Zulfa telah resmi menjadi janda sejak masa nifasnya usai. Dan sejak tiga bulan ini, Fikri tidak pernah mengunjunginya. Entah mengapa Zulfa merindukannya. Padahal, ia sendiri yang menginginkan agar Fikri tidak datang ke rumahnya.
"Melamun lagi?" tegur Bu Umi yang baru saja selesai memetik daun salam untuk bumbu masakannya.
"Aku mau nyari kerja, Bu. Sudah saatnya aku nyari uang." Zulfa beranjak dari kursinya dan berdiri di ambang pintu. Matanya menerawang jauh ke depan. Ia berniat untuk bisa mencari nafkah.
"Mau kerja apa? Nyari kerja kalau nggak dibantu susah, Nak," tukas Bu Umi.
"Ya ... aku akan usaha, Bu. Yang penting Ibu doakan aku terus." Zulfa tersenyum menatap sang Ibu.
"Iya itu selalu ibu lakukan untukmu. Oh, ya. Lama sekali, ya, Fikri nggak datang," celetuk Bu Umi. Zulfa seketika terdiam.
"Apa dia marah sama kita, ya. Mungkin, waktu itu dia marah karena kita melarangnya agar nggak ke sini sama sekali," tukas Bu Umi. "Ibu jadi merasa n
HK15. Mertua Pembantu GratisPerut Amara mulai terlihat membuncit, sebab usia kehamilannya telah memasuki lima bulan. Fase-fase yang ia lalui tak serumit wanita hamil pada umumnya. Ia lebih enjoy dan tak pernah merasakan mual dan pening. Orang jawa bilang 'ngebo'.Di saat-saat itu pun Bu Salma memberikan perhatian lebih ekstra untuknya. Amara yang merasa disayang Bu Salma sering memanfaatkan keadaan agar ia bisa berleha-leha tanpa lelah mengurus rumah."Amara, ini ibu belikan kurma muda. Kamu makan ya. Ini bagus banget buat ibu hamil seperti kamu," tukas Bu Salma ketika berkunjung.Amara mengangguk senang. "Iya, Bu. Makasih, ya ... Ibu baik banget," pujinya."Iya ... soalnya ibu pengeeen sekali punya cucu, Ra. Sudah hampir berjalan empat tahun. Dan ini tahun pertama bersamamu. Dan ibu gak nunggu lama-lama lagi," ujar Bu Salma sambil mengelus perut Amara."Bu? Ibu nggak pernah marah gitu sama Zulfa?" Amara sengaja memancing Bu Salma a
Rio menyandarkan kepalanya pada kedua tangan yang ia tumpulan di atas meja. Kedua matanya terpejam karena berkas-berkas laporan yang ia kerjakan kembali tertumpuk di hadapannya."Kamu ini gimana?! Bisa kerja apa gak?! Masa buat laporan gini aja salah semua?!" bentak Pak Biran–atasannya di kantor."Apa, Pak? Laporan saya salah semua?" Rio membalas tanya tak percaya."LIHAT SENDIRI!" Pak Biran melempar berkas-berkas ke wajah Rio hingga jatuh berhamburan.Tangan Rio mengepal, kedua matanya terpejam. Ia menahan emosi yang semakin membuat darahnya mendidih. Namun, ia hanya bisa diam. Jika ia membalas, pemecatan akan terjadi padanya."Maafkan, saya, Pak," ujar Rio akhirnya. Ia memunguti kertas-kertas tersebut dan menjadikan satu dalam map."Akan saya teliti lagi. Tolong maafkan saya ...." Rio memohon, mengiba pada Pak Biran.Pak Biran dikenal sebagai orang yang keras dan tegas. Namun, tak jarang beliau juga bisa melunakkan
Maksudnya apa?" Zulfa melempar tanya, ia menerka-nerka apa yang sebenarnya terjadi."Satu hari sesudah pernikahanmu dengan Rio di rumah ini, Fikri datang. Dia membawa banyak hantaran untukmu. Dia telah memenuhi janjinya padamu, Nak," ungkap Bu Umi dengan mata yang menerawang jauh. Sorot mata Bu Umi terlihat begitu sedih.Zulfa menggeleng pelan. "Itu tidak mungkin ... lagi pula, Fikri sudah bertunangan, lalu ... untuk apa dia datang?" Zulfa menggeleng lagi. Ia masih sukar menerima."Aku tidak pernah bertunangan dengan siapa pun, Fa! Aku selalu berpegang teguh dengan janji yang kubuat! Lagi pula jika aku sudah bertunangan, untuk apa aku sekarang ada di sini dan membantumu membuka rahasia Rio ?! timpal Fikri dengan tegas dan penuh penekanan. Mata elangnya tidak berbohong bahwa ia tengah bersungguh-sungguh."Lalu kamu kemana? Aku menunggumu waktu itu! Aku menunggumu setiap hari, dengan harapan agar kamu benar-benar datang. Tapi ... malah Rio yang datang padak
Semakin hari, sikap Amara semakin tidak bisa ditolerir. Bu Salma mengerjakan semua pekerjaan rumah di rumah anaknya sendiri. Semuanya ... bahkan, mencuci pakaian dalam Amara dan Rio."Hoalah, mimpi apa aku kok bisa jadi babu begini ... untung saja anak itu lagi hamil. Kalau enggak, gak bakalan mau aku," gerutu Bu Salma seraya menjemur pakaian Amara.Sedangkan, Amara dan Rio tengah pergi ke dokter untuk cek kehamilan. Bu Salma berharap, Amara segera melahirkan agar ia bisa bebas. Biarlah prematur, pikirnya. Ia sudah lelah.Beliau datang ke rumah Rio tiga kali setiap minggunya. Dan setiap beliau datang, keadaan rumah tak pernah rapi. Padahal beliau tidak datang sehari saja, penampilan rumah anaknya seperti kapal pecah.Dan, semua yang beliau kerjakan, Amara tak pernah sekali pun membantu. Beliau mulai ragu, apakah Amara memang benar-benar mual atau hanya pura-pura."Assalamu'alaikum ..."Bu Salma segera menyelesaikan acara menjemur pakaiannya.
Fikri berdiri di depan rumah Rio. Rumah berlantai dua itu nampak sunyi. Seolah tak ada penghuni di dalamnya. Ia memencet bel berulang kali agar penghuni rumah itu segera keluar.Sesekali, Fikri mendengar teriakan dari dalam. Ia menajamkan pendengarannya. Sepertinya Rio dan Amara sedang bertengkar. Fikri kembali mengetuk pintu. Kali ini ia menggedor-nggedornya dengan begitu keras.Tak berselang lama, akhirnya pintu terbuka. Sosok Amara adalah yang pertama Fikri lihat."Kamu? Bukannya kamu yang ada di rumah Zulfa waktu itu?" tanyanya pada Fikri dengan wajah sedikit terkejut."Amara! Aku belum selesai bicara! Kenapa kamu tega nyuruh Ibu ngerjain semua pekerjaan rumah!" Rio mengomel sepanjang jalannya menuju arah depan. Hingga pada akhirnya, ia terdiam saat melihat kehadiran Fikri di rumahnya."Kamu, Fik?! Ada apa?!" ketus Rio. Wajahnua nampak tak bersahabat.Tanpa basa-basi, Fikri melayangkan tinju ke wajah Rio hingga ia tersungkur. Amara menje
Semenjak kejadian beberapa hari yang lalu di rumah Rio. Pak Setyo hanya mendiamkan Bu Salma. Bukan bermaksud apa-apa. Pak Setyo merasa marah karena sang istri mau-maunya dijadikan pembantu di rumah anaknya sendiri."Yah, maafkan ibu, ya." Bu Salma menyodorkan secangkir kopi kepada Pak Setyo yang tengah bersantai di halaman rumah.Pak Setyo melirik sekilas, kemudian kembali menatap lurus ke depan.Bu Salma mendesah pelan. "Yah, aku minta maaf. Mbok, ya jangan didiemin terus aku ini," ucap beliau."Apa hari ini kamu mau ke rumah mereka lagi?" Pak Setyo bertanya dengan datar.Bu Salma diam."Kalau kamu memang mau ke sana lagi. Pergilah! Jadilah babu mereka!" ujar Pak Setyo dingin."Kenapa kamu ngomongnya begitu? Mereka anak kita, Yah! Masa aku hanya diam saja nggak bantu-bantu? Kan kasihan!"Bu Salma nampaknya masih teguh dengan pendiriannya. Bagi beliau yang seorang Ibu, tidak tega rasanya jika melihat anaknya kesulit
"Mbak Zulfa ... selamat, ya. Mbak Zulfa sehat. Tak ada masalah dalam rahim, Mbak. Tak ada kista, tak ada miom, semuanya bersih," terang Dokter Fariska dengan senyum ramah.Zulfa tertegun, ia berusaha mencerna setiap kata-kata yang diucapkan Dokter Fariska. Ia mencoba mencubit tangannya. Takut, jika yang ia dengar hanyalah mimpi belaka.Fikri tersenyum melihat Zulfa yang mencubiti tangannya sendiri. Ia berinisiatif untuk merangkul Zulfa."Sadarlah! Semua memang bukan mimpi," ujar Fikri.Zulfa menoleh cepat saat tangan kiri Fikri melingkar di pundaknya. Ia segera melepas rangkulan itu dan menatap Fikri dengan cemberut. Lantas, kembali fokus menatap wanita bergelar dokter di hadapannya."Benarkah itu, Dok? Anda tidak salah, kan?" Zulfa memastikan. Ia benar-benar takut jika salah dengar."Memangnya Mbak Zulfa berharap sakit?" goda Dokter Fariska.Zulfa menggeleng cepat. "Bukan begitu. Hanya saja saya takut jika i
"Assalamu'alaikum." Zulfa menguluk salam. Ia masuk ke dalam rumah dan segera meletakkan barang belanjaannya di kulkas.Bu Umi sedang salat Ashar ketika Zulfa hendak berpamitan lagi. Ia menunggu di samping sang Ibu. Meminta izin sekaligus memberi kabar baik.Bu Umi mengucap salam, pertanda sholatnya telah usai. Beliau lantas menatap Zulfa yang terus tersenyum dengan binar bahagia."Kenapa, Nak?" tanya Bu Umi lembut.Tanpa menjawab, Zulfa langsung menghambur ke pelukan Bu Umi. Tangisnya tumpah, ia mengeluarkan kelegaannya di pelukan sang Ibu."Loh, kenapa, Nak?" tanya beliau lagi."Aku seneng, Bu. Alhamdulillah ... alhamdulillaaahh," seru Zulfa semakin erat memeluk."Iya ... iya. Seneng kenapa?" Bu Umi merenggangkan pelukan, menangkup kedua pipi Zulfa dan menatap kedua netra putrinya itu."Aku sehat, Buk. Tidak ada masalah dalam rahimku. Malah kata dokter, aku subur!" jelas Zulfa dengan air mata yang terus mengalir