~Dari awal kita memang musuh~
.....Lynelle melangkahkan kakinya memasuki gedung fakultas kedokteran. Namun pagi ini sedikit ada yang berbeda, entah mengapa koridor fakultasnya terasa begitu penuh dengan obrolan."Sial, hey Lyn! Apa kau mendengar sesuatu tentang Nola?" tarik Rose tiba-tiba.Merasa bingung, Lynelle menggelengkan kepalanya."Tidak, memangnya kenapa? ""Oh My, kau benar-benar parah girl. Kau tahu, Nola baru saja dilarikan ke rumah sakit pagi ini, ia kedapatan tak sadarkan diri dengan kondisi babak belur tak jauh dari rumahmu. Kau sungguh tak tahu hal itu? " sembur Rose tak habis pikir. Ayolah kejadian itu bahkan tidak jauh dari rumahnya.Dengan sendirinya Lynelle membelalakan matanya, jadi semalam Nola.."Hey Lyn, Apa kau mendengarku? " tepuk Rose menyadarkannya."Ah yeah.. Ashton.. Fakultas teknik." Bisik Lynelle."Apa maksudmu? ""Dia yang melakukannya."Uhuk.."Benarkah? Kau tidak sedang bercanda bukan?""Hmm."Angguk Lynelle sembari mengeluarkan handphone-nya.Di goyangkannya handphone tersebut."Kau tak percaya? Aku mempunyai rekamannya, girl."Rose kehilangan kata-kata, dengan segera direbutnya handphone tersebut."Kau benar."Rose dan Lynelle saling berpandangan."Apa kita harus melaporkannya?" Rose terlihat ragu. Seakan menimang-nimang tindakannya."Tentu. Apa kau akan membiarkan hal ini terus terjadi?"Rose menggeleng pelan "Tentu tidak girl but c'mon, yang kita bicarakan sekarang ini Ashton. Aku benar-benar tidak ingin bermasalah dengannya.""Kau...! Mengapa kau sangat takut? Dia tidak akan membunuhmu, aku yang akan membunuhnya. Disini dia yang bersalah!"Rose nyaris tertawa mendengar kepercayaan diri Lynelle, ditatapnya Lynelle mencemooh."Kalau begitu lakukanlah sendiri, aku tidak ikut. Aku masih menyayangi nyawaku."Lynelle memutar bola matanya, bosan. "Katakan saja kau pengecut" cibirnya."Baiklah! Aku akan melaporkannya sendiri."Rose kembali menahan Lynelle."Kau tidak gila bukan?""Apa maksudmu? Apa aku terlihat gila dimatamu? Aku serius!"Rose mengusak rambutnya kasar, sungguh ia tak mengerti jalan pikiran Lynelle.....Disatu sisi Ashton kembali berdecak, Alex yang berada di sampingnya menatapnya bingung."Apa kau baik-baik saja?" tanyanya.Ashton terdiam, ia menoleh menatap Alex sesaat. "Sesuatu menganggu pikiranku, dude." ujarnya.Alex menaikan satu alisnya "C'mon Ashton, jangan katakan kau masih kepikiran dengan orang semalam. Rileks, aku yakin dia hanyalah orang yang kebetulan lewat.""Jam segitu, kau yakin?""Ya tentu!"Ashton kembali menatap Prof. Humbler yang berada didepan, pria botak itu terus menerangkan materi yang berada di slide.Ashton menyandarkan tubuhnya bosan. Teknik mesin tidak terlalu membutuhkan materi, prakteklah yang mendominasi.Setelah sejam penuh berkutat dengan mata kuliahnya, akhirnya kelas dibubarkan.Ashton melirik arlojinya. "Hmm pukul 09:47 PM."Segera ia mengepak buku yang ia gunakan untuk menggambar selama materi berlangsung."Apa kau akan langsung pulang?" cegat Alex.Ashton menggeleng. "Tidak. Tuan Ferland sudah menelfonku puluhan kali, aku yakin pasti ada sesuatu.""Apa? Tuan Ferland memanggilmu? Itu pasti sesuatu yang penting."Ashton mengedikan bahunya. "Yeah and sampai jumpa!"Begitu kakinya menapaki parkiran, ia dikejutkan dengan kehadiran Lynelle disamping motornya."Apa yang kau lakukan disini?" tanyanya tak bersahabat.Seakan tersadar Lynelle berbalik, menatap Ashton mencemooh."Kau terlihat tenang b*stard, seakan tidak ada masalah." ujar Lynelle ambigu.Ashton menyerngit. Sembari mengambil helmnya, ia menatap Lynelle menyelidik."Apa maksudmu?""Menurutmu? Sungguh bagus aktingmu, good job for you!"Ashton mulai termakan emosi menatap wanita dihadapannya."Jangan membuatku menonjokmu lagi!""Jadi kau berniat menonjokku, br*ngsek?" Lynelle melayangkan pertanyaan kembali. Sudah jelas ia memancing Ashton."Cepatlah katakan apa tujuanmu, aku tak punya waktu." geram Ashton. Ia sangat jengah sekarang.Lynelle mendekatinya lalu menggoyakan handphone miliknya tepat di depan wajah Ashton.Ashton tak bertanya, ia hanya menatap Lynelle dingin. Menunggu tindakan wanita itu selanjutnya."Nola.."DEG"Siapa yang kau katakan?" Obsidian Ashton berkilat.Belum sempat Lynelle menghindar, Ashton telah terlebih dahulu merebut handphone-nya."Jadi semalam, itu kamu benar?""Sh*t! Apa yang kau lakukan brengsek? Kembalikan handphone-ku!"Bukannya mengembalikan handhpone milik Lynelle, Ashton malah mencekram tangan Lynelle yang hendak menggapainya."Kau memilih musuh yang salah, nona."Dalam sekejam handphone milik Lynelle terpental begitu saja."SH*T!" maki Lynelle. Hazelnya seketika membelalak lebar.Tanpa kata ia hendak melayangkan pukulannya pada Ashton namun dengan secepat kilat Ashton membloknya."Kau ingin memukulku? Tck!""Lepaskan aku br*ngsek!"Ashton melepas Lynelle lalu menyeringai menatapnya. "Jadi itu kau? Aku sudah cukup pusing memikirkan siapa orangnya, ternyata hanya dirimu. Tck, sungguh menggelikan."Lynelle hendak kembali melayangkan pukulannya namun sama saja, pergerakannya mudah terbaca."Berhentilah atau kau yang akan terluka. Aku sama sekali tidak mengusikmu, tapi kau? Jangan katakan kau ingin minta pertanggung jawabanku lagi?" Ashton terkekeh meremehkan.Lynelle tak peduli, ia sibuk memunguti handphone -nya."BR*NGSEK! JIKA HANDPHONE-KU BENAR-BENAR RUSAK LIHAT SAJA. BERSIAPLAH AKU AKAN MEMBUNUHMU!" teriak Lynelle.Tanapa sadar Ashton tertawa renyah.Ekspresi Lynelle saat ini sungguh, ia terlihat seperti bocah yang kehilangan permainannya."AKU MENANTINYA, NONA!"Setelah mengatakan itu, Ashton langsung menaiki motornya. Mengendarai mesin beroda dua itu menuju suatu tempat meninggalkan Lynelle yang terus mengumpat...."Akhirnya kau datang!""Maaf Tuan, saya memiliki jadwal kuliah tadi.""Aku mengerti."Tuan Ferland membawa Ashton menuju ruangannya."Kau kenal orang ini?" ujarnya menyodorkan sebuah amplop berisi foto."Lynelle? Lynelle Ainsley, benar ?" tanya Ashton memastikan."Rupanya kau telah mengenalnya. Dia targetmu,baku membayarmu untuk itu. Habisi dia, salah satu Pewaris Ainsley Corp."Ashton terpaku. Dia memang bekerja untuk ini, jika kalian menyebutnya pembunuh bayaran? Ya itulah dia. Bukan hanya dia, teman-temannya pun begitu."Kau bisa bukan?"Ashton menyeringai sesaat."Tentu, sangat bisa. Tuan tahu? Beberapa saat yang lalu aku hampir ingin menghabisinya."Tuan Ferland menatap Ashton bingung."Ia merekam aksi pemukulan kami terhadap Nola." jelas Ashton menyadari arti tatapan tersebut."Benarkah? Dia sepertinya sangat menyebalkan. Sama seperti ayahnya.""Tenanglah. Anda tuan saya sekarang, saya akan melakukan apa yang anda perintahkan.""Segera!""Yeah, segera dan secepatnya..!"...~Dari awal takdir sudah menentang kita~...."Lyn, ada apa denganmu? Tatapanmu seakan ingin membunuhku." celetuk Rose."Ya. Aku sangat ingin membunuhmu!" balas Lynelle.Saat ini suasana hatinya sedang buruk ditambah lagi dengan Rose yang tiba-tiba datang memberitahukannya untuk mengumpulkan tugas Mr. Zerc minggu ini."Bukankah aku sudah bilang? kerjakan juga punyaku bodoh!" rutuk Lynelle.Rose menggaruk tengkuknya sambil cengengesan."Maaf, aku lupa. Lagian pula saat itu kau mengatakannya dengan suara ciuman pria disampingmu, bagaimana bisa aku menangkap ucapanmu dengan baik." bela Rose.Lynelle melirik Rose membunuh."Ahh, beruntunglah kau temanku!"Rose mengedikan bahunya, matanya memicing sesaat ketika melihat Jay berjalan menghampiri mereka."Priamu datang." komentarnya.Lynelle menoleh kearah pandangan Jay. Sh*t! Pria itu semakin menggoda saja, ada apa dengan pakaiannya hari ini? Sangat panas.Lynelle menjilat bibirnya seduktif saat Jay tiba dihadapannya.Tanpa banyak kata ia lan
~Kadang takdir sebercanda itu~.....Ashton berjalan pelan di lorong sebuah gedung tua sambil membopong Lynelle di punggungnya.Hentakan demi hentakan langkahnya menggelegar di seluruh gedung.Gedung tua nan kosong ini adalah bekas pabrik tekstil tak terpakai lagi akibat kebakaran beberapa tahun yang lalu.Sedikit berhat-hati Ashton meletakan tubuh Lynelle yang tak sadarkan diri di lantai mermar penuh debu tersebut. Dan dengan cekatan ia membuka tasnya, mengambil masker dan topi serta sarung tangan. Bagaimana pun ia harus berjaga dalam situasi ini, apapun bisa saja terjadi mungkin wanita itu akan tersadar. Saat ini keadaan darurat. Suatu kesempatan yang tidak ia duga dan rencanakan, sialnya ia tak membawa bius maupun suntik sianida dalam tasnya, jadi ia harus menyelesaikannya secepat mungkin. Ini adalah kesempatan satu-satunya.Setelah menggunakan perlengkapannya, pada akhirnya ia mengeluarkan sepaket peralatan dari kantong tasnya yang paling terakhir. Ia harus membedah dan membawa or
~Dari awal kita salah, ini permainan takdir~....Ashton menggeram pelan, sudah terhitung lebih dari beberapa kali ia berusaha membangunkan Lynelle namun hasilnya tetap sama. "Sebenarnya dia pingsan atau tertidur?" jengah Ashton.Saat ini mereka berada di depan apartemennya, dengan terpaksa ia harus membawa Lynelle kesini. Semula ia sempat menghubungi Ben untuk menanyakan alamat Lynelle namun sama saja, lelaki itu juga tak tahu dimana tepatnya alamat rumah Lynelle. Setelah memasukan password, pintu pun terbuka. Sambil membopong Lynelle, Ashton melangkah masuk kedalam apartemennya tersebut. Dihempasnya tubuh Lynelle diatas ranjang."Ahh sial!" umpatnya seraya merenggangkan otot tubuhnya. C'mon berat badan Lynelle bisa di katakan lumayan. Ashton beranjak merapikan apartemennya menyembunyikan beberapa alat berbahaya yang berserakan begitu saja, memasukan semuanya kedalam brankas miliknya. Helaan nafas panjang terdengar memenuhi ruangan, setelah semuanya selesai. Ia melirik Lynelle se
~ Permainan takdir kita sedikit kejam~.....Lynelle Pov...Awan mulai menggelap bertanda hujan musim dingin akan mengguyur kota Chicago yang padat. Aku masih bergelung di balik selimutku, padahal waktu setempat sudah menunjukan pukul tujuh sore. Sepulang dari rumah sakit, aku langsung ke rumah dan mengurung diri didalam kamar. Tok.. Tok.. "Lyn.. It's me, Lyvi."Suara pintu yang diketuk diikuti suara khas Lyvi membuatku beranjak sebentar. "Ada apa?" tanyaku bersandar pada pintu. "Semalam kau kemana? Dad pulang dan ia menanyakanmu." seru Lyvi sambil melenggang masuk, duduk di atas ranjangku. Aku mengikutinya lalu duduk di tepi ranjang "Aku menginap di rumah teman."Lyvi menaikan satu alasnya, menatapku tak percaya. "Teman yang mana? Dad bahkan menghubungi Rose."Aku memasang raut malas. Ayolah temanku bukan Rose seorang. "Please to the point.. Apa yang Dad katakan dan ingin kau sampaikan padaku?" jengahku. "Hmm.. Sepertinya Dad ingin kau memegang bisnisnya. Dad sempat murka saa
~ Kita bisa memilih, menantang takdir atau mengikutinya dan hancur bersama~Ashton Pov.... "Kau akan mati, j*lang! ""AKHHHH!! "PRANK.. Kaca mobil milik Lynelle dalam sekejap retak. Sayang tinjuanku melesat mengenainya. Aku tidak perduli dia wanita.Aku tertawa mengejek menatap telapak tanganku yang tergores. Jujur aku hendak melayangkan tanganku memukul Lynelle kala itu,namun beruntunglah dengan cepat ia menghindar. Lynelle merosot perlahan, meringkuk ketakutan di samping mobil. Hazelnya menatap obsidianku penuh akan kewaspadaan.Aku ikut merunduk, berjongkok dihadapannya. Aku mengamati Lynelle. sesaat dengan gigi bergemeletuk Kuangkat dagunya kasar dan memaksa hazelnya menatapku. Aku menyesal tidak membunuhnya malam itu.. Sungguh..! "Sejak kapan?" desisku menatapnya nyalang. "B-berapa hari yang lalu." suara Lynelle mengalun bergetar, hazelnya berkedip tak tenang mencoba menghindari tatapanku. Aku menatapnya tak percaya. Ini gila, tak masuk akal! Aku mendesah berbahaya, piki
~Dari awal takdir memang menargetkan kita, bahkan semesta membantunya~...Lynelle tahu ini akan terjadi cepat atau lambat namun ia tak sadari kalau akan secepat ini.Ia akui ini salahnya karena dengan bodohnya meletakan kertas pernyataan kehamilannya di meja belajar begitu saja. Seharusnya dia lebih berhati-hati. Mendengar suara Ayahnya yang sangat marah di seberang sana membuatnya berdetak ketakutan. Sepanjang perjalanan pikirannya penuh dengan kata-kata apa yang harus ia ucapkan ke Ayahnya.Tamparan tuan Ainsley menyambut Lynelle begitu wanita itu memasuki rumah. Dari sudut matanya, Lynelle bisa melihat surat pernyataan kehamilannya tergeletak diatas meja. Mengapa ia begitu ceroboh?"LYNELLE, BISA KAU JELASKAN INI?" Seru tuan Ainsley seraya melempar surat itu tepat didepan hazel Lynelle."Itu......"Lynelle hendak menjelaskan namun entahlah bibirnya mendadak kelu, ia tidak tahu harus memulai dari mana dan pada akhirnya ia hanya terdiam."Jadi apa yang dituliskan disitu benar adany
~Takdir kita lebih gila dari yang kita duga~...Seminggu telah berlalu dengan begitu cepat sama halnya dengan ujian akhir semester yang telah usai. Lynelle melangkah gontai keluar dari gedung, diikuti Rose disampingnya."Lyn, liburan kali ini apa yang kau rencanakan?" Rose mulai bertanya sambil sesekali melirik handphone-nya.Menanggapi hal tersebut, Lynelle bergumam tak acuh "Entahlah.""Apa kau punya masalah? Kau tampak kacau belakangan ini." Komentar Rose. Ia menyimpan handphone-nya sementara, memfokuskan pandangannya pada Lynelle yang terlihat berantakan."Aku baik-baik saja, mungkin ujian membuatku sedikit berantakan." kilah Lynelle.Rose memicingkan matanya tak percaya, namun sudahlah sepertinya Lynelle tidak ingin berbagi cerita. Baru beberapa langkah mereka menuju parkiran, sesuatu yang sedikit aneh menyambut Rose. Ayolah, siapa tak aneh melihat Ashton berada di fakultasnya, seperti menunggu seseorang.. tapi siapa?"Kau sudah tiba? Cepat sekali." Lynelle berujar menghampiri A
~Perlahan Leopard menerkam mangsanya~... "Apa kau yakin dengan keputusanmu?"Kedua obsidian-nya memandang redup hamparan salju di luar. Sesekali jemari panjangnya mengguncang minuman beralkohol itu menciptakan sebuah bunyi dan gumpalan yang melonjak"Ashton... Aku sedang bicara denganmu." Ben begitu jengah, melihat sahabatnya mulai hanyut dalam dunianya sendiri. Ia tahu Ashton tengah berfantasi mengerikan tentang anak itu. Saat ini mereka sedang berada di bar milik pamannya. Sedangkan waktu sendiri telah menunjukan pukul sembilan malam lebih."Aku akan menikmatinya.""Tck! Hei, berhentilah bersikap seperti pria psikopat!"Ashton terkekeh mendengarnya, dalam sekali gerakan ia memutar tubuh dan memandang lekat pria bernama Ben di hadapannya."Singa telah menerkam mangsanya, sangat menarik bukan?" desisan itu membuat dirinya terperangah, entahlah ia merasa Ashton tak hanya sekedar mengoceh. Terlebih tatapan obsidiannya terlalu rumit untuk ditafsirkan. Samar-samar Ben mencium niat terse