MasukLampu neon berkedip-kedip di langit-langit klub malam, memantulkan warna merah dan biru di wajah para pengunjung. Musik berdentum, menggetarkan dada, bercampur aroma minuman keras dan parfum mahal. Di sudut VIP, Miguel duduk di sofa kulit hitam, jasnya rapi meski suasana santai. Di sebelahnya, seorang wanita cantik bergaun merah, bibirnya sexy dengan mata yang bercahaya--NADYA.
Mereka tampak mesra. Sesekali Miguel mengelus pelan pipi Nadya yang halus. Nadya tersipu. "Kapan dia datang, Miguel. Kau katakan dia petarungmu yang hebat." Miguel membelai rambut Nadya. "Sebentar lagi, tapi kau jangan sampai jauh cinta." "Kau adalah segalanya, Miguel. Aku tidak akan jatuh ke lelaki manapun selain dirimu," Balas Nadya dengan lirikan genit. Beberapa menit kemudian. Calvin melangkah masuk, tubuh atletisnya menyita perhatian. Miguel bangkit, menyambutnya dengan senyum lebar. MIGUEL: "Hai, Calvin! Petarung terhebat saya. Besok malam, semua mata akan melihatmu di arena." CALVIN: "Aku berjanji tidak akan mengecewakan Anda, Tuan Miguel. Besok aku akan berikan yang terbaik." Miguel menepuk bahu Calvin dengan bangga, lalu menoleh ke wanita di sampingnya. MIGUEL: "Kenalkan, dia Nadya... bidadariku." Nadya berdiri, mengulurkan tangan. Sentuhan jari mereka hangat, dan di balik senyum ramah, ada kilatan tak terucap di mata Nadya. NADYA: "Kau lebih tampan dari yang kukira. Miguel selalu memujimu. Dia bilang kau adalah petarung ang hebat." CALVIN: "Tuan Miguel terlalu berlebihan memujiku. Tapi dia benar mengatakan tentang dirimu, Nona Nadya. Bahkan kau lebih cantik dari yang ku dengar." Miguel tertawa, menganggapnya hanya basa-basi biasa. Tapi tatapan Calvin dan Nadya bertemu sedikit lebih lama dari seharusnya. Di tengah dentuman musik, keduanya seperti merasakan denyut yang sama--rasa ingin tahu bercampur ketertarikan yang tak mereka duga. Percakapan malam itu mengalir ringan, membicarakan pertarungan, lawan-lawan, dan dunia bawah tanah. Namun di sela tawa, setiap lirikan Nadya dan Calvin adalah percakapan sunyi yang tak diucapkan dengan kata. Bagi Miguel, malam itu hanyalah pertemuan biasa menjelang pertandingan Calvin. Tapi, bagi Calvin dan Nadya, malam itu adalah awal dari sesuatu yang tak seharusnya dimulai - sebuah simpati yang perlahan berubah menjadi godaan berbahaya. ***** Lampu-lampu sorot menembus kabut tipis di arena pertarungan bebas malam itu. Riuh teriakan penonton bergema, bercampur dentuman musik pembuka yang mengguncang panggung. Aroma keringat, adrenalin, dan minuman keras menyatu di udara panas yang penuh gairah. Di tribun VVIP, Miguel duduk tegap dengan setelan mahalnya, menatap serius ke arena pertarungan dengan tatapan puas. Di sampingnya, Nadya--bergaun hitam elegan, bibir merah merekah, mata tajam - tampak memperhatikan Calvin yang sedang melakukan pemanasan di sisi ring. Beberapa saat sebelum gong pembuka, tatapan Calvin bertemu dengan Nadya. Sekilas saja, namun cukup untuk mengirimkan percikan aneh yang merambat di dada keduanya. Senyum tipis di bibir Nadya terasa seperti bisikan tanpa suara, membuat jantung Calvin berdetak lebih cepat. Miguel, sibuk menyapa tamu di sebelahnya, tak menyadari momen sesaat dari keduanya. Gong berbunyi--pertarungan dimulai. Yang menjadi lawan Calvin malam itu, bukan sembarang petarung. Namanya TAGOR, pria bertubuh kekar dari Sumatra Utara, rekor bertarung tak terkalahkan sama dengan Calvin. Di kenal dengan pukulan mautnya yang pernah membuat lawan pingsan hanya dalam dua menit. Riuh sorakan penonton langsung memanas. Tagor maju agresif, melancarkan jab kiri cepat. Calvin menghindar, membalas dengan LOW KICK keras ke betis lawan. Suara benturan keras terdengar, namun Tagor hanya menyeringai, seolah mengejek dan mengatakan: "Hanya itu saja?" Pertarungan berlangsung dalam tempo cepat. Tagor menyerbu, mencoba meraih Calvin ke posisi CLINCH dan melayangkan lutut ke arah perutnya. Calvin berhasil memblokir, lalu memutar tubuh, mengunci lengan lawan dan mencoba menjatuhkannya. Tapi Tagor kuat - terlalu kuat. Ia mendorong balik, membuat Calvin mundur beberapa langkah. Sorakan semakin memekakkan telinga. Penonton berdiri, berteriak memanggil nama jagoan masing-masing. Miguel di tribun menggenggam gelasnya erat, Nadia di sebelahnya hanya memandang Calvin, matanya tak lepas dari setiap gerakan pria itu. Tagor mencoba melakukan serangan kombinasi--hook kanan, uppercut kiri - memaksa Calvin bertahan di sudut ring. Napas Calvin mulai berat, tapi matanya tetap fokus. Dengan timing sempurna, ia menunduk menghindari UPPERCUT, lalu melepaskan pukulan lurus ke dagu Tagor. Kepala Tagor terangkat, tubuhnya sedikit goyah, tapi ia belum kalah. Tagor masih berdiri. tatapan tajam seperti serigala lapar. Sorakan semakin gila. "Habisi dia, Calvin!" terdengar dari sisi penonton. Tagor dengan amarah yang menggebu, menyerang lagi dengan pukulan dan tendangan beruntun. Calvin dengan cekatan menangkis, menghindar gesit, menunggu celah. Lalu momen itu datang_saat Tagor keasikan menyerang, sisi kiri pertahanan tubuhnya terbuka, Calvin melepaskan tendangan memutar ke arah rusuk. Suara dentuman keras membuat penonton serentak berseru. Tagor terhuyung, dan Calvin tak menyia-nyiakan momen berharga itu. Ia menghujani lawan dengan pukulan cepat dan terukur--tak henti, Calvin terus mencecar bagian tubuh Tagor - satu,dua, tiga, dan di akhiri dengan tendangan memutar tepat menghantam kepala Tagor. BUKKK!! Tagor terjatuh dan tersungkur. Wasit segera memisahkan, tapi Tagor masih berusaha bangkit. Matanya buram, langkahnya goyah. Gong belum berbunyi, Calvin tahu ia harus mengakhiri ini. Ia maju, memamfaatkan kondisi fisik Tagor yang melemah dan pertahanan yang terbuka. Calvin menyerang cepat dan tepat, ia mengunci leher Tagor dalam tekhnik GUILLOTINE CHOKE. Penonton menahan napas. Beberapa detik terasa seperti selamanya_dan akhirnya, Tagor menepuk lantai, tak sanggup melawan dan menyerah. Gong berbunyi. Arena meledak dalam sorakan gemuruh penonton. Calvin berdiri tegak, napas terengah, keringat mengalir di wajahnya. Wasit mengangkat tangannya tinggi sebagai tanda pemenang. dari tribun terdengar teriakan: "Calvin Law!!" Di tribun VVIP, Miguel bangkit dan bertepuk tangan, wajahnya berseri. "Luar biasa, jagoanku, Calvin!" teriaknya bangga. Nadya ikut berdiri, tapi tatapannya bukan pada kemenangan, melainkan pada sosok Calvin di tengah ring. Ada kilatan kagum yang bercampur sesuatu yang lebih berbahaya - ketertarikan dan pesona yang mulai tumbuh. Di tengah gegap gempita penonton, Calvin sempat melirik ke arah tribun VVIP. Tatapan mereka bertemu kembali, tapi kali ini lebih lama, lebih dalam. Dan di balik semua gemuruh sorakan dari penonton, keduanya tahu - pertarungan malam ini hanyalah awal dari permainan yang lebih rumit, yang tidak akan bisa dimenangkan hanya dengan pukulan atau tendangan. Sorak sorai penonton malam itu masih terngiang di telinga Calvin. Ia berdiri di tengah ring. tangannya diangkat tinggi sebagai juara tak terkalahkan sepanjang karirnya kala itu. Sorot kamera, kilatan lampu, dan tepukan tangan menggema diseluruh arena. Tapi di antara semua itu, hanya satu tatapan yang terus menancap di pikirannya - Tatapan Nadya dari tribun VVIP. NOTE: 1. Uppercut : Jenis pukulan yang dilancarkan dari bawah ke atas, dengan tujuan mengenai dagu atau area perut lawan. 2. GUILLOTINE CHOKE: teknik kuncian dalam seni bela diri, terutama dalam Brazilian Jiu-jitsu dan MMA, yang bertujuan untuk mencekik lawan dengan cara melingkarkan lengan di sekitar leher lawan, 3. CLINCH: posisi berdekatan antara dua petarung dalam jarak dekat. 4. LOW KICK: tendangan yang diarahkan ke bagian bawah tubuh lawan, yaitu paha, betis, atau lutut.Sekitar dua kilometer dari desa nelayan itu, empat kendaraan tanpa plat nomor diam diam melintasi jalan tanah yang sunyi, tanpa lampu menyala. Di dalamnya, delapan orang polisi khusus dari unit anti teror India tengah mempersiapkan penyergapan. Dua di antaranya adalah pembunuh bayaran berdarah dingin yang sudah menerima instruksi dari Alvaro."Target harus hidup hanya untuk beberapa menit interogasi. Setelah itu, pastikan mereka lenyap untuk selamanya."Komandan unit, pria bernama Inspektur Dinesh Verma, telah menerima laporan dari seorang informan anonim, bahwa buronan internasional yang terlibat pembunuhan dua warga India dan sebagai penyusupan perairan nasional, tengah bersembunyi di sebuah rumah panggung tua di ujung desa pesisir.Dines mengecek jam tangannya. 03.24 dinihari. Waktu ideal untuk membekuk target tanpa menarik perhatian warga desa."Jangan bersuara. Gunakan peluru senyap. Tangkap mereka hidup-hidup jika bisa. Tapi kalau melawan..." Dinesh mengisyaratkan lehernya deng
Langit pagi di desa nelayan itu seakan selalu lebih lembut bahkan lebih dari yang lain. Kabut tipis masih menggantung di atas laut, dan bau asin yang bercampur aroma kayu bakar menyambut setiap langkah. Rumah rumah berdinding bambu dan beratap ilalang berdiri rapuh namun hangat, seperti masyarakatnya yang sederhana tapi penuh penerimaan. Valeri duduk di atas dermaga kayu kecil, kakinya menjuntai menyentuh air laut yang jernih. Wajahnya yang biasanya tegar tampak teduh, tersapu sinar matahari pagi. Di sampingnya, Badai memancing dalam diam, namun hatinya tidak tenang. Bukan karena ikan yang enggan datang, tapi karena dia tahu kedamaian ini bisa sewaktu waktu runtuh. Valeri berbicara pelan: "Badai....kalau hidup kita normal, mungkin pagi seperti ini seperti biasa ya. Tapi sekarang...rasanya seperti mimpi." Badai melirik sekilas: "Mimpi yang bisa runtuh kapan saja. Desa ini seperti jeda di antara dua peluru." Valeri tersenyum samar: "Tapi aku bahagia...kalau kamu ada di sisiku. Ba
Di tengah pelabuhan sepi yang hanya diisi suara debur ombak dan denting rantai kapal, Alfaro berdiri mengenakan mantel hitam panjang, wajahnya tersembunyi dalam bayang. Di hadapannya, seorang perwira polisi india berpangkat menengah dan dua pria bertubuh kekar, bertato, dengan mata seperti binatang pemburu.Dua orang itu bukan orang sembarangan. Mereka adalah pembunuh bayaran yang dikenal dalam dunia hitam India selatan bernama Rajan dan Babu bersaudara, ahli dalam beladiri dan pembunuhan senyap.Alvaro berbicara dengan datar dan tenang dalam bahasa inggris:"Saya tidak bayar kalian untuk memastikan mereka hidup. Saya bayar kalian untuk memastikan....mereka mati. Kalau mereka sudah mati, bagus. Tapi kalau mereka masih bernapas....pastikan napas itu adalah yang terakhir."Babu, salah seorang dari pembunuh bayaran menyela:"Kami tidak membunuh anak anak atau wanita."Salah seorang pembunuh bayaran yang bernama Rajan ikut menyela sambil tertawa dingin. "Kecuali bayarannya bagus. Dan kam
Di balik dinding kaca vila yang megah dan taman tropis yang sempurna, Mellisa duduk sendiri di ruang kerja pribadinya. Senyap. Laptop tertutup. Telepon genggamnya tak berhenti bergetar. Pesan dari media, pengacara, bahkan wartawan luar negeri. Tangannya gemetar, tapi bukan karena takut. Karena marah. Karena bingung. Karena luka. Langit sore ubud berwarna tembaga, tapi hatinya abu abu. Mellisa berjalan pelan ke jendela besar yang menghadap kolam datar. Tapi pikirannya bukan di sana. Pikirannya kembali pada malam terakhir ia melihat Valeri sebelum putrinya itu berangkat liburan ke Raja Ampat. Dua minggu yang lalu. Saat mereka bertengkar karena Alvaro. Mellisa duduk kembali di kursi rotan antik warisan keluarganya. Ia membuka album Valeri lama. Tawa penuh cahaya. "Anakku tak mungkin pembunuh." Air mata jatuh. Bukan karena lemah. Tapi karena seorang ibu yang merasa kehilangan dan percaya pada suara hatinya sendiri. ***** Mellisa mengenakan gaun krem elegan dan mantel tipis.
Nelayan itu tak banyak bicara. Ia memberi mereka air minum dari botol usang dan sepotong roti kering, lalu menatap ke arah cakrawala, memastikan arah pulang. Diwajah tuanya terpahat ketenangan dan kebijaksanaan hidup yang panjang di lautan. Badai sempat bertanya namanya, tapi si nelayan hanya tersenyum samar, lalu menggeleng pelan, seolah mengatakan: namaku tak penting, yang penting kalian selamat. Sesampainya di sebuah desa nelayan kecil di pesisir india, Valeri dan Badai disambut oleh warga dengan tangan terbuka. Meski tempat itu sederhana, mereka diberi tempat untuk beristirahat, makanan hangat, dan pakaian bersih. Badai dan Valeri berterima kasih dalam diam pada kehidupan dan pada si nelayan tua yang menyelamatkan mereka tanpa meminta imbalan. Dalam remang cahaya lampu minyak, Badai duduk memandangi api kecil dari perapian buatan. Valeri mendekat, menyelimuti bahunya dengan selimut yang mereka bagi berdua. "Aku hampir tidak percaya dengan kejadian ini, dari terombang ambing d
Valeri dan Badai berdiri di bibir atap. Napas mereka memburu. Darah dan air hujan bercampur di wajah mereka. Laut mengamuk dibawah, gelap dan ganas. Tapi sebelum mereka melompat. ""Whoop whoop whoop...!!!" Sebuah helikopter tempur muncul dari balik badai! Lampu sorotnya menyorot wajah mereka. Suara bilahnya menampar udara seperti palu perang. Pintu heli terbuka. Empat pria bersenjata laras panjang mengarahkan senapan ke arah mereka. Pilot Heli berteriak melalui pengeras suara: "Letakkan diri anda!," angkat tangan!," kalian di kepung!" Valeri memicingkan mata melawan cahaya. Dari belakang, langkah kaki para penjaga menara mulai mendekat. Tangga bergetar. Mereka benar benar terjepit: Langit dan laut bersatu menjadi perangkap maut. Valeri berbisik kepada Badai: "Kalau kita bertahan di sini," kamu pasti ngerti apa yang akan terjadi." Badai menatap ke bawah dan kembali memandang Valeri. "Tapi setidaknya kalau kita melompat bersama, kita belum tahu apa yang akan terjadi n







