Share

Bab 5. Sosok yang Buruk  

Sekujur tubuh Edeline telah berpeluh keringat yang mengucur. Sementara mata cantiknya telah melebar karena menghadapi situasi mengerikan yang menyiksa sepasang iris matanya.

Wajah Edeline memucat. Tubuh rampingnya gemetaran sangat akibat ketakutan yang berlebihan. Bibir mungilnya ikut pula gemetaran—sampai dia kesulitan untuk berbicara.

Tepat di depan mata, Edeline begitu tersiksa oleh hal menakutkan sekaligus menjijikkan. Kulit dari jemari-jemari kotor begitu bernafsu ingin menyentuhnya. Edeline berusaha menepis agar tidak tersentuh oleh jemari-jemari menjijikkan itu.

“J-jangan ... jangan sentuh aku ...” jerit Edeline yang terbata-bata.

Your body looks stunning, Edeline. Aku ... ah, aku tidak tahan melihatnya.”

“Biadab! Jangan ... jangan sentuh aku—”

Delusi itu hilang ketika mata Edeline terbuka paksa. Sentuhan yang menjijikkan, ancaman yang menakutkan, serta sosok yang tidak ingin dikenang pun telah menghilang tanpa jejak di depan mata.

Hanya saja, senyar-senyar yang mengerikan itu begitu membekas di pikiran Edeline. Sehingga dia masih belum sepenuhnya tersadar bahwa bayangan mengerikan itu hanya sebuah mimpi buruk.

“Dokter Edeline? Anda baik-baik saja?”

Edeline berusaha memalingkan pandangan. Dengan napas yang terengah-engah akibat sesak dan matanya sedikit berkunang, dia mencermati seseorang yang berdiri di sisi kanannya.

Situasinya sungguh jauh berbeda dengan yang tadi. Yang Edeline hadapi saat itu sangat didominasi oleh warna putih, sementara situasi mengerikan sangat gelap—pekat dan menakutkan.

Ketika perlahan-lahan pandangan mata sudah jernih sepenuhnya, Edeline menyadari telah berada di dunia nyata. Bayangan gelap di dalam benaknya lenyap seolah diterpa ombak di kala dia sadar bahwa dirinya bermimpi buruk.

“Dokter Edeline? Anda bisa mendengarkanku?”

“L-Lina ...” Edeline bersuara lemah, namun sangat jelas.

“Syukurlah Dokter sudah sadar. Aku sangat cemas melihat Dokter tadi.”

Edeline hanya tersenyum lemah. Dia sangat tahu bahwa Lina diserang panik akibat dia yang bereaksi menakutkan oleh mimpi buruk itu. Perlahan-lahan, Edeline menetralkan keadaannya sembari memastikan di mana dirinya berada.

“Dokter pingsan di sini. Saat aku dipanggil ke sini, Dokter Elvis telah memberikan penanganan kepada Anda.” Lina menjelaskan bahwa Edeline pingsan.

“Aku pingsan?” Edeline terkejut mendengar apa yang dikatakan Lina.

Lina mengangguk. “Beliau mengatakan Dokter mimisan! Lalu karena perut Dokter kosong dan kelelahan, Dokter berakhir pingsan. Beliau juga mengatakan setelah Dokter kembali pulih, Dokter diperbolehkan pulang.”

Edeline sangat memahami kondisinya yang berujung tidak sadarkan diri. Karena kegelisahan yang tidak jelas, dia tidak bernafsu makan sehingga tidak mengisi perutnya dengan nutrisi di pagi hari. Ditambah lagi dia melewatkan makan siang karena kesibukannya di IGD.

Edeline menyadari dirinya masih berada di ruangan Elvis. Gadis yang terbaring di sofa empuk itu menilai dia tidak dilarikan keluar dari ruangan itu demi meminimalisir pemberitaan negatif.

Dokter magang pingsan di hari pertama bekerja. Elvis pasti menghindari pemberitaan seperti itu.

“Jika aku pulang, siapa dokter yang bertanggung jawab di IGD?” Edeline kembali mencari tahu.

“Dokter tenang saja. Dokter lain telah ditugaskan di sana menggantikan Dokter. Yang terpenting Dokter harus cepat pulih.” Lina menjawab pertanyaan Edeline.

Setelah merasa cukup baik, Edeline memutuskan untuk pulang. Dan selama berada di ruangan itu, tidak sekalipun gadis cantik itu bertemu dengan sang pemilik ruangan. Entah ke mana perginya pria itu. Edeline tidak peduli! Yang mengusik pikirannya adalah ingatan dari bayangan samar-samar sebelum tidak sadarkan diri.

Dipenuhi rasa penasaran, dia berusaha menggali dan memutar memori ingatan. Edeline merasa tidak salah mengingat tentang sosok anak kecil berambut panjang yang indah. Sosoknya yang menggemaskan itu berlari ke arah Elvis. Pun Edeline juga tidak melupakan momen kejam Elvis mendorongnya sampai terjatuh. Sayup-sayup juga Edeline mendengar suara tangisan anak itu.

Dasar pria tempramental! Sampai dengan anak kecil pun dia bersikap kejam seperti itu.

Pria itu benar-benar menguras emosi dan pikiran Edeline. Sampai-sampai Edeline tidak menyadari telah tiba di kawasan perumahan elit—di mana rumah itu merupakan pemberian Abraham untuk Edeline tinggali.

Edeline masuk ke dalam rumah bergaya modern setelah sopir yang mengantar telah pergi. Gadis cantik itu disambut keheningan yang membentang. Jiwanya terhipnotis oleh kemewahan yang mendominasi di seluruh ruangan.

Abraham sangat baik kepada dirinya. Rumah itu telah dipersiapkan matang untuk dihuni olehnya. Sampai-sampai lemari es telah terisi kebutuhan makanan untuk Edeline. Hingga di satu titik Edeline merasa tidak pantas menerima kebaikan hati Abraham yang berlebihan.

“Tuan Abraham pasti akan marah jika aku menolak tidak tinggal di sini. Aku harus mencari alasan. Rumah ini terlalu mewah untuk aku tinggali,” ucapnya memutuskan sendiri.

***

“Aku sudah berulang kali mengatakan, jangan pernah bawa dia keluar rumah apalagi ke rumah sakit!” bentak Elvis memekik sakit.

Dia tidak peduli pada sosok kecil yang merunduk ketakutan—tak jauh dari posisinya berdiri. Bukan hanya itu, Elvis juga tidak peduli bagaimana efek sikap arogannya itu terhadap psikologis anak berusia lima tahu itu.

“M-maafkan saya, Tuan Elvis.” Seorang pengasuh yang berdiri di belakang anak kecil itu terpaksa bersuara. “Tapi sejak tadi Nona Muda menangis dan memaksa ingin bertemu dengan Anda—”

“Aku yang menggajimu! Jadi yang harus kau patuhi itu adalah aku!” Elvis menyela kejam tanpa celah. “Atau kau sudah bosan bekerja mengasuhnya?” lanjutnya mengancam.

Pengasuh itu tentu saja tidak berani membantah. Dia hanya menggeleng tanda patuh untuk menanggapi. Sebab, dia tidak bernyali untuk menatap Elvis telah muram dengan mata berkilatan marah. Namun, ada sedikit keberanian yang tersemat di jiwa anak kecil bernama Shopia Dalton. Sosok kecil itu merupakan awal-mula kemarahan Elvis.

“A-aku ... aku rindu pada Daddy. Kemarin Daddy tidak pulang.” Gadis kecil itu menggigit bibir bawahnya ketakutan.

Elvis menunjukkan eskpresi kesal pada suara merengek yang muak didengarkan. “Kau tuli? Atau kau sengaja tidak mengingat perintahku? Jangan pernah datang menggangguku ke rumah sakit!”

Elvis bersuara tenang, namun tidak pada geraman kemarahan yang menggambarkan kebenciannya pada Shopia. Sampai-sampai gadis kecil tidak berdosa itu menitihkan air mata kesedihan.

“Kau mau dikurung di gudang gelap itu lagi sebagai hukuman?” seru Elvis memberikan ancaman yang tak main-main.

“A-aku tidak melakukan kesalahan apa pun, Daddy.” Suara Shopia gemetaran takut, tetapi matanya yang berkaca-kaca masih sanggup menatap Elvis.

“Kau datang ke rumah sakit, Shopia! Kau melanggar perintahku!” Elvis semakin kasar berbicara.

Elvis sangat kejam. Shopia hanya ingin menuntaskan kerinduannya pada Elvis. Dia sangat tidak pantas berkata-kata kasar pada anak kecil yang seharusnya dibanjiri oleh kasih sayang. Padahal Shopia adalah putri kandungnya—di mana di dalam tubuh kecil dan kurus itu mengalir darah Elvis. Dan tidak usah tanya bagaimana perasaan Shopia. Dari wajahnya yang basah oleh air mata saja, Shopia telah menunjukkan kesedihan yang mendalam.

 “Daddy membenciku?” suara naif Shopia gemetaran ironis.

“Sejak kau hadir di rahim wanita itu, aku telah membencimu.” Elvis menyambut cepat tak berperasaan.

Air mata Sophia tak henti berlinnag.  “Aku sayang pada Daddy.”

“Aku membencimu,” sahut Elvis dengan nada mencela nyata. “Kau itu lemah! Kau itu penyakitan! Kau selalu merepotkan! Kenakalanmu bisa membuat orang lain terkena kesialan! Kau harus tahu diri sehingga pengasuh ataupun orang-orang di rumah ini tidak terkena masalah! Atau ... kau mau aku mengirimmu ke sekolah asrama?”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status