Share

Merasa kehilangan

“Terima kasih Pak Diko atas makan siangnya, lain kali tolong izinkan saya yang membayar ya Pak,” pinta Thalita sesampainya mereka di ruangan Diko.

“Jadi kita akan makan bersama lagi?” tanya Diko antusias.

“Eh, bukan begitu maksud saya, maksudnya kalau Bapak minta ganti rugi lain kali saya yang traktir.”

“Ya ... kalau begitu saya minta ganti ruginya dengan makan malam saja, bagaimana?” tawar Diko.

“Tapi jangan malam ini ya Pak, saya sudah ada janji.”

“Saya tidak mau ada penolakan, nanti malam sepulang kerja saya tunggu di parkiran mobil. Ingat jangan sampai terlambat, karena saya tidak suka menunggu,” perintah Diko tak terbantahkan.

Thalita merasa tidak terima dengan sikap Diko yang merasa memiliki semua kuasa atas dirinya, seakan ia adalah kekasihnya. Ia juga ingin bebas pergi dengan temannya yang lain. Tapi Diko selalu saja melarangnya dengan berbagai alasan dan ancaman tentu saja. Hal itu membuat Thalita tak bisa bersabar lagi kali ini.

“Saya ini hanya karyawan Anda Pak, Anda boleh mengatur saya jika itu berhubungan dengan pekerjaan. Tapi di luar itu, kita bukan siapa-siapa. Jadi Bapak tidak berhak mengatur kehidupan saya. Selama ini saya sudah cukup bersabar dengan semua sikap Bapak yang seakan-akan kekasih saya, selalu melarang saya ini dan itu. Saya juga punya kehidupan sendiri Pak, jadi saya minta tolong dengan sangat jangan campuri kehidupan pribadi saya lagi. Kalau Bapak merasa saya tidak sopan kali ini silakan Bapak pecat saya saja, saya minta maaf,” ujar Thalita melampiaskan semua yang ia pendam selama ini, ia sudah lelah dengan sikap Diko kepadanya. Jika memang harus dipecat wanita itu sudah pasrah, seraya berdoa Tuhan akan memberikan pengganti pekerjaan yang lebih baik untuknya.

Mendengar ungkapan hati Thalita membuat Diko tersadar bahwa selama ini ia sudah terlewat batas. Namun memang itu tujuannya bukan, membuat siapa pun yang berhubungan dengan Dara akan menderita. Entah mengapa kali ini ia merasa lain, hatinya sakit saat Thalita mengatakan ‘Jangan campuri lagi urusan pribadi saya, kita bukan siapa-siapa’, kata-kata itu terus terngiang dalam kepala Diko membuat hatinya merasakan sakit yang Thalita rasakan.

Ia tak tahu mengapa ia merasakan itu, apakah ia mulai jatuh hati pada Thalita? Rencananya gagal total. Ia ingin membuat Thalita jatuh hati padanya malah sekarang ia yang berbalik menaruh hati pada sekretarisnya itu.

Tak ingin kehilangan perempuan itu, Diko segera menyusul Thalita ke ruangannya namun tak ia temukan. Tasnya pun tidak ada di tempat biasa Thalita menaruhnya, hatinya semakin kalut ia pun segera berlari ke luar kantor untuk mencari Thalita.

Diko mencari ke sekeliling kantor tapi belum juga bertemu dengan Thalita, ia mencoba menelepon tapi tak kunjung mendapat jawaban juga dari wanita itu.

“Kamu ke mana sih Thalita, semarah itukah kamu karena ucapanku tadi. Argh!!” seru Diko frustrasi.

“Pak Diko, kenapa teriak-teriak di sini?” tanya Thalita yang berjalan dari belakang menghampiri Diko.

“Thalita ... kamu tidak jadi pergi?” tanya Diko seraya berbalik menghadap Thalita.

Thalita menggeleng. “Jam kantor kan belum selesai Pak, maaf tadi saya pergi sebentar karena ...” belum sempat menyelesaikan kalimatnya, Diko langsung memeluk Thalita seakan takut wanita itu menghilang lagi darinya.

Thalita yang merasa terkejut, hanya bisa terdiam sejenak mencoba mencerna perlakuan bosnya, untuk apa bosnya memeluk dirinya? Di depan kantor? Tentu saja banyak yang menyaksikan mereka berdua. Sebagian langsung bergunjing karena Diko tidak pernah terlihat bersama wanita, apalagi sekarang yang ia peluk adalah sekretarisnya. Sebagian lagi sangat senang melihat mereka seperti sepasang kekasih yang saling melepas rindu.

“Maaf Pak Diko, tolong jangan seperti ini,” pinta Thalita seraya melepas pelukan Diko.

“Ah ya, saya yang seharusnya meminta maaf. Saya kira tadi kamu ... pergi, saya mau meminta maaf kalau perkataan saya tadi menyinggung perasaan kamu ya,” kata Diko tulus.

Thalita menggeleng. “Tidak apa-apa Pak, saya juga tadi terbawa emosi makanya sampai terucap kata-kata itu. Tolong jangan pecat saya ya Pak,” pinta Thalita.

Diko tersenyum, senyuman itu sangat manis. Senyuman yang belum pernah Thalita lihat sebelumnya. Itulah pertama kali Thalita melihat Diko bisa tersenyum, apalagi dengan dirinya yang hanya seorang sekretaris.

“Saya juga masih butuh kamu, karena pekerjaan kita masih banyak malam ini kita lembur ya,” perintah Diko.

“Baik Pak Diko saya siap,” sahut Thalita dengan semangat dan mereka pun tertawa bersama.

Itulah pertama kali keduanya tertawa bersama, Diko merasa hatinya menghangat ketika bisa tertawa bersama Thalita. Ia tidak menyangka sekretaris yang selama ini ia jadikan objek balas dendam bisa membuat hatinya merasa di penuhi kedamaian.

**

Flashback On...

Thalita sedang dalam perjalanan untuk pulang ke rumahnya, hatinya sangat sakit karena perkataan bosnya tadi. Tapi ia tidak bisa egois, ia masih membutuhkan pekerjaan. Demi ayahnya, ia harus meredam egonya dan kembali bekerja untuk Diko.

“Apa yang aku katakan tadi ya, tidak seharusnya tadi aku bicara seperti itu. Kalau dia benar memecat aku bagaimana nasib ayah nanti? Aku harus kembali dan meminta maaf sama pak Diko,” batin Thalita. “Pak, tolong putar balik ke kantor tadi ya,” katanya pada sopir taksi.

“Baik Bu.” Taksi pun berputar balik lalu melaju kembali ke arah kantor ARGA Advertising.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status