Di Kekaisaran Azure yang megah, Pangeran Torin adalah seorang bahan tertawaan. Sejak kecil, ia dicap bodoh, lemah, dan tidak pantas menjadi pewaris. Setiap hari adalah neraka baginya, dihina dan ditindas tanpa henti oleh sang adik tiri, Pangeran Valari yang licik dan ambisius. Ibunya, Permaisuri Aruna, merana dalam kesedihan, kesehatannya terus memburuk karena intrik jahat Valari dan ibunya, Selir Livia. Torin menyaksikan semua kehinaan ini, bara dendam diam-diam membakar di dalam hatinya yang terluka. Nasibnya berubah drastis saat ia menemukan sebuah buah persik misterius di tepi hutan kerajaan. Didorong rasa penasaran, Torin memakan buah itu, dan seketika dunianya terbalik! Otaknya yang semula tumpul kini bekerja dengan kecepatan kilat, menyerap pengetahuan dan strategi seperti spons. Ia mendadak memiliki kecerdasan luar biasa, ingatan fotografis, dan keberanian yang tak tergoyahkan. "Pangeran Bodoh" telah tiada, digantikan oleh seorang jenius yang siap melancarkan balas dendam. Diam-diam, Torin mulai menyusun rencana. Ia menghabiskan malam-malamnya berlatih seni pedang di bawah bimbingan Jenderal Arion, jenderal tua yang setia pada mendiang ayahnya. Dengan kecerdasan barunya, Torin berhasil mengungkap jaringan korupsi dan pengkhianatan yang telah merusak Kekaisaran Azure dari dalam. Ia membangun aliansi rahasia dengan Tabib Lyra yang cerdas dan berhati mulia, serta Kapten Rion, kepala pengawal yang akhirnya menyadari potensi Torin yang sebenarnya.
Lihat lebih banyak"Pangeran Torin, Anda tidak makan?" sebuah suara melengking memecah lamunan Torin.
Torin mendongak, matanya yang redup bertemu pandang dengan Pangeran Valari, adik tirinya, yang berdiri di seberang meja dengan seringai licik. Valari memegang sepotong besar daging panggang, gemuknya berkilauan.
"Ah, maafkan saya, Kakak," kata Valari, suaranya dipenuhi sindiran yang manis. "Sepertinya Anda terlalu terpesona dengan hidangan istana sampai lupa bagaimana cara makan."
Tanpa peringatan, Valari mengayunkan tangannya, dan sepotong daging panggang itu meluncur bebas, mendarat dengan bunyi plop di pangkuan Torin.
Minyaknya menyebar, menciptakan noda gelap di jubah Torin yang memang sudah lusuh.
Tawa meledak di seluruh aula. Para bangsawan menunjuk, beberapa menutupi mulut mereka, yang lain terang-terangan mengejek.
"Dasar ceroboh!" bisik seorang wanita bangsawan, suaranya meremehkan.
"Pangeran bodoh memang tidak pantas duduk di sini!" sahut bangsawan lainnya.
Torin hanya menunduk. Tangannya mengepal di bawah meja, tetapi ekspresinya tetap kosong. Dia membiarkan noda itu menyebar, membiarkan tawa itu menusuk. Inilah dirinya, "Pangeran Bodoh" yang selalu dipermalukan.
Valari tersenyum puas. "Ups, maafkan saya, Kakak. Tangan saya licin." Ia pura-pura menyesal, padahal matanya berbinar kemenangan.
"Mungkin Anda harus kembali ke kamar Anda. Terlalu banyak keramaian sepertinya membuat Anda bingung."
****
Beberapa minggu berlalu, namun hidup Torin tak menunjukkan tanda-tanda membaik. Sebaliknya, penghinaan terhadapnya kian menjadi-jadi, seolah Valari tak pernah puas.
Pagi itu, Torin mencoba membaca di perpustakaan kekaisaran, sebuah tempat yang seharusnya memberinya kedamaian.
Ia duduk di sudut terpencil, mencoba memahami gulungan-gulungan kuno yang kini terasa begitu menarik baginya.
Tiba-tiba, suara nyaring Valari menggelegar dari pintu masuk perpustakaan, mengacaukan ketenangan. "Lihat siapa ini! Tikus perpustakaan rupanya!"
Valari tidak sendiri. Di belakangnya, berdiri Pangeran Darien, sepupu mereka yang angkuh, dan Nona Serena, putri seorang bangsawan kaya yang terkenal dengan lidah tajamnya. Mereka adalah antek-antek Valari yang paling setia dalam menyiksa Torin.
"Torin?" Darien menyeringai. "Aku kira perpustakaan ini hanya untuk mereka yang bisa membaca. Jangan-jangan kau hanya membalik halaman kosong, bukan begitu?"
Serena tertawa renyah, menutupi mulutnya dengan kipas. "Atau mungkin ia sedang mencari buku tentang bagaimana cara mengingat namanya sendiri? Kudengar ia sering lupa di mana kamarnya berada!"
Torin menahan napas, tangannya meremas gulungan kertas. Ia ingin membalas, tapi ia harus tetap pada perannya.
"Oh, Serena, jangan terlalu kasar," Valari pura-pura menengahi, namun senyum liciknya tak bisa disembunyikan. Ia mendekat, tangannya meraih gulungan yang sedang dibaca Torin.
"Apa ini? Sejarah Kekaisaran? Ah, betapa mulianya minatmu, Kakak. Sayangnya, buku-buku ini terlalu tebal untuk otakmu yang kecil."
Valari dengan sengaja merobek gulungan itu menjadi dua, lalu melemparkannya ke lantai.
Torin merasakan denyutan amarah di dadanya, tapi ia hanya menunduk.
"Kau tahu, Torin," Valari melanjutkan, suaranya kini lebih lembut tapi menusuk, "ayah kita pasti sangat kecewa melihatmu.
Seorang pewaris yang bahkan tak bisa mempertahankan kehormatannya sendiri. Aku yakin di alam baka sana, ia merasa malu memiliki putra sepertimu."
Kata-kata itu bagai belati yang menusuk langsung ke jantung Torin. Ayahnya. Torin mengepalkan tinju begitu erat hingga kukunya menancap di telapak tangan.
"Aku kasihan pada Permaisuri Elara," tambah Serena, "ia pasti menghabiskan seluruh hidupnya berharap putranya akan tumbuh menjadi seseorang yang berarti. Tapi yang ia dapatkan hanyalah... kau."
"Jangan bicara seperti itu tentang ibuku!" Torin hampir saja membantah, suaranya bergetar. Namun ia berhasil menahannya, hanya bisikan samar yang keluar.
Valari tertawa. "Lihat, ia bahkan tidak bisa membela ibunya sendiri! Bagaimana mungkin orang seperti ini bisa memimpin kekaisaran?" Ia menatap Darien dan Serena.”
"Ia bahkan tidak lebih dari bayangan yang lewat. Benar-benar sampah masyarakat istana."
Valari lalu membungkuk, mensejajarkan wajahnya dengan Torin.
"Dengar, Pangeran Bodoh. Sebaiknya kau tetap di sudutmu, bermain dengan buku-bukumu yang rusak. Karena takhta ini, kehormatan ini, bukan untukmu. Tidak akan pernah."
Dengan tawa merendahkan, Valari, Darien, dan Serena meninggalkan perpustakaan, meninggalkan Torin sendirian di antara gulungan yang berserakan.
Torin tetap di sana, wajahnya kosong, tetapi di dalam hatinya, setiap kata-kata kejam itu tercetak dalam hatinya.
Selir Livia, dengan kecantikan dingin yang memukau dan senyum tipis penuh rahasia, memegang piala anggur perak.Gaun sutra hitamnya membalut tubuhnya yang ramping, memancarkan aura misteri dan bahaya. Di depannya, Pangeran Valari, setelah perebutan kekuasaan yang berdarah—tertawa puas, kesombongan terpancar dari setiap gerak-geriknya.Jubah kekaisaran yang ia kenakan terasa terlalu longgar, seolah ia belum sepenuhnya pantas memakainya, namun ia memanggulnya dengan angkuh."Anggur malam ini terasa lebih manis, Valari," Livia memulai, suaranya lembut namun memiliki ketajaman baja.Ia bukan hanya selir Kaisar Theorin, tetapi juga dalang di balik "kecelakaan" berburu itu, dan sekarang, permaisuri bayangan di sisi Raja Valeri. "Manisnya kemenangan, bukan?"Valari menyesap anggurnya rakus, matanya menyala dengan nafsu tak terpuaskan. "Tentu saja, bu. Semua berjalan sesuai rencana kita. Si Tikus Bodoh itu, Torin, kini mengurus kuda.Dan Aruna, mantan Permaisuri, meringkuk di kamarnya seperti
Sejak kematian Kaisar Theorin, istana berubah menjadi neraka bagi Torin dan ibunya, Permaisuri Aruna. Takhta kini diduduki oleh pamannya, Raja Valeri, adik mendiang Kaisar, dan Torin, putra mahkota yang sah, dicap sebagai 'Pangeran Bodoh'—gelar yang sengaja disematkan untuk membenarkan penindasannya.Kekuasaan dan posisi mereka hanyalah debu. Torin, yang seharusnya berlatih strategi perang dan diplomasi, kini menghabiskan harinya di antara kotoran kuda dan tatapan merendahkan.Pangeran Valari adalah orang yang paling menikmati penyiksaan ini. Setiap hari, Valari akan datang, bukan untuk menginspeksi kuda, melainkan untuk melontarkan hinaan dan menumpuk pekerjaan rendahan pada Torin."Bersihkan pelana itu sampai mengkilap, Pangeran," ejek Valari tempo hari, menekan kata 'Pangeran' dengan nada menghina, "Atau kau akan tidur di kandang bersama kuda-kuda bau ini. Ingat, kau tidak lebih dari budak berkepala bangsawan sekarang."Penderitaan Torin bukan hanya fisik—membersihkan kandang, memb
Torin duduk di sisi ranjang ibunya, Aruna, di Pondok Belukar. Sambil membelai rambut putih ibunya.Meskipun Bara Dendam telah menyala, hati Torin saat ini dibanjiri oleh gelombang kesedihan dan rasa bersalah.Bau pengasingan dan penyakit di ruangan itu terasa memuakkan, mendorongnya untuk melarikan diri ke masa lalu, ke saat segalanya belum hancur.Pikirannya melayang jauh, kembali ke masa kecilnya yang penuh cahaya. Ia mengingat ayahnya, Kaisar Theorin seorang pemimpin yang dikagumi di seluruh Kekaisaran Azure.Kaisar Theorin adalah sosok yang gagah, namun hangat dan bijaksana. Ia terkenal karena tawa besarnya dan matanya yang selalu memancarkan kebanggaan saat menatap Torin dan Aruna.Mereka sedang berada dalam perjalanan berburu resmi ke Hutan Gorgo yang lebat dan curam. Saat itu, Torin masih berusia delapan tahun. Kaisar Theorin membawanya dan Aruna, menjauh dari intrik Istana Utama.Torin ingat ayahnya tertawa terbahak-bahak, menggendongnya di pundak sambil menunjuk seekor rusa.
Aruna terbaring di ranjang kayu yang usang. Kulitnya pucat, urat-uratnya terlihat jelas. Ia diserang oleh penyakit aneh yang perlahan-lahan menggerogoti kekuatannya. Bukan demam biasa, melainkan racun yang bekerja lambat dan terencana.Para tabib yang dikirim dari istana utama, yang sebenarnya diperintahkan untuk tidak berbuat banyak, hanya menggeleng putus asa.“Denyut nadinya lemah, Tuan Muda. Ada semacam racun dingin yang menyelimuti seluruh organ. Kami tidak tahu penawarnya,” bisik salah satu tabib, matanya penuh rasa takut, takut ketahuan bahwa ia diperintahkan untuk membiarkan Aruna mati.Torin tahu ini adalah intrik istana. Hanya anggota keluarga mendiang Kaisar yang memiliki akses dan kekejaman untuk melakukan hal serendah ini, memastikan Aruna tidak akan pernah menjadi ancaman politik bagi takhta Pangeran Dharma.Adegan Haru dan Kekhawatiran Sang IbuSaat senja, Torin menyingkirkan para tabib. Ia duduk di sisi ibunya, menggenggam tangannya yang dingin dan kurus. Meskipun baru
VALARI: (Berdiri beberapa langkah dari Torin, menyilangkan tangan, nada suaranya manis namun menusuk) Lihatlah, Tuan Pangeran. Masih saja betah dengan pekerjaan rendahan ini. Ayahku yang agung pasti menangis di alam sana melihat putranya—jika boleh kubilang putra—hidup seperti kasta terendah.TORIN: (Tidak mendongak, terus menggosok dinding, suaranya pelan dan serak) Saya hanya melakukan pekerjaan yang diperintahkan, Putri. Jika Anda tidak ada urusan, tolong tinggalkan tempat ini.VALARI: (Mendekat, mengendus jijik) Oh, 'tolong'? Kau masih berani memerintahku di tanah yang bahkan tidak layak kau pijak? Aku datang karena ada titah. Kau tahu, pengawal istana mengeluh. Katanya, kau terlalu lamban dan lemah untuk membersihkan kandang kuda.TORIN: Saya akan menyelesaikannya. Beri saya waktu.VALARI: (Tertawa kecil, sinis) Waktu? Waktu adalah kemewahan yang tidak kau miliki, Torin. Kau adalah aib yang harus segera diperbaiki. Pengawal... (Ia memberi isyarat kepada salah satu pengawal.)(Pen
Setelah insiden di perpustakaan, Torin merasakan beban yang lebih berat di hatinya. Setiap langkahnya menuju kamar ibunya terasa seperti timah yang menyeret.Ia menemukan Permaisuri Elara terbaring lemah di ranjangnya yang mewah, dikelilingi oleh tabib-tabib istana yang tampak putus asa.Aroma obat-obatan pahit memenuhi ruangan, bercampur dengan bau bunga melati yang diletakkan di samping ranjang—sebuah ironi dari keindahan yang memudar."Yang Mulia Permaisuri, demamnya belum juga turun," bisik seorang tabib tua dengan jenggot perak, suaranya sarat kekhawatiran."Kami sudah mencoba segala ramuan, tapi... penyakit ini seperti tak memiliki akar."Torin mendekat, lututnya lemas. Wajah ibunya pucat pasi, bibirnya kering, dan matanya cekung, namun masih memancarkan kehangatan saat melihat putranya."Torin..." Suara Permaisuri Elara begitu lemah, hampir tak terdengar.Torin berlutut di sisi ranjang, menggenggam tangan ibunya yang dingin. "Ibu," bisiknya, menahan air mata. "Bagaimana perasaa
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Komen