"Alhamdulillah," batinku ketika aku melihat Rania begitu senang memiliki sepeda baru. Aku telah menabung setiap hari, menyisihkan sisa uang belanja yang kehemat sedimikian rupa selama dua bulan untuk membelikan sepeda baru untuk Rania, dan sekarang aku bisa melihat dia begitu bahagia.
Tiba-tiba, mbak Lia, kakak sepupu suamiku, datang ke kontrakan ku. "Oh, jadi itu sepeda baru Rania ya Ris?" tanya mbak Lia dengan nada yang sedikit penasaran. Aku tersenyum dan menjawab, "Iya, mbak. Tapi sepeda Rania harganya murah kok mbak, ga sebanding sama punya Dani." Aku kemudian bertanya, "Dani baru beli sepeda juga ya mbak?" Mbak Lia terdiam sejenak, lalu menjawab, "Iya, Ris. Itu juga murah karena beli dua. Kalau satu juga gak dapat harga segitu Ris." Aku merasa sedikit penasaran, lalu bertanya, "Lah, mbak malah borong sepeda ternyata. Kalau gitu Dani sepedanya dua donk mbak?" Mbak Lia menjawab tanpa sadar, "Bukan untuk Dani, sepedanya satu lagi titipan mama mertua mu untuk Melati." Terlihat raut bersalah diwajah Mbak Lia. “Maaf Ya Ris, Bukan maksud mbak membuatmu sedih.” Aku merasa sedikit terkejut dan sakit di hati, lalu bertanya, "Lah, kenapa mama membedakan antara Rania dan Melati? Rania juga cucunya, tapi kenapa selalu dikasih barang bekas?” “Mbak juga enggak ngerti sama Bulek Salma, kenapa selalu membedakan antara anakmu dengan anaknya si Rini, padahal belum tentu anaknya si Rini itu anaknya Angga.” Keluh Mbak Lia yang turut merasakan perbedaan yang diberikan oleh Ibu mertuaku. Mbak Lia emang mencurigai jika Melati bukan anak kandung Angga sebab dua hari sebelum mereka menikah, Rini sudah terlebih dahulu melahirkan Melati. Walau Angga mengakui kalau Melati itu anaknya, tidak bisa mencegah kecurigaan orang – orang, apa lagi wajah Melati yang sedikitpun tidak mirip dengan Angga. “Sebenarnya mama juga memberikan Rania sepeda bekasnya Nisa mbak." Aku berkata lesu, malas banget harus mengingat perkataan ibu mertuaku itu. “Sepeda bekasnya Nisa?” mbak Lia melebarkan kedua bola matanya mendengar perkataanku. Aku hanya mengangguk membenarkan jika Mbak Lia tidak salah dengar. “Apa enggak salah itu. Kelewatan emang Bulek ya, itu sepeda tukang rongsokan aja masih mikir mau belinya, kok malah tega – teganya dikasikan sama cucu sendiri.” Mbak Lia begitu geram sampai nada suaranya ikut meninggi ketika menjawab perkataanku. "Kamu tau Bulek bilang apa ke mbak?” aku menggeleng pelan membalas pertanyaan Mbak Lia. “Kata mama mu, Mbak uitu enggak usah bilang – bilang kalau mama mu itu menyuruh mbak untuk membelikan sepeda untuk Melati, takut kamu nanti iri. Tapi mbak sih tahu, mama mu memang tidak adil dalam memperlakukan Rania dan Melati." Aku merasa air mata mulai menggenang di mataku, lalu menjawab, "Iya mbak, aku juga enggak paham kenapa mama bisa begitu pilih kasih antara anaknya Mas Haris dan Juga Angga. padahalkan Rania juga cucu kandungnya,bahkan terlahir dari hubungan yang sah, tapi kenapa selalu dikasih barang bekas?" Mbak Lia terdiam sesaat lalu menghembuskan napas berat "Mbak tahu, Ris. Mbak juga merasa sedih melihat Rania diperlakukan seperti ini. bagaimanapun juga Rania itu juga keponakan Mbak. Tapi Mbak tidak bisa berbuat apa-apa, karena setiap Mbak menasehati mama mu, dia tidak mau mendengarkan omongan Mbak." "Iya mbak gak apa apa kok. Lah ini dimakan lo mbak rengginangnya kemaren mas Haris dapat oleh-oleh dari temennya". Ucapku segera mengalihkan pembicaraan. Kulihat raut wajah mbak Lia yang berubah muram karena merasa bersalah udah menceritakan semuanya. Aku merasa sedikit lega karena kedatngan mbak Lia dikontrakanku, walau aku enggak bisa bohong jika sakit dihatiku belum hilang sepenuhnya, tapi setidaknya beban yang kutanggung sedikit berkurang karena bercerita dengan Mbak Lia, dia satu – satunya keluarga Mas Haris yang begitu dekat denganku. Aku tidak habis pikir bagaimana bisa Ibu mertuaku melakukan hal ini pada kami. Apakah jangan - jangan Mas Haris bukan anak kandungnya? Atau karena aku yang terlahir sebagai orang miskin? Karena yang aku tahu sebenarnya keluarga Mas Haris adalah keluarga yang cukup terpandang dikampung karena kebun dan tanah luas yang mereka miliki, bahakan sebagai orang memanggil Almarhum Ayah Mas Haris sebagai juragan. Ntahlah aku juga tidak tahu alasannya. Yang pasti aku akan terus berusaha untuk membuat Rania bahagia. Kamipun larut dalam obrolan sampai mas Haris pulang kerja dan mbak Lia buru buru pamit pulang karena belum masak untuk makan malam katanya. "Setelah selesai makan malam, Rania segera beranjak dari meja menuju ruang menonton TV, dan mas Haris pun lanjut mengeluarkan sebatang rokok lalu menghisapnya perlahan. Sementara aku dengan cekatan membersihkan piring bekas makan. "Oya dek, tadi mbak Lia kemari ada apa?" Tanya mas Haris tiba-tiba. Aku berhenti sejenak dari aktivitasku membersihkan piring. "Ehmm, itu mas mbak Lia cuma main aja mau liat sepeda Rania katanya." Mas Haris mengangguk. "Oh, mbak Lia mau belikan Dani sepeda juga ya? Kemaren dia sempat cerita sama mas kalau Dani sama kayak Rania merengek minta dibelikan sepeda." "Iya mas, mbak Lia udah belikan Dani sepeda kok, justru bentuknya hampir sama, sama punyanya Rania. Katanya Dani suka model sepedanya Rania." Aku tersenyum samar membalas pertanyaan mas Haris. Mas Haris mengangguk – anggukan kepalanya. "Syukurlah kalau begitu. Oh ya.. harga berapa dek katanya mbak Lia beli? Di toko Aseng kan belinya?" Aku terdiam sesaat, ragu sebelum menjawab, "Murah kok mas, lebih murah dari punyanya Rania." Mas Haris mengerutkan kedua alisnya penasaran. "Kok bisa harga murah dek, padahal mas kemaren nawar aja kurangnya cuma dua puluh ribu." Keluhnya sedikit kesal. Aku buru – buru menyelesaikan cucian piringku, lalu mengambil lap untuk mengeringkan kedua tanganku yang basah, mengambil napas dalam-dalam sebelum memberitahukan mas Haris tentang sepeda itu. "Mbak Lia bilang kalau dia beli dua sepeda, jadi dapat harga murah." Kataku tersenyum masam. Mas Haris terdiam sejenak, dia paham betul maksud ucapanku akan berakhir kemana. Itu sebabnya aku terburu – buru menyelesaikan pekerjaanku lalu menghampiri Mas Haris, karena yang aku lihat, ada raut wajah kecewa yang begitu ketara di wajahnya. "Ya sudah lo mas, gak usah dipikirin, toh sepeda Rania juga udah kita belikan dari hasil jerih payah kamu malah, Ranianya juga seneng banget main bareng teman – temannya." kataku tersenyum hangat,sambil menarik kursi dan duduk disebelah Mas Haris. Mas Haris mengangguk lega, tapi aku bisa melihat kesedihan di matanya. "Ya dek, mas tau, tapi kenapa kemaren mama malah ngasi Rania sepeda bekas bahkan gak layak untuk di pakai. Itu yang mas pikirkan, lagian bukan sekali ini Rania selalu dikasi barang bekas." Keluhnya dengan nada yang begitu pelan, sayarat akan kekecewaan yang mendalam. Aku memeluk lengan mas Haris sambil menepuk – nepuk pundaknya. Memberikan suamiku itu sedikit kekuatan bahwa masih ada aku yang bersamanya. "Ikhlasin aja mas, yang sabar, mungkin ada hikmahnya dibalik semua ini. kita doa in aja, supaya mama sadar akan kesalahannya."POV: Salma RaharjoNamaku Salma Raharjo. Jika kau ingin menemuiku, tak sulit. Seluruh kampung ini tahu siapa Salma, janda kaya peninggalan mendiang Mas Harjo. Aku punya tiga anak: Haris, Angga, dan si bungsu Nisa. Tapi dari ketiganya, hatiku selalu condong pada Angga. Wajahnya, ah, mirip sekali dengan kekasih lamaku, cinta pertamaku yang tak pernah bisa kumiliki. Bukan berarti aku tak menyayangi Haris dan Nisa, hanya saja porsi kasih sayangku untuk Angga jauh lebih besar. Meskipun Angga itu, ya, agak sulit diatur. Bahkan terakhir kali, ia sempat membuatku malu setengah mati saat menghamili Rini. Rini melahirkan hanya dua hari sebelum ijab kabul mereka!Tapi sebesar apa pun kesalahan Angga, semudah itu pula aku memaafkannya. Mungkin karena aku terlalu mencintainya, atau mungkin karena wajah itu selalu mengingatkanku pada masa lalu yang indah. Ya, sampai sekarang pun, aku lebih menyayangi Rini, menantuku, daripada Risa. Rini memang pemalas, beda jauh dengan Risa. Aku akui, Risa itu mena
Setelah kepergian Mbak Lia mengantarkan minuman untuk keluarga Rini, aku pun segera menyiapkan makanan yang sudah matang diatas meja untuk makan siang ini. "Ris, kata Bulek makan siang nya cepat disiapin ya, tu keluarga Rini udah kelaparan kayaknya. udah seperti enggak makan sebulan " Keluh Mbak Lia sembari meletakkan nampan kosong. Aku pun mengangguk lantas dengan cekatan menyiapkan piring serta yang lainnya karena Cuma itu saja yang belum aku siapkan. "Oh iya Mbak, ini juga sudah mau selesai kok,tinggal di taruh di wadah saja." Kulihat Mbak Lia bukan membantuku malah clingak clinguk mencari seseorang didapur. “Cari apa sih mbak, kok seperti orang bingung gitu?" “Lo itu si Rini mana? bukannya dia tadi kemari soalnya tadi waktu Mbak nganter minum dia pamit kebelakang sebentar, Mbak kira dia disini buat bantuin kamu Ris?" terlihat Mbak Lia gusar. "Gak ada Mbak, dari tadi Risa cuma sendirian saja disini, mungkin Mbak salah denger kali, palingan juga dia ngadem dikamar, biasa juga g
"Oh.. iya ma, kalau gitu sekarang Risa harus ngerjain apa dulu ma ?" kataku berusaha terlihat santai. "Ini aja dulu Ris,bantuin mbak mu motong sayurannya biar cepat selesai". Balas mama seraya menunjuk kearah sayuran yang belum sempat dipotong. "Iya ma". Aku pun bergegas mengambil pisau terus mulai memotong berbagai macam sayuran sambil sesekali mengobrol santai dengan mbak Lia. Sedangkan mama sedang sibuk memasak opor ayam dan sesekali menimpali obrolan kami. Disela sela kesibukan memasak. Mbak Lia yang entah kapan keluar dari dapur, tiba tiba saja datang dengan membawa sebuah kantung plastik besar, kemudian menghampiri mama. Dengan langkah tergesa, Mbak Lia bertanya heran pada mama. "Lo bulek, ini itu apa? kayak kain gitu waktu dipegang, kok dimasukin kantung plastik gini lagi?" Mama yang ditanya berbalik kearah Mbak Lia seraya berkata santai."Itu lo, kemarin bulek milih – milih baju punya Nisa yang udah enggak kepakek.” Entah mengapa aku merasa jika baju – baju itu pasti akan
"Kamu lihat si Angga dek, apa yang gak dia punya? Motor dia punya, HP mahal dia juga punya, sama banyak hal lain lagi, semua mama yang belikan. Coba kamu liat mas, semua yang mas mau harus mas dapatkan dengan cara bekerja sendiri," jelas mas Haris dengan raut wajah sedihnya. Sebagai istrinya tentu aku begitu memahami perasaan mas Haris dan mencoba untuk menyabarkan nya. "Yang sabar mas, InsyaAllah rezeki kita suatu saat nanti akan melimpah jadi mas bisa beli apa aja yang mas mau," balas ku tersenyum. Mas Haris tersenyum dan mengucapkan terima kasih. "Amin dek, terimakasih kamu udah mau terima mas apa adanya, walau kamu tau mas gak punya apa-apa bahkan penghasilan mas cuma cukup buat makan kita aja." Aku kemudian mencoba menggoda mas Haris dengan kata-kata manis. "Iya lo mas, gak usah baper gitu ahhh... aku kan cinta kamu apa adanya bahkan makan sepiring berduapun aku mau, Hahaha." Balasku tertawa sengaja agar Mas Haris tidak terus kepikiran tentang perlakuan tidak adil dari ibunya.
"Alhamdulillah," batinku ketika aku melihat Rania begitu senang memiliki sepeda baru. Aku telah menabung setiap hari, menyisihkan sisa uang belanja yang kehemat sedimikian rupa selama dua bulan untuk membelikan sepeda baru untuk Rania, dan sekarang aku bisa melihat dia begitu bahagia.Tiba-tiba, mbak Lia, kakak sepupu suamiku, datang ke kontrakan ku. "Oh, jadi itu sepeda baru Rania ya Ris?" tanya mbak Lia dengan nada yang sedikit penasaran.Aku tersenyum dan menjawab, "Iya, mbak. Tapi sepeda Rania harganya murah kok mbak, ga sebanding sama punya Dani."Aku kemudian bertanya, "Dani baru beli sepeda juga ya mbak?"Mbak Lia terdiam sejenak, lalu menjawab, "Iya, Ris. Itu juga murah karena beli dua. Kalau satu juga gak dapat harga segitu Ris."Aku merasa sedikit penasaran, lalu bertanya, "Lah, mbak malah borong sepeda ternyata. Kalau gitu Dani sepedanya dua donk mbak?"Mbak Lia menjawab tanpa sadar, "Bukan untuk Dani, sepedanya satu lagi titipan mama mertua mu untuk Melati." Terlihat raut
Aku yang tengah sibuk mencuci piring – piring kotor sisa aku memasak tadi, dikejutkan oleh suara gadis kecil yang selama lima tahun ini menemani hari – hariku. Rania, putriku yang cantik, berlari menghampiriku dengan senyum cerah di wajahnya. “Bunda, bunda!” teriaknya sambil memegang baju bekas yang dikenakannya. Aku tersenyum tipis, tapi perasaan perih di hatiku tidak bisa disembunyikan. Baju bekas itu bukan hanya sebuah pakaian, tapi juga simbol ketidak adilan yang telah lama aku rasakan. Aku tidak pernah mempermasalahkan baju bekas itu awalnya, tapi semakin kesini, aku merasa tidak adil ketika anak dari adik iparku selalu mendapatkan pakaian baru, sementara Rania selalu mendapatkan pakaian bekas. Aku tidak tahu mengapa ibu mertuaku melakukan hal ini, tapi aku tahu bahwa aku harus mengatakan sesuatu untuk membuat Rania mengerti. “Rania sayang, bunda minta sama Rania, kalau nenek memberi Rania pakaian bekas lagi, jangan mau ya nak?, Rani bilang saja kalau baju – baju Rania sudah pe