MasukArena malam itu bergemuruh. Sorak penonton membahana ketika Calvin memasuki ring, tatapannya tajam, ia siap bertarug dan hari itu di hatinya berkata: ini adalah pertarungan terakhir.
Dari sudut matanya. Ia memandang kearah tribun VVIP, disana tampak Miguel duduk santai di kursi paling depan, mengenakan pakaian rapi, di sampingnya Nadya yang begitu anggun mempesona dalan gaun merah. Mereka tampak seperti biasa, tersenyum dan bertepuk tangan. Calvin merasa bahagia, tanpa ia sadari. Hari itu adalah awal hari kelam dalam hidupnya bersama Nadya. Gong pertama berbunyi, dan pertarungan dimulai. Lawan Calvin adalah petarung yang masih baru dan bukan tandingan berarti bagi sang juara. Dalam waktu singkat, Calvin begitu mendominasi dengan pukulan dan tendangan presisi. Penonton berdiri bersorak, dan ketika pukulan terakhirnya menjatuhkan lawan, arena bergemuruh dalam tepuk tangan dan teriakan yang membahana. Wasit langsung mengangkat cepat tangan Calvin, mengumumkan kemenangan mutlak. Hati Calvin senang dan bangga untuk sesaat. Tapi raut wajahnya seketika berubah, matanya memandang ke arah tribun VVIP dengan seksama. Tak ada senyum sang kekasih di sana. Senyum yang selalu bersemi dan membuat kelelahan bertarung tak berarti. Di tribun VIP, Miguel dan Nadya menghilang. Tidak ada tanda kemana mereka pergi. Sorak penonton yang memuja kemenangannya terasa jauh dan hampa. Calvin berdiri mematung di tengah ring, dadanya berdegup kencang. Ada rasa ganjil yang merayap di hatinya--sesuatu yang hilang, seperti bagian dari dirinya yang hilang di rampas paksa. Di tengah gemuruh kemenangan, Calvin justru diliputi kegelisahannya. Senyum Nadya yang ia harap akan menjadi hadiah manis setelah pertarungan... kini lenyap tanpa jejak. Dan entah mengapa, firasat buruk mulai menyelimuti pikirannya kala itu. Rasa takut akan kehilangan, gelisah yang berlebihan, berbaur menjadi satu. Ketakutan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. ***** Langit malam di atas laut gelap pekat, hanya dihiasi bulan pucat dan bintang-bintang yang redup di balik awan tipis. Angin membawa aroma air laut, memecah keheningan dengan desiran ombak yang menghantam sisi kapal pribadi milik Miguel - sebuah kapal kecil tapi mewah yang malam itu menjadi saksi bisu tragedi yang tak disangka akan terjadi. Di ruang kabin utama yang mewah, lampu kuning temaram menerangi dua sosok yang duduk saling berhadapan. Miguel Cortez menatap tajam wanita cantik didepannya, jemari bermain mengetuk meja kayu mahal di antara mereka MIGUEL: "Nadya... apakah semua yang kudengar tentang hubunganmu dengan Calvin adalah benar? Jawab yang sebenarnya, Nadya." suara Miguel berat seperti badai yang tertahan. Nadya menatap langsung ke mata Miguel, tanpa rasa ragu sedikitpun. NADYA: "Ya, semua yang kau dengar dan kau lihat adalah benar. Aku mencintai Calvin bahkan sangat mencintainya. Kami sudah siap hadapi apapun. Kami telah berjanji untuk hidup bersama, mulai dari awal. Semua kemewahan yang kau berikan akan ku kembalikan, Miguel. Apartemen, mobil, dan perhiasan mewah yang kupakai. - kau ambil semuanya. Tapi aku mohon padamu. Jangan halangi kami. Kami hanya ingin hidup sederhana, penuh ketenangan dan rasa cinta yang sebenarnya." Miguel menghela napas panjang, lalu tersenyum tipis, senyum yang tak sampai ke matanya. MIGUEL: "Kau sadar dengan ucapanmu, Nadya? Aku telah berkorban banyak untukmu, memberimu segalanya, membahagiakanmu. Sebelumnya kau tak pernah merasakan itu. Kau menjadi ratu di hatiku. Dan sekarang... segampang itu_kau katakan akan meninggalkan semuanya... kau akan meninggalkanku? Dan pergi bersama pria itu? Kau katakan kau mencintainya? cukup, Nadya! hentikan, kau masih punya waktu, mengubah keputusanmu." NADYA: "Tak bisa, Miguel. Aku tak akan pernah akan bisa merubah keputusanku walau kau mengancam nyawaku sekalipun. Calvin adalah hidupku, masa depanku, sesuatu yang belum pernah ku temukan selama ini. Dan kau bukan apa-apa. Aku tidak pernah mencintaimu. Kemewahan yang kau berikan bagiku tak seberapa jika di bandingkan dengan cinta kami berdua." Miguel terdiam beberapa saat. Matanya berkilat, wajahnya sangat tegang. Ia masih mencoba menahan emosinya yang sudah menggumpal dalam benaknya. MIGUEL: "Kembalilah engkau padaku, Nadya. Kita lupakan semua ini. Aku berjanji akan lebih baik lagi kepadamu. Aku... aku juga tak bisa kehilanganmu." Nadya menggelang perlahan tapi matanya tegas dengan keputusannya. NADYA: "Maafkan aku, Miguel. Hatiku sudah bulat. Tak mungkin bisa berubah. Tak ada jalan kembali. Mulai saat ini kami telah putuskan semua dan kami akan pergi memulai dari nol. Membina hubungan atas nama cinta yang sebenarnya." Hening menyelimuti ruangan. Lalu, seperti lilin yang padam tertiup angin, ekspresi Miguel berubah. Matanya menggelap, rahangnya mengeras. Napasnya memburu, dan senyum tipis itu sudah lenyap dari wajahnya. Digantikan dengan tatapan dingin seorang pria yang telah kehilangan segalanya. MIGUEL: "Kalau aku harus kehilanganmu... tak mungkin, Nadya... Aku tak akan rela kehilanganmu. Jika itu terjadi. Kau tak akan bisa menjadi milik siapapun selain diriku. Siapa pun tak akan bisa memilikimu." Nadya tersentak mendengar ucapan Miguel, sontak ia memundurkan kursinya, nalurinya merasakan suatu bahaya dari tatapan Miguel kepadanya. Tapi sebelum ia sempat bangkit, Miguel sudah melangkah cepat, tangannya mencekik leher Nadya dengan kekuatan yang lahir dari amarah membara. Nadya coba untuk meronta, jemarinya mencakar tangan Miguel, suaranya tercekik, sulit untuk bernapas. Nadya dengan sisa napas yang tersisa mencoba bertahan. NADYA: "Miguel... to...long..lepas..kan..." Namun tatapan Miguel tak lagi mengenal belas kasih. Ia mendorong tubuh Nadya ke lantai. Lalu meraih pisau lipat dari saku jasnya. Kilatan tajam itu memantul singkat di cahaya lampu sebelum menembus tubuh Nadya. Jeritan Nadya teredam oleh suara ombak yang menghantam sisi kapal. Darah mengalir di lantai kayu. membentuk pola yang tak beraturan. Tatapan matanya yang dulu penuh kehidupan dan bercahaya indah kini kosong, tubuhnya terkulai di atas lantai dingin. Miguel berdiri terengah, tangannya berlumuran darah. Ia mengatur napas perlahan, butuh beberapa detik baginya untuk kembali bernapas normal. Namun bukan rasa bersalah yang hadir -hanya kehampaan semata. Ia menatap tubuh Nadya, wanita yang dulu ia cintai, kini hanya seonggok tubuh tanpa nyawa. Tanpa sepatah kata, Miguel mengangkat tubuh itu. Beratnya terasa berbeda--bukan lagi tubuh nadya yang hangat, tapi seperti beban dingin dari keputusan kejamnya. Ia membawanya keluar kabin, melewati dek kapal yang diterangi cahaya bulan setengah. Angin dingin malam menerpa wajahnya, membawa aroma darah yang menusuk hidung. Di tepian dek kapal, Miguel menatap lautan yang bergelombang. Ia menutup mata sejenak, lalu melempar tubuh kaku Nadya dalam kegelapan. "BYURRR" Suara gemercik terdengar saat tubuh menyentuh lautan, lalu tenggelam, di telan samudra tanpa jejak. Miguel berdiri, menatap air yang kembali tenang seolah tak menerima tamu malam itu. Ombak terus bergerak, bulan tetap menggantung. Bintang-bintang menjadi saksi dari kejauhan. Di dalam hati Miguel. Cinta yang tumbuh bersama Nadya kini berganti menjadi kebencian yang mengeras seperti karang. Dan malam itu - sosok Miguel berubah seperti iblis yang melangkah ke titik paling berbahaya dalam hidupnya. Pertarungan Calvin Law telah selesai. Tapi di kedalaman lautan, rahasia kelam Miguel akan muncul ke permukaan.Sekitar dua kilometer dari desa nelayan itu, empat kendaraan tanpa plat nomor diam diam melintasi jalan tanah yang sunyi, tanpa lampu menyala. Di dalamnya, delapan orang polisi khusus dari unit anti teror India tengah mempersiapkan penyergapan. Dua di antaranya adalah pembunuh bayaran berdarah dingin yang sudah menerima instruksi dari Alvaro."Target harus hidup hanya untuk beberapa menit interogasi. Setelah itu, pastikan mereka lenyap untuk selamanya."Komandan unit, pria bernama Inspektur Dinesh Verma, telah menerima laporan dari seorang informan anonim, bahwa buronan internasional yang terlibat pembunuhan dua warga India dan sebagai penyusupan perairan nasional, tengah bersembunyi di sebuah rumah panggung tua di ujung desa pesisir.Dines mengecek jam tangannya. 03.24 dinihari. Waktu ideal untuk membekuk target tanpa menarik perhatian warga desa."Jangan bersuara. Gunakan peluru senyap. Tangkap mereka hidup-hidup jika bisa. Tapi kalau melawan..." Dinesh mengisyaratkan lehernya deng
Langit pagi di desa nelayan itu seakan selalu lebih lembut bahkan lebih dari yang lain. Kabut tipis masih menggantung di atas laut, dan bau asin yang bercampur aroma kayu bakar menyambut setiap langkah. Rumah rumah berdinding bambu dan beratap ilalang berdiri rapuh namun hangat, seperti masyarakatnya yang sederhana tapi penuh penerimaan. Valeri duduk di atas dermaga kayu kecil, kakinya menjuntai menyentuh air laut yang jernih. Wajahnya yang biasanya tegar tampak teduh, tersapu sinar matahari pagi. Di sampingnya, Badai memancing dalam diam, namun hatinya tidak tenang. Bukan karena ikan yang enggan datang, tapi karena dia tahu kedamaian ini bisa sewaktu waktu runtuh. Valeri berbicara pelan: "Badai....kalau hidup kita normal, mungkin pagi seperti ini seperti biasa ya. Tapi sekarang...rasanya seperti mimpi." Badai melirik sekilas: "Mimpi yang bisa runtuh kapan saja. Desa ini seperti jeda di antara dua peluru." Valeri tersenyum samar: "Tapi aku bahagia...kalau kamu ada di sisiku. Ba
Di tengah pelabuhan sepi yang hanya diisi suara debur ombak dan denting rantai kapal, Alfaro berdiri mengenakan mantel hitam panjang, wajahnya tersembunyi dalam bayang. Di hadapannya, seorang perwira polisi india berpangkat menengah dan dua pria bertubuh kekar, bertato, dengan mata seperti binatang pemburu.Dua orang itu bukan orang sembarangan. Mereka adalah pembunuh bayaran yang dikenal dalam dunia hitam India selatan bernama Rajan dan Babu bersaudara, ahli dalam beladiri dan pembunuhan senyap.Alvaro berbicara dengan datar dan tenang dalam bahasa inggris:"Saya tidak bayar kalian untuk memastikan mereka hidup. Saya bayar kalian untuk memastikan....mereka mati. Kalau mereka sudah mati, bagus. Tapi kalau mereka masih bernapas....pastikan napas itu adalah yang terakhir."Babu, salah seorang dari pembunuh bayaran menyela:"Kami tidak membunuh anak anak atau wanita."Salah seorang pembunuh bayaran yang bernama Rajan ikut menyela sambil tertawa dingin. "Kecuali bayarannya bagus. Dan kam
Di balik dinding kaca vila yang megah dan taman tropis yang sempurna, Mellisa duduk sendiri di ruang kerja pribadinya. Senyap. Laptop tertutup. Telepon genggamnya tak berhenti bergetar. Pesan dari media, pengacara, bahkan wartawan luar negeri. Tangannya gemetar, tapi bukan karena takut. Karena marah. Karena bingung. Karena luka. Langit sore ubud berwarna tembaga, tapi hatinya abu abu. Mellisa berjalan pelan ke jendela besar yang menghadap kolam datar. Tapi pikirannya bukan di sana. Pikirannya kembali pada malam terakhir ia melihat Valeri sebelum putrinya itu berangkat liburan ke Raja Ampat. Dua minggu yang lalu. Saat mereka bertengkar karena Alvaro. Mellisa duduk kembali di kursi rotan antik warisan keluarganya. Ia membuka album Valeri lama. Tawa penuh cahaya. "Anakku tak mungkin pembunuh." Air mata jatuh. Bukan karena lemah. Tapi karena seorang ibu yang merasa kehilangan dan percaya pada suara hatinya sendiri. ***** Mellisa mengenakan gaun krem elegan dan mantel tipis.
Nelayan itu tak banyak bicara. Ia memberi mereka air minum dari botol usang dan sepotong roti kering, lalu menatap ke arah cakrawala, memastikan arah pulang. Diwajah tuanya terpahat ketenangan dan kebijaksanaan hidup yang panjang di lautan. Badai sempat bertanya namanya, tapi si nelayan hanya tersenyum samar, lalu menggeleng pelan, seolah mengatakan: namaku tak penting, yang penting kalian selamat. Sesampainya di sebuah desa nelayan kecil di pesisir india, Valeri dan Badai disambut oleh warga dengan tangan terbuka. Meski tempat itu sederhana, mereka diberi tempat untuk beristirahat, makanan hangat, dan pakaian bersih. Badai dan Valeri berterima kasih dalam diam pada kehidupan dan pada si nelayan tua yang menyelamatkan mereka tanpa meminta imbalan. Dalam remang cahaya lampu minyak, Badai duduk memandangi api kecil dari perapian buatan. Valeri mendekat, menyelimuti bahunya dengan selimut yang mereka bagi berdua. "Aku hampir tidak percaya dengan kejadian ini, dari terombang ambing d
Valeri dan Badai berdiri di bibir atap. Napas mereka memburu. Darah dan air hujan bercampur di wajah mereka. Laut mengamuk dibawah, gelap dan ganas. Tapi sebelum mereka melompat. ""Whoop whoop whoop...!!!" Sebuah helikopter tempur muncul dari balik badai! Lampu sorotnya menyorot wajah mereka. Suara bilahnya menampar udara seperti palu perang. Pintu heli terbuka. Empat pria bersenjata laras panjang mengarahkan senapan ke arah mereka. Pilot Heli berteriak melalui pengeras suara: "Letakkan diri anda!," angkat tangan!," kalian di kepung!" Valeri memicingkan mata melawan cahaya. Dari belakang, langkah kaki para penjaga menara mulai mendekat. Tangga bergetar. Mereka benar benar terjepit: Langit dan laut bersatu menjadi perangkap maut. Valeri berbisik kepada Badai: "Kalau kita bertahan di sini," kamu pasti ngerti apa yang akan terjadi." Badai menatap ke bawah dan kembali memandang Valeri. "Tapi setidaknya kalau kita melompat bersama, kita belum tahu apa yang akan terjadi n







