Share

Bab 3. Dua Sisi Keras Kepala

Tubuh Edeline membeku mendengar apa yang dikatakan oleh Elvis. Kata-kata menusuk dan memberikan sidiran pedas padanya. Oh, God! Edeline tak mengira kalau dirinya akan mengalami hal sesial ini dalam hidupnya.

“A-aku minta maaf, Dokter Elvis.”

Suasana bingung yang sempat menguasai telah lenyap oleh permintaan maaf dari Edeline. Gadis cantik itu dengan sukarela mengalah, pun membungkukkan punggung untuk menggambarkan ketulusan dari permintaan maafnya.

Edeline kalah telak. Gadis cantik itu tak memiliki pilihan apa pun selain meminta maaf. Dia masih mencintai karirnya. Mimpinya menjadi dokter tidak boleh hancur hanya karena kebodohannya. Jadi lebih baik untuk kali ini dia mengalah minta maaf. Entah kesabarannya apakah mampu menghadapi sifat Elvis.

“Jangan galak-galak dengan Dokter Edeline, Elvis. Dia bisa tidak betah jika kau seperti itu.” Dengan nada kaku bercampur canggung, Peter membujuk Elvis. Pria paruh baya itu sedikit memberikan peringatan pada putranya.

“Tidak masalah. Hitung-hitung mental Edeline diuji untuk menjadi kuat.” Abraham mengambil alih untuk mencairkan suasana.

Sementara itu, Elvis masih melayangkan tatapan tajamnya kepada Edeline yang sudah mengangkat pandangannya. Matanya yang tajam mengirimkan isyarat bermusuhan kepada Edeline, pun menakut-nakuti Edeline untuk tidak boleh bersikap sembrono kepada dirinya.

Edeline sendiri memahami isyarat tak ramah itu. Dia hanya menelan saliva dalam diamnya, pun mulai curi-curi memalingkan pandangan dari Elvis yang mengintimidasi.

Beruntungnya saat itu Edeline sesaat terselamatkan oleh Abraham. Konglomerat berumur itu pamit undur diri setelah menyelesaikan tugasnya. Dia merasa bahwa hari ini kesialan bertubi-tubi datang.

“Terima kasih telah mengantar dan membantuku, Tuan Abraham,” ucap Edeline ketika hendak berpisah dengan Abraham di luar ruangan.

Abraham mengulas senyuman hangat. “Lakukan yang terbaik dan jangan buat kesalahan. Sore nanti kau akan dijemput oleh orang suruhanku. Dia akan mengantarmu ke rumah yang akan kau tinggali. Barang-barangmu di hotel telah aku minta untuk dirapikan dan nantinya dibawa.”

“Sekali lagi terima kasih, Tuan Abraham. Anda telah banyak membantuku.”

Edeline menyerukan rasa terima kasih yang penuh ketulusan. Namun, dia tidak bisa menyembunyikan kegelisahan di raut wajah, meski senyuman cantiknya bersusah payah menutupi.

Bagaimana tidak? Di dekatnya ada Elvis yang masih mengintimidasi. Dan sudah bisa dipastikan Edeline akan menerima penyiksaan dari Elvis. Takdir sepertinya sangat membenci dirinya.

“Tuan Abraham sudah pergi. Kau mau terus berdiri?” Elvis menegur ketus pada Edeline yang menatap kepergian Abraham bersama Peter.

Edeline menoleh dingin. Dari matanya yang tak senang terlihat sekali kesabaran Edeline sedikit menipis berhadapan dengan Elvis. “Bukankah aku sudah meminta maaf? Kenapa kau masih saja bersikap ketus seperti aku memiliki masalah fatal denganmu?”

Oh my god! Edeline sungguh berani. Dia sudah menahan diri. Tapi dadanya terasa panas. Tidak bisa tahan sama sekali.

“Tampaknya permintaan maafmu tadi tidak tulus sampai kau berbicara tidak sopan kepada dokter seniormu di rumah sakit ini. Kau itu tidak sadar diri?” seru Elvis menyindir sinis.

“Bukan begitu. Aku hanya—”

“Simpan penjelasanmu. Aku tidak mau mendengarkan. Sebaiknya kau ikuti aku! Kalau tidak, siapkan mentalmu untuk bertugas di kamar mayat.”

Edeline membelalakkan mata sementara mulutnya sudah menganga menatap Elvis yang sudah memalingkan pandangan. Gadis itu shock pada perkataan pria angkuh dan menjengkelkan itu.

Edeline benar-benar terancam jika tidak patuh. Karirnya bisa tamat jika dia membuat kesalahan pada pria pendendam itu. Hingga dengan terpaksa Edeline mengikuti langkah panjang Elvis yang cukup kelimpungan Edeline susul.

Ruangan Elvis menjadi tujuan mereka. Ruangannya cukup besar, mungkin karena Elvis sosok penting di rumah sakit itu. Hanya saja, ruangan itu tampak kosong—tidak banyak dipenuhi pernak-pernik yang menggantung di dinding ataupun di meja.

“Kau akan bertugas di pusat bedah dan jantung yang sama denganku. Itu artinya kau akan ikut di setiap jadwal operasiku. Di rumah sakit sebelumnya kau memiliki pengalaman di ruang operasi?” Elvis bertanya acuh—karena sambil memeriksa rekam medis beberapa pasien.

“Aku memiliki pengalaman yang cukup di unit bedah dan—”

“Aku hanya butuh jawaban ‘ya’ atau ‘tidak’. Aku tidak butuh omong kosongmu yang menyombongkan diri,” Elvis menyela sinis, pun matanya telah melayang tajam pada Edeline yang mulutnya dibungkam paksa. “Aku telah lebih dulu menikmati asam garam dunia kedokteran ini dibandingkan kau, Dokter Edeline.”

Arrghhh! Batin Edeline menjerit kencang atas kesombongan Elvis. Dia ingin sekali menyambut dengan kalimat sinis yang sama agar harga diri tidak hilang.

Tetapi ... ya, Edeline hanya bisa berekspektasi di dalam hati. Akalnya sudah menasihati untuk tidak cari masalah. Karena keberlangsungan karir Edeline ada di tangan pria angkuh itu.

“Aku akan melakukan yang terbaik—”

“Kau memang harus melakukan yang terbaik.” Lagi, Elvis menyela sinis seolah tidak memberi kesempatan Edeline untuk berbicara. “Jika kau melakukan satu kesalahan, maka kau akan aku pindahkan ke unit IGD. Aku beri tahu informasi sedikit, unit IGD selalu sibuk setiap harinya—di mana untuk bernapas saja kau tidak memiliki waktu.”

Aura cantik Edeline memudar oleh mata tajam yang menguarkan ekspresi tersinggung. Lewat perkataan dan sikap bermusuhan itu saja Edeline bisa menyimpulkan jika Elvis menaruh dendam pada dirinya.

Pria itu memiliki kuasa, sudah pasti dia akan menindas Edeline. Mau sebaik apa pun Edeline berusaha, Edeline menyimpulkan jika dirinya tidak akan tenang bernapas di rumah sakit milik Elvis.

“Kalau begitu tugaskan saja aku di unit IGD.” Edeline berani menantang dengan tenangnya.

Elvis bersikap tenang, tetapi matanya yang menusuk tajam ke mata Edeline tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. “Kau yakin?”

“Kenapa aku tidak yakin? Sejak awal kau memang tidak berniat menugaskanku di unit bedah dan jantung. Aku yakin kau berniat menyiksaku karena dendam padaku.” Edeline tak ragu melampiaskan isi pikirannya yang menuduh kental. Ya Tuhan, gadis itu memang sudah tak lagi tahan dengan sikap Elvis. Walaupun kalah telak, tapi dia akan tetap berusaha memperjuangkan harga dirinya.

Elvis tersenyum kesal. “Aku dendam padamu?”

“Ya!” Edeline menyahut tegas. “Situasinya akan berbeda jika kemarin malam aku tidak menyinggung dan cari masalah denganmu. Tapi perlu kau ketahui, Dokter Elvis ... kau tidak sepenuhnya benar.” Edeline semakin percaya diri, pun matanya tidak takut beradu tajam dengan mata Elvis yang menyorot kesal.

“Kau lahir ke dunia ini berkat seorang wanita. Jika kau menyakiti dan bertindak kasar pada wanita, itu sama saja kau menyakiti wanita yang melahirkanmu. Wanita juga diciptakan dari tulang rusuknya pria. Bukankah sama saja kau sengaja melukai tubuhmu sendiri?” lanjutnya kemudian.

“Kau semakin tidak tahu diri,” Elvis mengerang kesal.

“Aku sangat tahu diri, tapi bukan berarti aku harus merendahkan harga diri.” Edeline menyambut cepat tanpa rasa takut. “Saat ini, kau memang berkuasa dibandingkan aku. Karirku di rumah sakit ini bergantung di tanganmu. Jika menggunakan emosi, aku sangat pantas menagih permintaan maaf darimu atas intimidasi yang kau lakukan kemarin. Jadi, Dokter Elvis ... kita impas!”

Batin Elvis telah berdecak kesal atas sikap Edeline yang dinilai sangat lancang. Dia merasa harga dirinya begitu terhina. Sebab, gadis itu adalah orang pertama yang berani mengibarkan bendera perlawanan kepada dirinya.

Tidak ada seorang pun di rumah sakit itu, entah itu rekan satu profesi apalagi kedua orangtuanya yang berani menentang sikapnya. Tapi di depan mata, Edeline—seorang dokter magang yang usianya terpaut 13 tahun lebih muda dari dirinya begitu berani beradu mulut dengannya.

“Kau tidak takut? Atau ... kau berani berkata seperti itu karena Tuan Abraham mem-back-up-mu?” Elvis mengejek dengan bibir mengulas senyuman menjengkelkan.

“Walaupun di belakangku tidak ada Tuan Abraham, aku tetap sama. Aku tidak boleh takut untuk menjadi orang sukses.”

Elvis terkekeh kencang mengejek pernyataan Edeline yang begitu percaya diri. “Oke! Buktikan ucapanmu itu untuk menjadi sukses di unit IGD. Jika kau tidak sanggup, kau bisa datang ke ruanganku dan berlutut untuk meminta maaf. Pintu ruanganku ini terbuka lebar selama 24 jam untukmu, Dokter Magang!”

“Tidak akan! Aku tidak akan melakukan itu!” bantah Edeline yang jelas tersinggung atas penghinaan Elvis.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status