Kututup telepon. Alisha ada di rumah. Bagus sekali.
"Topan, kamu bisa ngebut?"
"Wah, saya belum punya SIM, Pak. Tadinya mau nyari SIM hari ini, kan, ngga jadi," jawabnya bernada kecewa.
"Pinggirkan mobilnya, kita tukar tempat."
"Eh, gimana, Pak?" suara Topan terdengar bingung.
"Pinggirkan mobilnya, saya ajari caranya ngebut."
Tanpa bertanya lagi, Topan menepikan mobil dan memberikan kemudi kepadaku.
"Perhatikan, Pan," kataku sambil menginjak gas dalam-dalam, "kalo mau ngebut, pastikan di jalan tol yang tidak begitu ramai, minimal kamu harus punya spare
Kututup pintu kamar, kusandarkan kening ke daun pintu. Lebih baik begini. Tentu, lebih baik begini.Mataku menghangat. Aku tak menangis. Ini yang terbaik untuknya. Bersama seseorang yang dicintai sepenuh hati, apalagi yang lebih baik dari ini?Jantungku seperti diremas. "Jantung ini hadiah dari Allah. Kamu harus jaga baik-baik," kata Ayah.Dua tetes air jatuh dari mata saat aku memejam. Yeah, but my heart's been broken over and over again.Di antara semua, ini adalah yang paling konyol. Kehilangan sesuatu yang bahkan belum dimiliki. Seperti mengacungkan jari pada kupu-kupu yang terbang berharap dia akan hinggap. Namun, dia lebih memilih b
"Itu yang harusnya aku lakukan juga, ya?" Malah jadi ngeliat diri sendiri.Kalo ngomong gitu sama cowok-cowok itu, mungkin mereka ngga jadi selingkuh. Trus aku ngga jadi selingkuhan, trus aku bakal jadi cewek polos yang ngga ngerti apa-apa soal cowok, hahaha.Tau-tau udah nyampe aja depan rumah. Akbar narik rem tangan dan matiin mesin. Sementara aku deg-degan. Ya ampun. Gimana ini? Mama pasti marah besar, nih."Lupa cara buka pintu mobil?" Hiya! Tiba-tiba Akbar udah bukain pintu dengan muka lempeng tanpa ekspresi. Ih, ada, ya, orang mukanya lebih kaku dari kanebo kering. Perlu dicelupin ke comberan, kali, biar lemes dikit.Aku keluar, nahan kesel.Langkahku ketahan karena dia ngambil sesuatu di kursi belakang. "Bu
Kalo Akbar ngomong lembut gini, aku jadi ngga tahu gimana mau ngerespon. Nasib, kebiasaan dipedesin. Untung Mama dateng, nyuruh masuk buat makan malam.Di meja makan, Akbar ngga banyak ngomong. Dia cuma ngedengerin Mama cerita panjang lebar. Mulai dari ayam cabe ijo sampe curhat soal ngga bisa ketemu pas di pemakaman. Jelas, Akbar spontan minta maaf, dia emang ngasih perintah buat ngalangin siapa aja yang pengen ketemu karena nerima ucapan belasungkawa itu bikin kesedihan jadi lebih nusuk, katanya.Jadi inget Naila. Dia bilang, dia harus tegar di depan Akbar karena sadar, kakak sepupunya itu mungkin jauh lebih terluka daripada dia sendiri.Akbar harusnya udah jadi sebatang kara di dunia ini kalo ngga ada Ammah Hana. Sekarang dua orang yang bikin dia jadi punya keluarga kedua tiba-tiba pergi gitu aja. Ugh! Aku bisa n
"Maksudnya? Naila lebih membutuhkan aku daripada kamu membutuhkanku atau Naila lebih membutuhkan aku daripada membutuhkan kamu?"Aha! Akhirnya, dia cukup encer hari ini. "Interpretation belongs to the reader," kataku.Aku pergi dengan perasaan lega yang aneh. Aku telah melepaskannya, memberikannya kesempatan terluas untuk memilih.Alisha tak boleh menjadikanku bemper jika gagal dengan Dirga. Dia harus menghadapi konsekuensi dari pilihan berisiko yang telah diambilnya.Kuhentikan mobil di ujung jalan sebelum jalan raya. Jalanan ramai di depan hanya diterangi lampu jalan. Masih segar di ingatan, pikiran mengabut saat melihat genangan darah di sana. Aku mengiringi mobil jenazah dari
Naila tersenyum. "Iya. Makasih Abang mau nerima Kak Alisha. Aku jadi kaya punya kakak perempuan sekarang."Kalimat Naila terasa menghujam jantung. "Aku udah putus sama Alisha.""What?" Mata Naila membeliak. "Becanda, kan?"Aku mengangguk mantap."Ngga mungkin! Abang suka, kan, sama Kak Alisha?"No comment."Kenapa, Bang?" Naila masih mendesak."Dia sudah punya pacar, Nai. Mungkin karena tahu Alisha ta'aruf, jadi pacar
Abis wudhu, malah bingung sendiri. Dasar Pak Ustadz Akbar, nyuruh istikharah tapi ngga ngasih tahu gimana caranya, huh.Telpon lagi apa, ya?Ngga usah, deh. Googling aja. Ternyata ngga susah-susah amat, cuma dua raka'at, niat shalat istikharah, trus baca al-Kafirun di raka'at pertama, al-Ikhlas di raka'at kedua.Oke, sip. Al-Kafirun itu yang mana lagi? Masa Googling again? Aaargh!Udah, deh, kelamaan. Keburu subuh. Cukup Al-Fatih
"Semalam Dirga menelepon." Jiah, dia ngalihin topik."Trus?" Aku bertopang dagu, lurus-lurus ngadep dia, menikmati rona merah yang pelan-pelan memudar. Aih, pengen nyubit."Katanya Baruna demam tinggi sampai ngigau manggil kamu.""Astaga!" Langsung ngecek hape. Ada buanyak miscall dari Dirga. Satu telepon masuk. Ini pasti yang diterima Akbar. Ya, ampun, udah lewat jam sepuluh.Telpon balik Dirga, cuma nada sambung doang, ngga diangkat.Antrean mobil di lampu merah panjang banget. Kuedarkan pandang ke sekeliling. Di sebelah kanan ada motor yang brenti, pas ketutupan tangan Akbar."Eh, Bar, awas t
Hmm, makin pintar menjawab dia. Lampu merah masih jauh tapi kendaraan sudah padat dari sini. Kupalingkan pandang ke kanan. Sebuah motor berhenti tepat di samping.Dairga!Alisha masih senyam-senyum, tampaknya senang sekali telah berhasil membuatku tak bisa menjawab. Jelas terlihat, dia terlalu fokus padaku. Pasti belum sadar ada Dirga tepat di samping mobil.Kutopangkan siku di jendela. "Semalam Dirga nelepon," kataku, berusaha membuatnya tetap fokus padaku."Trus?" Dia sampai bertopang dagu untuk mendengarkan."Katanya Baruna demam tinggi sampai ngigau manggil kamu.""Astaga!" Sesuai perkiraan, Alisha langsung beralih pada ponsel.