Share

7. Gara-gara Bakso

BAKU HANTAM DENGAN MERTUA

PART 7 CHEK

"Noda apa, Bu?" Aku reflek berhenti. Dan menoleh ke rok belakang.

Astaga! Iya, tadi aku habis makan es krim sama anak tetangga. Lupa, bekas es krim itu ada di kursi teras dan aku mendudukinya. Kukira noda apaan.

"Oalah, ini noda es krim, Bu. Tadi aku jajan es krim sama Naura anaknya Bu Mimin. Karena dia geletakin es-nya di kursi, jadi nggak sengaja aku dudukin karena tak tinggal ambil tissu ke dalam."

"Oh, aku kira apaaan Yen. Ya udah, sana mandi. Mumpung belum antri."

"Woke, Bu. Siap!" jawabku santai, sesantai pas lagi pinjam duit ke temen.

*

"Hai Sayang. Baru pulang ya?" tanyaku manja sambil bergelendotan di tubuh mas Irfan.

"Iya, udah tahu baru pulang. Masih nanya lagi. Sana! Mas bau belum mandi. Masih bau sapi ini." elaknya mendorong lenganku pelan.

"Bagiku kamu wangi, Mas. Sewangi kembang raflesia." Aku tersenyum kecil.

"Hih, sama aja ngeledek kamu ya, bunga raflesia mah bau. Jadi, Mas baunya kayak bangkai dong," cetusnya menoel daguku.

"Hihi, enggak, Mas. Bercanda doang, gitu aja ngambek," ledekku lantas mengambil hasil USG tadi dari laci.

Mas Irfan menaruh jaket di gantungan kayu. Saat itu juga selembar kertas aku tunjukkan padanya dengan senyum lebar selebar lebarnya.

"Tara … kejutan buat Mas Irfan!" pekikku antusias.

Kedua mata lelaki ini menatap benda yang tengah aku tenteng di udara tersebut.

"Ini apa?" tanyanya agak menciutkan mata.

Aku menghembuskan napas kesal. Masa Mas Irfan nggak ngerti sih sama gambar ini?

"Aku hamil Mas! Udah enam Minggu," kataku sembari menatap dalam wajah Mas Irfan yang kini berekspresi melotot.

"Aaa! Serius Dek?" Ia mengambil kertas dalam tanganku.

"Iya Mas, ini hasil USG-nya." Tunjukku pada titik kecil mirip kantong warnanya abu abu ke hitam.

"Ini letak bayinya sebelah mana? Kok gelap semua?" Celingukan Mas Irfan seperti mencari-cari sesuatu.

"Emang gelap gini Mas. Ntar deh ke kota kalau mau USG yang hasilnya lebih jelas," ujarku.

"Iya Dek Iya, alhamdulillah ya Allah, akhirnya kamu hamil juga." Mas Irfan memelukku sembari mencium keningku berkali-kali.

"Ih, peluk ciumnya ntar aja Mas. Sana pergi mandi dulu, Mas Irfan bau sapi," ucapku tentu bernada candaan.

"Iya-iya. Tunggu Mas Mandi ya, ntar lanjut peluk ciumnya." Ia melangkah ke arah pintu kamar. "emuah …!" sebelum beranjak, Mas Irfan masih kiss bye dengan bibir monyong beberapa senti.

Gemas sekali menatap pria yang kini hilang terhalang pintu kayu warna cokelat tua tersebut.

Sepeninggal Mas Irfan. Aku merebahkan tubuh di atas kasur. Rasanya nyaman sekali. Emang ya, kalau perasaan lagi senang seperti ada bunga yang bermekaran dalam hati. Kayak beban hidup mendadak enyah entah ke mana.

Saat menatap langit-langit genting di atas sana. Pikiranku menjalar ke sembarang arah. Ada sedikit rasa sedih terpantik, ingat akan kedua sosok orang tuaku yang sudah tiada. Andai saja mereka masih ada di dunia ini, sudah pasti ikut bahagia mendapati kabar kalau putrinya sedang mengandung. Doaku senantiasa terpanjat, semoga Ayah dan Ibu bahagia di surga. Amin.

Ting! Ting! Ting!

"Bakso … bakso …!"

Lamunanku seketika terbuyar begitu suara tak asing masuk ke dalam rongga telinga.

Dari kejauhan saja hidungku sudah bisa mencium aroma lezat kuah bakso berkaldu yang kuperkirakan sekarang lagi parkir di depan rumah.

Tanpa ba bi bu lagi, cepat aku bangkit tak lupa mengambil lembaran uang warna biru dan segera meluncur ke Abang tukang bakso sana.

"Yeni, Ibu kira kamu lagi tidur. Udah Ibu pesenin satu porsi bakso buat kamu," ucap Ibu begitu aku baru ke luar dari pintu.

Tumben Ibu seperhatian ini. Aku cuma nyengir lihat wanita berdaster ungu itu di dekat gerobak.

"Makasih Bu," ucapku. Mau ngucapin apa lagi, soalnya jarang sekali beliau berbaik hati.

"Ibu pesan baksonya pedas nggak?" tanyaku memastikan. Kalau aku biasanya pesan bakso dengan level pedas dan kuah yang kental.

"Nggak! Kamu nggak boleh makan pedas lagi. Kasihan anak kamu kalau dikasih makan pedas terus. Mulai sekarang kamu harus makan makanan yang sehat dan bernutrisi. Seperti sayur, daging, dan buah," cerocos Ibu membuat Abang tukang bakso tertawa kecil.

"Oh, oke Yeni mau Bu makan daging. Tapi ntar sem-belihin sapi Ibu satu ya," kataku lalu meringis menahan tawa.

"Eh, ya ndak bisa! Itu sapi ntar mau Ibu jual buat beli kebun lagi," sanggah Ibu menggelegar seperti kilat menyambar.

Dasar pelit! Padahal sapi Ibu 'kan ada banyak. Masa nyem-belih satu aja nggak boleh. Padahal yang selalu ngarit itu Mas Irfan.

"Iki Bu baksone. Seng iki, punyane Mbak Yeni sama Mbak Mira seng ora pedes." (Ini Bu baksonya. Yang ini punyanya Mbak Nyeni sama Mbak Mira yang nggak pedas.) ucap tukang Bakso disela obrolan aku dan Ibu. Mereka biasa mengobrol dengan bahasa Jawa.

"Nyoh duite." (Ini uangnya.) Ibu mengangsurkan tiga lembar uang warna merah. Kalau untuk beli bakso ini jelas uang itu kebanyakan. Karena biasanya satu porsi bakso harganya hanya sepuluh ribu.

"Kok akeh temen Bu duite?" (Kok banyak amat By uangnya?) tanya tukang bakso seraya menerima lembaran uang yang diangsurkan Ibu.

"Iki gae traktir uwong-uwong. Wes gek ndang ditutuk' mangkokmu. Ben uwong-uwong gek ndang Rene." (Ini buat traktir orang-orang. Udah cepetan pukulin mangkokmu. Biar orang-orang datang ke sini.

Aku langsung speechless mendengar kata traktir dari mulut Ibu. Meski aku belum mahir ngomong bahasa Jawa. Tapi kali ini aku ngertilah apa yang diomongin sama mereka. Ibu mau traktir orang-orang sekitar sini. Benar-benar kesambet apa Ibu kok bisa jadi royal begini. Biasanya dia paling perhitungan, jangankan keluarin yang tiga ratus ribu. Orang uang belanja hilang seribu aja dia menghitungnya sampai tujuh hari tujuh malam.

"Wah alhamdulillah laris manis tanjung kimpul," ucap kang bakso mesam-mesem riang. "matur nuwun Bu, mugi-mugi rejekine Ibu tambah lancar, amin." (makasih Bu, semoga rejekinya Ibu semakin lancar, amin.)

Sesuai permintaan Ibu. Abang kang bakso langsung memukul mangkuk dengan sendok sampai berbunyi nyaring.

Ting! Ting! Ting!

"Bakso gratis! Bakso gratis! Ditraktir sama ibunya Mas Irfan!" teriak kang bakso sambil terus memukul mangkuk.

Selang beberapa menit. Tetangga sekitar pada berdatangan. Ada yang membawa baskom dan mangkuk sendiri dari rumah.

"Serius ini ditraktir?" tanya salah satu tetangga yang datang.

"Iyo serius. Wes nek mengko duite kurang ngomongo oke." (Iya serius. Udah nanti kalau uangnya kurang ngomong aja ok.) Ibu menyahut. Kalimat agak terdengar sombong.

"Siap Bu siap." Penjual bakso itu manggut-manggut sambil melayani orang-orang yang berdatangan.

Saat mereka sibuk mengantri. Aku mendekati Ibu lalu memepetinya.

"Wah, tumben Ibu royal mentraktir orang-orang. Biasanya 'kan pelit," bisikku pada Ibu.

"Iya Yen, soalnya tadi habis dikasih uang sama Irfan lima ratus ribu buat syukuran atas kehamilan kamu. Jadi Ibu traktir bakso para tetangga tiga ratus ribu. Masih untung dua ratus ribu 'kan Ibu. Lumayan." Ibu tersenyum memamerkan deretan giginya.

Sumpah demi apa pun. Mulutku langsung menganga mendengar kalimat dari Ibu. Jadi … itu uang Mas Irfan yang buat traktir orang-orang?

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status