LOGIN
Aku yang tengah sibuk mencuci piring – piring kotor sisa aku memasak tadi, dikejutkan oleh suara gadis kecil yang selama lima tahun ini menemani hari – hariku. Rania, putriku yang cantik, berlari menghampiriku dengan senyum cerah di wajahnya. “Bunda, bunda!” teriaknya sambil memegang baju bekas yang dikenakannya. Aku tersenyum tipis, tapi perasaan perih di hatiku tidak bisa disembunyikan. Baju bekas itu bukan hanya sebuah pakaian, tapi juga simbol ketidak adilan yang telah lama aku rasakan.
Aku tidak pernah mempermasalahkan baju bekas itu awalnya, tapi semakin kesini, aku merasa tidak adil ketika anak dari adik iparku selalu mendapatkan pakaian baru, sementara Rania selalu mendapatkan pakaian bekas. Aku tidak tahu mengapa ibu mertuaku melakukan hal ini, tapi aku tahu bahwa aku harus mengatakan sesuatu untuk membuat Rania mengerti. “Rania sayang, bunda minta sama Rania, kalau nenek memberi Rania pakaian bekas lagi, jangan mau ya nak?, Rani bilang saja kalau baju – baju Rania sudah penuh didalam lemari.” Ucapku lembut pada Rania dengan harapan bahwa dia akan mengerti. Tapi Rania hanya menatapku dengan wajah sedihnya. “Tapi kenapa bun, kan bajunya masih bagus? Rania juga belum punya baju model ini” tanya Rania. "Iya Bunda tau Rania suka sekali baju ini. Untuk sekarang baju ini gak apa apa untuk Rania pakai, tapi lain kali jangan ya nak, Bunda mohon". Ucapku seraya menahan supaya air mata ini tidak jatuh. Rania hanya mengangguk paham dengan penjelasanku. Aku tersenyum lembut dan memeluk Rania. “Nak, ayah sama bunda masih sanggup kok membelikan Rania baju baru yang lebih bagus dari pada ini.” Ucapku dengan harapan bahwa Rania akan paham mengapa aku melarangnya. Rania mengangguk dan menghampiri makanannya yang sebelumnya sudah aku siapkan untuknya dimeja. Aku menatapnya dengan perasaan haru dan berharap bahwa suatu hari nanti, Rania akan mendapatkan perlakuan yang adil dan sama seperti cucu yang lainnya. "Mas Haris sedang asyik menonton TV sambil tiduran di matras lantai. Aku menyerahkan secangkir kopi kesukaannya dan duduk di dekatnya. “Mas, tadi mama kasi Rania pakaian bekas lagi,” kataku dengan nada yang sedikit sedih. Mas Haris memandangku dengan mata yang masih fokus menatap layar TV. “Aku harus gimana lagi, aku juga bingung melihat sikap mama,” jawabnya dengan nada yang sedikit kesal. "Iya mas sama. Padahal kemaren aku lihat mama menitipkan Rini baju untuk Melati. bajunya baru dibeli sama mbak Sinta tukang baju langganan mama." kataku lagi. Untuk sesaat Mas Haris terdiam sebelum akhirnya menggambil napas dalam " Yang sabar ya dek, mungkin mama cuma bisa belikan satu pakaian aja buat cucunya makanya anak kita cuma kebagian yang bekas". Balas mas Haris tersenyum tipis mencoba menenangkan ku. "Tapi mas, baju yang dibeli mama untuk Melati itu ada tiga pasang lo banyaknya. Apa karena aku ini anak orang miskin mas, makanya mama bedain antara anakku sama anaknya Rini.” Jawabku lagi yang kini udah mulai berkaca – kaca menahan buliran bening itu. Lama Mas Haris diam menunduk, kemudian ia merangkulku, memberiku kekuatan agar aku tahu bahwa masih ada dirinya didekatku. "Huum.. ya sudah kamu sabar aja ya. Besok kalau mas dapat uang lebih, kamu belikan baju baru untuk Rania ya dek," Aku mengangguk dan memandang ke arah lain. berusaha menahan bulir bening itu. Aku tidak bisa memahami mengapa ibu mertuaku selalu memberikan pakaian bekas untuk Rania, sementara anak adik iparku selalu mendapatkan pakaian baru. Sebenarnya aku pun tau kalau diam - diam mas Haris juga memendam sakit hati karena melihat anaknya diperlakukan tidak adil oleh ibu kandungnya sendiri. Hari ini, aku sengaja memasak kesukaan suamiku, rendang jengkol, dan berniat mengantari sebagian untuk mertuaku. Ketika aku tiba di dapur, ibu mertuaku sedang sibuk memotong sayuran. “Assalamualaikum ma,” kataku sambil melangkahkan kaki perlahan masuk ke dapur. “Waalaikumsalam,” balas ibu mertuaku dengan nada yang biasa saja. Aku menyerahkan rendang jengkol yang kubawa dan bertanya apa yang sedang dimasak oleh ibu mertuaku itu. "Mama mau masak apa? sini biar Risa bantu."Aku menawarkan diri membantu mama yang kulihat sibuk di dapur. "Oh, mama mau masak sup sedikit buat Melati kasian dia susah makan kata Angga, makanya mama masakin ini. biar nanti si Nisa suruh antarkan sup nya" Jelas mama mertuaku. Aku mengangguk dan membantu ibu mertuaku memotong sayuran walau di dalam hatiku rasanya sakit. Tapi, jauh dilubuk hatiku,aku terus saja memikirkan tentang ketidak adilan yang selalu keluarga kecilku rasakan. Angga adalah adik kandung mas Haris yang berarti adik ipar ku mereka tiga bersaudara yang bungsu bernama nisa, sedangkan Rini adalah istrinya Angga. Ya kami sama-sama menantu dirumah ini tapi ntah mengapa mama mertua memberi perlakuan khusus untuk Rini. Ya mungkin karena Rini pintar mengambil hati mama. Dulu ketika sebelum Rini menikah dengan Angga ia sering datang kerumah ini untuk sekedar mengantar makanan untuk Angga, bahkan seminggu bisa sampai empat kali dia datang. Ketika Rania memanggilku, aku segera menghampiri dia. “Bunda, Rania mau sepeda seperti punya Arin,” rengek Rania. " Sepeda ...?" "Iya bunda, Arin baru saja dibelikan sepeda sama ayahnya ." Jelas Rania dengan mata yang berbinar - binar. Aku tersenyum dan memeluk Rania. “Nanti kalau ada rezekinya, bunda belikan ya untuk Rania,” kataku dengan harapan bahwa Rania akan memahami tentang kesulitan orang tuanya. Tapi, ibu mertuaku tiba-tiba datang dan menawarkan sepeda bekas milik Nisa untuk Rania. "Ris, itu kan di gudang ada sepeda bekas si nisa waktu kecil dulu, mama lihat batangannya masih kuat kok, coba aja kalian perbaiki untuk Rania.” Ucap mertuaku tiba-tiba yang sedari tadi memperhatikan percakapanku dengan Rania. Sekilas tidak ada yang salah dari ucapan ibu mertuaku itu, namun akan lain jadinya ketika ia, akan membelikan sepeda baru untuk Melati, dengan berbagai macam alasan tentunya. "Oh.. iya ma, nanti Risa bilang sama mas Haris dulu mau tidak dia memperbaikinya, kemaren juga mas Haris ada bilangg kalau mau membelikan Rania sepeda baru, kasian kalau harus pakek yang bekas terus."Balasku tersenyum tipis, sengaja aku berkata demikian berharap mertuaku itu bisa menyadari kesalahannya. Tapi bukannya sadar ibu mertuaku malah menjadi. “Alah, untuk apa sih beli yang baru, kalau yang lama masih bisa di pakek, punya anak itu jangan suka dimanjakan Ris, entar gedenya ngelunjak, baru deh kamu tahu rasa.” Jawab mertuaku ketus lalu kembali kedapur meninggalkanku sendiri. Mama… mama, sepeda udah gak layak gitu kenapa masih harus dikasikan untuk anakku. Bukan aku tak tahu bagaimana kondisi sepeda bekas milik Nisa, kedua bannya bahkan sudah pada sobek, bagian lingkarnya juga minta diganti karena sudah karatan dan ada sebagian jari jarinya yang patah. lain lagi dudukannya yg sudah lepas, belum lagi rantainya yang berkarat dan putus kalaupun diperbaiki juga harus diganti, Batinku.Keesokan harinya, Salma mendatangi rumah Risa dan Haris. Ia berniat untuk memberikan pelajaran kepada Rania agar tidak memamerkan barang-barang yang membuat Melati menjadi iri.Salma mengetuk pintu rumah Risa dan Haris dengan sedikit keras. Risa yang sedang berada di dalam rumah, terkejut mendengar ketukan pintu yang begitu keras.Risa membuka pintu dan terkejut melihat Salma berdiri di depan rumahnya dengan wajah marah."Ada apa, Ma?" tanya Risa dengan nada khawatir."Mana Rania?" tanya Salma dengan nada ketus."Rania sedang bermain di luar, Ma. Ada apa memangnya?" jawab Risa dengan nada bingung."Panggil Rania sekarang juga!" perintah Salma dengan nada sedikit keras.Risa merasa takut dengan nada bicara Salma. Ia segera memanggil Rania yang sedang bermain di depan rumah.Rania datang menghampiri Risa dengan wajah bingung. Ia tidak tahu mengapa neneknya datang ke rumahnya dengan wajah marah."Ada apa, Nek?" tanya Rania dengan nada polos.Salma menatap Rania dengan tatapan tajam. "Ran
Malam itu, suasana rumah terasa lebih hangat dan menyenangkan. Haris berhasil mencairkan suasana yang tadinya suram. Setelah makan malam, Haris mengajak Rania bermain dan bercanda, membuat Rania tertawa riang. Risa tersenyum melihat kebahagiaan anaknya. Ia merasa beruntung memiliki Haris sebagai suami dan ayah bagi Rania.Namun, di balik senyumnya, Risa masih merasa khawatir. Ia tahu, Haris tidak mungkin bisa langsung membelikan Rania gaun baru. Penghasilan Haris sebagai karyawan swasta tidak terlalu besar, dan mereka memiliki banyak kebutuhan yang harus dipenuhi.Malam semakin larut, Rania sudah tertidur pulas di kamarnya. Risa dan Haris duduk berdua di ruang tamu, menikmati secangkir teh hangat."Mas, aku gak mau kamu terlalu memaksakan diri untuk belikan Rania gaun baru," ujar Risa dengan nada khawatir. "Kita lagi banyak kebutuhan, selain itu kit juga harus mempersiapkan biaya sekolah Rania."Haris menggenggam tangan Risa dengan lembut. "Mas tahu, Dek. Tapi mas gak tega lihat Rania
Setelah Risa dan Rania pergi, suasana kembali hening dan canggung. Mbak Lia menatap Bulek Salma dengan tatapan tidak setuju."Bulek, kenapa sih Bulek gak beliin aja Rania gaun yang sama kayak Melati? Kan Rania juga cucu Bulek, sama kayak Melati," ujar Mbak Lia dengan nada hati-hati, berusaha menegur Bulek Salma.Bulek Salma mendengus kesal dan memutar bola matanya. "Kamu ini kenapa sih, Lia? Ikut-ikutan Risa jadi Drama," balas Bulek Salma dengan nada yang meremehkan."Tapi kan kasihan, Bulek, sama Rania. Dia juga pengen punya gaun baru kayak Melati. Kenapa Bulek malah nawarin gaun bekas?" desak Mbak Lia, merasa iba pada keponakannya itu.Bulek Salma mengangkat bahunya acuh tak acuh. "Anak-anak itu gak boleh selalu dimanja, Lia. Apa yang mereka mau gak harus selalu diturutin. Nanti jadi manja dan gak tahu diri," jawab Bulek Salma dengan nada yang meninggi."Tapi kan gak harus juga dikasih barang bekas, Bulek. Apalagi Rania itu masih kecil. Dia pasti
Di toko perhiasan, Risa menyerahkan cincin pernikahannya kepada seorang petugas. Hatinya terasa berat, namun ia berusaha meyakinkan diri bahwa ini adalah keputusan yang tepat. Ia harus membantu Mas Haris mewujudkan impiannya.Namun, di tengah transaksi jual beli itu, pikirannya terus melayang pada percakapannya dengan Mbak Lia pagi tadi. Kata-kata Mbak Lia tentang rahasia Haris terus terngiang di telinganya. Siapa sebenarnya Haris? Dan rahasia apa yang selama ini disembunyikan darinya?Risa merasa gelisah dan tidak tenang. Ia ingin segera mencari tahu kebenaran, namun ia juga takut dengan apa yang akan ia temukan. Ia takut jika rahasia itu akan mengubah pandangannya terhadap Haris, atau bahkan merusak hubungan mereka.Setelah menyelesaikan urusannya di toko perhiasan, Risa memutuskan untuk membeli beberapa kebutuhan dapur. Ia ingin mengalihkan pikirannya dan melakukan sesuatu yang produktif.Tanpa sadar, langkah kakinya membawanya ke sebuah toko sembako y
Lia berjalan cepat meninggalkan rumah Risa, jantungnya berdegup kencang seperti genderang yang ditabuh bertalu-talu. Hampir saja, pikirnya, hampir saja ia membocorkan rahasia yang telah ia jaga selama puluhan tahun. Rahasia yang bisa mengubah hidup Haris dan semua orang yang terlibat."Astaghfirullah," gumamnya lirih, mengusap wajahnya dengan kasar. Ia tidak seharusnya membuka mulut tentang hal itu. Risa adalah orang yang baik, tapi ia tidak berhak tahu kebenaran yang pahit ini. Kebenaran yang lebih baik tetap terkubur dalam-dalam.Namun, semakin ia mencoba melupakan percakapannya dengan Risa, semakin kuat pula bayangan wajah Haris muncul di benaknya. Haris yang selalu ceria, Haris yang selalu berusaha membahagiakan ibunya, Haris yang tidak tahu apa-apa tentang asal-usulnya yang sebenarnya."Ya Allah, apa yang harus kulakukan?" bisiknya, air mata mulai mengalir di pipinya. Ia merasa bersalah karena telah menyembunyikan kebenaran dari Haris, tapi ia juga takut membayangkan apa yang aka
Keesokan paginya, semangat membara dalam diri kami. Mas Haris sudah berangkat kerja, meninggalkan aroma kopi yang masih menguar di udara. Aku bergegas merapikan rumah, pikiran melayang pada toko perhiasan tempat cincin itu akan kujual. Cincin yang akan menjadi fondasi impian kami."Bunda, bunda..." suara Rania memecah lamunanku. Nada bicaranya riang, namun ada sedikit ketidaksabaran di sana."Iya sayang, ada apa?" sahutku dari dapur, tanganku masih sibuk menata piring-piring yang baru dicuci."Rania, boleh nggak main sepeda bareng Arin?"Jantungku berdegup sedikit lebih kencang. Membayangkan Rania bermain jauh dari pengawasanku selalu membuatku khawatir. Namun, mata Rania memancarkan permohonan yang sulit kutolak."Boleh, tapi jangan jauh-jauh ya. Sebentar lagi Rania ikut bunda pergi ada keperluan. Hati-hati main sepedanya, awas jatuh," pesanku dengan nada lembut namun tegas."Ok bunda!" jawabnya penuh semangat, lalu berlari keluar rumah, meninggalkan keheningan yang kembali menyelimu







