Dia selalu bangun sebelum bunyi ayam jago beradu, dan hal pertama yang akan dilakukan adalah mengambil air wudhu lalu membaca selembar Quran. Di atas lembar sajadah dan di balik mukenanya dia melagukan ayat-ayat suci, hingga suaranya melintasi lorong-lorong pesantren, masuk ke ruang-ruang kelas, ke belakang dapur, ke rumah ndalem, dan ke kamar-kamar santri sekaligus membangunkan mereka.
Ratusan santri akan terbangun seketika saat mendengar lantunan ayat suci tersebut, sebab itu memang sudah menjadi peraturan di sana. Mereka lalu melipat selimut dan mengambil air wudhu, lalu sebagian ada yang mengulang hafalan Quran-nya; sebagian pergi ke dapur menyiapkan sarapan; sebagian lain bertugas piket membersihkan kamar mandi dan pelataran pondok, hingga sampai nanti azan subuh berkumandang dan semua aktivitas wajib dihentikan.
“Allahuakbar Allahuakbar…”
Salat subuh berjamaah dimulai. Tidak ada percampuran di sini. Santri laki-laki shalat subuh berjamaa
Alarm berbunyi berulang kali, tapi berulang kali kumatikan jeritannya. Menjerit lagi, tapi tetap kumatikan lagi! Hingga sampai akhirnya yang menjerit bukanlah alarm, tapi—“Cukiirr!!”Berdenging kupingku segera!“Kau ini bujang lapuk! Bangun! Dengarlah alarm-mu itu berbunyi-bunyi bikin kepala pening!”Aku terperanjat. “Hah! Astagfirullah! Jam berapa ini, Mak?”Emak membuka jendela dan rupanya matahari sudah bersinar terang di luar sana.“Jam delapan!”“Celaka dua belas!”Segera aku bangun dan meraih kaos hitam bergambar Gusdur di gantungan pakaian di belakang pintu. Celana jeans warna biru kusam juga lekas kukenakan. Dan tak lupa, kubawa jaket jeans warna biru tua yang tak kalah kusamnya, serta jam tangan imitasi warisan bapak dan sebungkus rokok beserta korek apinya. Setelah itu kuraih tangan emak dan menciumnya.“Aku pergi dulu, Mak,
Aku tak menyangka jika Jurgan Turah punya anak gadis secantik itu. Yang kutahu anak juragan sudah berumur tiga puluhan, dan itupun sudah dinikah sama orang dari luar kabupaten. Apa mungkin Juragan Turah mengadopsi anak lagi?“Uhuk!” Juragan sengaja batuk sebab aku begitu terpana.Aku jadi kikuk.“Ee, sampai mana pembicaraan kita tadi?” tanya Sang Juragan.Dewik segera menimpali. “Oh, sampai di keputusan Juragan. Kami masih menunggu kebaikan hati Juragan buat minjamin kami modal.” Betina itu tersenyum.“Ohya, ohya. Lalu kalau saya kasih pinjam, kapan uang itu mau dikembalikan?” tanya juragan.“Secepatnya, Juragan,” balasku kali ini. “Dari penghasilan manggung nanti sebagian akan kami sisihkan untuk mencicilnya, Juragan. Toh, kami nanti sudah ada manajer yang akan mengatur keuangan. Jadi pasti akan secepatnya dicicil. Dan juga, Juragan, kalau nanti lagu kami laku keras di pasara
Harta.Tahta.Dan wanita.Tiga hal yang kupikir memang menjadi incaran laki-laki mana saja. Namun, yang menjadi kelemahan setiap laki-laki adalah yang terakhir, yaitu wanita. Sebab bagi kaum lelaki, mengendalikan nafsu untuk membeli barang atau sesuatu lebih mudah daripada mengendalikan burung dalam sangkar.Kulamunkan hal itu semua di warung kopi Mbok Bariyah sepulang dari rumah Juragan Turah. Tadi, sengaja Dewik mengajakku mampir ke sini, selagi menunggu Kang Bambang yang sebentar lagi juga akan menyusul ke mari.Kopiku masih utuh saja di atas meja. Belum juga kusentuh sedikit pun. Pun dengan bungkus rokok yang belum kujamah sama sekli. Rasanya sedang tidak bernapsu. Aku masih senang melamunkan ini semua.Aku masih heran, apakah daya pikat wanita sebegitu hebatnya? Sampai-sampai seorang juragan kaya raya dan kepala desa itu rela meminjamkan uang seratus juta tanpa jaminan apa-apa? Aneh. Wanita memang selalu menyimpan misteri. Terutama di d
Karena acara ini sangatlah penting, maka aku, Dewik dan Kang Bambang kompak memakai baju serba hitam, kaca mata hitam, dan sepatu hitam. Kostum ini terinspirasi dari mafia-mafia ala Italia yang sedang melakukan transaksi narkoba dalam jumlah besar.Kami bertiga menyewa mobil dan berangkat menuju rumah Juragan Turah. Sesampai di sana kami disambut oleh anak buah Juragan yang sudah berkumpul sedikitnya ada 5 orang.“Berhenti!” ujar salah satu anak buah, “kami mau memastikan kalian tak membawa senjata berbahaya sebelum masuk ke rumah ini!”Kami tak keberatan.Lalu mereka menggeledah tubuh kami, menepuk-nepuk baju kami, celana kami, memastikan tidak ada senjata tersembunyi di sana. Hanya Dewik yang tampaknya keberatan dengan penggeledahan ini. Sebab dia juga mendapat tepukan yang sama di bagian tubuhnya oleh anak buah laki-laki.“Heh! Kamu mau cari kesempatan ya?” semprot betina itu galak.“Enggak, tapi
Di Warung Kopi Mbok Bariyah.Entah sudah berapa gelas kopi yang kuhabiskan. Puntung rokok berceceran. Sebagian di asbak, sebagian lain terserak di lantai. Mbok Bariyah termangu di sudut dekat penggorengan, tak mau ikut menghitung uang-uang tersebut. Ngeri katanya. Dia trauma sama uang. Heran aku, ternyata ada orang yang trauma sama uang? Tapi saat kutanyakan kenapa bisa sampai trauma, matanya berkaca-kaca dan berkata, “Dulu almarhum suamiku mati bunuh diri gara-gara uang! Utangnya banyak. Dia suka berjudi. Maka sejak saat itu aku trauma jika melihat uang banyak-banyak.”Sehingga kami semua mengerti dan membiarkan Mbok Bariyah duduk termangu memandangi uang-uang tersebut.“Bisa selesai tidak ini kira-kira, Kang?” tanyaku yang mulai lelah dipelototi Kapitan Patimura—seolah aku adalah penjajah yang mau dibacoknya.“Sudah, terusin aja dulu menghitungnya,” jawabnya tanpa menoleh.Entah sengaja atau tidak, tapi p
Caffe Deu Luxury, Lantai 2 Table VIP, Hotel Rich Bintang Lima.Kupikir tadinya nama itu semacam nama-nama Prancis. Tapi keliru. Rupanya hotel mewah ini mempunyai gaya arsitektur Inggris kuno. Setidaknya begitulah yang dikatakan oleh pegawai hotel saat kami tiba di sana.Aku, Dewik dan Kang Bambang seperti orang kampungan yang nyaris tak berkedip melihat mengkilatnya lantai marmer di bawah kaki. Lampu-lampu kuning terang. Dan musik klasik yang dimainkan secara live oleh seseorang di pojokan caffee.“Kupikir memainkan dangdut di sini pasti bisa bikin geger pengunjung.” Aku bercanda.Dewik mengangguk. “Musik klasik sangat membosankan. Tidak enak buat digoyang.”Kang Bambang cuma tertawa sambil geleng-geleng kepala.Kami bertiga duduk di sebuah kursi bundar dengan taplak dan ornamen berwarna serba putih. Meja VIP dengan tulisan “reserved” yang sangat seksi. Seumur hidup baru pertama kali aku datang ke si
Masih di Caffe Deu Luxury, Lantai 2 Table VIP, Hotel Rich Bintang Lima.“Lima puluh juta buat satu lagu? Gilak! Apa nggak bisa kurang?”Seketika Inces tertawa sambil memandangku. “Yaa ampun, tampan-tampan tapi bego! Ya emang harganya sudah segitu, Kir! Emangnya beli tempe ah kok mau ditawar-tawar.”Kang Bambang memijit-mijit jidatnya. Aku tahu ini merupakan harga yang fantastis.“Yaudah, pikirkanlah dulu kalian soal ini.” Inces mengambil tasnya dan berdiri. “Kalau deal, kalian calling aku, dan saat itu pula aku mau jadi manajer kalian buat ngurusin segala keperluan kalian.”“Lha kalau nggak deal, gimana?” tanyaku ragu.Inces mendekatkan mukanya ke telingaku. “Aku nggak mau jadi manajer kalian.”Alamak, gawat nih…“Yasona begindang aja. Inces mau capcus jali-jali cacamarica lekong.”(Yasudah begitu aja. Inces mau pergi jalan-jalan c
Di rumah. Pukul 02.00 dini hari.Suasana sangat sepi. Pagi masih buta, belum ada cahaya matahari masuk ke jendela, juga belum dapat ditemui tanda-tanda kehidupan. Di saat seperti ini jelas saja aku tidur terlelap, memeluk guling dan bantal dan bersembunyi di balik selimut. Namun tiba-tiba, emak membangunkanku!“Kirr…”Bukan dengan cara beteriak kencang ataupun menamparku seperti biasanya. Namun, kali ini emak hanya menyentuh-nyentuh kakiku dengan perlahan, menarik-narik tanganku, dan sesaat setelah aku terbangun emak berbisik setengah panik.“Kir, kayaknya ada maling.”“Apa?” Kaget aku mendengarnya. Cepat-cepat aku mengucek mata sembari mengumpulkan nyawa.“Maling?”“Iya. Sttt…”“Dimana, Mak?”“Di depan sana.” Jemari emak menunjuk ke arah depan. Suaranya masih lirih berbisik. Kepalanya celingak-celinguk s