Orang tua Irwan menyambut Naila dengan sangat baik bahkan sang ibu memeluk Naila erat membuat Naila bingung melakukan apa, memilih membalas pelukannya dengan menepuk punggungnya pelan. Ciuman juga didapat Naila saat melepaskan pelukan membuatnya lagi-lagi tidak tahu harus bersikap seperti apa, tapi tetap satu yang Naila lakukan berusaha bersikap sopan sekali dihadapan mereka.
“Irwan itu minta kita untuk ke Surabaya katanya mau nikah dan kita bingung nikah sama siapa secara pacar aja nggak punya tapi pas dia bilang nikah sama sahabatnya Frida kita langsung setuju karena nggak mungkin Frida punya teman nggak benar cukup dia aja yang nggak benar,” ucap Fauzan sebagai ayah dari Irwan “Pas kita lihat Naila eh malah ibunya yang langsung setuju katanya lebih cantik aslinya daripada foto.”
Naila terdiam mendengar penjelasan pria yang sudah menjadi mertuanya ini, menatap Irwan yang hanya diam saat sang ayah mengatakan demikian. Sentuhan pada tangan Naila membuatnya menatap sang pelaku dimana hanya diam mendengarkan pembicaraan para orang tua, entah kenapa Irwan seakan melindungi dirinya dan seketika membuat Naila merasa aman berada dekat dengan pria yang sudah berubah status menjadi suaminya.
“Kami di taman belakang aja kalian lanjutkan bicaranya,” ucap Irwan membuat mereka semua menatap kearahnya “Aku perlu bicara banyak sama Naila karena dia pasti masih kaget dengan pernikahan mendadak ini.”
Tanpa menunggu jawaban dari mereka semua Irwan langsung menarik Naila menuju taman belakang, Naila sendiri tidak tahu apa yang akan Irwan bicarakan saat ini karena semua serba mendadak baginya.
“Mama kamu suka tanaman banget ya?”
Mengikuti arah pandang Irwan dan hanya mengangguk pelan dimana membenarkan perkatannya “Aku belum tahu banyak tentang kamu, atau aku harus memanggil nama lain?”
“Irwan Pradana usia tiga puluh lima ya bisa dikatakan seusia Yudo, pekerjaan aku....nanti kamu akan tahu sendiri pekerjaanku karena aku ingin kamu terkejut sama seperti pernikahan ini,” jawab Irwan dengan memberikan tatapan menggoda “Kamu pakai ini mulai sekarang,” sambung Irwan mengeluarkan dompet dan memberikan kartu pada Naila “Kamu sekarang tanggung jawabku dan itu adalah uang gaji saat kerja.”
“Kamu berikan ke aku?” tanya Naila yang diangguki Irwan “Berarti ada uang lain karena kamu bisa memberikan dengan sangat mudah.” Naila memberikan tatapan curiga.
Irwan tertawa mendengar kata – kata Naila “Bagaimana kamu tahu mengenai uang lain?” Naila hanya mengangkat bahu “Uang lain itu akan aku buka nanti saat kita ada di Jakarta.”
“Uang lain itu adalah milik kamu dan bisa kamu gunakan sesuai dengan kebutuhan kamu, nggak mungkin seorang pria yang sudah menikah tidak memiliki uang lain untuk menyambung kehidupannya saat seluruh gaji diberikan pada istri, aku nggak pernah masalah akan hal itu tapi setidaknya tahu diri digunakan untuk apa.”
Irwan mengangguk setuju mendengar perkataan Naila “Anak – anak ngajak ketemuan mau ikut?” Naila mengangkat alisnya mendengar pertanyaan Irwan “Hadi ngajak ketemuan di cafe orang tua kamu.”
Naila mencibir perkataan Irwan mengenai pesan dari Hadi “Kebiasaan memang dia minta gratisan mulu.”
Irwan tertawa mendengar kata – kata yang keluar dari bibir naila, memegang tangan Naila membuat mereka saling menatap satu sama lain. Naila sendiri bisa merasakan bagaimana perasaan Irwan pada dirinya melalui tatapan mata yang mereka berdua lakukan, saling memandang satu sama lain hingga akhirnya bibir Irwan menyentuh bibir Naila yang membuatnya menutup mata.
“Mata Yasmin ternoda,” teriak Yudo membuat mereka melepaskan ciuman “Sakit, Sayang.”
“Kamu tu kaya nggak pernah menikah aja,” omel Zahra “Nay, masih ingat nggak semalam saat Irwan mengucapkan akad dengan pegang tangan papa terus kata sah keluar dan kamu terkejut pas kita kasih tahu kalau sudah sah.”
“Bahkan tidurnya harus pisah kamar haduh malam pertama apaan ini,” sambung Yudo dengan tatapan menggodanya.
Menatap kesal pada kedua orang yang disayangnya itu dan menarik Yasmin untuk digendongnya, Irwan sendiri memilih duduk di kursi kosong untuk menemani Yudo sekedar berbicara. Naila menatap bagaimana Irwan berbicara dengan kakak – kakaknya dimana hampir sama seperti Benny saat mereka bersama dahulu tapi sekarang bukan pria itu melainkan pria lain yang akan menemani dirinya sampai akhir hayat nantinya.
“Kamu udah sarapan?” tanya Indira yang berada disamping Naila yang hanya menggelengkan kepala “masakan Irwan mantap banget.”
Naila mengerutkan keningnya “Memang masak apa?”
“Lihat aja sendiri tadi kita makan sama mertua kamu juga.”
“Kenapa aku nggak diajak?” menatap kesal pada Irwan yang membuat pria tersebut tersenyum “Aku mau makan dulu kalau gitu.”
Memberikan Yasmin kembali pada Zahra dan melangkah masuk kedalam dimana ada bibi yang baru saja keluar dari kamar tamu, Naila menatap bingung bibi yang keluar dari ruang tamu.
“Semalam Mas Irwan tidur disana dan bibi bersihkan supaya bisa langsung istirahat,” jawab bibi saat menatap Naila “Mbak udah mau makan, mau dibuatkan apa?”
“Ini sudah aku panasin,” ucap Irwan sebelum Naila menjawab “Makasih sudah dibereskan dan maaf merepotkan,” sambung Irwan menatap bibi setelah meletakkan makanannya.
Naila menatap bagaimana sikap Irwan saat ini yang pastinya berbeda dengan kedua pria sebelumnya, Naila memang merasakan perbedaan besar antara mereka semua dan mencoba untuk bisa menerima Irwan sejauh ini.
“Bagaimana rasanya?” tanya Irwan yang membuat Naila menatap bingung “Aku yang buat.”
Mengangguk paham mendengar perkataan Irwan “Enak hanya saja terlalu kerasa penyedapnya dan untuk beberapa orang ini nggak bagus.”
Irwan mengangguk mendengar perkataan Naila “Semua orang lebih menyukai rasa yang seperti itu.”
Menggelengkan kepala pelan mendengar perkataan Irwan “Orang yang memiliki penyakit akan susah jika makan menu seperti ini.”
Irwan membenarkan perkataan Naila “Lantas bagaimana kita tahu orang tersebut sakit atau sehat karena kita sebagai chef hanya mengikuti standard yang sudah ada dan berarti adalah menu itu sudah menjadi patokan kami dan tidak mudah mengubah begitu saja.”
Memilih diam karena memang tidak tahu jawabannya apa, melihat reaksi dari Naila membuat Irwan menarik serta menghembuskan nafas panjang. Irwan tahu jika dirinya terlalu keras saat mengatakan hal tersebut, dimana dirinya belum memberitahukan siapa sebenarnya Irwan nantinya yang pasti akan membuat wanita yang ada dihadapannya terkejut.
“Kalian akan balik kapan?” Indira mendatangi mereka yang ada di meja makan bersama dengan Wati yang tidak lain adalah mertua Naila atau ibu kandung Irwan.
“Aku besok malam tapi kalau Naila masih mau liburan nggak masalah secara waktunya dia sebelum masuk masih lama, biarkan dia liburan dulu disini dan aku kembali karena masih banyak pekerjaan.”
Naila hanya diam mendengarkan pembicaraan mereka karena memang tidak tahu pekerjaan Irwan sebenarnya, sedikit bersyukur karena Irwan meninggalkan dirinya disini dengan dia yang kembali terlebih dahulu. Menatap Irwan yang tampak biasa saja membuat salah satu sudut hati Naila tidak tega dibuatnya karena bagaimana pun mereka sudah sah menjadi pasangan suami istri yang berarti harus mengikuti kemana sang suami berada.
“Aku juga kembali besok malam.”
Melahirkan adalah hal yang membuat Naila merasakan perasaan tidak tenang selama beberapa hari mendekati waktunya, semua hilang dengan hadirmya keluarga baik dari pihak Naila sendiri dan juga Irwan. Memilih berada dirumah kedua orang tuanya dibandingkan hotel, membuat kebutuhan Naila tercukupi.Irwan sudah menjual rumahnya dengan mengganti membeli rumah tidak terlalu jauh dari hotel, lebih tepatnya rumah tersebut tidak jauh dari rumah kedua orang tua mereka. Langkah ini Irwan ambil agar memudahkan mereka menjaga Naila jika memang dibutuhkan, meskipun pada akhirnya Naila lebih banyak tinggal di rumah kedua orang tuanya.“Ma, kayaknya sudah waktunya ini.” Naila mengatakannya saat merasakan perutnya sakit.“Masih kuat jalan?” tanya Indira yang diangguki Naila.Berjalan perlahan dengan bantuan Indira menuju ke mobil, memasukinya dengan perlahan berkat bantuan sopir dan juga Indira. Mengatur nafas agar bisa melahirkan dengan tenang, meng
Tatapan Evan membuat Naila hanya diam, tidak bisa bergerak sama sekali. Keputusan menemui Evan sudah dipertimbangkan dari lama, meminta bantuan Bagas untuk bertemu dengan Evan tanpa sepengetahuan Irwan.“Selamat buat kehamilan kamu, agak tidak menyangka kehamilan kamu bisa sebesar ini.” Evan membuka suara membuat Naila hanya diam tidak tahu harus menanggapi seperti apa atas perkataan Evan “Aku tahu kamu merasa terbebani, beberapa minggu atau lebih tepatnya setelah aku tahu kamu hamil banyak hal yang aku pikirkan.” Naila menelan saliva kasar mendengar kata-kata Evan.“Aku nggak tahu harus menanggapi apa, Mas.” Naila membuka suara.Evan tertawa membuat Naila menatap bingung “Kayaknya kamu nggak harus menanggapi apapun, semua bermula dari aku yang nggak bisa membuat semuanya menjadi mudah. Aku seharusnya sadar kalau kita nggak mungkin bersama, tapi aku memaksa kamu sampai berbuat hal gila.”“Tempat
Suasana dalam kamar terasa panas, Naila melanggar perkataan Irwan dengan turun ke dapur hotel. Naila pikir Irwan akan keluar lama tapi nyatanya hanya beberapa menit, bertepatan dengan Naila sedang memeriksa kelayakan dari makanan yang akan dikeluarkan. Kehamilan diri sudah berjalan melewati trimester, tepatnya bulan kelima dan sangat diluar prediksi dimana Naila hamil kembar yang semakin membuat Irwan protektif dengannya.Hembusan nafas kasar terdengar membuat Naila memejamkan matanya “Berapa kali aku bilang kalau kamu jangan kesana, Nay.” Naila semakin menundukkan kepalanya “Aku khawatir sama kamu.” Irwan menghembuskan nafas kasar “Kalau kamu nggak mikirin aku nggak papa tapi setidaknya kamu mikirin anak yang ada dalam perut kamu itu.”Irwan keluar dari kamar dengan membanting pintu, Naila hanya diam dengan menundukkan kepalanya. Perbuatan Naila memang salah dan sangat salah, Irwan memang tidak suka jika dirinya turun ke dapur hotel
Pendekatan dengan mertua, Naila merasa anak yang tidak berguna sama sekali. Menikah dengan Irwan tidak pernah mencoba dekat dengan keluarganya, bukan hanya mertua tapi juga saudara Irwan yang lain kecuali Frida dan Awang tentunya. Naila tahu jika keluarga Irwan tidak jauh berbeda dengan keluarga lain, hanya saja pernikahan mendadak membuat Naila tidak tahu bagaimana harus bersikap pada mereka.“Nay, makanan udah siap.” Naila menatap Wati yang membuka pintu kamar mereka “Irwan bilang kalau kamu masih harus dalam kamar, dikira orang hamil itu penyakitan apa.”Naila tersenyum mendengarnya “Ibu sendiri udah makan?”“Udah tadi sama ayah, mau dibantu nggak berdiri dari ranjang dan melangkah ke dapur?” Naila menggelengkan kepala dan tahu jika ibu mertuanya sedang menggoda.“Mas Irwan itu terlalu takut aku kenapa-kenapa, Bu.” Naila menggelengkan kepala dan berjalan kearah Wati “Ibu kasih tahu supay
“Rumah ini mau aku jual.” Irwan membuka suara saat mereka sudah berada didalam kamar “Aku minta bantuan ke papa dan ayah.”Naila mengerutkan keningnya “Kenapa dijual?” Irwan terdiam “Dekat sama rumah Dona?” tembak Naila langsung “Mas masih nggak bisa melupakan Dona?”“Bukan masalah melupakan, tapi aku mau menghargai perasaanmu. Aku nggak enak aja punya rumah dekat sama dia.” Irwan menjelaskan “Lagian kita nggak selamanya tinggal di apartemen atau hotel, kita perlu rumah buat masa depan kita bersama anak-anak.” Irwan berkata dengan membelai perut Naila perlahan.“Aku nggak masalah sama rumah ini, ya...meskipun dekat sama Dona tapi bukan suatu hal yang perlu membuat kita harus pindah. Alasan Mas Irwan nggak masuk akal, suatu saat hubungan kalian pasti baik-baik saja, Dona wanita yang cerdas mungkin saat ini belum bisa menerimanya tapi aku yakin perlahan dia pasti bisa menerim
Naila menatap tidak percaya dengan kehadiran keluarga mereka berdua di rumah, Irwan membawa Naila pulang ke rumah yang sudah lama tidak mereka datangi. Kedatangan mereka membuat Naila mendapatkan pelukan hangat dari mereka semua, tidak tersenyum menerima pelukan dari mereka semua.Mrndengarkan para orang tua yang memberikan banyak nasehat tentang kehamilan, membuat Naila hanya bisa diam dan mengangguk. Bukan hanya Naila tapi Irwan juga mendapatkan banyak nasehat, tidak bisa menggambarkan dengan kata-kata perasaannya saat ini.“Makannya tetap yang sehat berarti?” tanya Wati yang diangguki Naila pelan “Bisa kamu buat, Mas?” menatap tajam pada Irwan yang hanya mengangguk “Jangan berbuat aneh-aneh lagi.”“Mas Irwan udah jago buatnya, Bu.” Naila mengatakan sebenarnya membuat Wati menggelengkan kepalanya mendengar pembelaan Naila.“Ibu lebih senang kamu yang sama Irwan.” Wati membelai wajah Naila pelan