LOGINBandara internasional itu dipenuhi hiruk pikuk penumpang yang berlalu lalang, suara roda koper berderit di lantai marmer, aroma kopi dari kafe, pengumuman keberangkatan dan kedatangan bergema bergantian. Namun, semua itu seakan meredup ketika seorang pria melangkah tenang keluar dari pintu kedatangan.
Posturnya tinggi, tegap, berwajah rupawan, dengan rahang tegas dan tatapan mata yang dalam. Usianya sekitar tiga puluh tahun, namun caranya berjalan --tenang, mantap, tanpa tergesa-gesa, menyiratkan wibawa yang sulit di jelaskan dengan kata-kata. Banyak mata wanita otomatis terarah padanya. Beberapa bahkan tersenyum samar, memainkan rambut atau bibir, mencoba menarik perhatiannya. Dari sudut Kafe, sekelompok wanita berbisik sambil menahan tawa kecil. "Pasti dia seorang aktor," kata salah satu wanita. "menurutku bukan, dia pasti model internasional," sanggah wanita yang lain. "Kalian pasti salah, jangan-jangan personel boy band K-pop," celetuk wanita berbaju kuning. Bahkan seorang pria paruh baya menghampiri mereka dan berkata lirih. "Kalau menurut saya, bisa jadi dia adalah seorang pangeran dari Timur Tengah.": Salah seorang wanita yang berwajah manis tertawa lirih. "Bapak sedang bercanda ya. Sejak kapan seorang pangeran Timur Tengah berwajah oriental." Pendapat-pendapat itu bertebaran seperti riak air, namun sang pria tetap melangkah tanpa terganggu sedikitpun, seolah baginya semua tatapan, senyuman dan celoteh mereka adalah hal yang biasa terjadi, seperti angin lalu. Senyum tipis sempat terbit di bibirnya--bukan untuk siapa-siapa, melainkan untuk dirinya sendiri. Ia telah terbiasa dengan sorot mata itu. Baginya, suasana di bandara kala itu adalah panggung, dan ia sebagai pemeran utama yang namanya terbang seperti pesawat di angkasa. Pria iitu bernama Calvin, atau lebih lengkapanya adalah Calvin law, seorang pria berpenampilan elegan berpaspor Singapura. Bagi yang melihatnya tentu akan mengira ia adalah seorang prince, model, atau selebritis yang sedang berlibur. Wajah rupawannya menggambarkan aura kharismatik yang tinggi bagi setiap mata yang memandang. Namun di balik semua itu, Calvin Low adalah sebuah bayangan dari kegelapan yang menakutkan. Dia adalah bos mafia. Namanya begitu populer di kalangan dunia hitam. Dibalik senyum yang menawan, Calvin Low adalah sosok yang menakutkan bagi musuh-musuhnya. Dia bisa beubah menjadi sosok kejam bagi siapa pun yang menghambat jalannya. Tapi di balik itu semua, Calvin Low juga di kenal sebagai pria sejati yang menghargai kesetiaan dan keberanian. Dia sangat disegani bagi semua mitranya, dan ia juga terkenal sangat loyal kepada mereka. Tapi jika ada di antara mereka yang berkhianat maka Calvin akan menjadi singa yang siap memburu siapa pun itu.. SEKILAS KITA AKAN FLASHBACK DAN MENGUPAS SISI KELAM MASA LALU DARI CALVIN LOW. Calvin Low adalah seorang anak yang memiliki darah campuran. Ayahnya adalah pria keturunan Tionghoa yang berprofesi sebagai bandar judi di daerah perbatasan kepulauan Riau. Sementara ibunya adalah wanita cantik asal kota kembang Bandung. Sebelum menikah dengan ayahnya, ibu Calvin berprofesi sebagai wanita penghibur di beberapa club malam. Ayah Calvin adalah salah satu pelanggan yang sering memakai jasa ibunya. Setelah berkenalan dan menjalin hubungan selama setahun lebih, Ayah Calvin benar-benar jatuh hati kepada ibunya dan memutuskan untuk menikah. Kebahagian pasangan itu semakin bertambah setelah setahun kemudian lahirlah Calvin. Namun kebahagian itu ternyata tidak bertahan lama. Pada saat Calvin berusia 10 tahun, ibu Calvin terlibat perselingkuhan dengan seorang polisi. hubungan gelap itu terjadi selama setahun. Ayah Calvin mulai mencurigai adanya sesuatu yang mencurigakan dari istrinya. Dan kejadian malam berdarah itu masih terbayang dalam benak Calvin Low. Ayah Calvin akhirnya membunuh ibunya dan pasangan selingkuhannya dengan kejam ketika sedang bermesraan di sebuah kamar hotel. Setelah membunuh keduanya. Ayah Calvin menjadi buronan aparat atas tuduhan pembunuhan terhadap seorang polisi dan istrinya. Selama tiga tahun ayahnya Calvin menjadi buronan polisi, hingga akhirnya dia tewas tertembak ketika coba melarikan diri di sebuah bandar judi dekat perairan. Sejak saat itu, Calvin Low berubah menjadi sosok remaja jalanan. Dia bekerja sebagai pembantu di sebuah arena perjudian ilegal yang berada di Kepulauan Riau. Tapi, setahun kemudian. Bandar tempatnya bekerja di grebek oleh petugas kepolisian. Semua pekerja dan juga pemilik di tangkap kemudian di masukkan ke dalam sel tahanan polisi. Calvin Low di vonis hukuman selama enam bulan kurungan. Setelah bebas dari hukuman selama enam bulan. Masa itu Calvin Low masih berumur 16 tahun. Ia mencoba nasibnya menjadi seorang petarung bebas di arena bawah tanah. Dia berlatih keras, tanpa kenal rasa lelah. Calvin Low berubah menjadi remaja yang tangguh, tak kenal takut. Dalam pertarungan perdananya. Calvin Low sedikit kewalahan. Namun akhirnya dengan perjuangan dan tekad pantang menyerah, ia berhasil memenangkannya, dari sanalah awal dari kejayaannya. Calvin terus bertarung, ia tak pernah kalah. Namanya mulai di kenal sebagai petarung muda yang menjanjikan. Popularitas Calvin di arena saat itu menjadi awal perkenalannya dengan seorang pria paruh baya bernama Miguel Cortez. Miguel Cortez adalah pebisnis asal Amerika Selatan. Di samping sebagai pebisnis, Miguel Cortez juga adalah salah satu promotor kelas atas di arena pertarungan bebas. Dia menonton pertarungan Calvin kala itu. Dan akhirnya mereka berkenalan, lalu Miguel menjadi promotor untuk pertarungan Calvin selanjutnya. Miguel sangat senang dengan Calvin. Kemenangan-kemenangan secara beruntun diperoleh Calvin. Namanya menjulang tinggi sebagai petarung yang belum terkalahkan. Setiap lawan selalu bisa dia kalahkan. Calvin memiliki rasa percaya diri yang tinggi. teknik beladirinya begitu sempurna, ia bisa memadukan antara kekuatan dan kepintaran yang sulit untuk di temukan dari semua petarung yang lain. Hubungan antara Miguel dan Calvin terbentuk bukan sekedar bisnis, tapi lebih dari itu. Mereka seperti sahabat atau keluarga. Pertemuan mereka tidak hanya terjadi di arena pertarungan bebas. Tapi mereka sering terlihat bersama di tempat tertentu seperti restaurant mahal, cafe, discotik, dan Juga club-club malam yang tersebar di penjuru kota. Selama dua tahun hubungan bisnis keduanya berjalan mulus sesuai harapan, tanpa ada masalah. Namun akhirnya. Semua berakhir menjadi tragedi berdarah yang tak akan pernah pudar dalam ingatan. Penyebab awal dari peristiwa bukan lain hanya dua kata yang terkesan sepele namun sangat berbahaya: WANITA CANTIK. Wanita itu bernama Nadya. rupanya cantik, kulitnya mulus, usianya belum genap 20 tahun, dia berasal dari Sumatra Bagian Selatan. Nadya adalah kekasih dan wanita simpanan Miguel. Hubungan mereka sudah terjalin hampir satu tahun lamanya. Miguel sudah berusia setengah abad, berbeda jauh dengan Nadya. Sekilas mereka lebih pantas di sebut sebagai pasangan bapak dan anak daripada sepasang kekasih yang sedang larut dalam gelora asmara. Miguel sangat sayang dan cinta kepada kekasih gelapnya itu. Semua permintaan Nadya ia turuti : Mobil mewah, apartemen, perhiasan mewah, dan banyak lagi. Semua itu ia berikan sebagai lambang cinta kepada Nadya. Namun bagi Nadya sendiri. Apa yang ia lakukan bukan karena cinta tapi karena hasrat kemewahan yang selama ini belum pernah ia dapatkan. Miguel mencintainya bagai musim semi yang tak pernah berakhir, menghadiahi bunga, perhiasan, dan janji yang di bungkus kata-kata manis. Di matanya, Nadya adalah cahaya yang menunda senja hidupnya. Namun di hati sang gadis, tak ada rumah untuk cintanya - semua hanya sebatas pelabuhan persinggahan sementara. Ia menikmati pelukan dan belaian, sementara Miguel tenggelam, tak sadar cintanya perlahan hanyut tanpa arah dan tujuan.Sekitar dua kilometer dari desa nelayan itu, empat kendaraan tanpa plat nomor diam diam melintasi jalan tanah yang sunyi, tanpa lampu menyala. Di dalamnya, delapan orang polisi khusus dari unit anti teror India tengah mempersiapkan penyergapan. Dua di antaranya adalah pembunuh bayaran berdarah dingin yang sudah menerima instruksi dari Alvaro."Target harus hidup hanya untuk beberapa menit interogasi. Setelah itu, pastikan mereka lenyap untuk selamanya."Komandan unit, pria bernama Inspektur Dinesh Verma, telah menerima laporan dari seorang informan anonim, bahwa buronan internasional yang terlibat pembunuhan dua warga India dan sebagai penyusupan perairan nasional, tengah bersembunyi di sebuah rumah panggung tua di ujung desa pesisir.Dines mengecek jam tangannya. 03.24 dinihari. Waktu ideal untuk membekuk target tanpa menarik perhatian warga desa."Jangan bersuara. Gunakan peluru senyap. Tangkap mereka hidup-hidup jika bisa. Tapi kalau melawan..." Dinesh mengisyaratkan lehernya deng
Langit pagi di desa nelayan itu seakan selalu lebih lembut bahkan lebih dari yang lain. Kabut tipis masih menggantung di atas laut, dan bau asin yang bercampur aroma kayu bakar menyambut setiap langkah. Rumah rumah berdinding bambu dan beratap ilalang berdiri rapuh namun hangat, seperti masyarakatnya yang sederhana tapi penuh penerimaan. Valeri duduk di atas dermaga kayu kecil, kakinya menjuntai menyentuh air laut yang jernih. Wajahnya yang biasanya tegar tampak teduh, tersapu sinar matahari pagi. Di sampingnya, Badai memancing dalam diam, namun hatinya tidak tenang. Bukan karena ikan yang enggan datang, tapi karena dia tahu kedamaian ini bisa sewaktu waktu runtuh. Valeri berbicara pelan: "Badai....kalau hidup kita normal, mungkin pagi seperti ini seperti biasa ya. Tapi sekarang...rasanya seperti mimpi." Badai melirik sekilas: "Mimpi yang bisa runtuh kapan saja. Desa ini seperti jeda di antara dua peluru." Valeri tersenyum samar: "Tapi aku bahagia...kalau kamu ada di sisiku. Ba
Di tengah pelabuhan sepi yang hanya diisi suara debur ombak dan denting rantai kapal, Alfaro berdiri mengenakan mantel hitam panjang, wajahnya tersembunyi dalam bayang. Di hadapannya, seorang perwira polisi india berpangkat menengah dan dua pria bertubuh kekar, bertato, dengan mata seperti binatang pemburu.Dua orang itu bukan orang sembarangan. Mereka adalah pembunuh bayaran yang dikenal dalam dunia hitam India selatan bernama Rajan dan Babu bersaudara, ahli dalam beladiri dan pembunuhan senyap.Alvaro berbicara dengan datar dan tenang dalam bahasa inggris:"Saya tidak bayar kalian untuk memastikan mereka hidup. Saya bayar kalian untuk memastikan....mereka mati. Kalau mereka sudah mati, bagus. Tapi kalau mereka masih bernapas....pastikan napas itu adalah yang terakhir."Babu, salah seorang dari pembunuh bayaran menyela:"Kami tidak membunuh anak anak atau wanita."Salah seorang pembunuh bayaran yang bernama Rajan ikut menyela sambil tertawa dingin. "Kecuali bayarannya bagus. Dan kam
Di balik dinding kaca vila yang megah dan taman tropis yang sempurna, Mellisa duduk sendiri di ruang kerja pribadinya. Senyap. Laptop tertutup. Telepon genggamnya tak berhenti bergetar. Pesan dari media, pengacara, bahkan wartawan luar negeri. Tangannya gemetar, tapi bukan karena takut. Karena marah. Karena bingung. Karena luka. Langit sore ubud berwarna tembaga, tapi hatinya abu abu. Mellisa berjalan pelan ke jendela besar yang menghadap kolam datar. Tapi pikirannya bukan di sana. Pikirannya kembali pada malam terakhir ia melihat Valeri sebelum putrinya itu berangkat liburan ke Raja Ampat. Dua minggu yang lalu. Saat mereka bertengkar karena Alvaro. Mellisa duduk kembali di kursi rotan antik warisan keluarganya. Ia membuka album Valeri lama. Tawa penuh cahaya. "Anakku tak mungkin pembunuh." Air mata jatuh. Bukan karena lemah. Tapi karena seorang ibu yang merasa kehilangan dan percaya pada suara hatinya sendiri. ***** Mellisa mengenakan gaun krem elegan dan mantel tipis.
Nelayan itu tak banyak bicara. Ia memberi mereka air minum dari botol usang dan sepotong roti kering, lalu menatap ke arah cakrawala, memastikan arah pulang. Diwajah tuanya terpahat ketenangan dan kebijaksanaan hidup yang panjang di lautan. Badai sempat bertanya namanya, tapi si nelayan hanya tersenyum samar, lalu menggeleng pelan, seolah mengatakan: namaku tak penting, yang penting kalian selamat. Sesampainya di sebuah desa nelayan kecil di pesisir india, Valeri dan Badai disambut oleh warga dengan tangan terbuka. Meski tempat itu sederhana, mereka diberi tempat untuk beristirahat, makanan hangat, dan pakaian bersih. Badai dan Valeri berterima kasih dalam diam pada kehidupan dan pada si nelayan tua yang menyelamatkan mereka tanpa meminta imbalan. Dalam remang cahaya lampu minyak, Badai duduk memandangi api kecil dari perapian buatan. Valeri mendekat, menyelimuti bahunya dengan selimut yang mereka bagi berdua. "Aku hampir tidak percaya dengan kejadian ini, dari terombang ambing d
Valeri dan Badai berdiri di bibir atap. Napas mereka memburu. Darah dan air hujan bercampur di wajah mereka. Laut mengamuk dibawah, gelap dan ganas. Tapi sebelum mereka melompat. ""Whoop whoop whoop...!!!" Sebuah helikopter tempur muncul dari balik badai! Lampu sorotnya menyorot wajah mereka. Suara bilahnya menampar udara seperti palu perang. Pintu heli terbuka. Empat pria bersenjata laras panjang mengarahkan senapan ke arah mereka. Pilot Heli berteriak melalui pengeras suara: "Letakkan diri anda!," angkat tangan!," kalian di kepung!" Valeri memicingkan mata melawan cahaya. Dari belakang, langkah kaki para penjaga menara mulai mendekat. Tangga bergetar. Mereka benar benar terjepit: Langit dan laut bersatu menjadi perangkap maut. Valeri berbisik kepada Badai: "Kalau kita bertahan di sini," kamu pasti ngerti apa yang akan terjadi." Badai menatap ke bawah dan kembali memandang Valeri. "Tapi setidaknya kalau kita melompat bersama, kita belum tahu apa yang akan terjadi n







