"Kamu lihat si Angga dek, apa yang gak dia punya? Motor dia punya, HP mahal dia juga punya, sama banyak hal lain lagi, semua mama yang belikan. Coba kamu liat mas, semua yang mas mau harus mas dapatkan dengan cara bekerja sendiri," jelas mas Haris dengan raut wajah sedihnya.
Sebagai istrinya tentu aku begitu memahami perasaan mas Haris dan mencoba untuk menyabarkan nya. "Yang sabar mas, InsyaAllah rezeki kita suatu saat nanti akan melimpah jadi mas bisa beli apa aja yang mas mau," balas ku tersenyum. Mas Haris tersenyum dan mengucapkan terima kasih. "Amin dek, terimakasih kamu udah mau terima mas apa adanya, walau kamu tau mas gak punya apa-apa bahkan penghasilan mas cuma cukup buat makan kita aja." Aku kemudian mencoba menggoda mas Haris dengan kata-kata manis. "Iya lo mas, gak usah baper gitu ahhh... aku kan cinta kamu apa adanya bahkan makan sepiring berduapun aku mau, Hahaha." Balasku tertawa sengaja agar Mas Haris tidak terus kepikiran tentang perlakuan tidak adil dari ibunya. Ibu yang seharusnya bisa menjadi sandaran para anak – anaknya justru berlaku tidak adil, dan tebang pilih antara anak yang satu dengan yang lainnya. Menurut cerita dari Mas Haris dan selama aku menjadi istrinya, ibunya memang tidak pernah menunjukkan sikap adil antara Mas Haris dan Angga, serta Nisa. Ibu itu terlalu menyayangi Angga seolah – olah hanya Angga seorang anaknya, sangat berbeda perlakuannya dengan Mas Haris ataupun Nisa, meski Ibu tidak pernah memarahi mereka namun dari segi pemberian saja sudah jelas kelihatan begitu mencolok. Orang tua Mas Haris bukannya orang tidak mampu, tapi kalau untuk membelikan barang – barang yang di pinta Mas Haris, Ibu selalu mengatakan tidak memiliki uang, dan ada banyak alasan lainnya. Tapi ketika Angga yang berbicara maka secepat kilat Ibu memberinya tanpa harus memikirkan nominal yang di pinta. Bukannya Mas Haris tidak pernah protes, hanya saja ibu selalu mengatakan jika Mas Haris harus lebih mengalah kepada adiknya sebab Mas Haris merupakan anak tertua, apa lagi dulu waktu kecil Angga sering sakit – sakitan. Mas Haris ikut tertawa kecil dan memuji ku. "Pinter juga dirimu gombalin mas ya dek." Aku menjawab dengan serius. "Ihh.. ini beneran lo mas, aku cinta padamu kalau gak cinta mana mau aku nikah sama kamu mas. kalau dipikir pikir,kamu bahkan tidak memiliki apa pun" Mas Haris terus tertawa mendengar ucapanku yang dianggapnya lucu. "Ini efek kebanyakan nonton sinetron Aldebaran jadi pandai menggombal istri mas." Mengingat kata sinetron aku jadi teringat tentang sinetron kesukaan ku itu. Kemudian aku mengajak mas Haris untuk menonton TV bersama. "Haha iya mas, ini kayaknya sinetronnya sudah mulai deh, ayuk ah nonton dulu kita. takut banget aku ketinggalan momen romantisnya" Mas Haris mengangguk setuju dan beranjak menuju TV. "Yuk lah, kasian Rania menonton TV sendirian," balas mas Haris. Aku baru ingat jika sedari tadi aku tidak melihat putri kecilku itu, mungkin dia sudah tertidur didepan TV seperti kebiasaanya jika tidak tidur siang, maka ia akan mudah tertidur saat menonton Televisi. **** Suara pintu terdengar beberapa kali di ketuk dari luar, tak lama terdengar suara Nisa adiknya Mas Haris. "Assalamualaikum,Mbak Ris, mbak...." "Walaikumsalam. Iya, tunggu sebentar Nis, mbak lagi pakai baju nih. baru selesai mandi" Teriakku dari dalam kamar yang tidak begitu jauh dari pintu utama. Aku baru saja selesai mandi, itu sebabnya aku tidak langgsung membukakan pintu untuk Nisa. Akupun gegas memakai pakaian karena baru saja selesai mandi. Kulihat Nisa masih berdiri didepan pintu aku pun segera mengajaknya masuk kedalam. "Masuk dulu Nis, ngapain berdiri didepan pintu saja". Tawarku padanya seraya melebarkan daun pintu. "Gak ah mbak makasih, Nisa mau cepat nih, buru-buru ada janji sama teman udah ditunggu lagi.” Balasnya yang berulang kali melihat jam dipergelangan tangannya. “Lah terus kalau buru – buru kamu ngapain kesini dulu to Nis?” gelengku heran karena kelakuan adik bungsu suamiku ini. “Heheh, Nisa Cuma mau nyampein pesen mama aja kok mbak." Balasnya sembari menggaruk kepalanya yang tidak gatal itu. Aku mengerutkan alis, berpikir pesan apa yang akan Nisa sampaikan padaku."Emang mama bilang apa Nis?" "Kata mama, mbak disuruh kerumah buat bantu-bantu mama masak." Nisa menjawab sungkan, terlihat dari bibirnya yang mengulum senyum. "Masak? untuk apa Nis ?" Tanyaku penasaran, pasalnya kemarin aku baru dari rumah mama mengantar masakan yang ku buat. Namun mama tidak mengatakan apapun padaku. "Kurang tau mbak, mbak tanya langsung saja ntar sama mama, Nisa mau pergi dulu. teman teman Nisa udah nunggu tu." Nisa menunjuk kearah teman temannya yang sedang menunggu diatas motor. "Oh iya Nis, kalau begitu bentar lagi mbak datang kesana." Balasku lagi tersenyum kecil. "Ok lah mbak, Nisa pergi dulu ya, jangan lupa lo datang kerumah." Pamit Nisa seraya melangkahkan kakinya meninggalkan kontrakanku. "Iya Nis, kamu juga hati hati lo Nis." Seruku mengingatkannya. "Iya mbak". Balasnya sedikit berteriak. Seperginya Nisa aku pun bergegas menyelesaikan cucian yang belum kujemur sebelum pergi kerumah ibu mertuaku. Sementara Rania kulihat sedang asyik bermain sepeda bersama teman temannya dihalaman rumah tetangga. "Assalamualaikum… " aku meberi salam sebelum melangkahkan kaki memasuki rumah ibu mertuaku. "Waalaikumsalam" jawab suara dari dalam serentak, seperti suara mama dan mbak Lia. Kulihat mbak Lia sudah ada di rumah mama sedang memotong sayur - sayuran. "Lo, mbak Lia disini juga?" Sapaku sambil tersenyum. "Iya Ris, mbak juga baru nyampe kok."Balas mbak Lia sembari tangannya sibuk memotong sayuran. Aku semakin heran berpikir apa akan ada tamu jauh yang akan datang, sampai mama harus menyuruh aku dan Mbak Lia membantunya memasak."Ada acara apa ma, kok tumben masak sebanyak ini, apa ada saudara yang mau dateng?" "Ini nih, si Angga mau datang bareng sama mertuanya, jadi mama nyiapin ini semua sekalian ngajak makan siang bareng." balas mama, sambil sibuk menggoreng ayam. Deg! Ternyata lagi – lagi Angga.POV: Salma RaharjoNamaku Salma Raharjo. Jika kau ingin menemuiku, tak sulit. Seluruh kampung ini tahu siapa Salma, janda kaya peninggalan mendiang Mas Harjo. Aku punya tiga anak: Haris, Angga, dan si bungsu Nisa. Tapi dari ketiganya, hatiku selalu condong pada Angga. Wajahnya, ah, mirip sekali dengan kekasih lamaku, cinta pertamaku yang tak pernah bisa kumiliki. Bukan berarti aku tak menyayangi Haris dan Nisa, hanya saja porsi kasih sayangku untuk Angga jauh lebih besar. Meskipun Angga itu, ya, agak sulit diatur. Bahkan terakhir kali, ia sempat membuatku malu setengah mati saat menghamili Rini. Rini melahirkan hanya dua hari sebelum ijab kabul mereka!Tapi sebesar apa pun kesalahan Angga, semudah itu pula aku memaafkannya. Mungkin karena aku terlalu mencintainya, atau mungkin karena wajah itu selalu mengingatkanku pada masa lalu yang indah. Ya, sampai sekarang pun, aku lebih menyayangi Rini, menantuku, daripada Risa. Rini memang pemalas, beda jauh dengan Risa. Aku akui, Risa itu mena
Setelah kepergian Mbak Lia mengantarkan minuman untuk keluarga Rini, aku pun segera menyiapkan makanan yang sudah matang diatas meja untuk makan siang ini. "Ris, kata Bulek makan siang nya cepat disiapin ya, tu keluarga Rini udah kelaparan kayaknya. udah seperti enggak makan sebulan " Keluh Mbak Lia sembari meletakkan nampan kosong. Aku pun mengangguk lantas dengan cekatan menyiapkan piring serta yang lainnya karena Cuma itu saja yang belum aku siapkan. "Oh iya Mbak, ini juga sudah mau selesai kok,tinggal di taruh di wadah saja." Kulihat Mbak Lia bukan membantuku malah clingak clinguk mencari seseorang didapur. “Cari apa sih mbak, kok seperti orang bingung gitu?" “Lo itu si Rini mana? bukannya dia tadi kemari soalnya tadi waktu Mbak nganter minum dia pamit kebelakang sebentar, Mbak kira dia disini buat bantuin kamu Ris?" terlihat Mbak Lia gusar. "Gak ada Mbak, dari tadi Risa cuma sendirian saja disini, mungkin Mbak salah denger kali, palingan juga dia ngadem dikamar, biasa juga g
"Oh.. iya ma, kalau gitu sekarang Risa harus ngerjain apa dulu ma ?" kataku berusaha terlihat santai. "Ini aja dulu Ris,bantuin mbak mu motong sayurannya biar cepat selesai". Balas mama seraya menunjuk kearah sayuran yang belum sempat dipotong. "Iya ma". Aku pun bergegas mengambil pisau terus mulai memotong berbagai macam sayuran sambil sesekali mengobrol santai dengan mbak Lia. Sedangkan mama sedang sibuk memasak opor ayam dan sesekali menimpali obrolan kami. Disela sela kesibukan memasak. Mbak Lia yang entah kapan keluar dari dapur, tiba tiba saja datang dengan membawa sebuah kantung plastik besar, kemudian menghampiri mama. Dengan langkah tergesa, Mbak Lia bertanya heran pada mama. "Lo bulek, ini itu apa? kayak kain gitu waktu dipegang, kok dimasukin kantung plastik gini lagi?" Mama yang ditanya berbalik kearah Mbak Lia seraya berkata santai."Itu lo, kemarin bulek milih – milih baju punya Nisa yang udah enggak kepakek.” Entah mengapa aku merasa jika baju – baju itu pasti akan
"Kamu lihat si Angga dek, apa yang gak dia punya? Motor dia punya, HP mahal dia juga punya, sama banyak hal lain lagi, semua mama yang belikan. Coba kamu liat mas, semua yang mas mau harus mas dapatkan dengan cara bekerja sendiri," jelas mas Haris dengan raut wajah sedihnya. Sebagai istrinya tentu aku begitu memahami perasaan mas Haris dan mencoba untuk menyabarkan nya. "Yang sabar mas, InsyaAllah rezeki kita suatu saat nanti akan melimpah jadi mas bisa beli apa aja yang mas mau," balas ku tersenyum. Mas Haris tersenyum dan mengucapkan terima kasih. "Amin dek, terimakasih kamu udah mau terima mas apa adanya, walau kamu tau mas gak punya apa-apa bahkan penghasilan mas cuma cukup buat makan kita aja." Aku kemudian mencoba menggoda mas Haris dengan kata-kata manis. "Iya lo mas, gak usah baper gitu ahhh... aku kan cinta kamu apa adanya bahkan makan sepiring berduapun aku mau, Hahaha." Balasku tertawa sengaja agar Mas Haris tidak terus kepikiran tentang perlakuan tidak adil dari ibunya.
"Alhamdulillah," batinku ketika aku melihat Rania begitu senang memiliki sepeda baru. Aku telah menabung setiap hari, menyisihkan sisa uang belanja yang kehemat sedimikian rupa selama dua bulan untuk membelikan sepeda baru untuk Rania, dan sekarang aku bisa melihat dia begitu bahagia.Tiba-tiba, mbak Lia, kakak sepupu suamiku, datang ke kontrakan ku. "Oh, jadi itu sepeda baru Rania ya Ris?" tanya mbak Lia dengan nada yang sedikit penasaran.Aku tersenyum dan menjawab, "Iya, mbak. Tapi sepeda Rania harganya murah kok mbak, ga sebanding sama punya Dani."Aku kemudian bertanya, "Dani baru beli sepeda juga ya mbak?"Mbak Lia terdiam sejenak, lalu menjawab, "Iya, Ris. Itu juga murah karena beli dua. Kalau satu juga gak dapat harga segitu Ris."Aku merasa sedikit penasaran, lalu bertanya, "Lah, mbak malah borong sepeda ternyata. Kalau gitu Dani sepedanya dua donk mbak?"Mbak Lia menjawab tanpa sadar, "Bukan untuk Dani, sepedanya satu lagi titipan mama mertua mu untuk Melati." Terlihat raut
Aku yang tengah sibuk mencuci piring – piring kotor sisa aku memasak tadi, dikejutkan oleh suara gadis kecil yang selama lima tahun ini menemani hari – hariku. Rania, putriku yang cantik, berlari menghampiriku dengan senyum cerah di wajahnya. “Bunda, bunda!” teriaknya sambil memegang baju bekas yang dikenakannya. Aku tersenyum tipis, tapi perasaan perih di hatiku tidak bisa disembunyikan. Baju bekas itu bukan hanya sebuah pakaian, tapi juga simbol ketidak adilan yang telah lama aku rasakan. Aku tidak pernah mempermasalahkan baju bekas itu awalnya, tapi semakin kesini, aku merasa tidak adil ketika anak dari adik iparku selalu mendapatkan pakaian baru, sementara Rania selalu mendapatkan pakaian bekas. Aku tidak tahu mengapa ibu mertuaku melakukan hal ini, tapi aku tahu bahwa aku harus mengatakan sesuatu untuk membuat Rania mengerti. “Rania sayang, bunda minta sama Rania, kalau nenek memberi Rania pakaian bekas lagi, jangan mau ya nak?, Rani bilang saja kalau baju – baju Rania sudah pe