar ke atas ranjang.

Sarah menebak dalam hati. Dirinya disuruh menghadap saat ini pasti berkaitan dengan penolakannya tiga hari yang lalu. Saat itu, mungkin saja Andra menahan diri untuk tidak menyakiti fisiknya karena mereka sedang di kamar bayi.

"Sarah, naik ke atas."

Baru saja Sarah hendak masuk kembali ke kamarnya. Dari bangku tangga teratas, Andra memanggil dirinya dengan keras.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status