Share

Mulai akrab

Begitu turun dari taksi, Thalita melihat Diko yang seperti kebingungan mencari seseorang. Saat Thalita akan menghampiri, Diko yang berdiri membelakanginya malah berteriak seperti orang yang sedang frustrasi. Akhirnya Thalita memberanikan diri melangkah menghampiri Diko.

“Pak Diko, kenapa teriak-teriak di sini?”

Flashback Off...

Joe melihat kebersamaan Thalita dan Diko dari kejauhan lalu menghampiri mereka seraya berkata, “Apa ini yang menjadi alasan kamu selalu menolak untuk pergi denganku?” tanya Joe tanpa basa basi. “Kamu tahu kalau aku sayang sama kamu, tapi kamu selalu saja menghindar. Dan sekarang kamu malah berpelukan dengan bos kamu sendiri dan dilihat oleh semua karyawan kantor, apa kamu tidak merasa malu? Kamu seperti wanita tidak benar saja,” tukasnya kemudian merasa kesal.

Thalita hanya terdiam, tidak menyangka Joe tega mengatakan hal seperti itu padanya.

“Jaga bicara kamu ya, untuk apa kami harus malu? Kami tidak merugikan siapa pun. Kalau kamu memang sayang dengan Thalita seharusnya kamu mengerti kondisi dia, bukan malah menyimpulkan sepihak tanpa tahu kondisi yang sebenarnya,” potong Diko seraya menunjuk ke arah muka Joe. “Ayo pergi Thalita,” ajak Diko seraya menggandeng tangan Thalita untuk mengikutinya pergi.

Joe tak bisa berkata lagi, ia tidak ingin dipecat hanya karena melawan perintah sang CEO. “Aku tidak akan menyerah untuk mendapatkan kamu Thalita,” janjinya dalam hati seraya mengepalkan kedua tangan.

**

“Untuk apa sih kamu punya teman toxic seperti itu, pria seperti itu apa masih pantas kamu jadikan kekasih?” tukas Diko meremehkan. “Kalau menurut saya lebih baik kamu jauhi dia,” sarannya kemudian.

“Dia bukan kekasih saya dan saya juga tidak ada niat untuk berpacaran saat ini, jadi ya biarkan saja dia begitu,” sahut Thalita dengan santai seraya membuka laptopnya dan kembali bekerja.

“Ini perempuan hatinya terbuat dari apa sih, sudah disakiti begitu masih saja tidak merasa apa-apa,” batin Diko seraya menatap tajam ke arah Thalita.

Sadar sedang diperhatikan, Thalita melirik ke arah Diko. “Bapak kenapa menatap saya seperti harimau mau menerkam mangsanya begitu? Seram sekali, Pak,” ujarnya bergidik ngeri.

“Mana ada harimau tampan seperti saya begini?” tanya Diko dengan percaya diri.

Kemudian mereka saling melihat satu sama lain dan beberapa detik kemudian ruangan Diko pecah oleh suara gelak tawa mereka berdua. Diko merasa senang dan lebih ringan dalam menjalani hidup karena sejak mengenal Thalita, ia mulai menemukan tawanya yang dulu sempat hilang sejak kepergian Dara.

“Saya senang akhir-akhir ini Bapak mulai banyak tertawa, tidak seperti biasanya muka tegang terus apa tidak capek Pak? Upps,” Thalita menutup mulutnya. “Maaf Pak saya tidak berbicara dengan formal tadi.”

“Tidak, tidak papa. Kalau tidak ada orang lain, lebih baik kita bicaranya santai saja ya. Biar lebih akrab saja,” pinta Diko merasa lebih santai.

“Tapi Pak, saya takut keceplosan nanti langsung dipecat sama Bapak,” sindir Thalita.

“Hmm, kamu menyindir saya ya. Sudah saya putuskan mulai sekarang, kalau tidak ada orang lain dilarang berbicara formal dan kamu cukup panggil saya Diko tidak pakai, Pak. Kamu mengerti?” perintah Diko tak terbantahkan.

“Tapi Pak Diko....”

“Bisa tidak setiap saya kasih perintah jangan ditolak pakai tapi-tapi.”

“Iya ... iya ya sudah maaf ya Pak Diko, maaf maksud saya Di— Diko,” ujar Thalita mengalah.

Diko tersenyum puas, karena Thalita mau menuruti permintaannya.

“Sudah selesai kan, boleh aku antar kamu pulang?” tanya Diko meminta izin.

“Saya ... eh, aku sudah biasa pesan taksi online sih, memang kamu tidak papa kalau mengantarku? Rumahku jauh, nanti kamu pulangnya kemalaman,” tolak Thalita.

“Tuh kan, selalu menolak ajakan bos yang berusaha bersikap baik ini,” ujar Diko merasa kecewa.

“Ya sudah iya, kamu boleh antar aku pulang ya. Senang kan?” tanya Thalita merasa kesal karena Diko selalu memaksanya.

“Sangat-sangat senang,” jawab Diko seraya tersenyum dengan lebar.

Sebenarnya Diko enggan ke rumah Thalita karena ia tidak ingin bertemu dengan Dara. Tapi ia harus ke sana jika ingin berdamai dengan masa lalunya. Untuk itu ia memberanikan diri mengantar Thalita pulang agar bisa bertemu Dara dan menyelesaikan masa lalu mereka yang sampai saat ini masih mengganjal di hati Diko.

**

Waktu menunjukkan pukul 08.00 malam saat Diko tiba untuk mengantar Thalita ke rumahnya. Rumah yang cukup sederhana untuk ditinggali oleh lima orang anggota keluarga. Namun terasa hangat dan damai karena adanya rasa kasih sayang antar keluarga yang membuat suasana rumah terasa nyaman untuk siapa pun yang datang berkunjung.

“Jadi di sini Dara tinggal sekarang, bersama keluarga kecilnya. Aku harus mengambil kesempatan untuk bisa berbicara dengannya, tapi apa ini waktu yang tepat,” batin Diko seraya mengamati rumah Thalita dari luar.

“Terima kasih ya Pak, maaf maksud aku Diko. Terima kasih sudah mengantar aku pulang. Apa kamu mau mampir?” tawar Thalita.

“Apa boleh?” tanya Diko balik.

“Tentu saja boleh, itu pun kalau kamu mau.”

“Baiklah, aku parkir di sini ya mobilnya,” ujar Diko dan dijawab dengan anggukan oleh Thalita. Lalu mereka berdua pun turun bersama dari mobil.

Saat akan masuk ke dalam rumah, Dara sedang menggendong Daniel yang sejak tadi rewel lalu ia membawanya ke luar rumah untuk menenangkan anaknya. Tanpa ia duga dirinya bertemu lagi dengan mantan kekasihnya, Diko.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Suzana Razak
interesting story
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status