"Saya benci pria yang tidak bertanggung jawab. Jadi berhentilah bermimpi, karena sampai kapan pun tujuan Anda tidak akan tercapai."
Allendra memejam sedetik masih dengan senyum lebar di bibirnya. Gemas mendengar jawaban Zeeya yang benar-benar memacu adrenalin hatinya. Ia senang menemukan tantangan yang menyenangkan. Ia akan berterima kasih pada adiknya karena berkat Alena, Allendra menemukan Zeeya.
"Mau bertaruh denganku?"
***
"Aku tahu aku tampan, tidak perlu menatapku setajam itu. Kau membuatku semakin menyukaimu."
Zeeya mendengus, seolah tidak cukup membuatnya mangkir dari jam kerja, pria itu kini membuat jantungnya ingin meledakkan amarah besar. Masa bodoh jika memang pria ini adalah orang berpengaruh dan sangat berbahaya seperti kata Alena, Zeeya tetap tidak bisa menerima tindakan semena-menanya. Tidak tahu aturan, tidak disiplin, arogan, dan sombong. Semua sifat yang dimiliki iblis ada padanya.
Lihatlah, dia bahkan tidak merasa bersalah setelah membuat keributan di sekolah beberapa waktu lalu. Datang dengan menggunakan helikopter? Cih, apa maksudnya, pria itu pasti sedang show up dan ingin menunjukkan kekuasaannya pada orang-orang. Apa faedahnya? Zeeya memanggil pria itu untuk datang agar ia menyelesaikan masalah adiknya namun yang dia lakukan sekarang justru memantik permasalahan baru dengan Zeeya. Perempuan itu duduk berhadapan dengan Allendra yang terlihat sedang bertumpang kakibdi atas sofa setengah lingkaran berwarna tosca. Kalau saja ada yang mengukur kadar kemarahannya saat ini, mungkin alat pengukurnya akan menunjukkan angka maksimal.
"Saya tidak suka cara Anda memaksa saya ke sini."
"Itu bukan paksaan, Sayang, aku meminta izin pada kepala sekolah untuk berbincang sebentar denganmu dan dia mengizinkan."
Allendra menyahut dengan enteng dan gaya sengak luar biasa. Di mata Zeeya, setiap lekuk dan sudut wajah pria itu seolah mengalirkan senyawa asing yang memengaruhi kadar estrogen dalam dirinya sehingga mudah sekali baginya untuk marah. Dalam kurun waktu satu jam pertemuan mereka, entah sudah berapa kali Zeeya mengalami mood swing saat bersama Allendra.
"Apa yang Anda lakukan pada Kepala Sekolah?"
"Hanya bertanya kabar dan aktivitasnya saja."
Allendra menyesap rokok elektrik lantas menghembuskan asapnya ke arah samping. Kepulan uap beraroma sedap menguar di sana. Harumnya memang lebih enak dihirup dibandingkan dengan rokok tembakau, bentuknya praktis dan kemasannya menarik, Allendra suka rasa vanilla karena aromanya begitu manis dan membuatnya nyaman. Berbanding terbalik dengan Zeeya yang mengutuk segala jenis nikotin dalam bentuk dan kemasan apa pun.
Dia benci rokok, terlebih asap pembunuh yang begitu merugikan bagi siapa saja yang menghirupnya. Dia juga paling tidak suka pada perokok aktif yang dengan sengaja menjadikannya sebagai perokok pasif—karena berdekatan dengan orang itu. Di mata Zeeya, orang yang merokok itu bisa mengurangi karisma dan ketampanan seseorang. Jadi seberapa menawan pun pria di hadapannya ini, Zeeya tidak tertarik sama sekali. Akhlak dan perangainya tidak memiliki kekuatan yang bisa menarik perasaan Zeeya untuk memujanya. Setidaknya untuk saat ini masih begitu.
"Bahkan setelah dia menghukum dan melukai adik Anda, hanya itu yang Anda lakukan padanya?"
Allendra menyimpan rokoknya kemudian menyimpan kedua tangan di atas meja, menatap penuh minat pada perempuan manis dengan surai tergerai indah dan ditata rapi dengan jepitan rambut berbentuk kupu-kupu di dekat cuping telinganya.
"Kau ingin aku melakukan apa padanya?" tanya Allendra menunjukkan senyum lebar namun penuh rencana licik, "Katakan, aku bisa melakukan apa pun yang kau mau. Permintaanmu adalah titah bagiku, kau lihat sendiri, kan, aku bahkan menyempatkan diri untuk menemuimu di tengah jadwal sibukku hari ini."
Zeeya tidak mengerti, Allendra mengucapkan semua itu dengan nada biasa bahkan terkesan manis menggoda namun yang diterima pendengarannya justru terasa begitu mencekam. Aura pria ini begitu pekat, terbalut selimut kegelapan yang tak tersentuh cahaya terang. Semanis apa pun dia berkata, membuat orang-orang serasa diancam. Ada getar takut dan segan dalam diri Zeeya ketika berinteraksi dengan Allendra. Dirinya tidak pernah nyaman ketika ditatap atau menerima senyuman pria itu. Benar kata Alena, pria ini mengerikan.
"Saya hanya berharap agar Anda bisa merawat dan memperhatikan Alena dengan lebih baik lagi. Ini adalah tahun terakhirnya di sekolah, semangati dia dan berikan dukungan moral yang lebih untuk adik Anda. Hanya itu yang dia perlukan dari keluarganya. Saya merasa dia sedang memendam sesuatu yang begitu mengganggu pikirannya."
Zeeya menjelaskan dengan serius dan menjabarkan semua hasil analisis yang dilakukannya selama masa konsultasi yang dilakukannya dengan Alena.
"Coba Anda arahkan dia untuk berpikir lebih positif. Dukung kegiatan yang diinginkannya dan bantu dia untuk mewujudkan cita-cita yang dia inginkan."
"Kau yakin mau meminta itu dariku? Aku akan dikutuk jika melakukan semua saranmu."
"Kenapa, bukankah hanya Anda satu-satunya keluarga yang dia punya?"
"Benar, satu-satunya keluarga yang dia punya dan yang ingin dia hilangkan."
Nada bicara Allendra pada frasa terakhir merendah, tatapannya kembali menajam, dan garis bibirnya mendatar. Awan mendung berkumpul di atas kepala pria itu, kelam sekali.
"Apa maksud Anda?"
Allendra menegapkan duduknya, dia bersandar pada kepala sofa lalu tersenyum cerah lagi.
"Dia ingin membunuhku, hanya itu cita-cita yang mati-matian dia perjuangkan—menghilangkanku dari dunia ini adalah impian terbesarnya. Kau ingin aku membantunya untuk menjadi pembunuh kakaknya sendiri?"
Zeeya melotot kaget, dua kali dia mendengar hal menyeramkan ini. Bagaimana bisa mereka menyebutkan tentang pembunuhan dengan begitu mudahnya. Allendra menunjukkan ekspresi geli sekaligus gemas melihat guru adiknya terkejut bukan main. Sebelum perempuan itu bertransformasi menjadi patung, Allendra berinisiatif mengganti topik pembahasan.
"Kau sudah punya pacar?"
"Kenapa Anda ingin tahu?"
"Ah, benar, punya ataupun tidak, itu tidak berpengaruh. Kau akan tetap menjadi wanitaku."
Senyum menjengkelkan itu terbit lagi, ada yang punya jarum dan benang tidak? Zeeya ingin menjahit bibir pria itu dengan segera agar dia tidak terus berulah.
"Saya benci pria yang tidak bertanggung jawab. Jadi berhentilah bermimpi, karena sampai kapan pun tujuan Anda tidak akan tercapai."
Allendra memejam sedetik masih dengan senyum lebar di bibirnya. Gemas mendengar jawaban Zeeya yang benar-benar memacu adrenalin hatinya. Ia senang menemukan tantangan yang menyenangkan. Ia akan berterima kasih pada adiknya karena berkat Alena, Allendra menemukan Zeeya.
"Mau bertaruh denganku?"
"Saya tidak punya waktu terlibat taruhan dengan orang seperti Anda."
"Kau akan jatuh cinta padaku, Nona Zeeya."
"Bermimpilah sesering yang Anda mau, selagi itu masih gratis."
"Sekali pun aku harus membayar mahal untuk memimpikanmu, aku akan tetap melakukannya, kenapa? Karena aku mampu. Jadi, siapkan diri dan hatimu mulai dari sekarang. Sebenarnya aku bisa saja membuatmu memenuhi keinginanku dalam sekejap, tapi tentu saja itu terlalu biasa, bukan?"
Allendra membenarkan jasnya lalu berdiri dan menatap Zeeya penuh ambisi namun terlihat santai. Seolah pria itu yakin 1000% bahwa ambisi dan obsesinya itu akan terwujud di kemudian hari, ah, ralat, tidak lama lagi.
"Jangan terlalu percaya diri dan yakin dengan pendirianmu saat ini. Kau tidak akan tahu badai sebesar apa yang bisa memporak porandakan semua keyakinan itu nanti. Apa yang menurutmu salah sekarang, bisa menjadi benar dan yang benar bisa menjadi salah. Semua ini hanya tentang waktu dan aku."
Zeeya sudah berdiri, dia pun siap beranjak dari kafe itu. Allendra mendekat dan gadis itu mundur selangkah. Allendra memajukan wajahnya hingga ke samping telinga Zeeya.
"Hidupmu tidak akan sama lagi setelah mendapat sentuhanku," kata Allendra seduktif.
Dia menyibak surai Zeeya sedikit kemudian secara tidak terduga mendaratkan satu tanda kepemilikan di leher jenjang gadis itu. Zeeya sontak mendorong tubuh Allendra. Dia melotot marah ditambah perasaan terhina. Satu hal yang Zeeya lupakan dari pria ini. Allendra memang tidak memiliki kekuatan untuk membuat Zeeya tertarik dengan cepat padanya. Namun pria itu memiliki mantra aneh yang akan bekerja ketika dia mendekati Zeeya maka tubuh gadis itu membeku seperti patung es. Kaku untuk digerakkan dan mantra itu pun berhasik merusak sensor penolakan dalam diri Zeeya. Reaksinya atas tindakan kurang ajar Allendra bekerja dengan lamban.
"Aku suka ekspresi kagetmu," kata Allendra tersenyum menggoda lagi.
Zeeya refleks memegangi lehernya bekas kecupan Allendra. Setelahnya, ia menatap lebih tajam lagi pada pria itu.
"Kenapa, masih kurang?"
"Freak!"
Allendra terkekeh dulu baru menjawab, "Aku tahu, belajar membiasakan diri, ya. Pacarmu memang suka mengejutkan seperti tadi. Aku harus pergi, rapatnya sudah terlalu lama kutunda gara-gara dirimu. Tanggunng jawab, ya, nanti. See you."
Pria itu pergi begitu saja. Benar-benar melenggang lurus tanpa berbalik atau mengucapkan sepatah kata pada Zeeya. Bukan berarti Zeeya ingin pria itu kembali dan berbicara padanya, tidak, gadis itu hanya tidak percaya atas kejadian konyol yang baru dia alami.
"Pria gila, ish!"
Bersambung
Alena berbaring dan menatap lurus langit-langit kamarnya yang bertabur bintang. Interior ruangan di kamar gadis itu memang lebih futuristik dibanding ruangan lain yang ada di istana megah keluarganya. Jika kamar Allendra didominasi warna hitam dan abu, maka berbeda dengan kamar Alena meski kesan yang didapat sama-sama gelap. Di kamar gadis itu warna putih dan biru lebih dominan. Lampu yang berpijar di bawah tempat tidurnya yang berbentuk bundar menyala terang sejak tadi.Tepatnya, sejak sang pemilik berbaring di atas kasur itu sambil merenungi kejadian demi kejadian yang telah terjadi hari ini. Sebelum benar-benar memeluk geming, Alena sempat memukul-mukul kasur dan meluapkan emosinya pada barang-barang di atas meja riasnya. Meja yang sama sekali tak menampung peralatan tempur perempuan ketika merias diri. Di sana hanya ada pelembap, bedak bayi, dan parfum kesukaan Alena. Selebihnya, tidak ada apa-apa lagi. Ah, mungkin di laci mejanya ada sisir dan hair dryer, itu pun jarang
"Ck, ck, ternyata kutukan Spancer itu benar adanya," gumam Vincent sambil geleng-geleng tak menyangka."Maksudmu?""Kau tidak tahu?""Tahu apa?"***"Selamat pagi," sapa seorang pria, menyapa Zeeya ketika gadis itu baru keluar dari rumahnya."Pagi, kau baru mau berangkat, Mark?""Iya, mobilmu mana?""Di bengkel.""Ada masalah apa memangnya?""Entah, aku tidak mengerti. Hanya saja kemarin keluar asap dari bagian kap depan. Maklum, mobil tua.""Mm, bagaimana kalau hari ini kau berangkat bersamaku?"Zeeya tersenyum sopan pada tetangga sekaligus teman kuliahnya ini. Dia bekerja di salah satu bank swasta sebagai manajer. Tubuhnya tinggi, memiliki tahi lalat di dagu, dan berkaca mata. Meski begitu, pria yang selalu tampak formal sepanjang Zeeya mengenalnya tetap terlihat ideal untuk dijadikan kriteria para gadis. Dia baik, ramah, dan sangat perhatian, dan cukup menyenang
"Jangan macam-macam, ini di sekolah.""Berarti kalau di luar sekolah boleh?"***Kehidupan itu tentang pusaran waktu, menyeretmu ke setiap sudut situasi tanpa ingin bertanya apakah kau siap atau tidak untuk menghadapinya. Seperti aliran sungai yang tidak akan berhenti berjalan sampai ia bermuara di titik yang semestinya. Sekali pun kau memaksa, agar apa yang tak diinginkan menghilang dari pandangan namun waktu tahu kapan dia harus memanjakanmu. Waktu tahu kapan ia harus mengabaikanmu. Waktu tahu, kapan ia harus berada di sisimu atau menjauh darimu sampai batas yang dia inginkan. Kau harus bahagia hari ini, maka itu adalah waktumu. Dia akan sukses esok hari, maka itu adalah waktunya. Kau yang belum mencapai titik membanggakan dalam hidup bukanlah pecundang yang tak dibutuhkan. Waktumu belum tiba namun bukan berarti kau harus meregang asa. Bukan berarti kau harus menyurutkan usaha. Selagi menanti waktu, mari bekerja
"Pulanglah tuan Allendra, saya yakin kekasih Anda sedang menunggu di rumah.""Kekasihku sedang menunggu di sini."***Dua orang itu saling melempar tatap, bingung mau mulai dari mana dan dengan cara apa. Tepatnya, Liam yang merasakan hal itu sementara Alena hanya duduk tenang sambil memperhatikan sang kapten basket yang entah mengapa bisa duduk berhadapan dengannya di perpustakaan hari ini."Bisa kita mulai?" tanya Liam, Alena diam saja."Mohon kerja samanya karena ini juga bukan kemauanku.""Siapa yang menyuruhmu?""Ketua Yayasan."“Lo tahu gue enggak suka belajar, kan?""Tahu."Alena mengangguk kemudian bersiap pergi."Duduk," kata Liam penuh tuntutan.Gadis itu menoleh sambil mengernyitkan kening."Aku tahu kau benci belajar dan tugasku sekarang adalah membuatmu melakukan apa yang kau benci.""Dibayar berapa lo sama si Pak tua itu?""Bicara yang sopan,
"Kenapa diam saja, makan, aku sengaja memesan menu termahal untukmu.""Saya mau pulang, bukan mau makan di restoran!" protes Zeeya, enggan menyentuh satu pun sajian makan malam lezat yang sengaja dipesan Allendra.Pria itu memesan beberapa menu makanan western dengan porsi yang tidak manusiawi. Setiap sudut meja dipenuhi dengan makanan. Sebenarnya, jauh di lubuk hati, gadis itu mulai tergoda dengan lambaian asap beraroma sedap yang menguar dari hidangan itu. Kalau saja bukan Allendra yang menyajikan semua ini, pasti setengahnya sudah habis Zeeya lahap. Jangan salah, walau berbadan kecil tapi nafsu makannya luar biasa rakus. Kebiasaan itu didukung oleh satu fakta melegakan, sebanyak apapun makanan yang masuk ke usus Zeeya, tidak akan berpengaruh sama sekali pada bobot tubuhnya. Tanpa perlu diet dia bisa makan banyak sesuka hati. Keuntungan yang menjadi impian sebagian besar perempuan di muka bumi."Makan dulu baru pulang. Kau pasti lapar, kan, dari tadi belum mak
Hujan turun kian deras, membasahi bumi sambil membawa serta siur angin kencang. Kaki dan tangan Zeeya mulai terasa kebas, bibirnya menggigil hampir dibekukan rasa dingin. Zeeya mengutuk Allendra dan semesta yang sengaja berkonspirasi membuatnya tersiksa. Kesialan demi kesialan berdatangan, sudah dibuat kesal seharian, di sekolah pekerjaannya menekan tidak tertahan, makan malam diusik, menyaksikan adegan tidak pantas di depan matanya, sampai gagal mendapatkan taksi meski sudah berulang kali ia memberi kode berhenti. Setiap taksi yang melintas sudah terisi penumpang, halte bus tidak tahu seberapa jauh lagi.Tiga puluh menit berjalan, gadis itu tak menemukan tanda-tanda halte atau pemberhentian kendaraan lainnya. Ingin meminta bala bantuan, ponselnya mati tak berdaya. Oh, lengkap sudah. Mungkinkah ini bentuk nyata kutukan Spancer? Mengapa tidak ada satu pun yang berjalan lancar sejak tadi. Sekujur tubuh Zeeya mati rasa saking dinginnya. Meneduh pun percuma karena tidak ada lagi
Brak!Pintu kamar Allendra terbuka, pria itu menoleh ke samping begitu pun dengan Zeeya. Alena berdiri di ambang pintu dengan ekspresi datar, dia melangkah memasuki kamar pria itu dan menusuk mata kakaknya dengan tatapan sinis. Allendra menarik dirinya dari Zeeya, kemudian duduk tegap menyambut adiknya dengan seringaian."Apa yang membawa adik kesayanganku berkunjung ke kamar terlarang ini, hm?"Zeeya melotot kaget mendapati muridnya memberikan tatapan yang sulit ia definisikan. Seperti sorot kecewa dan tak menyangka mungkin. Gadis itu pun duduk dengan benar, menurunkan pandangan karena malu tertangkap basah di posisi yang bisa membuat semua orang salah paham."Bu Zeeya, saya ingin bicara," kata Alena tanpa memedulikan pertanyaan kakaknya."Oh iya, ayo.""Kau tidak bisa mengajaknya tanpa seizinku, anak manis." Allendra bermaksud wanitanya."Tidak masalah, ayo, Len, kita bicara,” ungkap Zeeya lebih memilih mengikuti Alena dibandi
"Green tea segar tanpa bubble, sesuai pesananmu," kata Mark sambil memberikan minuman pada Zeeya."Terima kasih," ucap Zeeya lantas menyeruput minuman itu."Suka?" tanya Mark lagi.Zeeya mengangguk sambil tersenyum."Kau suka dengan filmnya?""Suka."Mereka berjalan berdampingan keluar dari area bioskop yang ada di salah satu mall terbesar pusat kota."Bagian mana yang kau suka?""Mm, saat si pemeran pria mengorbankan dirinya demi gadis yang dia cinta. Aku cukup tersentuh melihat dia yang rela mati dengan membawa segenap kebencian orang-orang. Maksudku, apa mungkin ada orang sebaik itu di dunia nyata? Dia rela dibenci bertahun-tahun oleh wanita yang dia cinta untuk sebuah kesalahan yang tidak pernah dia lakukan. Dia tidak mencoba melakukan pembenaran atau sekadar membela diri. Membiarkan dunia mencapnya jahat sampai akhir hayatnya. Bukankah itu tindakan yang bodoh?""Sebagian penonton mungkin menganggapnya demikian. Tapi