Share

2

Author: Bhay Hamid
last update Last Updated: 2025-10-03 22:41:06

Setelah insiden di perpustakaan, Torin merasakan beban yang lebih berat di hatinya. Setiap langkahnya menuju kamar ibunya terasa seperti timah yang menyeret.

Ia menemukan Permaisuri Elara terbaring lemah di ranjangnya yang mewah, dikelilingi oleh tabib-tabib istana yang tampak putus asa.

Aroma obat-obatan pahit memenuhi ruangan, bercampur dengan bau bunga melati yang diletakkan di samping ranjang—sebuah ironi dari keindahan yang memudar.

"Yang Mulia Permaisuri, demamnya belum juga turun," bisik seorang tabib tua dengan jenggot perak, suaranya sarat kekhawatiran.

"Kami sudah mencoba segala ramuan, tapi... penyakit ini seperti tak memiliki akar."

Torin mendekat, lututnya lemas. Wajah ibunya pucat pasi, bibirnya kering, dan matanya cekung, namun masih memancarkan kehangatan saat melihat putranya.

"Torin..." Suara Permaisuri Elara begitu lemah, hampir tak terdengar.

Torin berlutut di sisi ranjang, menggenggam tangan ibunya yang dingin. "Ibu," bisiknya, menahan air mata. "Bagaimana perasaan Ibu?"

"Seperti benang yang ditarik, Torin," jawab Permaisuri, senyum tipis terukir di bibirnya.

"Perlahan, namun pasti. Mereka..." Ia terbatuk, genggamannya pada tangan Torin mengerat.

"Mereka telah meracuni kita, Nak. Bukan dengan racun yang membunuh cepat, tapi yang melumpuhkan perlahan, mencabut kekuatan kita."

Torin merasakan amarah menusuk ke ulu hatinya. Penyakit misterius ibunya, yang tak bisa didiagnosis para tabib, kini terasa begitu jelas.

ini adalah intrik jahat Selir Livia dan Valerius, sebuah racun yang bekerja lambat, menggerogoti nyawa ibunya dan menghancurkan semangat mereka.

Saat Torin menatap wajah ibunya yang lelah, bayangan masa lalu yang lebih bahagia melintas di benaknya.

Ia ingat hari-hari ketika Kekaisaran Azure adalah tempat yang penuh tawa dan kehangatan. Ayahnya, Kaisar Theorin, adalah sosok yang agung namun penuh kasih.

Ia adalah seorang pemimpin yang bijaksana, dengan tatapan tajam yang mampu melihat kebenaran, namun juga hati yang hangat bagi rakyat dan keluarganya.

"Ingatkah, Torin," Permaisuri berbisik, seolah membaca pikiran putranya, "bagaimana Ayahmu selalu menuntunmu di taman istana? Ia selalu bilang kau punya mata yang tajam, Nak. Ia selalu bangga padamu."

Torin mengingatnya dengan jelas. Kaisar Theorin akan menggendongnya tinggi-tinggi, menunjuk bintang-bintang dan menceritakan legenda tentang para kaisar agung.

Mereka akan berlatih pedang bersama di halaman istana, tawa Kaisar Theorin memenuhi udara.

"Ayahmu..." Permaisuri menarik napas berat. "Dia mencintai kita berdua, Torin. Dia bermimpi tentang masa depan Azure di tanganmu. Sebuah masa depan yang damai, adil..."

Suara Permaisuri memudar, matanya terpejam sejenak. Torin menggenggam tangannya lebih erat, seolah mencoba menahan ibunya agar tidak pergi.

"Kecelakaan berburu itu..." Torin akhirnya berbisik, kata-kata itu terasa pahit di lidahnya. "Ibu, apakah... apakah Ibu benar-benar percaya itu kecelakaan?"

Permaisuri Elara membuka matanya perlahan, tatapannya kini dipenuhi kesedihan yang mendalam.

"Hati seorang istri merasakan apa yang tak bisa dilihat mata, Torin," jawabnya. "Ayahmu... ia adalah penunggang kuda terhebat di kekaisaran. Pemanah tak tertandingi. Bagaimana mungkin ia terjatuh dari kudanya dan tewas tertusuk panah oleh pemburu tak dikenal, saat ia sedang bersama..." Ia terdiam, tak mampu menyebut nama Valerius.

Torin tak perlu mendengarnya lagi. Firasat buruk yang selalu menghantuinya sejak kecil kini menjadi keyakinan kuat.

Kematian Kaisar Theorin bukanlah kecelakaan, melainkan pembunuhan yang direncanakan dengan rapi.

Sejak saat itu, kekuasaan dan posisi Permaisuri Elara serta dirinya di istana mulai runtuh. Mereka diisolasi, kekayaan mereka dibatasi, dan para loyalis ayah mereka satu per satu disingkirkan.

Melihat penderitaan ibunya, Torin merasakan gelombang tekad yang membara, jauh lebih kuat dari dendam pribadinya.

Torin termenung meratapi dirinya yang sangat bodoh dan sulit untuk membela dirinya sendiri, hal ini membuatnya tidak percaya diri jika bertemu dengan keluarga besar mendiang ayahnya.

“Sial….Sial…torin memaki dirinya yang begitu lemah di sebuah bejana perak yang terisi air, ia melihat dirinya begitu kurus dan tidak bertenaga.”

“Lihatl ah torin betapa lemah dirimu dan betapa tidak bergunanya kamu, bahkan kamu tidak bisa membela dirimu sendiri, bayangan torin berbicara.”

“Wajar saja kamu akan menjadi beban ayah, dan ayah di alam sana sangat kecewa kepada mu, mata torin membelalak dan seolah ia melihat wajah ayahnya di dalam bejana yang sedang bersedih.”

“Sialllllll………….Tidakkkkk…………Teriakan torin menggema di sebuah rumuah tua Kerajaan.”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Balas Dendam Pangeran Bodoh   7

    Selir Livia, dengan kecantikan dingin yang memukau dan senyum tipis penuh rahasia, memegang piala anggur perak.Gaun sutra hitamnya membalut tubuhnya yang ramping, memancarkan aura misteri dan bahaya. Di depannya, Pangeran Valari, setelah perebutan kekuasaan yang berdarah—tertawa puas, kesombongan terpancar dari setiap gerak-geriknya.Jubah kekaisaran yang ia kenakan terasa terlalu longgar, seolah ia belum sepenuhnya pantas memakainya, namun ia memanggulnya dengan angkuh."Anggur malam ini terasa lebih manis, Valari," Livia memulai, suaranya lembut namun memiliki ketajaman baja.Ia bukan hanya selir Kaisar Theorin, tetapi juga dalang di balik "kecelakaan" berburu itu, dan sekarang, permaisuri bayangan di sisi Raja Valeri. "Manisnya kemenangan, bukan?"Valari menyesap anggurnya rakus, matanya menyala dengan nafsu tak terpuaskan. "Tentu saja, bu. Semua berjalan sesuai rencana kita. Si Tikus Bodoh itu, Torin, kini mengurus kuda.Dan Aruna, mantan Permaisuri, meringkuk di kamarnya seperti

  • Balas Dendam Pangeran Bodoh   6

    Sejak kematian Kaisar Theorin, istana berubah menjadi neraka bagi Torin dan ibunya, Permaisuri Aruna. Takhta kini diduduki oleh pamannya, Raja Valeri, adik mendiang Kaisar, dan Torin, putra mahkota yang sah, dicap sebagai 'Pangeran Bodoh'—gelar yang sengaja disematkan untuk membenarkan penindasannya.Kekuasaan dan posisi mereka hanyalah debu. Torin, yang seharusnya berlatih strategi perang dan diplomasi, kini menghabiskan harinya di antara kotoran kuda dan tatapan merendahkan.Pangeran Valari adalah orang yang paling menikmati penyiksaan ini. Setiap hari, Valari akan datang, bukan untuk menginspeksi kuda, melainkan untuk melontarkan hinaan dan menumpuk pekerjaan rendahan pada Torin."Bersihkan pelana itu sampai mengkilap, Pangeran," ejek Valari tempo hari, menekan kata 'Pangeran' dengan nada menghina, "Atau kau akan tidur di kandang bersama kuda-kuda bau ini. Ingat, kau tidak lebih dari budak berkepala bangsawan sekarang."Penderitaan Torin bukan hanya fisik—membersihkan kandang, memb

  • Balas Dendam Pangeran Bodoh   5

    Torin duduk di sisi ranjang ibunya, Aruna, di Pondok Belukar. Sambil membelai rambut putih ibunya.Meskipun Bara Dendam telah menyala, hati Torin saat ini dibanjiri oleh gelombang kesedihan dan rasa bersalah.Bau pengasingan dan penyakit di ruangan itu terasa memuakkan, mendorongnya untuk melarikan diri ke masa lalu, ke saat segalanya belum hancur.Pikirannya melayang jauh, kembali ke masa kecilnya yang penuh cahaya. Ia mengingat ayahnya, Kaisar Theorin seorang pemimpin yang dikagumi di seluruh Kekaisaran Azure.Kaisar Theorin adalah sosok yang gagah, namun hangat dan bijaksana. Ia terkenal karena tawa besarnya dan matanya yang selalu memancarkan kebanggaan saat menatap Torin dan Aruna.Mereka sedang berada dalam perjalanan berburu resmi ke Hutan Gorgo yang lebat dan curam. Saat itu, Torin masih berusia delapan tahun. Kaisar Theorin membawanya dan Aruna, menjauh dari intrik Istana Utama.Torin ingat ayahnya tertawa terbahak-bahak, menggendongnya di pundak sambil menunjuk seekor rusa.

  • Balas Dendam Pangeran Bodoh   4

    Aruna terbaring di ranjang kayu yang usang. Kulitnya pucat, urat-uratnya terlihat jelas. Ia diserang oleh penyakit aneh yang perlahan-lahan menggerogoti kekuatannya. Bukan demam biasa, melainkan racun yang bekerja lambat dan terencana.Para tabib yang dikirim dari istana utama, yang sebenarnya diperintahkan untuk tidak berbuat banyak, hanya menggeleng putus asa.“Denyut nadinya lemah, Tuan Muda. Ada semacam racun dingin yang menyelimuti seluruh organ. Kami tidak tahu penawarnya,” bisik salah satu tabib, matanya penuh rasa takut, takut ketahuan bahwa ia diperintahkan untuk membiarkan Aruna mati.Torin tahu ini adalah intrik istana. Hanya anggota keluarga mendiang Kaisar yang memiliki akses dan kekejaman untuk melakukan hal serendah ini, memastikan Aruna tidak akan pernah menjadi ancaman politik bagi takhta Pangeran Dharma.Adegan Haru dan Kekhawatiran Sang IbuSaat senja, Torin menyingkirkan para tabib. Ia duduk di sisi ibunya, menggenggam tangannya yang dingin dan kurus. Meskipun baru

  • Balas Dendam Pangeran Bodoh   3

    VALARI: (Berdiri beberapa langkah dari Torin, menyilangkan tangan, nada suaranya manis namun menusuk) Lihatlah, Tuan Pangeran. Masih saja betah dengan pekerjaan rendahan ini. Ayahku yang agung pasti menangis di alam sana melihat putranya—jika boleh kubilang putra—hidup seperti kasta terendah.TORIN: (Tidak mendongak, terus menggosok dinding, suaranya pelan dan serak) Saya hanya melakukan pekerjaan yang diperintahkan, Putri. Jika Anda tidak ada urusan, tolong tinggalkan tempat ini.VALARI: (Mendekat, mengendus jijik) Oh, 'tolong'? Kau masih berani memerintahku di tanah yang bahkan tidak layak kau pijak? Aku datang karena ada titah. Kau tahu, pengawal istana mengeluh. Katanya, kau terlalu lamban dan lemah untuk membersihkan kandang kuda.TORIN: Saya akan menyelesaikannya. Beri saya waktu.VALARI: (Tertawa kecil, sinis) Waktu? Waktu adalah kemewahan yang tidak kau miliki, Torin. Kau adalah aib yang harus segera diperbaiki. Pengawal... (Ia memberi isyarat kepada salah satu pengawal.)(Pen

  • Balas Dendam Pangeran Bodoh   2

    Setelah insiden di perpustakaan, Torin merasakan beban yang lebih berat di hatinya. Setiap langkahnya menuju kamar ibunya terasa seperti timah yang menyeret.Ia menemukan Permaisuri Elara terbaring lemah di ranjangnya yang mewah, dikelilingi oleh tabib-tabib istana yang tampak putus asa.Aroma obat-obatan pahit memenuhi ruangan, bercampur dengan bau bunga melati yang diletakkan di samping ranjang—sebuah ironi dari keindahan yang memudar."Yang Mulia Permaisuri, demamnya belum juga turun," bisik seorang tabib tua dengan jenggot perak, suaranya sarat kekhawatiran."Kami sudah mencoba segala ramuan, tapi... penyakit ini seperti tak memiliki akar."Torin mendekat, lututnya lemas. Wajah ibunya pucat pasi, bibirnya kering, dan matanya cekung, namun masih memancarkan kehangatan saat melihat putranya."Torin..." Suara Permaisuri Elara begitu lemah, hampir tak terdengar.Torin berlutut di sisi ranjang, menggenggam tangan ibunya yang dingin. "Ibu," bisiknya, menahan air mata. "Bagaimana perasaa

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status