"Oh, i-tu ... iya, semalam ada sepupunya Hamid yang main ke sini. Kebetulan dia punya anak bayi," sahut mertuaku dengan wajah yang terlihat sedikit memucat.
Padahal ini Lisa, loh, yang bertanya. Bukan polisi yang sedang menginterogasi."Sepupu? Sepupunya yang mana, ya, Mas? Apa aku kenal?" tanyaku sambil terus berusaha menormalkan nada bicara ketika memindai wajah suamiku."Itu itu—." Mas Hamid terlihat sedikit gelagapan."Si Mira. Sepupu jauh yang tinggal di Bandung itu, loh, Lis. Baru pulang beberapa hari ini. Karena pas hamil tua, suaminya malah selingkuh, jadi dia nggak tahan, makanya pulang," sambar mertuaku cepat."Ooh … suaminya selingkuh? Kasian." Aku menggeleng kepala sambil mendecak singkat saat menunjukkan rasa simpati pada si 'Mira' itu.Walau heran karena ibu mertua yang selalu menjawab, aku terus mencoba menenangkan diri. Meski hati diliputi perasaan curiga sedari tadi, aku tak mau gegabah.Slow down, Alisa."Ya sudah, Mas, ambil pakunya yang di dalam jok, gih. Sebelah mana genteng ibu yang bocor, cepat perbaiki."Setelah tadi gelagapan saat kutanya perihal sepupunya, kini Mas Hamid nampak bingung ketika aku membahas pasal paku dan genteng.Ya ampun!"Sebenarnya gentengnya bocor sedikit saja, kok. Lagian ini mulai memasuki musim kemarau. Nanti-nanti saja diperbaikinya, Nak. Kasian kamu juga, habis kerja. Harusnya sudah istirahat. Udah … besok-besok aja kamu mampir lagi," sahut ibu mertuaku sambil menepuk pundak Mas Hamid yang sedari tadi menunjukkan tampang bingung. Seperti orang yang kelaparan tapi tak ada makanan, begitulah ekspresi suamiku saat ini."Oh, iya, Bu." Mas Hamid mengangguk canggung. "Kalau gitu, besok-besok saja lagi Hamid mampir."Ibu mertua mengangguk pelan sambil mengulas senyum."Ayo, Lis. Kita pulang." Mas Hamid mengalihkan pandangan padaku. Aku masih enggan, karena apa? Paket yang aku pesan tadi, kan belum datang.Suamiku lantas berdiri, lalu mendekat dan merangkul pundakku."Permisi! Paket!"Detik kemudian, seruan dari kurir paket terdengar jelas di telinga. Membuat semua yang ada di ruangan ini saling pandang satu sama lain.Mas Hamid lantas mengambil inisiatif, bergegas keluar untuk menghampiri kurir yang datang."Paket apa, Mas?" tanyaku begitu melihat Mas Hamid masuk sambil membawa sebuah bungkusan paket di tangan.Suamiku menggendikkan bahu dan menampilkan tampang lugu."Palingan salah alamat, Lis.""Mana, coba lihat?" Aku mengambil alih paket dari tangan Mas Hamid tanpa basa-basi."Paling salah alamat itu, Lis …." Mas Hamid terlihat keukeuh dengan pendapatnya."Ah, masa, sih? Tapi kalau atas namamu seharusnya, kan ke alamat rumah kita?".Mas Hamid tampak bingung."Salah alamat tapi, kok alamat ibu di sini, bener? Ini juga bener, loh, nomor hape kamu." Aku menunjuk dengan santai paket yang sebenarnya aku pesan sendiri saat di rumah tadi."Aku penasaran, deh, Mas. Apa isinya.""Paling orang mau kirim paket buat Ibu Lina, enggak tahu nama Ibu, makanya pake namaku. Udah … taruh aja." Mas Hamid memaksaku tetap pulang."Ah! Tapi aku penasaran."Kutepis tangan Mas Hamid. Tak ingin membuang waktu, langsung kurobek kertas dan plastik pembungkus paket. Dari lirikan mataku, terlihat jelas Mas Hamid menanti dengan wajah gelisah ketika aku membuka paket. Mertuaku pun tak kalah gelisah."Pakaian bayi?"Kuangkat selembar pakaian dan kuperlihatkan pada mereka. Aku memperhatikan dengan seksama perubahan raut wajah keduanya. Mengalami peningkatan, dari gelisah menjadi tegang."Tuh, kan salah kirim. Udah, ah. Nggak penting, ayo kita pulang!" Mas Hamid memaksa lagi."Bu. Sepertinya ada yang nggak beres."Aku beralih menatap mertuaku yang sedang mengetik sesuatu di ponselnya. Ya, untuk ukuran emak-emak jaman old, ibu mertuaku memang bisa dikata cukup lincah bermain ponsel. Salut!"Nggak beres apanya, sih, Lis. Sudah Ibu bilang, memang tadi ada anak bayi tapi sudah pulang. Anaknya Mira, kamu masih ingat, kan?"Nada bicara ibu mertuaku mulai berubah. Mungkin dia kesal karena aku mulai menampakkan kecurigaan."Tunggu, Ibu telepon Lina dulu," ucap mertuaku menahan Mas Hamid yang memaksaku pulang."Halo, Lin. Ini kok ada paket atas nama Hamid. Isinya baju bayi. Apa kamu yang pesen?" tanya mertuaku saat telepon sudah tersambung dan loudspeaker pun sudah diaktifkan."Iya, hehehehe," jawaban dan tawa Lina terdengar begitu sumbang."Buat apa?""Gak apa-apa, Bu. Tadi Mas Hamid bilang mau beli baju bayi buat ngadoin anaknya Kak Mira, tapi dia belum gajian. Jadi, aku inisiatif aja beliin pake uang kiriman dari Mas Aryo. Udah, ya, Bu. Aku mau latihan dulu, nih. Udah ditunggu sama teman-teman. Assalamualaikum." Lina mengakhiri percakapan setelah berucap panjang lebar. Tapi membual."Tuh, kan. Lina yang punya kerjaan. Nggak ada apa-apa. Udah sana, kalian pulang saja. Ibu mau arisan. Lina habis latihan, tuh, biasanya pulang mepet Maghrib."Ibu Mertua seperti sengaja mengusir kami.Baiklah kali ini aku pulang. Tapi dari apa yang terjadi sejak tadi di rumah ini, aku bisa menarik satu kesimpulan pasti. Mereka bertiga ternyata satu tim yang solid dalam bersandiwara. Membohongiku."Baik, Bu. Maafin Lisa, ya, kalau Lisa sempat curiga dan berpikir macam-macam. Lisa pamit, ya, Bu." Kuraih dan kucium dengan takzim tangan mertua walau hatiku sakit karena kebohongannya.Tak mengapa. Bukan kalian saja yang pandai bersandiwara. Aku juga bisa. Kita tunggu saja tanggal mainnya.Tenang saja, Mira, Maisaroh, atau siapa pun itu. Setelah ini, akan kucari kau walau sampai ke lubang semut sekalipun.Sepanjang perjalanan pulang, Mas Hamid terus diam, seperti enggan diajak bicara. "Mampir ngebakso, yuk, Mas," ujarku saat melewati warung bakso favoritnya."Kalau kamu mau, bungkus aja. Aku enggak lapar," sahutnya agak dingin.Tumben sekali. Biasanya dia tak pernah menolak."Oh, ya udah. Enggak usah, deh, kalau Mas enggak mau makan."Aku memang hanya berbasa-basi menawarkan. Ya … daripada tidak ada topik buat dibahas, kan?Mas Hamid kembali melajukan sepeda motor tanpa bicara. Yap, hari ini dia berubah menjadi sosok yang lebih kalem daripada biasanya.Tiba di rumah, bukannya mandi, suamiku malah terlihat sibuk berselancar di dunia maya dengan ponselnya. Melihat hal itu, aku berusaha tampil setenang mungkin. Seolah tak terjadi apa-apa. Ya, seperti hari-hari biasa. "Kok nggak langsung mandi, Mas?" tanyaku iseng."Bentar."Hanya jawaban singkat singkat yang kudengar dari mulutnya, sementara tangannya sibuk menari-nari di atas layar ponsel. Matanya pun tak lepas fokus dari benda persegi
"Lisa ... dia ini ya ... Mira." Ibu Mertuaku beringsut mendekati wanita yang sedari tadi tampak kesulitan walaupun hanya mengungkap sepatah dua patah kata, mengenai jati dirinya. Dengan penuh kasih sayang, wanita paruh baya itu mengelus punggung wanita yang katanya bernama Mira.Agak berlebihan menurutku. Bukankah Ibu bilang Mira merupakan sepupu jauh Mas Hamid? Tapi, kok, bisaan banget, ya, sedekat itu? Sudah seperti memperlakukan anak sendiri."Oh … sepupu yang diceritain kemarin dulu itu?" tanyaku meski hati sudah dihinggapi perasaan tak enak sedari tadi."Iya.""Loh, kok balik lagi?" Aku mengerutkan dahi menatap mertuaku, karena sedari tadi, dia yang asyik menjawab, kan?"Iya, kan hari itu udah diceritain, suaminya selingkuh. Sekarang suaminya bener-bener ninggalin dia. Jadi ... dia kembali dan Ibu yang minta dia tinggal di sini saja." Jika sedang bersandiwara, aku akui, akting ibu mertua patut diacungi jempol. Lancar, loh, dia ngomongnya. Sudah seperti artis yang paham skrip di lu
Apa mereka pikir bisa semudah itukah mengusirku?Oh .... tidak bisa!Aku di sini posisinya menantu. Menantu seharusnya lebih diprioritaskan daripada sepupu, bukan? Dan seperti yang kita ketahui bersama, Mira hanya sebatas sepupu. Iya, sepupu.Ya … walaupun mungkin hanya sebatas sepupu ... palsu. Entahlah.Rasanya aku masih harus menunggu keabsahan dari pengakuan mereka."Kalau belum lapar, ya nggak bisa dipaksa juga kan, Mas?" kilahku kemudian. Membuat Mas Hamid dan Mira kompak terdiam."Lagian, ngapain juga kamu makannya buru-buru? Orang ada aku, kok yang jagain. Iya, 'kan, Dek? Dek Mei?" Eum … kayaknya lucu juga, ya, kalau panggilannya Mei Mei kayak temen Upin-Ipin itu, loh."Mendengar aku berceloteh, tampak Mira tersenyum canggung. Entah keberatan atau bagaimana anaknya aku panggil Mei Mei. Aku tak tahu.Dan well, aku hanya berharap dia tidak sedang menyamakan aku dengan Kak Ros kali ini. Rasanya terlalu jutek dan agak bengis jika seorang Alisa disamakan dengan kartun berwatak gar
Mira yang ternyata tengah mengganti popok Mei-Mei, terlonjak kaget saat melihatku. Sementara seorang lelaki yang juga duduk dengan posisi membelakangi pintu, langsung menoleh dan menatap diriku penuh keheranan.Membuatku terjebak perasaan ... entah. Antara malu, kesal dan entah perasaan apa lagi. Namun, yang jelas, rasa malu lah yang lebih mendominasi. Bagaimana tidak, aku salah sasaran!Ya ampun!Andai diizinkan menghilang layaknya Jin Botol, pasti sudah kulakukan sekarang.Benar sungguh. Aku malu ….Ya Tuhan, aku mendadak seperti kehilangan muka saat ini.Eh, tunggu!Laki-laki itu ... siapa? Kenapa dia ada di kamar ini? Lalu, ke mana perginya Mas Hamid?Mei-Mei yang terkejut karena ulah barbar yang kulakukan, menangis begitu kencang. Membuatku jadi semakin salah tingkah. Terlebih saat merasa lelaki itu memperhatikan gerak-gerikku. Sungguh, seperti hampir mati berdiri saja aku ini.Menyadari bayinya menangis kencang, dengan sigap, Mira mengangkatnya untuk menenangkan. Namun yang menj
"Ngapain kamu pake nanyain soal KK mereka segala? KK ya nggak dibawa-bawa lah."Suara Mas Hamid terdengar meninggi saat aku tiba-tiba membahas perihal KK Mira dan anaknya yang masih misterius itu."Lah, emang di sini kalau ada tamu yang nginep 1x24 jam nggak disuruh lapor RT?" Aku bersikukuh dengan pendapatku.Aku dan Mas Hamid masih terjebak suasana kaku saat Ibu yang sepertinya menyimak obrolan aku dengan anak sulungnya dari tadi, datang mendekat pada kami yang berdiri di halaman rumah."Di sini, 'kan masih tergolong kampung, Lisa. Itu bukan hal yang penting. Lagipula, mereka tau, kok yang nginep perempuan, dan yang diinepin juga Ibu sama Lina, nggak ada lah mereka bakal mikir aneh-aneh. Lagian, kenapa kamu jadi sibuk dengan urusan orang? Nggak ada untung ruginya juga buat kamu, 'kan? Kalau alasannya karena curiga, apa dasarnya? Apa cuma karena Mira tinggal di sini?"Kali ini ibu mertuaku berbicara dengan nada gusar dan kentara sekali ada emosi yang menyertai. Aku sedikit kaget. Su
Aku mencoba tampil senormal mungkin di depan Mira. Tak mau terlihat gugup apalagi pucat. Takut Mira curiga."Mbak, Ibu ke mana?" tanya Mira sembari memindai seluruh penjuru ruang tamu saat mungkin menyadari Bu Ida tak ada di ruangan ini.Wait!Dia bertanya soal Ibu, 'kan barusan?Oh, syukurlah berarti dia tidak sempat melihat aku mencabut rambut anaknya tadi.Aman ... aman.Aku menghembuskan napas pelan saat menyadari Mira memang sepertinya tak memergoki aku mencabut rambut bayi cantik yang entah kenapa tetap terlihat menjengkelkan di mataku."Mbak?" Aku terkesiap saat Mira yang berdiri di sampingku, menepuk pelan pundakku."Anu itu …." Ya ampun, kenapa aku jadi gugup begini?Santai, Alisa. Santai!"Ke rumah Bu … Ani." Astaghfirullah, cuma mengingat nama Bu Ani saja loading lambat bukan main, Lisa! Padahal tinggal mengingat Rhoma Irama, loh."Oh …." Mira mengangguk samar mendengar jawaban dariku."Bu Ani tetangga sini, ada yang baru pulang dari rumah sakit." Aku memberi penjelasan tan
[Lis, ntar jalan, aja, yuk. BT nih, ambil cuti seharian cuma di rumah aja.] Evi yang dulu merupakan teman baikku kembali mengirimi pesan bahkan belum sepuluh menit sejak sambungan telepon kami terputus.[Hah, kemana?][Makan aja, KFC kek, McD, kek][Boleh, deh.][Tenang, aku yang traktir.][Sip lah.]Benar. Aku sungguh beruntung memiliki sahabat sebaik dirinya.***Sorenya, aku yang dijemput oleh Evi, meminta pada teman baikku ini untuk melewati rumah mertua sebelum menuju restoran siap saji yang kami tuju.Dari kejauhan, aku mengamati dengan seksama. Barangkali saja, motor Mas Hamid terparkir di halaman.Ternyata tidak.Ah, mungkin saja benar suamiku memang lembur.Kami pun meneruskan perjalanan saat melihat tak ada tanda-tanda mencurigakan di sana."Yang semangat, dong, makannya." Di restoran siap saji yang kami datangi, Evi menegurku yang tak kunjung menikmati ayam yang sudah lebih dari sepuluh menit lalu disajikan."Kira-kira, Mas Hamid beneran lembur nggak, ya, Vi?" gumamku tanpa
"Kalau sampe cewek aku nggak mau balikan, sampai ke ujung dunia aku nggak bakal maafin kamu!" Ancam Zaki sebelum berlalu meninggalkanku yang masih berdiri kaku setelah mengetahui status Zaki yang sebenarnya."Kalau gitu, Meisha anak siapa?""Udah sih, fokus tes DNA aja. Lebih akurat." Evi menepuk pundakku dan membuatku makin mantap dengan rencana sebelumnya.***Sepulang dari resto, aku pun mulai melakukan pencarian. Mencari rambut mas Hamid di pisau cukur dan sisir yang selama ini dia gunakan menjadi tugasku sore ini.Nihil. Aku tak menemukan sehelai rambut pun di pisau cukur dan sisirnya.Terpaksalah aku harus melakukan cara yang sama seperti saat mendapatkan rambut Meisha tadi siang.Payah!Mas Hamid yang tampak kelelahan, tertidur dengan pulas di sampingku.Saatnya beraksi, Lisa! Saatnya beraksi.Melihatkan Mas Hamid sudah terlelap, aku gerak cepat meraih plastik transparan yang kusembunyikan di balik bantal.Pelan, sambil mengusap lembut rambutnya aku mencoba mencabut beberapa he