Home / Romansa / Balada Perawan Tua / 5. Pantes Kamu Jomlo

Share

5. Pantes Kamu Jomlo

Author: Rahayu Veni
last update Last Updated: 2025-02-04 13:45:15

Menaiki mobil mewah keluaran Eropa pernah menjadi salah satu cita-citaku. Namun, ketika kesempatan itu datang bukan kebahagiaan yang aku rasakan tapi ketakutan luar biasa karena duduk bersebelahan dengan atasan yang ganteng tapi bisa mematikkan.

Saat tadi aku mengatakan pada Mayang jika akan ditraktir makan oleh Pak Anggara, langsung saja Mayang mengeluarkan khayalan-khayalan layaknya drama China yang sering ia tonton akhir-akhir ini. Mayang mendoakan supaya aku dan Pak Anggara berjodoh dan aku hanya mengaminkan saja. Toh, tidak akan menjadi kenyataan karena aku hanya remahan rengginang sementara Pak Anggara adalah berlian.

Aku hanya diam sepanjang perjalanan menuju tempat yang tadi disebutkan pria yang duduk tenang sembari sesekali mengecek ponselnya. Pak Danang, sopir kantor yang bertugas mengantar-jemput Pak Anggara pun terlihat fokus menyetir dan tidak berkeinginan untuk mengobrol. Jika aku perhatikan, kami mirip dengan penumpang taksi online yang tidak mengenal sopirnya sama sekali.

"Kamu grogi?" tanya Pak Anggara tiba-tiba.

Aku langsung mendelik. Siapa bilang aku grogi, yang ada aku takut mati. "Mana ada," jawabku ketus.

Pak Anggara terkekeh, kulihat Pak Danang juga melakukan hal yang sama. Sial!

"Nggak usah grogi, harusnya kamu happy. Kapan lagi diajak makan berdua sama saya," katanya. Sumpah, nada suaranya sangat menyebalkan. Andaikan dia bukan manusia yang menggajiku setiap bulan, aku akan tendang sampai ke bulan.

Hanya bisa memaki dalam hati, begitulah derita rakyat jelata yang tidak manjalita seperti aku. Alhasil aku hanya bisa menampilkan senyum terpaksa karena tidak ingin terus menjadi bulan-bulanan atasanku yang tiba-tiba suka bicara.

"Pak nggak bisa gitu ke Central Park aja, kejauhan kalau ke Ancol. Tuh, macet pula," kataku sambil menunjuk jalanan yang padat merayap. "Mau jam berapa coba nyampenya."

Pak Anggara melirik. "Memang kost-an kamu ada jam malam?"

Aku menggaruk kepalaku. Bohong lagi dosa tidak ya? Aduh, aku sudah bohong dua kali hari ini. "Eng... enggak sih. Tapi kan besok kerja lagi Pak, kalau saya telat disuruh nyanyi sama Mbak Diana."

"Ya nyanyi aja." Enteng sekali jawabannya, menyebalkan.

Aku memilih untuk manyun, semakin ditanggapi pasti tidak akan benar. Aku sudah mengenal Pak Anggara sejak lama, namun tidak menyangka jika di dunia nyata dia semenyebalkan itu. Biasanya terlihat berwibawa dan cenderung mematikkan. Seperti memiliki kepribadian ganda.

"Udah kamu santai aja, kita ke sana cuma mau makan. Setelah makan kita langsung pulang."

Aku menatap wajah Pak Anggara dari samping kiri. Semakin diperhatikan semakin sadar jika atasanku itu memang tampan.

"Mengagumi?"

Aku gelagapan, malu karena ketahuan. "Enggak, cuma merhatiin kulit Bapak mulus. Saya aja yang perempuan kalah mulus sama kulit Bapak."

"Makanya perawatan," sahutnya enteng.

Aku manyun, dikira perawatan murah. Kalau kulit mau glowing tanpa dempulan ya perawatannya juga harus yang berjuta-juta.

"Kamu mau kulitnya semulus saya?" tanyanya sembari menoleh menatapku.

Aku mengangguk. "Mau lah."

"Ya udah, jadi istri saya," katanya membuatku menganga.

Apa dia bilang? Jadi istrinya? Sepertinya otak Pak Anggara terkontaminasi pestisida.

Setelah menganga aku memilih mendelikkan mata. Sepanjang perjalanan menuju Ancol, tampaknya aku akan dibully oleh pria yang baru saja dengan entengnya menyebut kata istri di depan jomlowati tahunan yang sampai saat ini belum menemukan tambatan hati.

"Serius San, jadi istri saya nanti kulit kamu pasti mulus," ucap Pak Anggara.

"Iya, mulus karena Bapak amplas tiap hari," sahutku ketus. Dikira perkataannya akan mampu membuat hatiku cenat-cenut, cenat-cenit. Tidak ya, marimar!

Pak Anggara tertawa. "Kamu nggak mau nikah sama saya?"

Aku memandang Pak Anggara dengan tatapan tidak percaya, lalu mengalihkan pandangan pada Pak Danang yang mengintip lewat spion tengah. Pak Danang malah mengulum senyum.

"Enggak mau," jawabku.

"Kenapa?" tanyanya.

"Ya karena saya nggak suka sama Bapak," jawabku ketus. Ingat, rakyat jelata harus tahu diri.

"Kenapa bisa nggak suka?" tanyanya lagi, senang sekali ia menjahiliku.

"Ya nggak suka aja, memangnya saya harus suka sama Bapak?" tanyaku dengan mata memicing.

"Harus dong, kan saya ganteng," jawabnya penuh percaya diri.

Idih, ternyata atasanku ini narsis.

"Yang lebih ganteng dari Bapak banyak," sahutku tidak mau kalah.

"Siapa?" tanyanya.

"Serkan Cayoglu," jawabku cepat.

"Siapa itu?"

"Aktor Turki."

Pak Anggara tertawa. "Nggak akan dia kenal kamu. Mendingan kamu sama saya. Kan kamu jomlo saya jomlo, kita nikah dan bahagia."

"Mending bahagia," sahutku. "Bapak hari ini salah makan ya, omongannya ngaco. Daripada Bapak ngajakin saya nikah mending Bapak nikah sama cewek cantik yang sering ke kantor."

"Saya ngajaknya kamu bukan dia," kata Pak Anggara.

"Kok Bapak maksa?"

"Nggak maksa hanya mencoba," jawabnya.

"Mencoba itu sekali, kalau berkali-kali itu maksa namanya. Lagian Bapak matanya mending periksa deh ke dokter, masa iya cewek spek model kalah sama saya yang spek rengginang," kataku.

Pak Anggara tertawa. "Pantes kamu jomlo."

"Maksudnya?" Aku menaikkan sebelah alisku.

"Ya pantes kamu jomlo, kamu itu nggak peka. Ada cowok yang suka malah dikira bercanda," jawab Pak Anggara.

"Karena Bapak yang tanya, kalau Mas Cahya yang tanya saya baru percaya," jawabku asal. Bukannya tidak peka hanya tahu diri saja karena tidak ingin kecewa.

"Kamu suka Cahya?" Terdengar nada suara kaget dan tidak percaya ketika Pak Anggara menanyakan hal itu.

"Misalnya Pak, bukannya suka. Maksud saya, kalau statusnya seperti Mas Cahya yang sama-sama karyawan biasa ya saya percaya. Tapi kalau Bapak yang bilang ya mana percaya. Lagian Pak, kita ini seperti langit dan bumi," jawabku panjang lebar. "Saya nggak cocok jadi istri Bapak."

"Kenapa nggak cocok?"

"Karena kita beda dunia," jawabku.

"Kamu hantu?"

Aku mendelik. Kan, dia memang tidak serius. Jika serius tidak akan bertanya seperti itu. Jadi, sudah benar aku tidak terbawa perasaan dengan ajakannya tadi. Untung saja, hatiku dan telingaku sudah kebal mendengar rayuan-rayuan gombal para buaya. Bukannya pengalaman, tapi hanya sering mendengar cerita dari para korban buaya.

"Bukan Pak, saya tuyul cuma nggak botak terus nggak bisa nuyul di ATM. Bisanya cuma nuyul di kantor Bapak," jawabku sebal. Sumpah, aku ingin segera sampai di tempat tujuan.

Kudengar Pak Anggara tertawa. "Kamu lucu."

"Baru tahu? Kemana aja?"

"Kan kita baru pergi berduanya sekarang, biasanya kan sama anak kantor. Ya mana tahu kamu itu lucu," katanya.

"Berdua? Nggak sadar di depan ada Pak Danang?" Aku menggeleng-gelengkan kepala. Baru kusadari jika sedari tadi ucapanku jauh dari kata sopan pada atasanku. Aduh, aku tidak akan kena sidang kode etik kan ya?

"Oke, nanti saya yang nyetir sendiri kalau mau makan sama kamu," ucap Pak Anggara.

"Maksudnya?" Aku gagal paham.

Pak Anggara hanya mengedikkan bahunya sebagai jawaban.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Balada Perawan Tua   12. Tahu Sesuatu?

    Aku ingin berteriak sekencang-kencangnya tapi tidak bisa, yang aku bisa hanya berteriak dalam hati. Bagaimana caranya, ya teriak saja. Selain berteriak aku ingin menangis karena ketidakberdayaanku berkata tidak karena takut menyinggung perasaan orang tua Pak Anggara. Ah! Sial! Kenapa jiwa membela diriku seperti kerupuk kena angin, sebal! Rasa takut kehilangan pekerjaan ternyata lebih besar dibandingkan mengatakan hal sebenarnya pada kedua orang tua atasanku yang dengan menyebalkannya malah senyum-senyum tidak jelas."Kalau minggu depan kita silaturahmi ke orang tua kamu gimana, sayang?" Pertanyaan yang membuat bulu kudukku berdiri diajukan oleh Meiske, ibu Pak Anggara.Aku mengedip-ngedipkan mata tidak percaya dengan apa yang didengar indra pendengaranku. "Bisa Ma, aku emang rencana mau ke sana," jawab Pak Anggara yang membuat kedua orang tuanya tersenyum senang."Syukurlah kalau kamu sudah ada inisiatif. Hal baik jangan ditunda-tunda, iya kan Pa," ucap Bu Meiske pada suaminya. Aduh!

  • Balada Perawan Tua   11. Lamaran, Tunangan, Siraman, Nikahan

    Sandrina tentu saja terkejut ketika mendengar ucapan Anggara yang tiba-tiba. Siapa yang tidak akan terkejut disebut calon istri oleh seseorang, terlebih orang itu adalah pemilik perusahaan tempat kita mencari nafkah. Sandrina langsung mengibas-ngibaskan tangannya. "Bu-bu..." Namun perkataannya tidak bisa dilanjutkan karena Anggara langsung mengapit lengannya dan mengatakan dengan tegas pada ibunya bahwa Sandrina adalah calon istrinya.Meiske, ibu kandung Anggara, terlihat sumringah ketika mendengar dengan jelas bahwa wanita manis di depannya adalah kekasih anak semata wayangnya. Pantas saja anaknya itu tidak pernah mau dikenalkan atau mencoba berhubungan dengan wanita yang ia kenalkan."Jadi, kalian kenal di mana?" tanya Meiske. Mereka sedang berada di sebuah restauran yang menyajikan makanan khas Thailand.Sandrina memandang Anggara."Temen di kantor," jawab Anggara.Mata Meiske membola. "Kamu kerja di tempat Angga?"Sandrina mengangguk takut-takut. Jujur, ia takut seperti di drama-

  • Balada Perawan Tua   10. Calon Aku

    Aku tersenyum ketika melihat wajah Sandrina memberengut saat membaca pesanku yang terakhir. Sungguh menggemaskan sekali. Entah mengapa menjahili Sandrina menjadi kebahagian sendiri untukku akhir-akhir ini. Semacam hiburan di tengah-tengah teror blind date yang sering ibuku rencanakan. Bukan aku tidak tahu jika ibuku ingin segera melihatku berkeluarga. Aku tidak menyalahkan sikap ibuku. Ia pasti khawatir anak semata wayangnya ini tidak akan ada yang menemani di hari tua nanti. Namun, terkadang aku merasa kesal juga jika terus-terusan harus berkenalan dengan anak temannya. Aku kembali menatap Sandrina dari balik kaca ruanganku. Ia sedang dalam mode serius namun kulihat sesekali ia berdiskusi dengan Mayang bahkan tersenyum. Senyumnya yang dulu terlihat biasa saja entah mengapa menjadi terlihat sangat istimewa.Ketika aku sedang larut dalam lamunanku tentang Sandrina, ada seseorang mengetuk pintu. Ternyata Cahya. Ia menginformasikan laporan yang harus segera aku review dan mengingatakan

  • Balada Perawan Tua   9. Keracunan Cinta

    Kembali ke dunia nyata sebagai pencari nafkah untuk diri sendiri membuatku merasa lebih baik setelah acara perkenalan yang tidak berjalan baik. Baiklah, mungkin aku terlalu berlebihan atau apalah itu. Tapi, jujur aku tidak suka dengan cara penyampaian Deni tentang kodrat wanita yang malah membuatku tidak nyaman. Entahlah, dari awal juga aku merasa tidak nyaman jadi jangan salahkan aku jika apapun yang dikatakan dan dilakukannya salah. Egois memang, tapi aku tidak bisa membohongi hatiku sendiri dan aku tidak ingin berbohong karena bohong itu dosa dan bisa buat kita sengsara. "San." Aku yang sedang menatap layar komputer langsung menoleh ke sumber suara, ternyata Mas Cahya."Kenapa Mas?" tanyaku."Dipanggil Bapak," jawab Mas Cahya. Aku mengangguk lalu gegas menuju ruangan atasanku. Ketika aku masuk ke dalam ruangannya, aku melihat Pak Anggara sedang fokus menatap layar laptop. Baru saja aku akan membuka mulut untuk bertanya ada keperluan apa hingga aku dipanggil, Pak Anggara sudah terl

  • Balada Perawan Tua   8. Salah Tidak Sih?

    Terkadang aku berpikir, mengapa aku masih jomlo di usia di mana kebanyakan orang-orang sudah berkeluarga? Kan kalau sudah berkeluarga aku tidak harus malas pulang ke rumah orang tuaku. Sebenarnya bukan malas bertemu orang tua, tapi malas dengan kejulidan tetangga yang makin merajalela. Jika harus pulang pun aku lebih memilih tidak keluar rumah karena malas meladeni pertanyaan mereka yang tidak jauh dari masalah jodoh. Apalagi mayoritas gadis-gadis di kampungku sudah banyak yang menikah. Aku ingin menghilang saja jika sedang pulang ke sana. Seperti saat ini, malas sekali aku keluar dari rumah."Neng, cepetan atuh!" ucap mama yang tadi meminta tolong dibelikan garam dan gula. Aku mendengkus lalu berjalan untuk menuju warung terdekat sambil berdoa tidak ada ibu-ibu julid yang berbelanja di sana. “Beli!” Aku sudah berada di warung terdekat dan beruntung tidak ada seorangpun yang sedang berbelanja di sana.Tidak lama ada ibu pemilik warung datang. "Eh, ada Neng Vera," katanya. "Lagi libu

  • Balada Perawan Tua   7. Kamu Mau Dijodohin?

    Aku memegangi dadaku yang sedari tadi enggan berdetak dengan normal. Setelah mendengar pertanyaan absurd dari atasanku yang mendadak gila itu, perasaanku langsung tidak karuan."San, inget San. Langit dan bumi susah digapai. Napak tanah jangan terbang-terbang." Aku merapalkan mantra supaya tidak terlena oleh hal yang bisa saja tidak akan nyata. "Nasib jadi jomlo menahun, ditanya gitu aja langsung dag-dig-dug nggak karuan." Aku tidak habis pikir dengan jantungku. Iya sih, Pak Anggara itu ganteng tapi kan nggak harus sereceh ini dong jantung, masa gitu doang udah berasa mau copot. Untung saja jantung ini buatan Tuhan coba kalau buatan manusia, sudah porak-poranda. Tidak ingin membuat masalah dengan pikiran dan jantungku lebih dalam, aku memilih untuk tidur. Niat hati ingin tidur tenang sembari bermimpi banyak uang, nyatanya yang bisa kulakukan adalah berbaring dengan ponsel di tangan dan menonton drama tentang terlahir kembali di tahun 80-an. Cerita tidak masuk akal tapi selalu aku t

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status