Share

Bab 4

  “Bisa bicara dengan tuan Allendra?” tanya Zeeya setelah dia menentukan pilihan.

            “Saya sendiri, siapa ini?”

            “Saya wali kelas Alena, Azeeya.”

            “Ahh, hai, apa kabar?”

            “Bisakah Anda datang ke sekolah sekarang?”

            “Kenapa, kau merindukanku?”

***

“Mohon maafkan Alena sekali ini saja Pak, saya janji akan membimbingnya menjadi lebih baik lagi.

            “Pihak sekolah sudah terlalu sering memberinya toleransi dan kami tidak bisa memberikan keringanan untuk ulahnya kali ini. Bagaimana bisa dia melakukan kekerasan di sekolah sampai membuat tangan temannya patah. Itu tindak kejahatan, seharusnya dia dilaporkan ke polisi.”

            Azeeya menunduk dalam, kesalahan yang diperbuat muridnya memang terlampau besar. Sulit baginya untuk meringankan hukuman, Zeeya sudah berusaha membujuk guru kesiswaan agar kasus Alena ini tidak sampai ke telinga kepala sekolah namun guru kesiswaan itu tegas menolak. Menurutnya Alena memang harus segera diberi tindakan tegas, anak itu benar-benar keterlaluan, sudah tahu sedang menjalani masa hukuman karena satu kesalahan tapi dia malah berbuat kesalahan baru yang lebih fatal. Sungguh tidak bisa dimaafkan.

            “Sebagai wali kelas Alena dan Ria bagaimana Anda bisa begitu condong pada Alena saja, Ibu Azeeya? Bukankah Ria juga anak didik Anda, seharusnya Anda juga memikirkan bagaimana kondisinya sekarang. Anda sama sekali tidak memikirkan bagaimana perasaan orang tuanya?”

            Zeeya kehabisan kata, hangus sudah kekuatannya untuk membela Alena karena kondisinya sudah tidak memungkinkan. Dia pun cukup tertampar akan pernyataan guru kesiswaan yang secara tidak langsung menyebutkan pilih kasih pada Alena. Jujur, Zeeya sama sekali tidak berpikir seperti itu. Zeeya hanya berusaha menolong pihak yang memerlukan bantuannya lebih banyak. Dalam kasus ini, posisi Ria sudah cukup aman karena dia memiliki dukungan dari banyak pihak berpengaruh.

Sementara Alena? Kakaknya saja bahkan tak mengindahkan panggilan yang diminta pihak sekolah. Sudah satu minggu sejak guru itu mengunjungi kediaman Alena, semuanya masih tetap sama. Allendra tak kunjung datang dan masalah pun terkatung-katung tak kunjung selesai. Hari ini adalah batas akhir pihak sekolah akan mempertahankan murid nakal itu, bahkan dengan atau tanpa kasus baru ini pun Alena memang sudah akan didepak dari SMA Sevit.

            Selesai berdiskusi dengan Zeeya, guru kesiswaan itu pun segera menyeret Alena ke ruang kepala sekolah bersama Liam dan Sera yang rencananya akan dijadikan saksi dalam kasus ini. Mereka segera mengadakan rapat darurat dengan dewan sekolah untuk meresmikan pengeluaran Alena dari Sevit sekaligus menentukan tindak lanjut dari kasus penyerangan yang dilakukan gadis itu. Di tengah perjalanan, guru kesiswaan yang membawa Alena mendapat panggilan bahwa cukup Alena saja yang masuk ke ruangan kepala sekolah. Zeeya menentang hal itu, dia memaksa untuk tetap ikut namun mendapat penolakan keras dari guru kesiswaan.

            “Ini mandat langsung dari kepala sekolah, Anda tidak bisa menentangnya,” tekan guru kesiswaan itu. Dia pun menyeret Alena untuk ikut dan ekspresi yang ditunjukkan gadis itu terlampau santai di situasi genting yang akan menentukan nasibnya ini.

            “Kami sudah boleh kembali ke kelas, Bu?” tanya Liam merasa kepentingannya sudah selesai.

            “Boleh, silakan lanjutkan saja belajarnya,” jawab Zeeya di tengah rasa frustrasinya.

            “Ayo, Sera.”

            “Kakak ini bagaimana, kak Alena butuh bantuan dan kesaksian kita. Kita harus menjelaskan pada kepala sekolah dan guru-guru kalau semua ini bukan sepenuhnya kesalahan kak Alena. Kak Ria yang memulainya, kak Alena menyerangnya untuk membantuku. Lihat, aku juga terluka karena kak Ria.”

            Sera menunjukkan luka di sikut dan lututnya pada Liam, dia keberatan pada keputusan kakak sepupunya yang begitu tak acuh pada kasus ini.

            “Percuma saja kita memberi kesaksian, Sera, Alena sudah tidak tertolong.”

            “Tapi setidaknya kita harus berada di pihaknya sampai akhir. Jangan biarkan dia merasa tertindas sendiri.”

            “Alena bukan orang yang mudah ditindas seperti bayanganmu.”

“Diam!” bentak Zeeya kesal, kepala guru itu sedang pusing luar biasa dan semakin kacau keadaannya ketika mendengar Sera dan Liam berdebat sengit.

“Kalian berdua kembali ke kelas, Alena biar Ibu yang menanganinya.”

“Tapi Bu—“

“Sudah, ayo!” Liam menarik paksa Sera pergi dari sana sekaligus keluar dari lingkar permasalahan yang menjerat Alena.

            Zeeya segera mengeluarkan ponsel dari saku jasnya, dia mencari kontak Allendra yang sempat diberikan oleh kepala pelayan yang menyambutnya tempo hari. Nomor ponsel itu diberikan ketika Zeeya belum bertemu langsung dengan Allendra, momen ketika Zeeya mengira bahwa pria bernama Allendra itu adalah ayah dari muridnya. Gadis itu tampak ragu untuk menekan ikon panggilan, Zeeya hanya takut kembali terlibat dengan Allendra jika gadis itu menghubunginya sekarang. Tapi bagaimana pun juga Allendra harus menangani masalah ini, sekali pun Alena benar-benar dikeluarkan dari sekolah, setidaknya ada pihak keluarga yang menjemputnya dan memberikan ketenangan walaupun sebenarnya Zeeya ragu hal itu akan terjadi.

            “Bisa bicara dengan tuan Allendra?” tanya Zeeya setelah dia menentukan pilihan.

            “Saya sendiri, siapa ini?”

            “Saya wali kelas Alena, Azeeya.”

            “Ahh, hai, apa kabar?”

            “Bisakah Anda datang ke sekolah sekarang?”

            “Kenapa, kau merindukanku?”

            “Alena terlibat kasus penyerangan, dia mematahkan tangan teman sekelasnya dan sekerang kasusnya sedang ditindaklanjuti oleh kepala sekolah. Saya harap Anda bisa datang untuk menyelesaikan semuanya.”

            “Wow, hebat sekali adikku. Kenapa tidak sekalian dengan leher dan kakinya saja.”

            “Tuan Allendra!”

“Apa Sayang?”

            “Ini bukan waktu yang tempat untuk Anda bercanda dan beromong kosong. Tolong penuhi panggilan ini, saya mohon.”

            “Hm, bagaimana ya, sebenarnya aku ingin bertemu denganmu tapi aku sedang dalam perjalanan bisnis.”

            “Tidak bisakah Anda pulang lebih cepat?”

            “Aku baru berangkat Sayang ... mana mungkin pulang lagi.”

            “Lalu Alena bagaimana?”

            “Kenapa kau begitu mengkhawatirkannya?”

            “Dia muridku!”

            “Sebentar lagi jadi adikmu.”

            Zeeya langsung mematikan panggilannya, percuma saja, seharusnya ia tahu akhirnya akan seperti ini. Tidak ada gunanya menghubungi Allendra, laki-laki itu sama sekali tidak membantu dan malah membuat kekesalan Zeeya semakin berlipat ganda dengan tingkah kurang ajarnya dan caranya memanggil Zeeya yang lancang. Berani sekali menyebut “Sayang”, Zeeya geli sekaligus tidak nyaman mendengarnya.

Selepas menghubungi Allendra, Zeeya langsung bergegas ke ruangan kepala sekolah, karena tidak diizinkan masuk alhasil gadis 26 tahun itu hanya bisa menunggu dengan cemas sambil mondar-mandir dan memainkan jarinya. Gelisah sekali karena dari luar ia sama sekali tidak bisa mendengar percakapan apa pun orang-orang di dalam sana. Bagaimana kondisi Alena sekarang, apa yang dilakukan orang-orang dewasa itu pada muridnya, kekhawatiran itu detik demi detiknya semakin menggumpal dan besar serupa bola salju yang menggelinding dari atas bukit.

            Tiga puluh menit berlalu, bel istirahat kedua sudah dibunyikan dan proses interogasi Alena masih belum selesai. Zeeya semakin ketar-ketir, kondisi itu sedikit terusik ketika Sera dan Liam kembali hadir di hadapannya. Tepatnya Sera sengaja datang untuk mengetahui kondisi Alena sedangkan Liam hanya menemani adik sepupunya yang tertangkap ingin kembali menceburkan dirinya lagi ke dalam masalah Alena. Liam sampai kehabisan cara untuk menangani sisi keras kepala Sera. Sulit sekali diberi tahu. Daripada terjadi hal yang tidak diinginkan, jadi Liam memutuskan mengikuti Sera untuk sebatas melindungi serta mengawasinya.

            “Kak Alena belum keluar juga, Bu?” tanya Sera dan dijawab oleh gelengan Zeeya.

Bersamaan dengan itu ruangan kepala sekolah terbuka menimbulkan decitan pelan sang pintu yang kini menampakkan sosok guru kesiswaan. Dia berdeham begitu mendapati keberadaan Liam, Sera, dan Zeeya. Gerak-geriknya seperti penjahat yang baru tertangkap basah, bola matanya bergerak gelisah tanda panik dan seperti menyembunyikan sesuatu. Guru kesiswaan itu pun pergi begitu saja, tak lama kemudian muncul Ria dengan kondisi tangannya yang sudah diperban. Sama halnya seperti guru kesiswaan tadi, Ria pun pergi meninggalkan ruangan itu sebelum diserang serangkaian pertanyaan. Zeeya semakin tidak enak hati, begitu gadis itu ingin merisak masuk tiba-tiba sosok Alena muncul dengan wajah datar. Dia memandang ketiga orang yang menyambutnya lalu melenggang pergi tanpa memedulikan orang-orang yang mengkhawatirkannya.

“Alena, kau baik-baik saja?” Zeeya menghadang langkah Alena yang hendak menuruni tangga.

“Baik,” jawabnya singkat.

Zeeya memindai penampilan muridnya dari atas sampai bawah dan dia membelalak saat menemukan sudut bibir Alena terluka lagi.

“Bibirmu berdarah, mereka menyakitimu?”

“Tidak, ini luka lama.”

“Mana mungkin luka lama, tadi Kakak baik-baik saja. Tidak ada satu luka pun di sana,” sahut Sera.

Liam diam menyimak saja, dia memilih berdiri di belakang Alena sambil bersidekap di saat Zeeya dan Sera mati-matian ingin berhadapan dengan gadis bermasalah itu. Fokus Liam sedikit terganggu ketika dia melihat bercak darah di kaus kaki panjang yang dikenakan Alena. Ah, tidak, bukan hanya bercak tapi darah itu masih mengalir deras sampai merembes dan membuat kaus kaki Alena di area betis belakang memerah.

“Aku tidak apa-apa, kalian jangan melebih-lebihkan.”

“Wajah Kakak pucat,” komentar Sera dan Zeeya membenarkan.

“Ayo kita ke UKS dulu, kau harus istirahat sebentar,” saran Zeeya hendak memapah Alena namun gadis itu menepis tangan gurunya.

“Aku bilang aku tidak apa-apa!”

Alena berusaha melangkah lagi, kali ini pelan-pelan karena kakinya sedikit kaku dan berat untuk digerakkan. Tubuh gadis itu tiba-tiba limbung, untung saja ada Sera dan Zeeya yang sigap menangkapnya.

“Liam tolong bantu kami menggendong Alena ke UKS,” pinta Zeeya.

Alena bukan gadis lemah tapi dia masih manusia biasa. Setelah dihukum keliling lapangan sepuluh kali lalu ia mendapat hukuman tambahan ketika di ruang kepala sekolah tadi. Betisnya dipukul dengan rotan berpuluh-puluh kali karena ia menolak mengakui semua kesalahannya. Alena bersikeras bahwa dia tidak bersalah dan Ria memang pantas mendapatkan tindakan keras dari Alena. Hebatnya, meskipun sudah dipukul puluhan kali gadis itu sama sekali tidak meneteskan air mata atau menunjukkan tanda-tanda kesakitan.

Ekspresinya tetap datar dan itu semakin membuat Ria jengkel. Seratus kali, genap pukulan rotan itu menerpa kedua betis Alena dan dia tetap bertahan sampai akhir.  Kepala sekolah dan guru kesiswaan yang menghukum Alena pun tampak menyerah. Mereka tidak tahu terbuat dari apa tubuh Alena itu sampai dia bisa menahan sakit sehebat itu. Akan tetapi, tampaknya pertahanan Alena sedikit goyah kali ini. Dia merasa tubuhnya lemas dan tak bertenaga. Bahkan gadis itu tidak mampu menolak ketika dengan mudahnya Liam membopong Alena ala bridal. Alena masih sadar ketika langkah Liam membawanya menuruni tangga, ia ingin meminta diturunkan tapi suara Alena seakan menghilang ditelan rasa sakitnya. Pemandangan Liam yang membopong Alena menjadi buah bibir penduduk SMA Sevit yang melihatnya.

Pandangan mereka mengikuti arah pergi Liam dan Alena, bahkan ada beberapa siswa yang sengaja mengikuti mereka. Namun perhatian itu beralih saat orang-orang di sana mendengar deru mesin yang tidak biasa dari luar gedung sekolah. Mereka berlarian melihat keadaan di luar dan ternganga ketika melihat sebuah helikopter mendarat tepat di lapang utama SMA Sevit yang memang besar.

“Wahhh...”

Semua orang tercengang dengan kehadiran helikopter itu dan semakin menggila ketika sejumlah pria keluar dari helikopter itu. Satu yang paling mencuri perhatian dan sisanya tampak gagah penuh kekuatan. Anak-anak itu menjerit histeris seperti adegan-adegan di film-film ketika melihat pria tampan. Di sana pun ada pria menawan, dia tampil elegan dengan suite hitam dari atas sampai bawah, kemeja putihnya sedikit terlihat dan dasi senada pun tambah menyempurnakan tampilannya.

Belum lagi mantel panjang berwarna gading yang begitu cocok di tubuh atletisnya. Orang-orang itu berjalan dari lapang menuju gedung utama sekolah. Langkah tegap mereka begitu mengintimidasi, barisan manusia yang semula berjajar di pintu masuk pun tersibak dengan sendirinya. Memudahkan mereka untuk masuk dan kini sudah tiba di tempat tujuan. Allendra melihat sang adik sedang berada dalam pelukan seorang anak laki-laki ditemani satu siswi dan guru cantik yang dia sukai.

“Maaf, aku terlambat,” kata pria itu sambil menyunggingkan senyum penuh makna ke arah Zeeya.

Alena yang menyadari kehadiran kakaknya langsung minta diturunkan pada Liam, lelaki itu menurut saja dan membantu Alena untuk berdiri dengan benar.

“Kenapa Anda baru datang?” tanya Zeeya yang merasa kedatangan pria itu sia-sia. Kemungkinan besar putusan akhir sudah ditetapkan, Alena resmi dikeluarkan dari SMA Sevit.

“Rapatnya sudah selesai?”

Allendra semakin mendekat, bukan pada Alena melainkan Zeeya. Sang adik menatap sinis kakaknya kemudian mendecih. Senyum miring terbit kala itu, kekuatan Alena terkumpul kembali saat melihat Allendra di hadapannya.

“Peduli apa Anda tentang rapat itu, lihatlah, adik Anda terluka.”

Allendra mengalihkan pusat perhatiannya, dia mendekati sang adik kemudian memindai keadaan Alena dengan saksama. Ditatapnya luka pukul di sudut bibir gadis itu, seingatnya luka itu sudah mengering dua hari lalu. Tapi apa yang tampak kini adalah luka basah yang baru saja didapatkan Alena hari ini tentu saja. Allendra mengangguk paham kemudian mengeluarkan sapu tangannya dan menyeka keringat juga kotoran di sekitar pipi sang adik.

“Kau kalah?” bisiknya pada Alena.

Gadis itu mendelik, sudah ia duga Allendra akan mengatakan hal ini setelah melihat kondisinya sekarang.

“Bukan urusanmu!” Alena merebut sapu tangan itu dan menyeka keringatnya sendiri.

Orang lain yang melihat pemandangan itu terkagum-kagum karena mengira bahwa hubungan Alena dan kakaknya begitu manis. Sedangkan tiga orang yang menyaksikan interaksi itu lebih dekat justru merasa saat ini Alena dan Allendra sedang terlibat perang dingin.

“Pulanglah, nanti kupanggilkan dokter,” ungkap Allendra lagi dan Alena yang sudah selesai menggunakan sapu tangan kakaknya langsung melempar benda itu kembali pada Allendra. “Bawa pulang Alena dengan helikopter itu setelahnya bawakan mobilku ke sini,” perintah Allendra pada anak buahnya.

Seorang siswa kelas X yang tadi diminta mengambilkan barang-barang Alena oleh Zeeya sudah datang lalu memberikan tas sang kakak kelas langsung pada orangnya. Alena menerima tas itu tanpa mengucapkan terima kasih, dia berjalan lebih dulu lalu melempar tasnya ke belakang tepat pada sang pengawal. Dari enam orang pria yang mengawal Allendra, tiga di antaranya bertahan di tempat itu dan tiga lainnya ditugaskan mengantar Alena. Gadis yang sering disebut gelandangan oleh anak-anak Sevit pun kini tengah dipapah dan diperlakukan bak putri raja. Semua orang terkejut termasuk Sera yang masih merasa semua ini seperti mimpi.

“Aku ingin berbincang santai dulu dengan kepala sekolah, setelah itu baru menemuimu. Tidak akan lama, jadi tunggu aku ya,” ucap Allendra sambil mengedip nakal.

Zeeya menampakkan raut judes dan memberi tatapan nyalang pada pria kurang ajar itu, namun Allendra hanya terkekeh kemudian meninggalkan gadis itu. Sesuai rencana, tujuannya sekarang adalah ruang kepala sekolah.

Bersambung

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status