Begitu turun dari taksi, Thalita melihat Diko yang seperti kebingungan mencari seseorang. Saat Thalita akan menghampiri, Diko yang berdiri membelakanginya malah berteriak seperti orang yang sedang frustrasi. Akhirnya Thalita memberanikan diri melangkah menghampiri Diko.
“Pak Diko, kenapa teriak-teriak di sini?”Flashback Off...Joe melihat kebersamaan Thalita dan Diko dari kejauhan lalu menghampiri mereka seraya berkata, “Apa ini yang menjadi alasan kamu selalu menolak untuk pergi denganku?” tanya Joe tanpa basa basi. “Kamu tahu kalau aku sayang sama kamu, tapi kamu selalu saja menghindar. Dan sekarang kamu malah berpelukan dengan bos kamu sendiri dan dilihat oleh semua karyawan kantor, apa kamu tidak merasa malu? Kamu seperti wanita tidak benar saja,” tukasnya kemudian merasa kesal.Thalita hanya terdiam, tidak menyangka Joe tega mengatakan hal seperti itu padanya.“Jaga bicara kamu ya, untuk apa kami harus malu? Kami tidak merugikan siapa pun. Kalau kamu memang sayang dengan Thalita seharusnya kamu mengerti kondisi dia, bukan malah menyimpulkan sepihak tanpa tahu kondisi yang sebenarnya,” potong Diko seraya menunjuk ke arah muka Joe. “Ayo pergi Thalita,” ajak Diko seraya menggandeng tangan Thalita untuk mengikutinya pergi.Joe tak bisa berkata lagi, ia tidak ingin dipecat hanya karena melawan perintah sang CEO. “Aku tidak akan menyerah untuk mendapatkan kamu Thalita,” janjinya dalam hati seraya mengepalkan kedua tangan.**“Untuk apa sih kamu punya teman toxic seperti itu, pria seperti itu apa masih pantas kamu jadikan kekasih?” tukas Diko meremehkan. “Kalau menurut saya lebih baik kamu jauhi dia,” sarannya kemudian.“Dia bukan kekasih saya dan saya juga tidak ada niat untuk berpacaran saat ini, jadi ya biarkan saja dia begitu,” sahut Thalita dengan santai seraya membuka laptopnya dan kembali bekerja.“Ini perempuan hatinya terbuat dari apa sih, sudah disakiti begitu masih saja tidak merasa apa-apa,” batin Diko seraya menatap tajam ke arah Thalita.Sadar sedang diperhatikan, Thalita melirik ke arah Diko. “Bapak kenapa menatap saya seperti harimau mau menerkam mangsanya begitu? Seram sekali, Pak,” ujarnya bergidik ngeri.“Mana ada harimau tampan seperti saya begini?” tanya Diko dengan percaya diri.Kemudian mereka saling melihat satu sama lain dan beberapa detik kemudian ruangan Diko pecah oleh suara gelak tawa mereka berdua. Diko merasa senang dan lebih ringan dalam menjalani hidup karena sejak mengenal Thalita, ia mulai menemukan tawanya yang dulu sempat hilang sejak kepergian Dara.“Saya senang akhir-akhir ini Bapak mulai banyak tertawa, tidak seperti biasanya muka tegang terus apa tidak capek Pak? Upps,” Thalita menutup mulutnya. “Maaf Pak saya tidak berbicara dengan formal tadi.”“Tidak, tidak papa. Kalau tidak ada orang lain, lebih baik kita bicaranya santai saja ya. Biar lebih akrab saja,” pinta Diko merasa lebih santai.“Tapi Pak, saya takut keceplosan nanti langsung dipecat sama Bapak,” sindir Thalita.“Hmm, kamu menyindir saya ya. Sudah saya putuskan mulai sekarang, kalau tidak ada orang lain dilarang berbicara formal dan kamu cukup panggil saya Diko tidak pakai, Pak. Kamu mengerti?” perintah Diko tak terbantahkan.“Tapi Pak Diko....”“Bisa tidak setiap saya kasih perintah jangan ditolak pakai tapi-tapi.”“Iya ... iya ya sudah maaf ya Pak Diko, maaf maksud saya Di— Diko,” ujar Thalita mengalah.Diko tersenyum puas, karena Thalita mau menuruti permintaannya.“Sudah selesai kan, boleh aku antar kamu pulang?” tanya Diko meminta izin.“Saya ... eh, aku sudah biasa pesan taksi online sih, memang kamu tidak papa kalau mengantarku? Rumahku jauh, nanti kamu pulangnya kemalaman,” tolak Thalita.“Tuh kan, selalu menolak ajakan bos yang berusaha bersikap baik ini,” ujar Diko merasa kecewa.“Ya sudah iya, kamu boleh antar aku pulang ya. Senang kan?” tanya Thalita merasa kesal karena Diko selalu memaksanya.“Sangat-sangat senang,” jawab Diko seraya tersenyum dengan lebar.Sebenarnya Diko enggan ke rumah Thalita karena ia tidak ingin bertemu dengan Dara. Tapi ia harus ke sana jika ingin berdamai dengan masa lalunya. Untuk itu ia memberanikan diri mengantar Thalita pulang agar bisa bertemu Dara dan menyelesaikan masa lalu mereka yang sampai saat ini masih mengganjal di hati Diko.**Waktu menunjukkan pukul 08.00 malam saat Diko tiba untuk mengantar Thalita ke rumahnya. Rumah yang cukup sederhana untuk ditinggali oleh lima orang anggota keluarga. Namun terasa hangat dan damai karena adanya rasa kasih sayang antar keluarga yang membuat suasana rumah terasa nyaman untuk siapa pun yang datang berkunjung.“Jadi di sini Dara tinggal sekarang, bersama keluarga kecilnya. Aku harus mengambil kesempatan untuk bisa berbicara dengannya, tapi apa ini waktu yang tepat,” batin Diko seraya mengamati rumah Thalita dari luar.“Terima kasih ya Pak, maaf maksud aku Diko. Terima kasih sudah mengantar aku pulang. Apa kamu mau mampir?” tawar Thalita.“Apa boleh?” tanya Diko balik.“Tentu saja boleh, itu pun kalau kamu mau.”“Baiklah, aku parkir di sini ya mobilnya,” ujar Diko dan dijawab dengan anggukan oleh Thalita. Lalu mereka berdua pun turun bersama dari mobil.Saat akan masuk ke dalam rumah, Dara sedang menggendong Daniel yang sejak tadi rewel lalu ia membawanya ke luar rumah untuk menenangkan anaknya. Tanpa ia duga dirinya bertemu lagi dengan mantan kekasihnya, Diko.Setelah mendudukkan Thalita di samping Diko, pak Tio segera mengambil tempat di depan calon menantunya itu. Beliau yang akan menjadi wali nikah langsung untuk putri tersayangnya. Bapak penghulu mempersilakan Diko menjabat tangan pak Tio untuk bersiap mengucap ijab kabul.“Saya nikahkan dan saya kawinkan engkau Diko Argawinata bin Arya Argawinata dengan putri saya Thalita Aurelia binti Tio Leandro dengan mas kawin berupa emas sebesar 1794 gram dibayar tunai,” ucap pak Tio dengan tegas.“Saya terima nikah dan kawinnya Thalita Aurelia binti Tio Leandro dengan mas kawin berupa emas sebesar 1794 gram dibayar tunai,” jawab Diko mantap dengan satu tarikan napas.“Bagaimana para saksi?” tanya pak penghulu.“SAH!!” jawab Adrian dan para saksi lainnya dengan kompak.“Alhamdulillah,” ucap syukur semua orang yang hadir di ruangan itu.Thalita dan Diko turut mengucap syukur dalam hati atas kelancaran ijab kabul mereka. Diko merasakan kelegaan yang luar biasa setelah berhasil mengucapkan ijab
Diko mendekap Thalita dalam pelukan hangatnya, melepas segala rasa rindu yang telah keduanya pendam karena keegoisan mereka selama ini.“Aku masih merasa seperti mimpi, bisa memeluk kamu kembali setelah semua yang kita lewati selama ini. Terima kasih ya kamu mau menerimaku lagi,” ucap Diko seraya mengeratkan pelukannya pada wanita yang sangat ia rindukan.Thalita menghirup dalam-dalam aroma tubuh yang selama satu tahun ini sangat dirindukannya. “Aku pun masih merasa seperti mimpi, kalau pun ini memang mimpi aku rela terjebak selamanya asal bersama kamu di dalamnya,” ucapnya membuat pria di hadapannya tersenyum bahagia.Diko mengurai pelukan mereka. “Sejak kapan kamu jadi pintar menggombal?” godanya membuat pipi Thalita bersemu merah.“Siapa yang menggombal? Aku hanya membalas perkataan kamu saja,” elak Thalita seraya memunggungi Diko lalu mengulum senyumnya.Diko memeluk gadis itu dari belakang, yang merupakan pelukan favoritnya. “Kamu tahu tidak, aku paling suka memeluk kamu sep
“Maksud Mas apa? Mas Adrian tidak mencintaiku?” tukas Thalita.Adrian tersenyum getir. “Harusnya aku yang bertanya seperti itu ke kamu. Kamu tidak pernah mencintaiku kan? Aku tahu di hati kamu hanya ada namanya, bahkan meski kamu membencinya kamu masih menyimpan syal pemberiannya. Kamu tidak pernah sedikit pun bisa menghapus dia dari hati kamu, sekeras apa pun aku mencoba membuat kamu mencintaiku. Aku tetap tidak bisa,” lirihnya dengan mata berkaca-kaca.Air mata menetes begitu saja membasahi pipi Thalita. “Mas, tolong dengarkan aku dulu, aku sudah berusaha Mas. Aku akan belajar mencintai kamu, tapi tolong beri aku waktu,” pintanya.“Belajar mencintaku? Sampai kapan? Satu tahun lebih aku berusaha sabar menunggu waktu itu tiba, bahkan sampai dia kembali kamu tetap tidak bisa mencintai aku kan?” cecar Adrian.Thalita menutup wajah dengan kedua tangannya, menumpahkan tangisnya di sana. “Maafkan aku, Mas,” lirihnya.Adrian berjalan menghampiri Thalita, mengusap kepala gadis itu dan m
Meski hatinya merasa nyaman, Thalita berusaha keras agar tidak kembali pada perasaan yang telah membuatnya hancur. Ia telah melangkah maju dan tidak ingin mengingat masa lalu yang hanya akan menghambat masa depannya. Namun apa daya, ia tak bisa mengendalikan perasaannya. Meski cinta Adrian begitu besar padanya, namun tetap tak mampu merobohkan dinding cintanya untuk Diko. Hingga saat ini cinta itu masih sama, berapa kali pun gadis itu menyangkal perasaannya.Adrian pun menyadari itu, tatapan yang tak pernah ia dapatkan dari Thalita saat gadis itu menatap pada Diko. Seperti saat ini, mereka telah selesai menghadiri rapat bulanan yang diadakan oleh kantor Xander Corporation. ARGA Advertising yang merupakan rekan bisnis pun turut hadir untuk mempresentasikan hasil kerja sama antara mereka.“Sayang,” panggil Adrian lembut, membuat Thalita menoleh padanya.Saat ini Thalita, Adrian, dan Diko tengah duduk bersama di ruangan kerja Adrian untuk membahas hasil kerja perusahaan mereka seusa
“Adrian?”“Iya Diko ini aku Adrian, kakakmu,” sahut Adrian dengan tersenyum ramah. “Jadi selama ini—“ Diko tidak sanggup meneruskan ucapannya.“Maaf aku tidak bisa memberi tahu kamu di awal pertemuan kita, karena waktu itu aku belum bisa menerima papa Arya tapi sejak papa Arsene meninggal aku menjadi sebatang kara. Kemudian papa Arya dan mama Aulia datang dengan sabar mereka selalu menemaniku dan berusaha menjadi orang tua yang baik untukku. Sejak itu aku baru bisa menerima mereka sebagai ganti orang tuaku,” kata Adrian menjelaskan. “Lalu untuk apa kamu mengambil perusahaanku?” tukas Diko masih tak terima.“Aku bukan mengambilnya, aku hanya membantumu mengembangkannya. Dan sekarang kamu bisa menikmati hasilnya bukan?” Diko beranjak dari duduknya. “Lalu kekasihku? Apa bisa kamu kembalikan juga?” tanyanya kemudian.Adrian menggeleng cepat. “Thalita sudah bukan kekasihmu lagi, dia tunanganku. Dia juga bukan barang yang bisa kamu minta kembali, salahmu sendiri telah menyia-nyiak
Waktu sudah menunjukkan pukul 05.00 sore saat mereka keluar dari area pemakaman.“Lapar tidak sayang? Kita makan yuk,” ajak Adrian saat mereka sudah berada dalam mobil.“Lumayan sih, Mas.”“Oke kita makan ya, aku ingin mengajak kamu ke tempat makan favoritku,” kata Adrian antusias seraya melajukan mobilnya.Thalita hanya mengangguk dan tersenyum.Tak butuh waktu lama, 15 menit kemudian Adrian memarkirkan mobilnya di pinggir jalan lalu mengajak Thalita untuk turun dan berjalan ke sebuah tempat makan yang merupakan langganannya.“Bang, biasa ya kali ini 2 porsi tapi,” kata Adrian sambil melirik lalu tersenyum ke arah Thalita.“Siap Mas, silakan duduk dulu ya,”Lalu Thalita dan Adrian pun memilih tempat duduk tanpa meja tepat di sebelah rombong yang bertuliskan ‘Nasi Goreng Jawa Mantap’. Seperti namanya, makanan yang disajikan memang sangat mantap dan menggoyang lidah siapa pun yang memakannya. Meski hanya kios di pinggiran jalan, namun rasanya tak kalah dibanding restoran mahal