LOGINVALARI: (Berdiri beberapa langkah dari Torin, menyilangkan tangan, nada suaranya manis namun menusuk) Lihatlah, Tuan Pangeran. Masih saja betah dengan pekerjaan rendahan ini. Ayahku yang agung pasti menangis di alam sana melihat putranya—jika boleh kubilang putra—hidup seperti kasta terendah.
TORIN: (Tidak mendongak, terus menggosok dinding, suaranya pelan dan serak) Saya hanya melakukan pekerjaan yang diperintahkan, Putri. Jika Anda tidak ada urusan, tolong tinggalkan tempat ini.
VALARI: (Mendekat, mengendus jijik) Oh, 'tolong'? Kau masih berani memerintahku di tanah yang bahkan tidak layak kau pijak? Aku datang karena ada titah. Kau tahu, pengawal istana mengeluh. Katanya, kau terlalu lamban dan lemah untuk membersihkan kandang kuda.
TORIN: Saya akan menyelesaikannya. Beri saya waktu.
VALARI: (Tertawa kecil, sinis) Waktu? Waktu adalah kemewahan yang tidak kau miliki, Torin. Kau adalah aib yang harus segera diperbaiki. Pengawal... (Ia memberi isyarat kepada salah satu pengawal.)
(Pengawal itu segera mengeluarkan cambuk kecil dari sabuknya.)
VALARI: Ini bukan hukuman, bodoh. Ini adalah 'stimulasi'. Sebuah hadiah agar kau bergerak lebih cepat, lebih cekatan. Anggap saja ini pelatihan yang kuberi khusus, agar kau tidak selalu terlihat begitu menyedihkan.
TORIN: (Akhirnya mendongak, matanya memancarkan rasa sakit yang dalam, namun ia segera menundukkannya lagi. Monolog internal: Sabar. Tahan. Jangan biarkan bara ini terlihat.) Terima kasih atas 'hadiahnya', Putri. Saya akan mengingat kebaikan Anda.
VALARI: (Terkejut karena Torin tidak memohon, wajahnya sedikit mengeras. Ia mengambil cambuk itu dari tangan pengawal.) Tidak perlu berpura-pura pasrah, Torin. Aku tahu kau membenciku. Aku tahu kau ingin merobek gaun yang kupakai ini. Tapi lihatlah dirimu! Kau bahkan tak mampu melawan sehelai rumput pun.
(Valari tiba-tiba mengayunkan cambuk itu. Bukan ke punggung, melainkan tepat ke telapak tangan Torin yang sedang memegang sikat. Torin tersentak, sikatnya jatuh, telapak tangannya langsung memerah dan berdarah.)
TORIN: (Menggenggam tangannya erat-erat, menahan erangan. Napasnya memburu.)
VALARI: (Mengembalikan cambuk itu ke pengawal dengan wajah puas.) Itu hanya peringatan. Lain kali, jika kulihat lagi kau bermalas-malasan, aku sendiri yang akan memastikan ibumu mendapat jatah makanan yang jauh lebih sedikit dari yang ia dapatkan sekarang. Mengerti?
TORIN: (Menarik napas dalam, memejamkan mata sejenak, lalu membuka mata dan menatap Valari dengan tatapan kosong, seolah jiwanya telah mati.) Mengerti, Putri Valari.
VALARI: (Tersenyum dingin, puas dengan kepasrahan Torin.) Bagus. Sekarang, lanjutkan pekerjaan kotormu. Dan jangan lupa, di mata Kekaisaran Azure, kau adalah sampah yang bernapas. Jangan pernah lupakan tempatmu.
KARSA: (Dengan nada dingin dan meremehkan) Pangeran yang tercampakkan, tuanku Putri sudah memberimu 'stimulasi'. Jangan ulangi kesalahan yang sama.
TORIN: (Menghela napas. Ia menatap ke arah lumpur tebal yang seharusnya ia bersihkan dengan air yang sangat sedikit.) Saya tidak bisa membersihkan semua ini dengan air sesedikit ini. Lumutnya terlalu tebal. Butuh ember air penuh agar bisa bersih sempurna.
BIMA: (Tertawa kasar) Kau ini bodoh, atau pura-pura bodoh? Air adalah milik istana utama. Kau hanya sampah yang beruntung diizinkan mencicipi sisa-sisa. Gunakan air yang ada, atau kerok saja lumutnya dengan kuku kakimu.
TORIN: (Torin mengangkat kepalanya, menatap Bima dengan pandangan yang, walau meredup, tetap menunjukkan ketegasan yang berbahaya.) Membersihkan setengah-setengah hanya akan membuatnya kotor lagi besok. Jika ingin hasilnya sempurna, harus dilakukan dengan benar. Saya akan meminta tambahan air kepada petugas sumur.
KARSA: (Melangkah maju, wajahnya menegang karena kemarahan yang tersulut oleh 'pembangkangan' Torin.) Kau berani membantah? Kau berani meminta lebih dari yang diberikan Putri Valari?! Kau tahu siapa kami?! Kami adalah tangan kanan istana!
TORIN: (Torin tidak mundur. Dalam batinnya, Bara Dendamnya berteriak untuk memberontak.) Saya tidak membantah, saya hanya menyampaikan fakta. Jika pekerjaan saya besok dikeluhkan lagi karena tidak bersih, maka Anda yang akan bertanggung jawab karena tidak mengizinkan saya bekerja dengan benar. Saya hanya meminta air, bukan takhta.
BIMA: (Menggeram, matanya memerah.) Anak ini memang harus diajar! Kau pikir kami takut dipertanggungjawabkan? Yang mulia Pangeran Dharma sudah memberi izin penuh untuk mendisiplinkanmu jika kau berulah.
(Bima tidak banyak bicara lagi. Ia langsung melangkah cepat dan, tanpa peringatan, melayangkan tinjunya yang keras tepat ke tulang rahang Torin. Suara benturan itu memecah keheningan di Pondok Belukar.)
TORIN: (Torin terhuyung, tubuhnya terlempar ke dinding yang baru saja ia sikat. Kepalanya membentur batu, dan rasa sakit yang tajam menjalar dari rahang hingga tengkuknya. Darah segar menetes dari sudut bibirnya.)
KARSA: (Menarik kerah baju Torin, mengangkatnya sedikit agar bisa menatap mata Torin yang berair.) Dengar baik-baik, anak selir. Kami tidak peduli tentang 'fakta' atau 'pekerjaan sempurna'. Perintahmu adalah menggunakan apa yang ada. Jangan pernah, sekali lagi, membantah titah istana. Kau hanya punya dua pilihan: tutup mulut dan bekerja, atau tutup mulut selamanya di liang kubur.
TORIN: (Torin batuk darah. Ia merasakan sakit yang luar biasa, namun ia menahan erangan. Di matanya, Karsa dan Bima kini bukan hanya pengawal, mereka adalah simbol kekejaman yang harus ia lenyapkan. Monolog internal: Sakit ini... Aku terima. Darah ini... Aku akan mengumpulkannya. Kalian memberiku alasan baru untuk membalas dendam. Kalian mengira kehinaan ini akan membuatku hancur, tetapi setiap pukulan hanya membuat baraku semakin panas.)
TORIN: (Berusaha menelan ludah, suaranya parau dan terbata-bata.) Saya… mengerti.
BIMA: (Mendorong Torin hingga jatuh ke lumpur.) Bagus. Sekarang, lanjutkan! Dan jangan sampai kami melihatmu duduk sebelum matahari terbenam!
Torin menyadari bahwa gubuk yang ia tinggalkan setengah jadi adalah sebuah kelemahan fatal.Torin: (Berbicara pada dirinya sendiri, suaranya mantap dan berwibawa, sambil memilih kayu dengan akurat) "Pola serat ini... kekuatan tarik batang rotan ini 30% lebih tinggi jika diletakkan melintang. Aku terlalu ceroboh saat menyusun pondasi tadi. Sebuah benteng harus tahan tidak hanya dari cuaca, tapi dari mata-mata yang paling terlatih Valari."Lyra, si peri, melayang di dekatnya, mengamati dengan rasa ingin tahu.Lyra: "Anda bergerak dengan cepat, Pangeran. Bahkan seekor lebah pekerja pun tidak seteliti Anda. Apakah energi yang Anda rasakan sudah mereda?"Torin: (Menarik dua balok kayu bersamaan dengan kekuatan yang mengejutkan, tanpa perlu usaha keras) "Energi itu tidak mereda, Lyra. Ia terserap. Aku tidak hanya membangun gubuk ini, aku sedang memvisualisasikan setiap celah keamanannya sebelum celah itu ada. Aku membangunnya untuk melindungi ibuku dan kuda kami. Dan juga untuk melindungi r
Wajah Torin memucat, tangannya mencengkeram erat batang Pohon Rot untuk menopang diri.Torin: (Suaranya serak, matanya memejam rapat) "Lyra! Apa yang terjadi?! Ini... ini lebih dari sekadar kekuatan fisik! Rasanya seperti ada listrik beku yang mengalir di setiap pembuluh darahku! Aku... aku merasakan semua denyutan di hutan ini!"Lyra: (Menatapnya, tatapannya dingin dan menembus) "Itulah harga dari kekuatan yang diperbarui, Pangeran. Anda menyerap esensi alam yang disucikan. Kekuatan itu harus menemukan jalannya di dalam wadah yang rapuh. Tubuh Anda adalah wadah yang rapuh."Tiba-tiba, rasa sakit yang luar biasa menghantam kepalanya. Rasanya seperti ribuan gulungan perkamen kuno Kekaisaran Azure dibuka paksa di dalam tengkoraknya. Torin berteriak singkat, dan tubuhnya ambruk, tidak sadarkan diri di atas tanah berlapis lumut di samping mata air.Lyra: (Mendekat, suaranya kini terdengar seperti mantera kuno) "Tidurlah, Torin dari Azure. Biarkan intrik dan pengkhianatan yang kau pelajari
Torin menatap buah persik raksasa itu. Aromanya manis sekali, melayang bersama embusan angin. Aroma itu terasa seperti janji kekayaan dan kekuatan, bukan sekadar makanan.Torin: (Mendekati Pohon Rot, tangannya terulur secara naluriah) "Lyra, aku belum pernah melihat persik seperti ini. Warnanya... seperti emas yang dicampur dengan darah matahari terbit. Apakah ini buah dari Pohon Rot yang kau ceritakan? Bukankah seharusnya pohon itu tidak menghasilkan buah semanis ini?"Lyra: (Suaranya seperti lonceng angin, perlahan dan berirama) "Oh, Pangeran Kekaisaran Azure. Mata air suci ini... ia tidak hanya menyucikan air. Ia menyucikan segalanya di sekitarnya. Yang busuk menjadi mulia. Yang biasa menjadi... istimewa. Doronganmu itu, Yang Mulia, adalah bisikan alam yang telah diperbarui."Torin: "Bisikan alam atau godaan iblis? Sejak aku di sini, rasa lapar ini semakin menjadi-jadi. Aku merasa ini lebih dari sekadar rasa lapar biasa. Aku merasa... buah ini adalah kunci untuk sesuatu yang besar.
"Aku melihatmu. Kau—dan seorang wanita tua yang mengenakan pakaian lusuh dan kau gendong menaiki pohon rot bersama kuda kecil mu, berdiri di bawah Pohon Rot Besar, di gerbang hutan. Dia... dia memelukmu. " jelas Lyra. "Aku tahu Pohon Rot Besar itu adalah perbatasan. Dan aku tahu wanita itu... dia bukan sembarang orang biasa. Matanya memancarkan rasa sakit dan kekejaman yang sama persis seperti Kaisar. Tapi di balik itu, ada cinta yang sangat besar untukmu."Torin mengepalkan tangannya. Lyra baru saja menyentuh inti dari semua masalah yang ia hadapi. Tidak banyak yang tahu bahwa Torin adalah putra permaisuri yang dicurigai oleh faksi kekaisaran lainnya."Itu ibuku," Torin mengakui, suaranya sekarang hanya berupa desahan. "Permaisuri Elara. Dia membantuku kabur. Dia mengorbankan segalanya untuk memberiku waktu.""Mengapa dia tidak ikut denganmu?" tanya Lyra polos.Pertanyaan sederhana itu menusuk Torin lebih dalam daripada pedang manapun. "Karena ibuku sudah sangat lemah sehingga aku me
Mengikuti cahaya itu, Torin tiba di sebuah pemandangan yang tak masuk akal. Di tengah-tengah keheningan, berdiri tegak sebuah pohon raksasa yang batangnya bersinar lembut, seolah memancarkan cahaya bintang yang terperangkap. Di kakinya, mengalir mata air dengan air yang begitu jernih, ia bisa melihat kerikil di dasarnya seolah tak ada penghalang."Astaga, Pohon Aethel... Ini bukan sekadar legenda," Torin berlutut, menyentuh air yang dinginnya menusuk tulang namun terasa menghidupkan. "Sumber mata air para dewi. Bagaimana bisa ini tersembunyi sedekat ini dari perbatasan? Ini akan jadi masalah baru di istana jika ketahuan."Tiba-tiba, suara bernada tinggi dan tajam memecah kesunyian."Hei! Kau! Beraninya kau minum dari kolamku tanpa izin!"Torin terlonjak. Ia mengayunkan belatinya ke arah suara itu. Matanya menyipit, mencari-cari."Siapa di sana? Keluar! Aku bukan salah satu pengawal Azure yang bisa kau takut-takuti dengan ilusi."Di atas salah satu akar Pohon Aethel, tampaklah sosok mu
Malam itu, Torin tidak berjalan, ia melarikan diri. Setiap ayunan langkahnya menjauhi hiruk-pikuk Istana Azure terasa seperti memutus rantai yang membelenggunya seumur hidup.Di punggungnya, Ibunya, Sang Permaisuri yang kini hanya seonggok tubuh ringkih, bergerak lemah. Di sisinya, seekor kuda poni kecil—satu-satunya sahabat sejatinya—berlari pelan, menyesuaikan diri dengan langkah Torin yang lelah.Mereka menuju ke arah yang ditunjuk oleh bisikan para pelayan istana: Hutan Rot, perbatasan kekaisaran yang dianggap 'terlarang' dan berbahaya."Kita sudah jauh, Bu," bisik Torin, suaranya serak. Mereka baru saja melewati pos penjagaan terakhir. Kegelapan hutan mulai menelan mereka.Ibunya hanya bisa merespons dengan erangan pelan."Jangan khawatir, Ibu," Torin mencoba meyakinkan, lebih kepada dirinya sendiri. "Mereka bilang hutan ini berbahaya, tempat para bandit dan binatang buas. Tapi bagi kita... ini adalah kebebasan. Setidaknya, di sini kita bebas dari jerat masalah dan tatapan mata y







