Beranda / Rumah Tangga / Bahagia Setelah Dibuang / Bab 4. Pesan Mesra di Ponsel Suamiku

Share

Bab 4. Pesan Mesra di Ponsel Suamiku

Penulis: Su Yenni
last update Terakhir Diperbarui: 2022-07-17 18:12:25

Waktu itu, aku hanyalah pengagum rahasia yang bersembunyi di balik akun bernama 'Risa01'. Perpaduan antara nama dan bulan lahirku. Aku selalu mengirimkan emot bergambar jempol tangan bahkan sering juga yang gambar hati pada postingan-postingan yang dibagikan oleh Bang Ridwan di aplikasi berwarna biru itu. Termasuk waktu dia membagikan foto liburan bersama Gita, kekasihnya waktu itu.

Aku sering berkhayal, andai aku jadi Gita. Pasti akan sangat bahagia sekali. Berdampingan dengan pria setampan Bang Ridwan.

Tak hanya itu, aku juga sering berkomentar pada status-statusnya. Aku begitu memujanya dalam diam. Memimpikannya di setiap tidur malamku. Berharap akan dapat bertemu dan menjalin hubungan nyata bukan di dunia maya.

Pucuk dicinta ulam pun tiba. Entah kesambet atau bagaimana, Bang Ridwan yang sedang patah hati itu. mengirimkan sebuah pesan melalui masenger. Aku tau dia patah hati dari status yang ditulisnya sebulan terakhir.

[Lagi apa? Boleh kenalan?] tulisnya waktu itu.

Pesan itu kubaca berulang kali sembari mencubit pipi dengan keras. Takut kalau-kalau itu hanyalah mimpi.

Dengan tangan gemetaran dan suhu tubuh yang mendadak jadi panas dingin, aku membalas pesan itu.

[Lagi baca pesan dari Bang Ridwan] tulisku langsung sok akrab.

[Tinggal di mana, Dek?] tanyanya lagi, dan berhasil membuat jantung dag dig dug karena panggilan 'Adek' itu. Rasanya dunia ini dipenuhi dengan bunga-bunga yang indah. Senyum terus mengembang di bibirku yang tak begitu tipis, tapi sexi.

Kubalas setiap pesan dari Bang Ridwan sampai aku lupa waktu. Debaran-debaran di dada serasa tak menentu membaca setiap pesan yang masuk ke hapeku. Hampir setiap malam kami habiskan dengan berkirim pesan sampai tukar-tukaran nomor W*.

Hubungan kami terus berlanjut, sampai hari itu, hari yang tak dapat aku lupakan seumur hidupku. Bang Ridwan melamarku dan ingin segera menikahiku.

Bagaikan mimpi ketiban bulan, aku akan menikah dengan lelaki pujaanku. Aku meloncat kegirangan sampai terjatuh dari atas tempat tidur dan membuat kakiku terkilir. Sungguh tak disangka, lelaki yang selama ini aku kagumi akhirnya duduk bersanding denganku di pelaminan.

Sungguh waktu itu aku tak menaruh curiga sedikit pun. Aku yang dimabuk cinta tak pernah menanyakan kenapa dia, lelaki tampan dengan pekerjaan yang cukup mapan, mau memperistrikan aku, seorang gadis kampung, tak begitu cantik, tapi manis, menurut Emak. Bukan juga berasal dari keluarga kaya, namun tak juga fakir, cukup memadailah kalau hanya untuk ketersediaan makanan di rumah. Makanya aku tumbuh subur begini.

Pernikahan kami pun berlangsung ala pesta di kampungku. Tak begitu mewah namun sangat istimewa. Tanpa pesta pernikahan sekalipun, aku akan sangat merasa bahagia karena dapat menikah dengan Bang Ridwan.

"Mau di dalam mobil aja, Ris?" teguran Ibu mambuatku tersadar. Sepanjang jalan melamun, jadi tidak tahu kalau ternyata sudah sampai di rumah. Bang Ridwan sudah tidak ada di depan stir mobil.

Aku turun dari mobil lalu masuk ke dalam rumah, langsung menuju kamar. Rasanya baju ini membuatku susah bernapas, karena aku memakai korset agar perutku tak terlalu kelihatan buncit.

"Besok-besok kalau beli baju, pilih yang kekinian ya, Ris. Jangan yang jadul begitu. Pakai make up yang bagus, masak pergi kondangan kayak mau ke sawah, gak ada warnanya wajahmu itu. Datar, polos, gak ada yang wah." Tiba-tiba Bang Ridwan mulai memgomentari penampilanku. Apa dia mulai membandimg-bandingkan diriku dengan Gita, wanita yang pernah mengisi relung hatinya?

"Iya, Bang," sahutku singkat.

"Abang mau mandi, gerah," ucapnya lagi sembari beringsut dari tempat tidur lalu menuju kamar mandi.

"Bang!"

"Apa lagi?"

"Handuknya." Aku mengulurkan handuk padanya. Kebiasaan, kalau ke kamar mandi selalu lupa bawa handuk. Giliran di dalam nanti tetiak-teriak, minta diambilkan handuk.

Bang Ridwan mengambil handuk itu lalu menghilang di balik pintu kamar mandi.

Aku duduk di depan cermin seraya mematut wajahku di sana. Sebenarnya aku tak jelek-jelek amat. Kalau didandani seperti Gita tadi, wajahku juga tak kalah jauh dengannya. Hanya tubuhku saja yang tak selangsing Gita. Mungkin aku harus diet agar memiliki tubuh ideal seperti Gita.

Ting!

Sebuah notifikasi pesan berbunyi di hape Bang Ridwan, membuyarkan lamunanku. Hape itu tergeletak di atas ranjang. Tak hanya sekali, namun berkali-kali, membuat rasa penasaranku semakin tinggi.

Kuraih perlahan hape itu dan langsung membuka pesan yang baru masuk. Kebetulan hape Bang Ridwan memang tak pernah di kunci. Jadi aku leluasa membukanya.

[Udah sampai rumah, Bang?] tulis sebuah nomor yang diberi nama Gita. Idih, perhatian amat, ya.

[Jadi yang tadi itu istri Abang? Bude yang cerita setelah Abang pulang, tadi. Gita terkejut, gak menyangka, bisa-bisanya Abang menikahi perempuan model begitu. Wajahnya kucel, body bak tong bodol. Jelas bukan tipe Abang, kan?]

Eh...asem. Dia main fisik.

[Abang sih, terlalu cepat mengambil langkah. Padahal aku masih berjuang agar kita bisa bersama. Abang gak sabaran. Ya, mau gimana lagi, nasi sudah menjadi bubur. Abang udah nikah]

[Tapi, kalau Abang masih ada rasa pada Gita. Gita mau kok balikan sama Abang]

Deg!

Deretan pesan yang baru saja dikirim oleh Gita, membuat jantungku berdetak sangat kencang, dan lututku seperti lemas tak berdaya. Cobaan apa ini? Gita masih mencintai Bang Ridwan. Bagaimana kalau Bang Ridwan juga sama dan mereka balikan? Ya Tuhan, tak dapat kubayangkan jika itu terjadi. Bagaimana nasib rumah tanggaku? Semoga Bang Ridwan tak menyambut kembali cintanya si Gita itu.

Apa yang harus aku lakukan? Aku tak mau pernikahanku hanya seumur jagung. Aku akan berjuang untuk keutuhan rumah tangga ini.

Aku harus bisa seperti Gita. Aku harus tampil modis seperti dia, agar Bang Ridwan tak berpaling lagi padanya. Aku pasti bisa.

Kuhapus pesan-pesan yang baru saja kubaca, agar Bang Ridwan tak tahu, kalau aku sudah membaca pesan-pesan itu.

Bersambung.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Bahagia Setelah Dibuang   Bab 126

    Setelah menjalani kehidupan di panti, mereka diajarkan tentang kesopanan dan hal-hal baik lainnya. Makanya mereka sudah terbiasa jika dengan ketertiban.Setelah mendapatkan paper bag masing-masing, anak-anak panti kembali duduk ketempat semula. "Udah, Wi, silakan dilanjutkan," ujarku pada Tiwi setelah aku selesai membagikan souvenir yang sengaja kupesan beberaa hari yang lalu. "Oke, Mbak," sahut Tiwi singkat."Tama, duduk di sini, Nak," ujar Bang Ardi memanggil Tama agar duduk di kursi yang telah disediakan. Sedangkan Adinka duduk dipangku oleh Bang Ridwan.Tiwi meminta MC yang tak lain adalah temannya sendiri untuk memandu jalannya acara. Dimulai dengan pembacaan doa oleh seorang ustadz yang biasa memberi ceramah di panti. lalu, acara dilanjutkan dengan ucapan syukur dan terima kasih yang disampaikan oleh Bang Ridwan. Lagi dan lagi kalimat itu keluar dari mulut Bang Ridwan. Kalimat yang berisi ucapan terima kasih yang tulus, yang ditujuakn untukku dan Bang Ardi karena telah membe

  • Bahagia Setelah Dibuang   Bab 125

    POV RISADua tahun kemudian.Aku sedang menemani anak-anak menonton tayangan film kartun di televisi sembari menantikan Tama dan Mayra pulang dari sekolah. Mereka mengikuti kegiatan ekstrakurikuler di sekolah.Tama dan Mayra bersekolah di sekolah yang sama, agar mereka dapat saling melindungi dan bahu membahu sebagai satu keluarga. Aku tidak pernah membeda-bedakan dalam memperlakukan mereka, walaupun Mayra dan Farel bukan anak kandungku. Tapi, mereka adalah amanah yang dititipkan Gita kepadaku. Aku tak bisa menyia-nyiakan mereka. Perlakuan buruk yang pernah Gita lakukan kepadaku, tak serta merta membuatku membenci kedua anaknya. Bagiku, masa lalu hanyalah masa lalu, kita tak perlu mengungkit kenangan buruk yang ada di sana karena itu akan menyakiti diri kita sendiri. Jadikan semua kejadian di masa lalu sebagai pelajaran, pasti ada hikmah dibalik sebuah cobaan yang kita hadapi. Contohnya aku, karena Gita merebut suamiku akhirnya aku dipertemukan dengan laki-laki yang jauh lebih baik,

  • Bahagia Setelah Dibuang   Bab 124

    "Tunggu dulu! Jadi Tama sudah tau kalau Bang Ridwan, Papa kandungnya?" tanyaku dengan wajah penasaran."Iya, Wi. Sebelum berangkat ke sini, Risa sudah mengatakan semuanya kepada Tama. Tama memang anak yang baik, dia tidak marah sedikit pun baik kepada Risa maupun Ridwan. Dia dapat memahami keadaan yang sudah terjadi dan memaafkan kedua orang tuanya.""Sykurlah, akhirnya mimpi Bang Ridwan jadi kenyataan. Semua ini berkat kebaikan Bang Ardi dan Mbak Risa. Lagi-lagi kalian menjadi pahlawan di keluarga kami. Entah dengan apa kami membalas kebaikan kalian. Demi Bang Ridwan, Kalian meninggalkan acara yang sudah digelar dan menghabiskan biaya yang tidak sedikit," ujarku terharu."Demi Tama, apa pun akan aku lakukan, jangankan uang, nyawaku pun akan kupertaruhkan. Aku takut, kalau Tama tak sempat bertemu dengan ayah kandungnya. Makanya, aku segera mengantarnya ke sini. Dan ternyata, Allah berkehendak, kalau kehadiran Tama merupakan berkah untuk ayahnya, Ridwan bisa sadar dari koma.""Abang be

  • Bahagia Setelah Dibuang   Bab 123

    Tampak wajah mereka sangat serius ketika berbicara. Setelah dokter itu pergi, wanita itu kembali menangis. Kak Suci ikut menenangkannya.Satu jam sudah kami menunggu di tempat ini. Tidak ada yang buka suara untuk sekedar ngobrol. Kami larut dalam pikiran masing-masing. Tiba-tiba, ada dokter dan perawat yang berjalan tergopoh masuk ke dalam ruangan. Napasku jadi terasa sesak. Hatiku bertanya-tanya, ada apa di dalam. Kami tak dapat lagi melihat ke dalam karena jendela kacanya sudah tertutup tirai.Tak lama, seorang perawat keluar dan memanggil keluarga Pak Hasan, suami wanita yang sejak tadi bersamaku. Aku lega, tapi, kasihan juga melihat wanita itu. Suaminya kritis di dalam sana. Dia terduduk lemas di lantai sembari menangis tersedu-sedu. Dalam waktu tiga puluh menit, seorang doter keluar dari ruangan dengan wajah sedih."Bagamana suami saya, Dok?" tanya wanita itu."Anda istri Bapk Hasan?' tanya dokteritu balik. waita itu mengangguk, mengiyakan."Mohon Maaf, Bu. Kami gagal menyelama

  • Bahagia Setelah Dibuang   Bab 122

    Aku masuk ke dalam ruangan tempat Bang Ridwan dirawat, setelah mendapat izin dari dokter. Aku berdiri di samping brankar tempatnya berbaring sembari mengusap lembut wajah suamiku. Satu kecupan lembut kuberikan di keningnya sembari berbisik, "Bangunlah Bang, calon bayi kita merindukan suaramu."Seketika air mata menetes di sudut mata ini. Cepat-cepat aku menyapunya agar tak jatuh menimpa wajah Bang Ridwan. Aku tak mau dia melihat aku menangis.Kulantunkan ayat-ayat Alquran di telinganya. Aku yakin, walaupun dia tidak sadar, dia dapat merasakan kehadiranku di sini.Setelah selesai kubaca surat Alfatihah di telinganya, sudut matanya meneteskan air mata. "Abang bisa dengar Tiwi, Bang? Buka mata Bang, kami merindukanmu. Abang harus kuat, Kami selalu mendoakan, Abang. Cepatlah sadar, Bang!" ujarku mencoba membangunkan Bang Ridwan.Kuraih tangan Bang Ridwan, lalu menempelkannya ke perutku. Calon bayi di perut ini pasti merindukan hal ini. Biasanya seusai salat Subuh, Bang Ridwan selalu meng

  • Bahagia Setelah Dibuang   Bab 121

    Sudah pukul lima subuh, aku baru saja selesai melaksanakan sala Subuh di Mushollah. "Bu, Ibu mertua dan Kakak ipar saya sudah datang. Jadi, bukan berniat mengusir. Bu Hindun kelihatan lelah sekali. Ibu pulang saja, ya. Ibu tidak perlu khawatir, sudah ada yang menemani saya di sini," ujarku pada wanita yang telah menemaniku menjaga Bang Ridwan sejak kemarin."Ya, sudah kalau begitu. Saya akan pulang, nanti sore saya kembali lagi membawakan pakaian ganti untuk Bu Tiwi. Pasti gerah kan, sejak kemarin belum ganti baju," sahut Bu Hindun. "Saya tidak enak, jadi merepotkan Ibu.""Tidak, Bu, saya tidak merasa direpotkan. Saya permisi ya, Bu." Aku memberikan uang kertas berwarna merah sebanyak dua lembar kepadanya, untuk ongkos taxi dan pegangan di jalan. Irfan, sudah pulang sejak kemarin, karena ada yang ingin menyewa mobilnya.Aku kembali ke ruangan Bang Ridwan. Kak Suci dan Ibu masih tertidur di kursi, di depan ruangan. Dengan hati-hati aku membangunkan mereka agar salat Subuh. Mereka se

  • Bahagia Setelah Dibuang   Bab 120

    Dengan usaha yang gigih, akhirnya anak itu datang ke acara pernikahan kami bersama ibunya, mantan istri Bang Ridwan yang dulu dia buang demi seorang wanita bernam Gita. Wanita itu sangat cantik dan anggun, Mbak Risa namanya. Setelah mendapatkan maaf dan restu darinya, Bang Ridwan merasa lega dan siap menghadapi masa depan bersamaku. Tujuh tahun sudah kami berumah tangga. Baru sekarang Allah menitipkan seorang anak di rahimku. Baru saja kami merasa bahagia akan menyambut kelahiran anak pertama kami. Namun, Bang Ridwan mengalami kecelakaan seperti ini. Akankah kebahaiaan itu harus terenggut sekarang? Tak adakah kesempatan untuk Bang Ridwan melihat wajah anaknya? entahlah, dadaku semakin sesak setiap memikirkan hal ini. Ya, Allah, izinkan anakku bertemu dengan ayahnya, digendong ayahnya, tumbuh dan berkembang dibawah asuhan ayahnya. Cukuplah Tama yang merasakan kehilangan ayah kandungnya sejak kecil. Aku tahu, Bang Ridwan sangat bersalah kepada Tama. Ampuni dia ya, Allah! Izinkan dia

  • Bahagia Setelah Dibuang   Bab 119

    Malam sudah menjelma. Namun, Bang Ridwan belum juga menunjukkan tanda-tanda akan sadarkan diri. Aku semakin cemas melihat kondisinya. Sejak tadi aku belum menelan nasi sedikit pun. Entahlah, rasanya aku tak ingin meninggalkan Bang Ridwan barang sedetik pun. Kami berada di ruang tunggu dekat dengan ruang ICU. Tak seorang pun diperbolehkan masuk ke dalam sana tanpa seizin dokter. Aku hanya bisa melihat suamiku dari jendela kaca. "Bu Tiwi, makan dulu, Bu! Sejak tadi siang Ibu belum makan apa pun. Kasian calon bayi Ibu. Pikirkan dia, Bu! Jangan sampai dia kenapa-kenapa." Bu Hindun yang baru datang membawa nasi bungkus berkata memelas."Tapi, saya tidak selera makan sebelum melihat Bang Ridwan sadar, Bu," sahutku lirih. "Pikirkan calon bayi Ibu! Pak Ridwan pasti juga tidak ingin calon bayinya kenapa-kenapa. Makanlah, Bu, sedikit saja!" ujarnya lagi sembari membuka nasi bungkus untukku.Benar kata Bu Hindun. Aku tidak boleh egois. Calon bayiku tidak harus ikut tersiksa karena kesedihanku

  • Bahagia Setelah Dibuang   Bab 118

    POV TIWIAku dan Bu Hindun mempercepat langkah agar cepat sampai ke ruangan itu. Begitu aku sampai di depan ruangan tempat Bang Ridwan diobati, seorang wanita datamg menghampiri."Anda Ibu Tiwi?" tanyanya. Aku mengangguk."Saya yang menelepon tadi. Ayo ikut saya, kita harus segera menemui dokter. Ibu harus segera menandatangani surat persetujuan dilakukanya operasi pada suami Ibu. Ada pembekuan darah di kepalanya, dan harus segera dioperasi."Aku mengikuti wanita itu menuju salah satu ruangan di rumah sakit ini. Setelah menandatangani surat persetujuan itu, Para perawat langsung memindahkan Bang Ridwan ke ruang operasi. Operasi terhadap Bang Ridwan segera dilakukan.Diluar ruang operasi aku menunggu dengan cemas. Mulutku serasa terkunci, aku tak mampu berbicara apa pun selama Bang Ridwan masih di dalam sana. Wanita yang meneleponku tadi juga masih di sini bersama suaminya. Aku belum sempat bertanya apa-apa pada mereka. Nanti sajalah, setelah operasinya selesai, pikirku. Sekitar sat

Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status