Share

Bab 4. Penindasan Nyata

Edeline tidak bisa menyembunyikan rasa curiga ketika sudah jauh tenggelam di unit IGD. Hal itu bukan karena peralatan canggih ataupun situasi menegangkan di sana.

IGD merupakan trauma center utama dari setiap rumah sakit. Situasi sibuk dari setiap tenaga medis yang memberikan pertolongan pertama kepada pasien yang memenuhi ruangan itu tidak menjadi keluhan bagi Edeline.

Edeline malah menyambut hangat. Dokter cantik itu bertindak sigap kepada setiap pasien yang datang. Hanya saja, ke mana semua perginya dokter yang bertugas di unit IGD?

Sejak tadi, hanya Edeline sendiri yang menyambut dan memberikan pengobatan kepada setiap pasien yang datang. Dia hanya dibantu oleh perawat-perawat yang bertugas di sana.

Dan benar yang Elvis katakan. Unit IGD begitu sibuk sehingga untuk bernapas tenang pun Edeline tidak bisa. Bahkan dokter cantik itu telah melewatkan jam makan siang dan tidak bisa sekadar beristirahat sejenak.

Edeline tidak akan mengeluh. Sudah menjadi tugasnya menolong dan memberikan pengobatan kepada setiap pasien yang datang. Tetapi, situasi yang dihadapi sangat mustahil untuk diserap oleh akalnya. Tidak mungkin unit IGD sesibuk itu hanya menempatkan satu orang dokter saja.

“Apa yang sebenarnya terjadi?” Edeline menggumam lemah ketika selesai memberikan penanganan pada satu pasien.

“Aku juga bertanya-tanya, Dokter.”

Edeline terkejut oleh suara seseorang yang muncul dari arah belakang. Dokter cantik menoleh ke belakang secara refleks dan mendapati Lina—perawat yang sejak tadi membantunya. Lina merupakan perawat IGD yang sudah lama mengabdikan diri di sana.

“Lina! Kau mengagetkanku!” seru Edeline dengan eskpresi setengah kaku.

“Aku juga penasaran, Dokter. Sebenarnya apa yang Dokter lakukan sampai hal ini terjadi?”

Edeline memicing tajam pada Lina. “Memangnya apa yang aku lakukan? Sejak tadi kau lihat jika aku sibuk menangani pasien,” ucapnya dengan nada tersinggung.

“Dokter tidak merasa aneh? Atau Dokter memang sudah tahu?”

“Tenagaku sudah terkuras habis sejak tadi. Jadi, jangan mengurasnya lagi untuk emosiku.” Edeline mendesak Lina untuk berbelit-belit.

Perawat yang berusia 28 tahun itu tidak langsung menurut pada Edeline. Matanya melirik ke kanan dan ke kiri, mencermati keadaan sekitar lalu kemudian menarik Edeline ke sudut—di mana tidak ada seorang pun di sana.

“Semua dokter di sini dipindah tugas ke unit lain,” Lina berbisik dengan hati-hati.

“Apa? Kau bercanda?” Mata dan bibir Edeline terbuka lebar, akibat keterkejutannya.

“Aku tidak mungkin bercanda, Dokter. Kakiku rasanya mau copot karena sejak tadi berlari ke sana ke sini membantu Dokter. Sebelum Dokter datang ke sini, telah keluar surat perintah mendadak dari Dokter Elvis kepada dokter-dokter yang bertugas. IGD hanya akan diisi oleh Dokter Edeline saja,” jelas Lina terperinci.

Batin Edeline terkejut mendengar pengakuan itu. Wajah cantiknya pun turut menunjukkan perasaan batin yang sudah ingin meledak marah. Matanya berkilat memancarkan jelas amarah nyata.

Di tengah-tengah itu, Edeline memahami ucapan Elvis sebelum berpisah di ruangannya. Bahwa pria itu mengejek Edeline untuk berjuang di unit IGD.  Ternyata ... ah, si pecundang itu sengaja menekan Edeline untuk mengibarkan bendera kekalahan.

“Brengsek,” Edeline mengumpat lemah.

“Apa? Dokter mengatakan apa?” Lina terpancing karena samar-samar mendengar Edeline seperti tengah mengumpat. Akan tetapi dia memastikan, karena takut apa yang dia dengar salah.

“Aku mengatakan burger karena perutku merasa lapar.” Edeline terpaksa berbohong. Tak mungkin dia bercerita pada Lina tentang apa yang terjadi antaranya dan Elvis. Benar-benar pria kurang ajar itu menyebalkan!

“Perutku juga lapar, Dokter. Kita belum makan sejak tadi.” Lina menambahkan, karena dia juga sangatlah lapar.

“Kalau begitu aku akan mentraktirmu saat pulang nanti.” Senyuman cantik akhirnya terhias di wajah Edeline yang terhibur oleh naifnya Lina.

“Hm, tapi, Dokter tidak melakukan kesalahan apapun, kan?” Lina menatap tajam kepada Edeline yang terintimidasi. “Sebagai pegawai yang sudah lama bekerja di sini, aku menyarankan untuk tidak melakukan kesalahan apa pun pada Dokter Elvis. Dokter tahu kan siapa beliau?” Lanjutnya lagi mengingatkan agar Edeline tidak bertindak aneh-aneh yang membuat Elvis murka.

Edeline tersenyum masam sambil mengumpat dalam hati. “Aku ... aku tidak melakukan kesalahan apa pun—”

“Apa boleh bergosip di jam kerja?” suara ketus yang familiar telah membungkam kejam mulut Edeline.

Tanpa dilihat langsung oleh mata pun Edeline mengetahui sosok yang di belakangnya—yang datang tiba-tiba. Dan benar saja, tebakan di dalam hati Edeline menjurus pada kebenaran ketika berbalik badan telah mendapati sosok angkuh yang bermusuhan menatapnya.

“Semua orang sedang sibuk, tetapi kalian malah santai-santai dan bergosip di sini!” lanjut Elvis menuduh kejam.

Lina hanya merunduk takut, sementara Edeline menanggapi diam karena tidak memiliki energi lebih untuk berdebat. Tampak jelas mata Edeline memancarkan nyata kemarahannya pada Elvis.

“Laporkan padaku mengenai pasien yang kau alihkan ke unit bedah dan jantung.”

Elvis langsung berpaling dari hadapan Edeline tanpa menanti jawaban apa pun dari gadis itu. Sikapnya itu memaksa Edeline untuk mengikuti langkah kaki tanpa bisa menolak.

Hingga akhirnya, emosi Edeline kembali dipermainkan ketika berada di ruangan pria itu. Elvis yang duduk santai dengan wajah tenang—tanpa berdosa benar-benar menjengkelkan di mata Edeline.

“Bagaimana hari pertama di IGD? Kau bisa bernapas tenang?”

Sialan! Ucapannya tadi hanya sebuah alibi menggiring Edeline demi menyerukan sebuah ejekan.

Ekspresi Edeline terlihat tenang, walau wajah lelahnya tidak bisa disembunyikan. “Pasien yang aku alihkan ke unit bedah dan jantung merupakan korban kecelakaan. Hasil rontgen menunjukkan terdapat cedera serius di tulang rusuk yang membuat pasien mengeluh kesakitan.”

“Kau masih bersikeras bertahan? Kau sanggup sendirian di IGD?” Elvis mengejek, pun seringai sinisnya begitu menjengkelkan.

Edeline masih pada pendiriannya. Dia memilih mengabaikan demi tetap waras berhadapan dengan pria penguasa dan penyiksa itu. “Aku sudah melakukan komunikasi lebih dahulu ke unit bedah dan jantung sebelum mengantar pasien ke sana. Mereka mengatakan jika kau sedang berada di ruang operasi. Jadi persetujuan atas pasien itu telah disetujui oleh dokter yang lainnya. Kondisinya sangat urgent.”

“Kau memang keras kepala. Keberanianmu tidak boleh diremehkan.” Elvis masih saja memancing emosi Edeline.

“Dokter Elvis.”

“Ya, Dokter Edeline.”

“Kau sengaja mengosongkan dokter di IGD? Lalu menindasku di sana sendirian agar aku menyerah.” Edeline tanpa ragu menuduh.

“Kau sendiri yang mengatakan tidak takut untuk menjadi sukses. So, aku hanya membantumu menciptakan peluang itu. Aku juga butuh melihat loyalitasmu sebagai dokter magang di sini.”

Elvis benar-benar brengsek! Dia benar-benar sengaja melakukan itu demi mengusik tekad Edeline. Pun secara bersamaan dia meremehkan Edeline yang bersungguh-sungguh.

Mulut Edeline sudah bersiap mengeluarkan kalimat-kalimat pembelaan yang tajam dan pedas. Tetapi, niatnya itu terhalangi oleh pandangan mata yang tiba-tiba kabur. Di saat yang sama, Edeline juga merasakan sesuatu keluar dari lubang hidung sebelah kanan. Dan di momen yang sama pula, Edeline mendengar suara teriakan anak kecil—masuk ke dalam ruangan itu.

Wujudnya tidak begitu jelas, tapi samar-samar Edeline melihat sosok anak kecil yang memiliki rambut panjang cantik. Dia berlari ke arah Elvis. Edeline berusaha menjaga kedua matanya yang semakin ingin tertutup. Karena dari pandangan yang kabur itu, samar-samar Edeline melihat sosok anak kecil itu ditolak oleh Elvis sampai terjatuh.

Hah! Pria brengsek! Pada anak kecil saja dia sangat kasar.

“Hey, jangan kasar pada anak kecil!” suara Edeline tak lagi terdengar karena dia tidak sadarkan diri.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status