Mempersiapkan barang – barangnya untuk kembali bersama dengan Irwan, keputusan yang diambilnya karena bagaimanapun status mereka berdua adalah suami istri dan telah sah di mata negara serta agama. Tidak mungkin Naila membiarkan Irwan kembali begitu saja apalagi ada orang tuanya disana, yang pastinya akan membuat nama Naila jelek jika membiarkan Irwan kembali begitu saja.
“Gue benaran nggak tahu maksud dia kesini,” ucap Frida menatap Naila dengan tatapan memohon ampun.
Naila tersenyum menatap Frida “nggak usah dipikirkan karena mungkin memang jalan takdir dan kakak kamu yang terbaik buatku.”
“Gue nyesel lo sama dia,” keluh Frida lagi membuat Naila mengangkat alisnya “tapi tenang dia memang baik cuman kamu harus sabar sama sifatnya yang Menjengkelkan.”
“Nggak usah kompor atau bilang hal jelek ke Naila,” tegur Irwan dengan duduk samping Naila “kita balik besok jadi jangan kangen ya.”
Frida menunjukkan ekspresi muntahnya “semoga Naila bisa sabar sama lo.”
Naila hanya tersenyum menatap mereka berdua dan saat matanya menatap kearah lain terlihat kakak sepupunya menatap penuh tanda tanya dengan keputusannya menikah secepat ini, Naila sangat tahu jika mereka semua sangat perhatian dengan dirinya hanya saja semua keputusan sudah diambil. Liburan yang seharusnya berlangsung lama membuat Naila harus kembali karena tidak tega dengan Irwan ditambah mereka sudah sah menjadi pasangan suami istri dengan papanya yang langsung menjadi wali nikahnya.
“Bukannya lo mau disini beberapa hari terus kenapa balik?” Hadi menatap Naila malas dan kecewa “memang lo ngelarang dia buat liburan?” menatap tajam pada Irwan “dia jarang banget pulang kesini eh lo ajak balik aja.”
“Gue yang minta karena gimanapun kita udah menikah ya masa gue biarin dia balik sendiri.”
“See bukan gue kan,” ucap Irwan santai.
Hadi menatap malas pada Irwan mendengar kata – katanya, memilih membahas hal lain daripada berdebat hal yang tidak penting sama sekali. Mereka semua bisa saling melengkapi satu sama lain karena memang jarak yang tidak terlalu jauh dan saudara Naila seperti Bagas dan yang lain sudah mengenal mereka dengan sangat baik.
“Kamu udah yakin dengan pria itu?” Bagas menatap dalam pada Naila yang mengangguk pelan “kalau dia bajingan atau apapun itu katakan ke aku karena aku pasti akan langsung menghajarnya.”
“Siap,” ucap Naila dengan memberi hormat “aku sendiri belum tahu pekerjaannya apa atau dia bekerja dimana.”
Bagas membelalakkan matanya yang hanya diangguki Naila “memang kalian belum saling bicara?”
Naila tersenyum “sudah tapi nggak perlu aku ceritakan semua kan?” memberikan tatapan menggoda membuat Bagas menatap malas “aku akan bicara dengan Mas Evan nanti kalau ketemu disana.”
Pembicaraan singkat antara Naila dengan Bagas terhenti karena Irwan menginginkan mereka berdua pulang terlebih dahulu, berpamitan pada yang lain termasuk pamitan bahwa Naila akan kembali ke Jakarta. Pelukan bersama teman – temannya membuat Naila sedih karena waktu yang dimiliki sangat – sangat singkat dan sebenarnya masih ingin bersama dengan mereka dalam waktu beberapa hari.
Perjalanan dari cafe sampai rumah orang tuanya berlangsung singkat karena memang jaraknya tidak terlalu jauh, masuk ke dalam rumah membuat langkah Naila terhenti saat melihat Irwan masuk kedalam kamar tamu. Naila membiarkan saja itu terjadi karena dirinya belum siap untuk berada dalam satu ruangan tertutup bersama dengan Irwan yang saat ini menjadi suaminya, dalam lubuk hati kecilnya terdalam dimana Naila ingin mengajak Irwan tidur bersama hanya saja masih ada kecanggungan diantara mereka dan Irwan sendiri tidak memaksakan kehendaknya.
Mencoba tidak peduli dengan masuk kedalam kamar, membersihkan diri sebelum akhirnya berada di ranjang. Tatapan Naila berpusat pada ponselnya dimana banyak pesan dari Rafa, Rafi, Vivian dan juga Evan. Membalas pesan tersebut satu persatu kecuali Rafa karena memang Naila mencoba menjauh dari Rafa dalam keadaan apapun itu, menatap pesan sekali lagi dan mencoba tidak peduli.
Tangan Naila meluncur ke media sosial mencari siapa sebenarnya sang suami karena sampai sekarang tidak tahu banyak atau sama sekali mengenai Irwan, rasa penasaran yang membuat Naila tidak tahu harus bertanya mulai dari mana. Tidak menemukan media sosial milik Irwan membuat Naila langsung penasaran, mencoba membuka media sosial Frida untuk mencari kembali dan sekali lagi tidak menemukannya. Memilih untuk menutup mata karena sudah menghabiskan banyak waktu untuk mencari tahu tentang suaminya tersebut, badan lelahnya membuat Naila menghabiskan waktu di ranjang lebih lama dibandingkan sebelumnya.
“Kamu sudah siap?” Naila mengangkat alisnya saat Indira bertanya mengenai hal yang tidak diketahuinya “kamu kan harus balik Jakarta dulu sedangkan kita masih ada urusan disini.”
“Irwan mana?” menatap sekitar yang tidak menemukan keberadaan pria tersebut “maksud aku Mas Irwan,” koreksi Naila saat melihat Indira menatap tajam.
“Ikut papa kamu ke cafe buat lihat keadaan cafe dan kenalan sama chef disana,” jawab Indira yang diangguki Naila.
“Memang dia paham?”
Indira mengangkat alisnya bingung “lah Irwan kan chef pastinya paham.”
Naila tersedak mendengar kata – kata Indira yang tidak pernah diketahuinya sama sekali, chef yang berarti bisa membuat makanan dan pantas saja rasa masakan kemarin tidak seperti masakan pemula. Seketika merasa bersalah karena memberikan kritikan atas makanan yang dibuatnya, menggelengkan kepala merasa apa yang dilakukannya tidak ada yang salah dan lagipula mereka tidak mengenal terlalu dalam.
“Pernikahan kalian memang dadakan tapi papa dan mama mengharapkan kebahagiaan buat kamu.”
“Kenapa papa menerima lamaran dia?” sedikit penasaran mengenai keputusan yang dibuat Fajar atas dirinya saat itu.
“Papa melihat kesungguhan di mata Irwan ditambah lagi memang mereka udah saling kenal satu sama lain maksudnya Om Awang sama papa, papa yakin jika Irwan tidak akan berbuat aneh karena Om Awang menjamin semua itu.”
Menghembuskan nafas panjang karena rasanya percuma mendebat karena semua sudah terjadi, artinya Naila harus melalui ini semua dan prinsipnya adalah pernikahan hanya sekali seumur hidup. Membayangkan hidup bersama dengan pria yang tidak dikenalnya sama sekali membuat Naila tidak tahu harus bertahan sampai sejauh apa nantinya.
Mereka kembali terlebih dahulu dimana Naila berangkat bersama dengan Irwan dan kedua orang tuanya, Naila lebih banyak diam selama perjalanan dan tertidur di bahu Irwan membuat sang pria hanya bisa diam.
Masuk ke dalam rumah sederhana yang membuat Naila menatap sekitar, sebelumnya mereka berpisah dengan orang tua Irwan yang tinggal berbeda dengan sang putra. Irwan menunjukkan ruangan – ruangan termasuk kamar mereka nantinya, menatap rumah yang bersih dan seketika tatapan Naila mengarah pada dapur yang indah dan juga bersih. Langkah Naila terhenti dengan melangkah kearah dapur menatap sekitar dengan Irwan berada di belakangnya mengamati apa yang Naila lakukan saat ini.
“Selamat datang di rumah kita Naila salah satu pegawai dari H&D Group yang nantinya akan menjadi partner di lingkungan kerja.”
Melahirkan adalah hal yang membuat Naila merasakan perasaan tidak tenang selama beberapa hari mendekati waktunya, semua hilang dengan hadirmya keluarga baik dari pihak Naila sendiri dan juga Irwan. Memilih berada dirumah kedua orang tuanya dibandingkan hotel, membuat kebutuhan Naila tercukupi.Irwan sudah menjual rumahnya dengan mengganti membeli rumah tidak terlalu jauh dari hotel, lebih tepatnya rumah tersebut tidak jauh dari rumah kedua orang tua mereka. Langkah ini Irwan ambil agar memudahkan mereka menjaga Naila jika memang dibutuhkan, meskipun pada akhirnya Naila lebih banyak tinggal di rumah kedua orang tuanya.“Ma, kayaknya sudah waktunya ini.” Naila mengatakannya saat merasakan perutnya sakit.“Masih kuat jalan?” tanya Indira yang diangguki Naila.Berjalan perlahan dengan bantuan Indira menuju ke mobil, memasukinya dengan perlahan berkat bantuan sopir dan juga Indira. Mengatur nafas agar bisa melahirkan dengan tenang, meng
Tatapan Evan membuat Naila hanya diam, tidak bisa bergerak sama sekali. Keputusan menemui Evan sudah dipertimbangkan dari lama, meminta bantuan Bagas untuk bertemu dengan Evan tanpa sepengetahuan Irwan.“Selamat buat kehamilan kamu, agak tidak menyangka kehamilan kamu bisa sebesar ini.” Evan membuka suara membuat Naila hanya diam tidak tahu harus menanggapi seperti apa atas perkataan Evan “Aku tahu kamu merasa terbebani, beberapa minggu atau lebih tepatnya setelah aku tahu kamu hamil banyak hal yang aku pikirkan.” Naila menelan saliva kasar mendengar kata-kata Evan.“Aku nggak tahu harus menanggapi apa, Mas.” Naila membuka suara.Evan tertawa membuat Naila menatap bingung “Kayaknya kamu nggak harus menanggapi apapun, semua bermula dari aku yang nggak bisa membuat semuanya menjadi mudah. Aku seharusnya sadar kalau kita nggak mungkin bersama, tapi aku memaksa kamu sampai berbuat hal gila.”“Tempat
Suasana dalam kamar terasa panas, Naila melanggar perkataan Irwan dengan turun ke dapur hotel. Naila pikir Irwan akan keluar lama tapi nyatanya hanya beberapa menit, bertepatan dengan Naila sedang memeriksa kelayakan dari makanan yang akan dikeluarkan. Kehamilan diri sudah berjalan melewati trimester, tepatnya bulan kelima dan sangat diluar prediksi dimana Naila hamil kembar yang semakin membuat Irwan protektif dengannya.Hembusan nafas kasar terdengar membuat Naila memejamkan matanya “Berapa kali aku bilang kalau kamu jangan kesana, Nay.” Naila semakin menundukkan kepalanya “Aku khawatir sama kamu.” Irwan menghembuskan nafas kasar “Kalau kamu nggak mikirin aku nggak papa tapi setidaknya kamu mikirin anak yang ada dalam perut kamu itu.”Irwan keluar dari kamar dengan membanting pintu, Naila hanya diam dengan menundukkan kepalanya. Perbuatan Naila memang salah dan sangat salah, Irwan memang tidak suka jika dirinya turun ke dapur hotel
Pendekatan dengan mertua, Naila merasa anak yang tidak berguna sama sekali. Menikah dengan Irwan tidak pernah mencoba dekat dengan keluarganya, bukan hanya mertua tapi juga saudara Irwan yang lain kecuali Frida dan Awang tentunya. Naila tahu jika keluarga Irwan tidak jauh berbeda dengan keluarga lain, hanya saja pernikahan mendadak membuat Naila tidak tahu bagaimana harus bersikap pada mereka.“Nay, makanan udah siap.” Naila menatap Wati yang membuka pintu kamar mereka “Irwan bilang kalau kamu masih harus dalam kamar, dikira orang hamil itu penyakitan apa.”Naila tersenyum mendengarnya “Ibu sendiri udah makan?”“Udah tadi sama ayah, mau dibantu nggak berdiri dari ranjang dan melangkah ke dapur?” Naila menggelengkan kepala dan tahu jika ibu mertuanya sedang menggoda.“Mas Irwan itu terlalu takut aku kenapa-kenapa, Bu.” Naila menggelengkan kepala dan berjalan kearah Wati “Ibu kasih tahu supay
“Rumah ini mau aku jual.” Irwan membuka suara saat mereka sudah berada didalam kamar “Aku minta bantuan ke papa dan ayah.”Naila mengerutkan keningnya “Kenapa dijual?” Irwan terdiam “Dekat sama rumah Dona?” tembak Naila langsung “Mas masih nggak bisa melupakan Dona?”“Bukan masalah melupakan, tapi aku mau menghargai perasaanmu. Aku nggak enak aja punya rumah dekat sama dia.” Irwan menjelaskan “Lagian kita nggak selamanya tinggal di apartemen atau hotel, kita perlu rumah buat masa depan kita bersama anak-anak.” Irwan berkata dengan membelai perut Naila perlahan.“Aku nggak masalah sama rumah ini, ya...meskipun dekat sama Dona tapi bukan suatu hal yang perlu membuat kita harus pindah. Alasan Mas Irwan nggak masuk akal, suatu saat hubungan kalian pasti baik-baik saja, Dona wanita yang cerdas mungkin saat ini belum bisa menerimanya tapi aku yakin perlahan dia pasti bisa menerim
Naila menatap tidak percaya dengan kehadiran keluarga mereka berdua di rumah, Irwan membawa Naila pulang ke rumah yang sudah lama tidak mereka datangi. Kedatangan mereka membuat Naila mendapatkan pelukan hangat dari mereka semua, tidak tersenyum menerima pelukan dari mereka semua.Mrndengarkan para orang tua yang memberikan banyak nasehat tentang kehamilan, membuat Naila hanya bisa diam dan mengangguk. Bukan hanya Naila tapi Irwan juga mendapatkan banyak nasehat, tidak bisa menggambarkan dengan kata-kata perasaannya saat ini.“Makannya tetap yang sehat berarti?” tanya Wati yang diangguki Naila pelan “Bisa kamu buat, Mas?” menatap tajam pada Irwan yang hanya mengangguk “Jangan berbuat aneh-aneh lagi.”“Mas Irwan udah jago buatnya, Bu.” Naila mengatakan sebenarnya membuat Wati menggelengkan kepalanya mendengar pembelaan Naila.“Ibu lebih senang kamu yang sama Irwan.” Wati membelai wajah Naila pelan