Share

5. Apa Hamil?

BAKU HANTAM DENGAN MERTUA

PART 5 CHEK

Rupanya, hewan yang merembet ke kakiku itu luwing. Ya, orang sini menyebutnya luwing. Kalau bahasa Indonesianya kaki seribu.

Aku tahu nama hewan ini karena memang sering sekali ia bergerilnya di area pekarangan rumah. Membuatku bergidik geli saja.

Kalau ibu malah membuang hewan itu tanpa takut. Ia pernah bilang, kalau luwing itu nggak berbahaya, orang disentuh aja melingkar atau menggulung tubuhnya. Pasti dia takut lihat wajah ibu yang garang bak peran antagonis.

"Tuh 'kan, Mas bilang juga apa? Kamu sama hewan kecil aja takut." cetus mas Irfan membuatku lekas tersadar dan segera turun dari pangkuannya.

"Enggak, aku nggak takut kok Mas. Aku cuma geli aja," elakku tak terima. "ya udah, Mas cari rumput aja. Aku mau menikmati ciptaan Tuhan yang indah ini."

Mas Irfan menangguk dan segera mencari rumput hijau di sebelah sana.

Kuhirup udara sejuk hingga rongga dadaku terasa penuh. Lalu menghembuskannya perlahan. Ah, lega sekali rasanya.

Jemariku lantas bergulir pada gawai yang kugenggam. Sebuah ide cerita untuk bab baru muncul di kepala. Kutuangkan apa yang membayang dalam ingatan, satu demi satu kalimat usai kususun dalam paragraf rapi di catatan menulis online-ku.

Ternyata, ide bisa muncul dari mana saja. Entah sedang berada di sawah, atau tengah berada di toilet. Atau bahkan, jika sedang diomeli ibu sekalipun. Tetap saja membuat kecerdasan dan imajinasiku mengawang-awang meronta menuangkannya dalam gurat tulisan.

"Dek, pulang yuk, udah penuh nih." Kulihat mas Irfan menghampiri seraya membawa rumput satu karung penuh di atas kepalanya.

Aku berdiri dan melambaikan tangan. Menyambut kedatangannya bahagia. Apa iya aku terlalu berlebihan? Sudahlah, aku memang biasa begini padanya. Ia bilang aku lebay, masa cuma cari rumput doang aku senengnya minta ampun. Udah kaya dicarikan segunung berlian. Kata mas Irfan kala itu.

Kuekori langkah suamiku sambil berselfie ria. Mas Irfan akan membawa rumput ini ke peternakan. Ia memang cari rumput dua kali dalam sehari. Pagi dan juga sore. Ia juga tak sendiri mengurus peternakannya, ada dua orang yang bekerja di sana. Pekerjaannya sama juga, mereka juga mencari rumput, membersihkan kandang, dan lain sebagainya.

Kalau sistem gaji mereka mingguan. Karena memang mas Irfan peternak jenis sapi perah. Meski setiap hari dapat uang, tetap saja ada dua bawahannya yang harus digaji. Apalagi, seringkali kebutuhan dapur mas Irfan juga yang penuhi. Gini nih, nggak enaknya seatap sama ipar. Mau sesusah apapun, tetap hidup ayem sama suami. Kalau campur aduk sama mertua dan ipar, bakalan susah bahagia hidupnya.

"Dek, Mas mau ke peternakan dulu, kamu pulang aja ya," Di pertigaan jalan menuju rumah dan peternakan, mas Irfan memintaku untuk pulang.

"Nggak ah, Mas. Aku pengen ikut lihat sapi."

"Lah, tadi 'kan Mbak Mira nyuruh kamu buat anterin dia periksa kehamilannya."

Aku baru ingat kalau tadi mbak Mira memintaku untuk pulang tak terlalu siang.

"Iya, Mas. Aku pulang, kamu hati-hati ya, di kantor."

Dahi mas Irfan mengernyit. "kantor apa?"

"Em kantor, Mas." Aku tergagap. Selama ini mas Irfan nggak tahu kalau aku menyebut kandang itu dengan sebutan kantor. Atau kandang kotor.

"Ya udah, cepetan pulang." titahnya tak bertanya lebih detail lagi.

Aku mengangguk dan segera melangkah untuk pulang.

*

"Udah pulang kamu, Yen?" Mbak Mira yang sedang asyik menonton TV itu menyambutku dengan pertanyaan.

"Seperti yang Mbak lihat," ujarku lantas duduk di sofa sebelahnya.

"Gimana?" cetusnya merubah posisi duduk menjadi menghadap ke arahku.

"Gimana apanya?" balasku sambil memainkan gawai. Karena aku memang sedang fokus berselancar pada aplikasi tempatku menulis.

"Katanya tadi kamu ngarit Yen. Bisa?"

"Yang ngarit Mas Irfan, Mbak. Bukan aku. Aku mana bisa ngarit, lihat luwing aja takut." kataku tak beralih pada benda digital yang kutekuri.

"Iya, iya, kamu mandi gih, siap-siap anterin Mbak ke rumah sakit."

"Kenapa nggak periksa ke Bidan aja, Mbak? Kan deket." tanyaku. Kututup ponselku dengan memencet tombol samping setelah memposting satu bab cerita yang kutulis tadi sewaktu di sawah.

"Nggak ah, Yen. Di Bidan kan belum lengkap alatnya, kalau di rumah sakit 'kan bisa sekalian USG." ujar iparku itu lantas berdiri.

"Iya, Mbak. Iya," Aku juga turut berdiri untuk mandi dan bersiap.

*

Sekitar pukul sepuluh pagi. Matahari kali ini tak terlalu cerah, mungkin tahu kalau sama seperti keadaan hatiku yang agak kelabu.

"Ayo berangkat." Mbak Mira sudah bersiap naik ke jok belakang.

"Naik, Mbak. Keburu siang nanti." pintaku. Jemari ini memutar kontak motor dan menyalakan mesinnya.

*

Sesampainya di rumah sakit. Mbak Mira mengambil nomor antrian di poli kandungan. Inilah hal yang kubenci, yaitu mengantri. Apalagi, dokternya mantan pacar mas Irfan. Benar-benar menjengkelkan.

"Kamu main HP aja Yen dari tadi." tegur mbak Mira di tengah masa mengantri ini.

"Mau main apa lagi, Mbak. Mau main judi juga dosa." jawabku malas.

"Iya juga sih, ya udah, Mbak siap-siap dulu ya, bentar lagi nomor antrian Mbak yang bakal dipanggil."

"Iya,"

"Kamu nggak ikut masuk nemenin Mbak?"

"Nggak ah, Mbak."

"Kenapa? Apa karena Dokternya si Lina?" Ah, tebakan mbak Mira benar sekali. Tapi, aku malu untuk mengiyakan.

"Enggak kok, Mbak. Aku biasa aja sama si Lina. Lagian, dia sama aku juga masih cantikan aku kemana-mana, buat apa aku cemburu sama dia." elakku sedikit sombong.

"Siapa yang bilang kamu cemburu Yeni?" Mbak Mira tertawa renyah.

"Sstt! Mbak diem! Lupa ya, kalau ini tempat umum bukan di hutan. Kalau ketawa biasa aja napa, jangan kenceng-kenceng. Malu dilihat orang." dengusku memperingati. Karena mbak Mira tertawa kencang hingga semua orang menatap kami berdua.

"Iya, Yen. Maaf. Abisnya kamu lucu kayak Cak Lontong." ujarnya entah memuji atau malah meledek. Masa iya, aku disamakan dengan Cak Lontong. Bisa rusak citraku sebagai wanita yang kalem dan elegan.

"Nomor antrian 32 silakan masuk poli kandungan!" suara dari speaker menyebut nomor yang tengah dipegang mbak Mira.

"Yen, aku udah dipanggil. Yuk temenin Mbak, Mbak deg-deg'an nih." Tanpa kuiyakan lebih dulu. Mbak Mira menarik tanganku kuat.

"Ta-tapi …." tolakku.

"Nggak ada tapi-tapian," Bukannya lekas melepaskan. Wanita satu ini semakin menggenggam tanganku erat.

Perutku rasanya seperti diaduk-aduk ketika melintasi ruang penyimpanan obat.

"Mbak aku mual, Mbak." Kuhentikan langkah mbak Mira.

"Kamu kenapa Yen? Jangan pura-pura deh," ujarnya tak percaya.

"Aku nggak pura-pura, Mbak. Nggak tau nih, perutku tiba-tiba mual banget pas lewat ruang obat itu." Tangan kananku sibuk membungkam mulut.

"Yen jangan-jangan kamu hamil?" ucap mbak Mira membuatku terperangah.

Apa iya aku hamil?

Jika diingat, aku memang sudah telat datang bulan sejak dua minggu lalu.

Bersambung

Kaugnay na kabanata

Pinakabagong kabanata

DMCA.com Protection Status