Gara-Gara Diet
Pagi-pagi sekali aku sudah selesai menyiapkan sarapan untuk kami bertiga. Kucoba melupakan kejadian semalam. Aku tak ingin mencari ribut. Ibu mertuaku baru saja keluar dari kamar dan langsung menghampiriku."Masak apa, Ris?" tanyanya sembari menilik ke atas meja makan."Nasi goreng kesukaan Bang Ridwan, Bu. Ada sambal udang juga, sesuai permintaan Ibu," ucapku semringah, mencoba bersikap biasa saja, seolah kemarin tak terjadi apa-apa."Ridwan belum bangun?" tanyanya lagi."Sudah, Bu. Lagi pakai sepatu. Tuh, dia!" Aku menunjuk ke arah Bang Ridwan. Bang Ridwan berjalan ke arah kami, sembari menenteng tas kerjanya"Bang, bolehkan hari ini aku pergi ke salon?" tanyaku hati-hati di tengah-tengah kegiatan kami sarapan pagi ini."Mau ngapain ke salon, Ris?" tanya Ibu melotot."Mau perawatan lah, Bu. Biar cantik," jawabku jujur."Perawatan? Sayang duit nya, Ris. Kamu itu, mau dirawat kayak gimana pun, tetep aja begitu. Makanmu itu yang harus kamu kurangi porsinya, biar gak tambah melebar tuh badan. Untuk apa wajah dipoles, tapi badannya tetap bongsor begitu," ujar Ibu tanpa jeda dan tanpa merasa kalau kata-katanya menghujam ke ulu hati.Aku mengerling ke arah Bang Ridwan, dia tampak santai saja, tak sedikit pun mau membelaku atau pun menyetujui keinginanku."Sudahlah, Abang pergi dulu. Bener tuh kata Ibu, badannya dulu yang diperbaiki." Bang Ridwan langsung ngeloyor meninggalkan ruang makan."Tapi, Bang!" seruku mencoba menahan langkah Bang Ridwan. Namun, dia tak menggubris sedikitpun.Kutatap kepergian Bang Ridwan dengan nanar. Ada jejak peri yang ditinggalkannya di sini. Sejak kemarin Bang Ridwan mulai menampakkan keberatannya dengan kondisi tubuh dan penampilanku.Aku bingung, tak tau harus bagaimana. Padahal porsi makanku tak begitu banyak. Tapi rasanya, setiap hari tubuhku semakin melar saja. Semua yang dimakan langsung diproses jadi lemak. Bahkan baru baca doa makan saja, bobotku sudah bertambah.Gimana caranya coba. Sejak gadis aku sudah terbiasa makan apa yang ada tanpa khawatir akan jadi gemuk. Aku tak pernah mengikuti program diet, apalagi ikut senam-senam kecantikan seperti yang dilakukan gadis-gadis lain. Aku bingung, aku tak tau harus memulai dari mana."Beresi piring kotornya ya, Ris. Ibu mau keluar sebentar. Ada perlu ke rumah Bu Merry." Ibu segera berlalu meninggalkanku yang masih terpaku.Setelah menyelesaikan semua pekerjaan rumah. Aku mulai mencoba berselancar di dunia maya, untuk mencari informasi tentang tata cara diet atau senam yang dapat membentuk tubuh menjadi ideal.Satu per satu artikel tentang diet itu kubaca. Tak ada satu pun yang mengena di hati. Semua membutuhkan biaya yang tak sedikit. Sedangkan aku hanya memegang uang pas-pasan. Bang Ridwan hanya memberi uang yang cukup untuk membeli kebutuhan dapur dan kamar mandi saja.*"Dari kemarin masaknya kok sedikit, Ris. Uang belanjanya kurang? Kamu belikan apa? Biasanya kan cukup untuk sebulan. Atau jangan-jangan uangnya kamu irit-irit agar kamu bisa ngumpul uang, trus kamu kirim ke orang tuamu di kampung, iya?" Ibu memberondong dengan serentet pertanyaan. Dalam satu tarikan napas pula dia ngomel begitu."Nggak, Bu. Uangnya masih ada dan cukup untuk belanja bahan makanan setiap hari. Tapi, mulai kemarin Risa diet, Bu. Sayang kalau makanannya kebuang. Jadi, Risa masak sedikit saja. Cukuplah untuk Ibu dan Bang Ridwan.""Yakin dietmu akan berhasil? Kalau Ibu sih gak yakin. Kamu kan gak bisa makan hanya sedikit." Ibu tertawa mengejek. Aku akan berusaha Bu. Demi Bang Ridwan dan demi keutuhan rumah tanggaku. Semangat, Risa!Dari pagi, tak hentinya aku mengerjakan pekerjaan rumah. Belum ada sebutir nasi pun yang masuk ke lambungku. Baru saja aku selesai mengepel lantai. Jam di dinding sudah menunjuk di angka dua. Perut sudah sangat lapar. Namun, kutahan sebisanya agar tak makan apa pun. Sejak tadi aku mengisi lambungku hanya dengan air putih saja.Aku berjalan menuju ke kamar, ingin tidur siang agar rasa lapar ini bisa hilang. Kalau tidur kan, gak lapar lagi. Pikirku. Namun, tiba-tiba kepalaku pusing. Tubuh rasanya gemetaran. Keringat mulai mengucur deras. Mataku mulai berkunang-kunang, dan akhirnya pandanganku menjadi gelap. Aku limbung.Saat aku membuka mata, aku sudah tak berada di rumah. Ada selang infus yang terpasang di tangan sebelah kiri. Kuperhatikan sekelilingku, tak ada siapa pun di sini. Dimana ini? Apa aku masuk rumah sakit? Tanyaku dalam hati.Tiba-tiba, pintu ruangan tempatku berbaring terbuka. Bang Ridwan dan Ibu masuk bersamaan."Apa-apaan sih kamu, Ris? Mau cari mati?" ucap Bang Ridwan tiba-tiba."Maksudnya apa, Bang?" tanyaku dengan raut wajah bingung."Maksudnya apa! Kamu gak makan dari kemarin, kan? Kenapa? Mau mati? Aku gak mau ya di tuduh penyebab kamu begini. Apa masih kurang uang belanja yang aku beri, sampai-sampai kamu gak makan begini?""Katanya dia mau diet, Wan," sambar Ibu."Apa? Diet!?" Bang Ridwan tertawa lebar.Bersambung.Setelah menjalani kehidupan di panti, mereka diajarkan tentang kesopanan dan hal-hal baik lainnya. Makanya mereka sudah terbiasa jika dengan ketertiban.Setelah mendapatkan paper bag masing-masing, anak-anak panti kembali duduk ketempat semula. "Udah, Wi, silakan dilanjutkan," ujarku pada Tiwi setelah aku selesai membagikan souvenir yang sengaja kupesan beberaa hari yang lalu. "Oke, Mbak," sahut Tiwi singkat."Tama, duduk di sini, Nak," ujar Bang Ardi memanggil Tama agar duduk di kursi yang telah disediakan. Sedangkan Adinka duduk dipangku oleh Bang Ridwan.Tiwi meminta MC yang tak lain adalah temannya sendiri untuk memandu jalannya acara. Dimulai dengan pembacaan doa oleh seorang ustadz yang biasa memberi ceramah di panti. lalu, acara dilanjutkan dengan ucapan syukur dan terima kasih yang disampaikan oleh Bang Ridwan. Lagi dan lagi kalimat itu keluar dari mulut Bang Ridwan. Kalimat yang berisi ucapan terima kasih yang tulus, yang ditujuakn untukku dan Bang Ardi karena telah membe
POV RISADua tahun kemudian.Aku sedang menemani anak-anak menonton tayangan film kartun di televisi sembari menantikan Tama dan Mayra pulang dari sekolah. Mereka mengikuti kegiatan ekstrakurikuler di sekolah.Tama dan Mayra bersekolah di sekolah yang sama, agar mereka dapat saling melindungi dan bahu membahu sebagai satu keluarga. Aku tidak pernah membeda-bedakan dalam memperlakukan mereka, walaupun Mayra dan Farel bukan anak kandungku. Tapi, mereka adalah amanah yang dititipkan Gita kepadaku. Aku tak bisa menyia-nyiakan mereka. Perlakuan buruk yang pernah Gita lakukan kepadaku, tak serta merta membuatku membenci kedua anaknya. Bagiku, masa lalu hanyalah masa lalu, kita tak perlu mengungkit kenangan buruk yang ada di sana karena itu akan menyakiti diri kita sendiri. Jadikan semua kejadian di masa lalu sebagai pelajaran, pasti ada hikmah dibalik sebuah cobaan yang kita hadapi. Contohnya aku, karena Gita merebut suamiku akhirnya aku dipertemukan dengan laki-laki yang jauh lebih baik,
"Tunggu dulu! Jadi Tama sudah tau kalau Bang Ridwan, Papa kandungnya?" tanyaku dengan wajah penasaran."Iya, Wi. Sebelum berangkat ke sini, Risa sudah mengatakan semuanya kepada Tama. Tama memang anak yang baik, dia tidak marah sedikit pun baik kepada Risa maupun Ridwan. Dia dapat memahami keadaan yang sudah terjadi dan memaafkan kedua orang tuanya.""Sykurlah, akhirnya mimpi Bang Ridwan jadi kenyataan. Semua ini berkat kebaikan Bang Ardi dan Mbak Risa. Lagi-lagi kalian menjadi pahlawan di keluarga kami. Entah dengan apa kami membalas kebaikan kalian. Demi Bang Ridwan, Kalian meninggalkan acara yang sudah digelar dan menghabiskan biaya yang tidak sedikit," ujarku terharu."Demi Tama, apa pun akan aku lakukan, jangankan uang, nyawaku pun akan kupertaruhkan. Aku takut, kalau Tama tak sempat bertemu dengan ayah kandungnya. Makanya, aku segera mengantarnya ke sini. Dan ternyata, Allah berkehendak, kalau kehadiran Tama merupakan berkah untuk ayahnya, Ridwan bisa sadar dari koma.""Abang be
Tampak wajah mereka sangat serius ketika berbicara. Setelah dokter itu pergi, wanita itu kembali menangis. Kak Suci ikut menenangkannya.Satu jam sudah kami menunggu di tempat ini. Tidak ada yang buka suara untuk sekedar ngobrol. Kami larut dalam pikiran masing-masing. Tiba-tiba, ada dokter dan perawat yang berjalan tergopoh masuk ke dalam ruangan. Napasku jadi terasa sesak. Hatiku bertanya-tanya, ada apa di dalam. Kami tak dapat lagi melihat ke dalam karena jendela kacanya sudah tertutup tirai.Tak lama, seorang perawat keluar dan memanggil keluarga Pak Hasan, suami wanita yang sejak tadi bersamaku. Aku lega, tapi, kasihan juga melihat wanita itu. Suaminya kritis di dalam sana. Dia terduduk lemas di lantai sembari menangis tersedu-sedu. Dalam waktu tiga puluh menit, seorang doter keluar dari ruangan dengan wajah sedih."Bagamana suami saya, Dok?" tanya wanita itu."Anda istri Bapk Hasan?' tanya dokteritu balik. waita itu mengangguk, mengiyakan."Mohon Maaf, Bu. Kami gagal menyelama
Aku masuk ke dalam ruangan tempat Bang Ridwan dirawat, setelah mendapat izin dari dokter. Aku berdiri di samping brankar tempatnya berbaring sembari mengusap lembut wajah suamiku. Satu kecupan lembut kuberikan di keningnya sembari berbisik, "Bangunlah Bang, calon bayi kita merindukan suaramu."Seketika air mata menetes di sudut mata ini. Cepat-cepat aku menyapunya agar tak jatuh menimpa wajah Bang Ridwan. Aku tak mau dia melihat aku menangis.Kulantunkan ayat-ayat Alquran di telinganya. Aku yakin, walaupun dia tidak sadar, dia dapat merasakan kehadiranku di sini.Setelah selesai kubaca surat Alfatihah di telinganya, sudut matanya meneteskan air mata. "Abang bisa dengar Tiwi, Bang? Buka mata Bang, kami merindukanmu. Abang harus kuat, Kami selalu mendoakan, Abang. Cepatlah sadar, Bang!" ujarku mencoba membangunkan Bang Ridwan.Kuraih tangan Bang Ridwan, lalu menempelkannya ke perutku. Calon bayi di perut ini pasti merindukan hal ini. Biasanya seusai salat Subuh, Bang Ridwan selalu meng
Sudah pukul lima subuh, aku baru saja selesai melaksanakan sala Subuh di Mushollah. "Bu, Ibu mertua dan Kakak ipar saya sudah datang. Jadi, bukan berniat mengusir. Bu Hindun kelihatan lelah sekali. Ibu pulang saja, ya. Ibu tidak perlu khawatir, sudah ada yang menemani saya di sini," ujarku pada wanita yang telah menemaniku menjaga Bang Ridwan sejak kemarin."Ya, sudah kalau begitu. Saya akan pulang, nanti sore saya kembali lagi membawakan pakaian ganti untuk Bu Tiwi. Pasti gerah kan, sejak kemarin belum ganti baju," sahut Bu Hindun. "Saya tidak enak, jadi merepotkan Ibu.""Tidak, Bu, saya tidak merasa direpotkan. Saya permisi ya, Bu." Aku memberikan uang kertas berwarna merah sebanyak dua lembar kepadanya, untuk ongkos taxi dan pegangan di jalan. Irfan, sudah pulang sejak kemarin, karena ada yang ingin menyewa mobilnya.Aku kembali ke ruangan Bang Ridwan. Kak Suci dan Ibu masih tertidur di kursi, di depan ruangan. Dengan hati-hati aku membangunkan mereka agar salat Subuh. Mereka se