Suami siaga?
Suami?Ya Tuhan ….Siapa pun, tolong katakan padaku, jika tadi aku hanya salah dengar.Tidak. Tidak mungkin Mas Hamid mengkhianatiku bukan?Status di KTP Mas Hamid saat menikah denganku jelas, lajang—belum kawin. Lantas, bagaimana bisa ibu mertua dengan gampangnya menyebut Mas Hamid harus menjadi suami siaga? Siaga untuk istri yang mana?Aku buru-buru bersembunyi di balik pagar saat menyadari tatapan Ibu mengarah padaku. Ya ampun, semoga mertuaku tak sempat melihatku tadi.Di saat seperti ini, otakku benar-benar tak bisa berpikir jernih. Tak tahu harus berbuat apa sekarang.Haruskah aku mendekati mereka dan bertanya layaknya wartawan yang meliput berita? Menanyai mereka satu persatu untuk menuntaskan rasa penasaran tentang baju bayi itu? Ah, tidak. Rasanya, itu bukan ide yang terlalu bagus.Aku putar badan. Mengurungkan niat menyambangi rumah mertua saat ini. Benar, rasanya … ini bukan waktu yang tepat untuk aku mendatangi mereka. Aku yang kadang mudah tersulut emosi, bisa saja membuat keributan andaikata memang benar suamiku mendua.Jika benar Mas Hamid bermain api dan punya istri muda di belakangku, aku cuma takut tak bisa mengendalikan diri. Mengambil jalan pintas dengan menganiaya wanita itu untuk menyalurkan rasa sakit hati. Jangan bertingkah bar-bar Alisa!Jika sudah begitu, siapa yang untung, dan siapa yang rugi?Jelas aku lah yang rugi. Bisa saja aku mendekam di penjara karena kasus penganiayaan, 'kan? Sementara Mas Hamid, bakal melenggang dengan mudah jatuh ke pelukan istri baru karena aku sebagai istri pertama adalah seorang kriminal.Aku menarik napas panjang dan menghembuskan perlahan.Huft ….Kalem, Alisa. Kalem!"Angkot, Neng?" Aku tertegun saat menyadari ada angkot yang tiba-tiba berhenti di hadapanku."I-iya, Bang." Aku menjawab gugup sebelum mengayunkan kaki naik ke dalam angkot.Aku yang tengah kalut, memutuskan pulang ke rumah. Berusaha mencari cara terbaik untuk mengungkap semua kebenaran dengan kalem dan jauh dari kesan barbar. Kalaupun dugaanku salah, kan enggak malu-malu amat.Sumpah, amit-amit, jangan sampai, deh, masuk penjara gara-gara suami ketahuan poligami tanpa izin. Rugi dunia akhirat. Aku nggak mau.Sampai di rumah, aku menscroll aplikasi belanja online berwarna oranye saat sebuah ide muncul di kepala.Ah, ya, pakaian bayi. Sebuah kejutan manis untuk suami tercinta. Aku tersenyum licik. Pasti Ibu dan Mas Hamid bakal senang nanti.By the way, bayi di rumah mertua tadi, laki-laki atau perempuan, ya?Ah, aku pilih yang unisex sajalah.Aku pun melakukan transaksi di aplikasi belanja online dengan cekatan. Kupilih kurir go-send sebagai pengirim, karena kebetulan, lokasi toko jaraknya tak begitu jauh dari rumah mertua. Jadi bisa diatur.Setelah urusan dengan aplikasi online selesai, gegas aku pergi dan menghadang angkot untuk yang kedua kali siang ini.Ketika dalam perjalanan, aku tertegun saat menyadari Mas Hamid tiba-tiba menelepon."Lis, aku pulangnya agak telat, ya, genteng rumah Ibu ada yang bocor," ujarnya begitu kami terhubung melalui sambungan telepon.Nah, kan? Alasan lagi!"Oh, iya, Mas." Aku menjawab dengan begitu santai dan sebisa mungkin menjauhkan kesan curiga."Ngomong-ngomong … kamu di mana? Kok kayak berisik begitu, Lis?""Lagi di dalam angkot, Mas.""Mau ke mana?"Aku terdiam sesaat. Haruskah kukatakan langsung?"Tadi aku khawatir kamu gak kasih kabar. Takut terjadi sesuatu sama Ibu.""Hah? Jangan bilang kamu mau nyusul ke sini? Enggak usah, Lis, paling bentaran lagi aku pulang,kok. Udah, kamu putar balik aja." Nada bicara Mas Hamid terdengar berubah."Tanggung, Mas!""U-udah dulu Lis, ini Ibu tiba-tiba manggil."Tanpa mengucap salam, Mas Hamid memutus pembicaraan. Aku menghela napas resah. Sikapmu menambah curigaku, Mas. Tapi aku tak ingin gegabah. Kalau kecurigaanku salah alhamdulillah, kalau benar ... entahlah!***Kedua kalinya aku turun dari angkot di depan rumah mertua hari ini. Pandangan mataku langsung tertuju pada jemuran tadi. Sudah lenyap. Nah, kan? Masa iya tadi titipan jemuran tetangga? Rajin bener suamiku bantuin? Jemuran di rumah saja aku tak pernah berhasil meminta pertolongannya.Ini?"Assalamualaikum." Aku mengucap salam dengan suara sedikit lantang saat menyadari rumah dalam keadaan sepi."W*'alaikumussalam, Lisa." Ibu mertua membuka pintu dan menyambut kedatanganku dengan ekspresi … gugup?"Ibu, gimana kabar? Sudah sehat?" Aku mengajukan pertanyaan basa-basi pada wanita paruh baya ini."Alhamdulillah. Sudah sehat, Lis." Sebuah senyum ramah tertoreh di bibirnya."Maaf, ya, Bu. Akhir-akhir ini, sepertinya Ibu sering sakit. Tapi Lisa sendiri baru bisa muncul. Habisnya, Mas Hamid setiap ke sini langsung dari kerjaan, sih. Harusnya, kan, pulang dulu, baru ngajak Lisa," ucapku menyesali sikap suami sendiri."Eh, enggak apa-apa, Lis. Enggak apa-apa. Memang Ibu yang larang Hamid merepotkanmu. Sudah ada Lina, kok. Kasian kamu, nanti kamu capek kalau harus bolak-balik," sahut mertuaku lemah lembut.Kusunggingkan sedikit senyum untuk jawabannya yang berisi pembelaan terhadap Mas Hamid, dan pemakluman yang begitu besar terhadapku."Oh iya, ngomong-ngomong, Mas Hamid mana? Kok gak kelihatan?" tanyaku mengalihkan pembahasan sambil memutar wajah menatap ke dalam rumah."Lagi … lagi ke toko material. Beli … apa tadi katanya,"sahut mertuaku seperti sedang berpikir."Oh, iya. Mau baikin genteng, ya katanya tadi?"" I-iya. Eum … Duduk dulu, Lis."Kenapa mertuaku jadi gugup, sih? Aku cuma bertanya tentang suamiku, loh. Bukan yang lain."Maaf, Bu. Lisa mau ke kamar mandi bentar. Udah kebelet dari tadi." Belum sampai 30 detik duduk, aku bangkit dari sofa ruang tamu mertuaku."I-ya, silakan." Lagi-lagi Ibu terlihat gugup.Aku bergerak menuju kamar mandi. Mencari sampo dan sabun bayi.Nihil. Tak ada satu pun perlengkapan mandi bayi ada di sana. Tapi indra penciumanku masih bisa sedikit menangkap aroma khas bayi. Ya, aku tahu aroma itu karena saat kakakku melahirkan anak pertamanya, aku sering membantu Ibu di rumah—mengurus anaknya.Kutinggalkan kamar mandi, dan berjalan kembali ke ruang tamu. Ternyata Mas Hamid sudah ada di sana."Habis dari mana, Mas?" tanyaku dengan ekspresi wajah yang kubuat senormal mungkin."Dari toko bangunan.""Oh, kok tangannya kosong? Gak bawa apa-apa?""Itu tadi beli paku, ada di jok motor."Aku tersenyum tipis, pura-pura maklum."Oh iya, Bu. Ngomong-ngomong, kok, pas Lisa ke kamar mandi tadi kayak ada aroma-aroma bayi, ya,di kamar sebelahnya Lina?" tanyaku mengalihkan pandangan pada Ibu mertua yang terduduk kaku seperti patung di sofa ruang tamu ini."Tadi habis ada bayi nginep di sini apa gimana?" tanyaku datar sambil menatap keluar. Pandanganku sempat menangkap, ekor mata Mas Hamid dan Ibu Mertua saling lirik."Mas, Bu, tadi ada bayi nginep di sini apa gimana?" Terpaksa aku mengulang pertanyaan. Memaksa salah satu dari mereka yang tampak grogi, memberi jawaban cepat.Satu detik, dua detik, tiga detik, tak ada yang bersuara.Ya ampun, lama sekali jawaban mereka.Aku sudah tidak sabar!"Oh, i-tu ... iya, semalam ada sepupunya Hamid yang main ke sini. Kebetulan dia punya anak bayi," sahut mertuaku dengan wajah yang terlihat sedikit memucat.Padahal ini Lisa, loh, yang bertanya. Bukan polisi yang sedang menginterogasi."Sepupu? Sepupunya yang mana, ya, Mas? Apa aku kenal?" tanyaku sambil terus berusaha menormalkan nada bicara ketika memindai wajah suamiku."Itu itu—." Mas Hamid terlihat sedikit gelagapan."Si Mira. Sepupu jauh yang tinggal di Bandung itu, loh, Lis. Baru pulang beberapa hari ini. Karena pas hamil tua, suaminya malah selingkuh, jadi dia nggak tahan, makanya pulang," sambar mertuaku cepat."Ooh … suaminya selingkuh? Kasian." Aku menggeleng kepala sambil mendecak singkat saat menunjukkan rasa simpati pada si 'Mira' itu.Walau heran karena ibu mertua yang selalu menjawab, aku terus mencoba menenangkan diri. Meski hati diliputi perasaan curiga sedari tadi, aku tak mau gegabah.Slow down, Alisa."Ya sudah, Mas, ambil pakunya yang di dalam jok, gih. Sebelah m
Sepanjang perjalanan pulang, Mas Hamid terus diam, seperti enggan diajak bicara. "Mampir ngebakso, yuk, Mas," ujarku saat melewati warung bakso favoritnya."Kalau kamu mau, bungkus aja. Aku enggak lapar," sahutnya agak dingin.Tumben sekali. Biasanya dia tak pernah menolak."Oh, ya udah. Enggak usah, deh, kalau Mas enggak mau makan."Aku memang hanya berbasa-basi menawarkan. Ya … daripada tidak ada topik buat dibahas, kan?Mas Hamid kembali melajukan sepeda motor tanpa bicara. Yap, hari ini dia berubah menjadi sosok yang lebih kalem daripada biasanya.Tiba di rumah, bukannya mandi, suamiku malah terlihat sibuk berselancar di dunia maya dengan ponselnya. Melihat hal itu, aku berusaha tampil setenang mungkin. Seolah tak terjadi apa-apa. Ya, seperti hari-hari biasa. "Kok nggak langsung mandi, Mas?" tanyaku iseng."Bentar."Hanya jawaban singkat singkat yang kudengar dari mulutnya, sementara tangannya sibuk menari-nari di atas layar ponsel. Matanya pun tak lepas fokus dari benda persegi
"Lisa ... dia ini ya ... Mira." Ibu Mertuaku beringsut mendekati wanita yang sedari tadi tampak kesulitan walaupun hanya mengungkap sepatah dua patah kata, mengenai jati dirinya. Dengan penuh kasih sayang, wanita paruh baya itu mengelus punggung wanita yang katanya bernama Mira.Agak berlebihan menurutku. Bukankah Ibu bilang Mira merupakan sepupu jauh Mas Hamid? Tapi, kok, bisaan banget, ya, sedekat itu? Sudah seperti memperlakukan anak sendiri."Oh … sepupu yang diceritain kemarin dulu itu?" tanyaku meski hati sudah dihinggapi perasaan tak enak sedari tadi."Iya.""Loh, kok balik lagi?" Aku mengerutkan dahi menatap mertuaku, karena sedari tadi, dia yang asyik menjawab, kan?"Iya, kan hari itu udah diceritain, suaminya selingkuh. Sekarang suaminya bener-bener ninggalin dia. Jadi ... dia kembali dan Ibu yang minta dia tinggal di sini saja." Jika sedang bersandiwara, aku akui, akting ibu mertua patut diacungi jempol. Lancar, loh, dia ngomongnya. Sudah seperti artis yang paham skrip di lu
Apa mereka pikir bisa semudah itukah mengusirku?Oh .... tidak bisa!Aku di sini posisinya menantu. Menantu seharusnya lebih diprioritaskan daripada sepupu, bukan? Dan seperti yang kita ketahui bersama, Mira hanya sebatas sepupu. Iya, sepupu.Ya … walaupun mungkin hanya sebatas sepupu ... palsu. Entahlah.Rasanya aku masih harus menunggu keabsahan dari pengakuan mereka."Kalau belum lapar, ya nggak bisa dipaksa juga kan, Mas?" kilahku kemudian. Membuat Mas Hamid dan Mira kompak terdiam."Lagian, ngapain juga kamu makannya buru-buru? Orang ada aku, kok yang jagain. Iya, 'kan, Dek? Dek Mei?" Eum … kayaknya lucu juga, ya, kalau panggilannya Mei Mei kayak temen Upin-Ipin itu, loh."Mendengar aku berceloteh, tampak Mira tersenyum canggung. Entah keberatan atau bagaimana anaknya aku panggil Mei Mei. Aku tak tahu.Dan well, aku hanya berharap dia tidak sedang menyamakan aku dengan Kak Ros kali ini. Rasanya terlalu jutek dan agak bengis jika seorang Alisa disamakan dengan kartun berwatak gar
Mira yang ternyata tengah mengganti popok Mei-Mei, terlonjak kaget saat melihatku. Sementara seorang lelaki yang juga duduk dengan posisi membelakangi pintu, langsung menoleh dan menatap diriku penuh keheranan.Membuatku terjebak perasaan ... entah. Antara malu, kesal dan entah perasaan apa lagi. Namun, yang jelas, rasa malu lah yang lebih mendominasi. Bagaimana tidak, aku salah sasaran!Ya ampun!Andai diizinkan menghilang layaknya Jin Botol, pasti sudah kulakukan sekarang.Benar sungguh. Aku malu ….Ya Tuhan, aku mendadak seperti kehilangan muka saat ini.Eh, tunggu!Laki-laki itu ... siapa? Kenapa dia ada di kamar ini? Lalu, ke mana perginya Mas Hamid?Mei-Mei yang terkejut karena ulah barbar yang kulakukan, menangis begitu kencang. Membuatku jadi semakin salah tingkah. Terlebih saat merasa lelaki itu memperhatikan gerak-gerikku. Sungguh, seperti hampir mati berdiri saja aku ini.Menyadari bayinya menangis kencang, dengan sigap, Mira mengangkatnya untuk menenangkan. Namun yang menj
"Ngapain kamu pake nanyain soal KK mereka segala? KK ya nggak dibawa-bawa lah."Suara Mas Hamid terdengar meninggi saat aku tiba-tiba membahas perihal KK Mira dan anaknya yang masih misterius itu."Lah, emang di sini kalau ada tamu yang nginep 1x24 jam nggak disuruh lapor RT?" Aku bersikukuh dengan pendapatku.Aku dan Mas Hamid masih terjebak suasana kaku saat Ibu yang sepertinya menyimak obrolan aku dengan anak sulungnya dari tadi, datang mendekat pada kami yang berdiri di halaman rumah."Di sini, 'kan masih tergolong kampung, Lisa. Itu bukan hal yang penting. Lagipula, mereka tau, kok yang nginep perempuan, dan yang diinepin juga Ibu sama Lina, nggak ada lah mereka bakal mikir aneh-aneh. Lagian, kenapa kamu jadi sibuk dengan urusan orang? Nggak ada untung ruginya juga buat kamu, 'kan? Kalau alasannya karena curiga, apa dasarnya? Apa cuma karena Mira tinggal di sini?"Kali ini ibu mertuaku berbicara dengan nada gusar dan kentara sekali ada emosi yang menyertai. Aku sedikit kaget. Su
Aku mencoba tampil senormal mungkin di depan Mira. Tak mau terlihat gugup apalagi pucat. Takut Mira curiga."Mbak, Ibu ke mana?" tanya Mira sembari memindai seluruh penjuru ruang tamu saat mungkin menyadari Bu Ida tak ada di ruangan ini.Wait!Dia bertanya soal Ibu, 'kan barusan?Oh, syukurlah berarti dia tidak sempat melihat aku mencabut rambut anaknya tadi.Aman ... aman.Aku menghembuskan napas pelan saat menyadari Mira memang sepertinya tak memergoki aku mencabut rambut bayi cantik yang entah kenapa tetap terlihat menjengkelkan di mataku."Mbak?" Aku terkesiap saat Mira yang berdiri di sampingku, menepuk pelan pundakku."Anu itu …." Ya ampun, kenapa aku jadi gugup begini?Santai, Alisa. Santai!"Ke rumah Bu … Ani." Astaghfirullah, cuma mengingat nama Bu Ani saja loading lambat bukan main, Lisa! Padahal tinggal mengingat Rhoma Irama, loh."Oh …." Mira mengangguk samar mendengar jawaban dariku."Bu Ani tetangga sini, ada yang baru pulang dari rumah sakit." Aku memberi penjelasan tan
[Lis, ntar jalan, aja, yuk. BT nih, ambil cuti seharian cuma di rumah aja.] Evi yang dulu merupakan teman baikku kembali mengirimi pesan bahkan belum sepuluh menit sejak sambungan telepon kami terputus.[Hah, kemana?][Makan aja, KFC kek, McD, kek][Boleh, deh.][Tenang, aku yang traktir.][Sip lah.]Benar. Aku sungguh beruntung memiliki sahabat sebaik dirinya.***Sorenya, aku yang dijemput oleh Evi, meminta pada teman baikku ini untuk melewati rumah mertua sebelum menuju restoran siap saji yang kami tuju.Dari kejauhan, aku mengamati dengan seksama. Barangkali saja, motor Mas Hamid terparkir di halaman.Ternyata tidak.Ah, mungkin saja benar suamiku memang lembur.Kami pun meneruskan perjalanan saat melihat tak ada tanda-tanda mencurigakan di sana."Yang semangat, dong, makannya." Di restoran siap saji yang kami datangi, Evi menegurku yang tak kunjung menikmati ayam yang sudah lebih dari sepuluh menit lalu disajikan."Kira-kira, Mas Hamid beneran lembur nggak, ya, Vi?" gumamku tanpa