"Kamu ...?"
Aku menikmati keterkejutan di wajahnya, maafkan. "Cepat masuk, kamu menghalangi jalan," kataku merujuk pada pramugari yang berdiri dengan sabar, menunggunya beranjak.
Alisha sedikit membungkukkan badan pada Si Pramugari, lalu masuk ke area tempat duduk. "Kamu keterlaluan," ucapnya geram dengan suara berbisik.
"Terimakasih." Aku tahu. Ibunya sudah memperingatkan sejak kemarin bahwa Alisha tidak suka diperintah, tapi aku tak bisa memikirkan cara yang lebih cepat.
"Gimana caranya kamu pesen tiket buatku? Pesen tiket harus pake nomor KTP, kan?" tanyanya kesal.
"Sekadar mengingatkan, owner Purwaka Grup memiliki akses penuh ke d
Dih, Akbar ngeri banget kalo lagi marah. Deket-deket, bacok! Iya, deh, iya, aku yang mimpin rapat. Sebenernya ngantuk, sih, secara semalem nyaris ngga tidur. Gimana lagi, packing baru selese setelah lewat tengah malem, padahal harus berangkat jam empat biar jam setengah enem udah nyampe bandara."Oh, maaf, Bu. Saya kira rapat kali ini langsung sama Pak Akbar," ujar Sekretaris GM heran tapi lega. Ha-ha-ha, dia pasti deg-deg-ser tiba-tiba disuruh nyiapin teleconference, padahal tadinya udah siap buat meeting offline. Mungkin juga udah ready segala printilan macam pen
Aku terbangun dengan leher kaku. Saat membuka mata, pandanganku tertutup helaian rambut yang terasa halus. Aroma lembut bebungaan membelai penciuman. Astaghfirullah! Aku tertidur di pundak Alisha. Buru-buru kutegakkan punggung, tapi kepala Alisha malah jatuh di bahuku. Now what? Getar ponsel di meja mengalihkan perhatian. Notifikasi pesan dari Arta. Dia mengirimkan tautan ke postingan medsos disertai pertanyaan, "Apakah saya perlu memberikan pernyataan resmi, Pak?" Ck, apa lagi ini? Kubuka tautan yang dikirimkannya. Sebuah postingan dari akun gosip. Ah, gosip lagi. Entah yang keberapa. Mengapa orang-orang ini suka sekali mengurusi urusan orang lain?
Akbar bersikeras buat salat dulu, padahal aku udah laper banget. "Mushollanya tidak jauh dari food court, nanti setelah salat kita langsung makan," katanya manis banget. Ya, udah, deh, manut aja.Mushollanya ternyata lumayan juga. Ada satu keran buat berwudhu plus dua lembar sajadah, tapi ngga ada mukena. "Kamu bawa mukena, kan?" tanya Akbar, nyodorin ransel yang dari tadi dia panggul.Bawa, sih, tapi di bawah banget. Mana kepikiran buat salat di jalan. Akbar, nih, nyebelin, deh. Emang, sih, salat itu wajib, tapi, kan, kita lagi di perjalanan gini. Mana ini, kan, Jepang, bukan tempat yang gampang banget buat salat, ya, kan?Mana kutahu, ternyata bandara nyediain musholla. Perasaan waktu ke Amrik bareng Alex dulu, kita
"Halo, assalamu'alaikum, Topan."Ngga ada jawaban."Topan?""Mbak Alisha?""Lah? Bengong. Mana salamku ngga dijawab.""Oh, sorry, Mbak. Tadi kaget, takut salah sambung. Mbak Alisha tiba-tiba pake salam soalnya."Halah! "Lagi tobat aku. Jalan sama CEO Alim, ngga bisa macem-macem." Ngomong gini sambil ngelirik Akbar yang mukanya lurus kaya jalan tol. "Gimana, Pan?"Topan terkekeh di ujung telepon. "Pak Akbar sama Mbak Alisha ke Baltimore, kan?""Eh, dapat info dari mana?"
Kulingkarkan lengan di leher Akbar. Harum kopi merasuk, menguasai otak, bikin aku menghirup lebih banyak udara di atas pundaknya. "Akbar ....""Hm?""Maafin aku, ya." Kurebahkan kepala di bahunya. Seluruh beban yang bikin kepala berat dua bulan ini kaya meluncur jatuh ketarik gravitasi bumi, atau gravitasi Akbar? "Aku ngga bisa jagain Naila," kataku. Kubiarkan air meleleh dari sudut mata. "Padahal kamu udah ngasih aku hape baru buat jagain Naila, kan?"Tiba-tiba Akbar brenti, trus ngomong pake bahasa Jepang. Ngagetin aja, deh. Cepet-cepet kutegakkan kepala dan kuapus airmata di muka. Sebulatan kecil air juga ikut ngebasahin kemeja Akbar. Jadi ngga enak ati, mudah-mudahan ngga dimintain uang laundry.
Kutahan gemetar di bibir. Kuabaikan entakan jantung dalam rongga dada. Kukepalkan tangan agar tak ada getar yang menjalar. Ternyata, begini rasanya mengaku dosa.Di hadapanku, Alisha tak mengeluarkan sepatah kata pun. Dia hanya memandang tanpa berkedip hingga ponsel di saku kemejaku bergetar. Mulanya kukira jantungku berdebar terlalu keras sampai beresonansi dengan ponsel. Ternyata panggilan video dari GM Baltimore.Dia sedang berada di kamar Naila, menunjukkan suasananya melalui kamera. Kuajak Alisha untuk ikut melihat apa yang ada di layar. Kamar Presidential Suite itu tampak sangat rapi seolah memang tak pernah ditinggali. Tak ada barang bertebaran di ruang tamu, pintu kaca ke ruang tidur utama pun tertutup rapat. Saat aku di sana, ruang tidur utama adalah ruang prib
"Fine!" Kututup mata, berusaha fokus memikirkan ke mana kira-kira Naila akan pergi. Namun, yang muncul malah gambaran es krim cokelat yang sedang meleleh kepanasan. Mungkin aku terlalu lelah.Lampu kabin telah diredupkan dari tadi, penumpang lain mungkin sudah tidur. Kuatur bangku hingga menjadi tempat tidur. Untuk ukuran badanku, The Room terasa terlalu kecil. Terpaksa berbaring diagonal dengan sedikit menekuk kaki. Tidak terlalu nyaman sebenarnya, tapi ini yang terbaik karena bangku First Class sudah penuh kemarin."Kamu ngga mau es krimnya?" tanyanya ketika aku hendak menarik selimut ke muka.
"Kamu tahu, gara-gara ini, kurasa, cara terbaik menghadapi persoalan hidup emang ngikutin aturan yang udah dikasih Allah." Kutarik napas dalem, susah banget gara-gara idung mampet.Duh, cengeng banget, sih. Gini aja nangis. Abis, gimana, dong? Aku bener-bener berharap bisa muter ulang waktu, trus bilang sama Akbar biar dia nyuruh Naila mutusin Fikri.Ngga ada respon dari Akbar. Aku cuma denger suara napasnya yang kedengeran mendesah kaya putus asa. "Kita belum salat," katanya, ngalihin pembicaraan tiba-tiba, "wudhu di toilet sana!""Heh? Di toilet?""Ada air, kan, di wastafelnya? Hati-hati jangan sampai toiletnya basah."Lah? Gimana? Wudhu pake aer tapi ngga boleh basah?Ya, pasti