Aruna terbaring di ranjang kayu yang usang. Kulitnya pucat, urat-uratnya terlihat jelas. Ia diserang oleh penyakit aneh yang perlahan-lahan menggerogoti kekuatannya. Bukan demam biasa, melainkan racun yang bekerja lambat dan terencana.
Para tabib yang dikirim dari istana utama, yang sebenarnya diperintahkan untuk tidak berbuat banyak, hanya menggeleng putus asa.
“Denyut nadinya lemah, Tuan Muda. Ada semacam racun dingin yang menyelimuti seluruh organ. Kami tidak tahu penawarnya,” bisik salah satu tabib, matanya penuh rasa takut, takut ketahuan bahwa ia diperintahkan untuk membiarkan Aruna mati.
Torin tahu ini adalah intrik istana. Hanya anggota keluarga mendiang Kaisar yang memiliki akses dan kekejaman untuk melakukan hal serendah ini, memastikan Aruna tidak akan pernah menjadi ancaman politik bagi takhta Pangeran Dharma.
Adegan Haru dan Kekhawatiran Sang Ibu
Saat senja, Torin menyingkirkan para tabib. Ia duduk di sisi ibunya, menggenggam tangannya yang dingin dan kurus. Meskipun baru saja dihajar oleh pengawal Valari, Torin berusaha menyembunyikan rasa sakitnya.
ARUNA: (Suaranya sangat lemah, nyaris tak terdengar) Torin... anakku. Ibu... tidak akan lama di sini.
TORIN: (Menahan air mata, mencium tangan ibunya dengan lembut) Jangan bicara begitu, Ibu. Tabib akan menemukan obatnya. Ibu harus sembuh. Ibu adalah satu-satunya yang Torin miliki.
ARUNA: (Menggeleng pelan) Tidak, Nak. Ibu tahu. Ada yang menginginkan Ibu pergi agar mereka bisa... menyingkirkanmu tanpa rasa bersalah. Tapi bukan itu yang Ibu khawatirkan.
Aruna memutar kepalanya yang lemah, matanya tertuju pada leher dan rahang Torin yang sedikit membiru, dan kerah bajunya yang kotor menyembunyikan memar lain di bahunya.
ARUNA: (Air mata mengalir di sudut matanya) Nak, tunjukkan pada Ibu. Tubuhmu... ada luka dan memar baru lagi. Katakan dengan jujur, apakah ini ulah Valari? Apakah adik tirimu itu... mereka menyiksamu lagi?
Torin merasakan bara dendamnya membeku karena kesedihan. Ia tidak tega mengatakan yang sebenarnya. Ibunya sudah cukup menderita.
TORIN: (Memaksakan senyum, sambil meraba lukanya) Bukan, Bu. Jangan khawatirkan hal kecil ini. Saya... saya tergelincir ketika memandikan kuda istana. Kuda itu menendang sedikit. Tidak sakit sama sekali. Saya hanya bodoh dan kurang hati-hati.
ARUNA: (Menatap mata Torin dengan kepedihan yang menusuk. Ia tahu Torin berbohong.) Torin, Ibu yang melahirkanmu. Ibu tahu kapan kau berbohong untuk melindungi Ibu. Tapi Ibu mohon... jika Ibu sudah tiada, jangan biarkan kebencian itu menghancurkanmu. Jangan balas dendam. Tinggalkan saja Kekaisaran Azure ini.
TORIN: (Monolog Internal: Tidak, Ibu. Aku tidak bisa. Mereka membunuh Ayah. Mereka meracunimu. Mereka mengambil segalanya dariku. Kebencian ini adalah satu-satunya yang membuatku hidup.)
TORIN: (Mengepalkan tinju di bawah selimut, tetapi wajahnya terlihat tenang) Saya janji, Bu. Saya akan menjaga diri. Saya akan pergi ke tempat yang aman dan memulai hidup baru. Ibu akan bangga pada saya.
ARUNA: (Menghembuskan napas lega. Ini adalah kebohongan terakhir yang ia butuhkan dari putranya.) Terima kasih, Nak. Janji itu... adalah damai terakhir Ibu. Sekarang, Ibu bisa tidur.
Setelah menyelesaikan hidangan roti kasarnya, Torin kembali ke kamar ibunya untuk memastikan ibunya diselimuti dengan baik. Di sudut kamar, tergantung sangkar kecil yang kotor. Di dalamnya, bertengger seekor Burung Beo Jambul Kuning tua bernama Kalam—saksi bisu pengasingan mereka. Kalam adalah hadiah mendiang Kaisar kepada Aruna, dan kini menjadi satu-satunya 'teman' bicara Torin.
Torin berdiri di dekat sangkar, mengamati Kalam yang sedang mematuk bulunya.
TORIN: (Suaranya pelan dan serak, berbicara pada dirinya sendiri) Sekarang tinggal kita berdua, Kalam. Ibu sudah tidur. Mereka kejam dan aku akan membalas mereka.
KALAM: (Menggoyangkan kepalanya, matanya yang hitam menatap Torin, suaranya terdengar jernih, mengulangi kata-kata yang sering didengar Aruna saat berdoa) "Kesabaran adalah pedang yang tak terlihat."
TORIN: (Torin tersentak. Ia duduk di lantai di depan sangkar.) Pedang tak terlihat? Apa gunanya pedang tanpa bilah, Kalam? Aku hanya punya kebencian, bukan kekuatan. Mereka meracuni ibuku. Mereka memukuliku seperti binatang.
KALAM: (Memiringkan kepala, mengucapkan kalimat yang pernah diucapkan salah satu tabib bijak kepada Aruna) "Racun yang lambat lebih mematikan daripada panah yang cepat." "Lihatlah dirimu, Torin."
TORIN: (Torin menunduk, menyentuh rahangnya yang sakit.) Aku hanyalah luka. Aku lumpur di Kekaisaran Azure.
KALAM: (Mengepakkan sayapnya sedikit, suaranya tenang, seperti guru yang mengajarkan muridnya) "Sayap yang patah akan tumbuh lebih kuat, jika ia tahu cara menunggu angin." "Bukan luka yang membunuhmu, melainkan ketergesaanmu."
TORIN: Aku harus segera membalasnya! Setiap hari aku hidup di bawah atap mereka, itu adalah penghinaan! Valari... dia akan merasakan apa yang dia perbuat!
KALAM: (Dengan nada yang lebih tegas, mengulang kutipan bijak dari para tetua istana yang ia dengar) "Pembalasan yang cepat adalah kegembiraan sesaat; Pembalasan yang dingin adalah takhta yang permanen." "Mereka melihat lumpur di dirimu, tetapi kau harus melihat cahaya di lumpur itu. Cahaya untuk mengamati."
TORIN: Mengamati?
KALAM: "Jadilah telinga, bukan lidah. Jadilah bayangan di balik pilar. Dengarkan rencana mereka, hitung kekuatan mereka, kenali kelemahan mereka." "Kau bodoh karena melawan pukulan mereka, Torin."
TORIN: (Torin tercengang. Ia mengingat perlawanannya terhadap pengawal Bima.) Jadi aku harus... bersujud? Membiarkan mereka menindasku?
KALAM: (Kalam mematuk jeruji sangkar perlahan, seolah memberi penekanan.) "Suara yang diam adalah jerat paling kuat. Biarkan mereka percaya bahwa Bara Dendammu telah mati bersama ibumu." "Hidupmu adalah rahasiamu yang paling berharga. Simpan ia, sampai kau siap terbang."
Torin menatap Kalam lama. Bukan sekadar burung beo yang menirukan suara, tetapi suara-suara bijak yang diserapnya selama bertahun-tahun telah menjadi nasihat strategi. Burung kecil ini, yang terperangkap dalam sangkar, mengajarkannya cara bertahan hidup dan merencanakan kehancuran.
TORIN: (Mengangguk perlahan, bara di matanya kini bercampur dengan ketenangan yang menakutkan.) Aku mengerti, Kalam. Aku akan menjadi telinga. Aku akan menjadi bayangan. Aku akan menunggu angin. Biarkan mereka menertawakanku hari ini. Aku akan membiarkan mereka percaya bahwa aku sudah sepenuhnya patah.
KALAM: (Mengulang kata-kata Aruna untuk terakhir kali) "Jalani hari ini. Hari esok adalah misteri yang harus kau kuasai."
Selir Livia, dengan kecantikan dingin yang memukau dan senyum tipis penuh rahasia, memegang piala anggur perak.Gaun sutra hitamnya membalut tubuhnya yang ramping, memancarkan aura misteri dan bahaya. Di depannya, Pangeran Valari, setelah perebutan kekuasaan yang berdarah—tertawa puas, kesombongan terpancar dari setiap gerak-geriknya.Jubah kekaisaran yang ia kenakan terasa terlalu longgar, seolah ia belum sepenuhnya pantas memakainya, namun ia memanggulnya dengan angkuh."Anggur malam ini terasa lebih manis, Valari," Livia memulai, suaranya lembut namun memiliki ketajaman baja.Ia bukan hanya selir Kaisar Theorin, tetapi juga dalang di balik "kecelakaan" berburu itu, dan sekarang, permaisuri bayangan di sisi Raja Valeri. "Manisnya kemenangan, bukan?"Valari menyesap anggurnya rakus, matanya menyala dengan nafsu tak terpuaskan. "Tentu saja, bu. Semua berjalan sesuai rencana kita. Si Tikus Bodoh itu, Torin, kini mengurus kuda.Dan Aruna, mantan Permaisuri, meringkuk di kamarnya seperti
Sejak kematian Kaisar Theorin, istana berubah menjadi neraka bagi Torin dan ibunya, Permaisuri Aruna. Takhta kini diduduki oleh pamannya, Raja Valeri, adik mendiang Kaisar, dan Torin, putra mahkota yang sah, dicap sebagai 'Pangeran Bodoh'—gelar yang sengaja disematkan untuk membenarkan penindasannya.Kekuasaan dan posisi mereka hanyalah debu. Torin, yang seharusnya berlatih strategi perang dan diplomasi, kini menghabiskan harinya di antara kotoran kuda dan tatapan merendahkan.Pangeran Valari adalah orang yang paling menikmati penyiksaan ini. Setiap hari, Valari akan datang, bukan untuk menginspeksi kuda, melainkan untuk melontarkan hinaan dan menumpuk pekerjaan rendahan pada Torin."Bersihkan pelana itu sampai mengkilap, Pangeran," ejek Valari tempo hari, menekan kata 'Pangeran' dengan nada menghina, "Atau kau akan tidur di kandang bersama kuda-kuda bau ini. Ingat, kau tidak lebih dari budak berkepala bangsawan sekarang."Penderitaan Torin bukan hanya fisik—membersihkan kandang, memb
Torin duduk di sisi ranjang ibunya, Aruna, di Pondok Belukar. Sambil membelai rambut putih ibunya.Meskipun Bara Dendam telah menyala, hati Torin saat ini dibanjiri oleh gelombang kesedihan dan rasa bersalah.Bau pengasingan dan penyakit di ruangan itu terasa memuakkan, mendorongnya untuk melarikan diri ke masa lalu, ke saat segalanya belum hancur.Pikirannya melayang jauh, kembali ke masa kecilnya yang penuh cahaya. Ia mengingat ayahnya, Kaisar Theorin seorang pemimpin yang dikagumi di seluruh Kekaisaran Azure.Kaisar Theorin adalah sosok yang gagah, namun hangat dan bijaksana. Ia terkenal karena tawa besarnya dan matanya yang selalu memancarkan kebanggaan saat menatap Torin dan Aruna.Mereka sedang berada dalam perjalanan berburu resmi ke Hutan Gorgo yang lebat dan curam. Saat itu, Torin masih berusia delapan tahun. Kaisar Theorin membawanya dan Aruna, menjauh dari intrik Istana Utama.Torin ingat ayahnya tertawa terbahak-bahak, menggendongnya di pundak sambil menunjuk seekor rusa.
Aruna terbaring di ranjang kayu yang usang. Kulitnya pucat, urat-uratnya terlihat jelas. Ia diserang oleh penyakit aneh yang perlahan-lahan menggerogoti kekuatannya. Bukan demam biasa, melainkan racun yang bekerja lambat dan terencana.Para tabib yang dikirim dari istana utama, yang sebenarnya diperintahkan untuk tidak berbuat banyak, hanya menggeleng putus asa.“Denyut nadinya lemah, Tuan Muda. Ada semacam racun dingin yang menyelimuti seluruh organ. Kami tidak tahu penawarnya,” bisik salah satu tabib, matanya penuh rasa takut, takut ketahuan bahwa ia diperintahkan untuk membiarkan Aruna mati.Torin tahu ini adalah intrik istana. Hanya anggota keluarga mendiang Kaisar yang memiliki akses dan kekejaman untuk melakukan hal serendah ini, memastikan Aruna tidak akan pernah menjadi ancaman politik bagi takhta Pangeran Dharma.Adegan Haru dan Kekhawatiran Sang IbuSaat senja, Torin menyingkirkan para tabib. Ia duduk di sisi ibunya, menggenggam tangannya yang dingin dan kurus. Meskipun baru
VALARI: (Berdiri beberapa langkah dari Torin, menyilangkan tangan, nada suaranya manis namun menusuk) Lihatlah, Tuan Pangeran. Masih saja betah dengan pekerjaan rendahan ini. Ayahku yang agung pasti menangis di alam sana melihat putranya—jika boleh kubilang putra—hidup seperti kasta terendah.TORIN: (Tidak mendongak, terus menggosok dinding, suaranya pelan dan serak) Saya hanya melakukan pekerjaan yang diperintahkan, Putri. Jika Anda tidak ada urusan, tolong tinggalkan tempat ini.VALARI: (Mendekat, mengendus jijik) Oh, 'tolong'? Kau masih berani memerintahku di tanah yang bahkan tidak layak kau pijak? Aku datang karena ada titah. Kau tahu, pengawal istana mengeluh. Katanya, kau terlalu lamban dan lemah untuk membersihkan kandang kuda.TORIN: Saya akan menyelesaikannya. Beri saya waktu.VALARI: (Tertawa kecil, sinis) Waktu? Waktu adalah kemewahan yang tidak kau miliki, Torin. Kau adalah aib yang harus segera diperbaiki. Pengawal... (Ia memberi isyarat kepada salah satu pengawal.)(Pen
Setelah insiden di perpustakaan, Torin merasakan beban yang lebih berat di hatinya. Setiap langkahnya menuju kamar ibunya terasa seperti timah yang menyeret.Ia menemukan Permaisuri Elara terbaring lemah di ranjangnya yang mewah, dikelilingi oleh tabib-tabib istana yang tampak putus asa.Aroma obat-obatan pahit memenuhi ruangan, bercampur dengan bau bunga melati yang diletakkan di samping ranjang—sebuah ironi dari keindahan yang memudar."Yang Mulia Permaisuri, demamnya belum juga turun," bisik seorang tabib tua dengan jenggot perak, suaranya sarat kekhawatiran."Kami sudah mencoba segala ramuan, tapi... penyakit ini seperti tak memiliki akar."Torin mendekat, lututnya lemas. Wajah ibunya pucat pasi, bibirnya kering, dan matanya cekung, namun masih memancarkan kehangatan saat melihat putranya."Torin..." Suara Permaisuri Elara begitu lemah, hampir tak terdengar.Torin berlutut di sisi ranjang, menggenggam tangan ibunya yang dingin. "Ibu," bisiknya, menahan air mata. "Bagaimana perasaa