“Apa lukanya parah?” tanya Thalita dengan panik.“Sebaiknya kamu ke sini dulu, biar dokter yang jelaskan nanti ya. Kamu hati-hati,” pesan Diko.Tanpa menjawab, Thalita mematikan sambungan teleponnya lalu berlari memanggil Dara dan Vino untuk memberi tahu kondisi ayah mereka.“Kita ke sana sekarang, Dara kamu di rumah saja ya jaga Daniel. Biar aku dan Thalita yang ke rumah sakit. Ayo cepat Thalita,” ajak Vino lalu mengambil kunci mobilnya.“Iya Mas, kalian hati-hati ya. Kabari aku kalau ada perkembangan apa pun tentang ayah,” pesan Dara.Vino dan Thalita segera memasuki mobil dan pergi ke rumah sakit yang diinfokan oleh Diko.**Sesampainya di rumah sakit, Thalita dan Vino berlari menuju tempat Diko yang masih menunggu ayah mereka di depan IGD.“Bagaimana keadaan ayahku, Diko?” tanya Thalita dengan panik.Diko mengedikkan bahunya. “Masih belum tahu, dokter belum keluar dari tadi.”“Kamu tahu siapa penabraknya?” tanya Vino kemudian.Diko menggeleng. “Waktu aku sampai di sana
Kembali ke rumah sakit, pak Tio sudah dipindahkan ke ruang perawatan. Pak Tio sempat sadar dan mengetahui bahwa dirinya saat ini dinyatakan lumpuh sementara oleh dokter. Kenyataan itu membuatnya semakin pesimis dalam menjalani hidup, belum lagi penyakit jantung yang ia derita semakin menambah beban pikiran untuknya. Dengan setia Thalita dan Vino merawat serta menjaga ayah mereka, memberinya kekuatan dan motivasi agar ayah mereka tidak terpuruk dalam keadaan.“Kak Vino pulang saja, beri kabar pada kak Dara sekalian bawakan baju ayah nanti. Biar aku yang berjaga di sini.”“Iya Dek, kamu tidak papa kan kalau kakak tinggal sendiri?” tanya Vino memastikan.“Thalita tidak sendiri Kak Vino, aku yang akan menemani dia berjaga malam ini,” sahut Diko yang tiba-tiba datang seraya membawa makanan dan buah-buahan.“Syukurlah ada kamu Diko, terima kasih ya kamu selalu datang di waktu yang tepat. Oh ya untuk biaya rumah sakit ayah terima kasih ya sudah kamu bantu, sesegera mungkin akan kami gant
Tiga bulan berlalu...Thalita sedang berdiri di tepi pantai dengan mata tertutup menunggu Diko yang pamit sebentar mengambilkan sesuatu untuknya.“Diko ... aku sudah boleh membuka mata belum?” panggilnya namun tak ada jawaban dari siapa pun. Hanya debur ombak yang menemani Thalita sore itu, wanita itu masih setia menunggu seraya memejamkan matanya sesuai dengan instruksi dari kekasihnya.Tak lama kemudian, Diko datang dengan membawa dua buah es krim coklat kesukaan Thalita ditangannya. “Maaf sudah membuat kamu menunggu lama ya, sekarang buka mata kamu,” pinta Diko yang berdiri di belakang Thalita seraya mengacungkan es krimnya tepat di depan wajah Thalita.Thalita membuka matanya perlahan, senyuman mengembang tercetak jelas di wajahnya begitu melihat es krim favoritnya ada di depan mata. “Wah ... terima kasih,” ujarnya berusaha mengambil es krim dari tangan Diko.“Eits!” seru Diko menjauhkan es krim dari jangkauan Thalita. “Bayar dulu ya,” ucapnya.Thalita mengerutkan dahinya. “
Diko mengambil sesendok bubur untuk Daniel dan bersiap menyuapi. “Buka mulutnya ya sayang, pesawat datang ... Aaaak,” ujarnya sambil melayangkan sendoknya seperti sebuah pesawat membuat Daniel ikut membuka mulut, kesempatan itu digunakan Diko untuk memasukkan sesendok bubur pada mulut mungil Daniel yang senang disuapi olehnya tanpa perlawanan sedikit pun.Thalita mengelap ujung bibir Daniel yang belepotan terkena bubur. “Enak kan Sayang, sepertinya kamu butuh suasana yang segar ya.”“Iya nih, kasihan tadi sampai menangis begitu. Sekarang dia senang sekali, syukurlah. Lanjut lagi ya makannya sayang,” kata Diko lalu mengambil sesuap bubur lagi untuk Daniel.Tak butuh waktu lama bagi Thalita dan Diko untuk menyuapi Daniel, dalam waktu kurang dari 10 menit semangkuk bubur itu telah tandas tak bersisa. Kemudian Dara dan Vino menghampiri mereka, keduanya merasa senang dengan adanya Thalita dan Diko yang sangat membantu mengurus Daniel.“Sepertinya kalian sudah sangat siap menjadi orang
Setelah pulang dari berlibur bersama keluarga, Thalita dan Diko harus kembali pada rutinitas mereka di kantor ARGA Advertising. Baru saja menenangkan pikiran dari padatnya jadwal pekerjaan, kini mereka harus dihadapkan pada situasi yang cukup serius. Perusahaan itu terancam akan bangkrut lantaran penjualan mereka yang kian menurun sangat drastis. Sebagai CEO, Diko sudah mengantisipasi semua ini namun ada orang dalam yang dengan curangnya telah menjual beberapa data perusahaan pada pesaing bisnis ARGA Advertising.Pagi ini Diko mengumpulkan para petinggi perusahaan untuk menggelar rapat darurat guna membahas masalah yang tengah perusahaan hadapi sekarang.“Bagaimana semua ini bisa terjadi? Setiap rapat selalu saya ingatkan untuk tingkatkan keamanan penyimpanan data-data penting perusahaan, lalu kenapa sekarang bisa sampai ada yang menyebarkan data kita? Apa ada yang bisa menjelaskan semua ini?” tanya Diko dengan penuh amarah, matanya meneliti satu persatu karyawannya. Tatapan manik
Thalita dan Diko segera berdiri bersamaan dengan masuknya Adrian ke dalam ruangan Diko.“Selamat siang Bapak Diko Argawinata, perkenalkan saya Adrian Alexander dari Xander Corporation,” sapa Adrian seraya mengulurkan tangannya. “Dan kita pernah bertemu sebelumnya, Anda ingat?” tanyanya tersenyum ramah.Diko termenung sejenak kemudian ia menjabat tangan Adrian. “Ya tentu saya ingat, pertemuan pertama kita bulan lalu dalam perebutan tender milik Adelard Corporation,” sahut Diko dengan tatapan yang tajam.“Benar sekali dan tender itu dimenangkan oleh perusahaan kami,” ujar Adrian dengan senyum menyeringai. “Lalu nona manis ini?” Uluran tangannya berpindah pada Thalita.Thalita melirik Diko yang mengangguk sekilas lalu menerima jabat tangan Adrian. “Saya Thalita, sekretaris Pak Diko.”“Wah, Anda punya sekretaris yang cantik rupanya. Pantas saja, ide-ide yang anda hasilkan sangat brilliant,” puji Adrian masih enggan melepas jabat tangan dan pandangan yang tak lepas dari Thalita.Sege
“Maaf tadi kami berbincang sebentar,” sahut Thalita sekenanya. “Sebentar? Hampir 20 menit,” kata Diko seraya melirik jam di pergelangan tangannya. “Perusahaan Adrian tidak terlibat dengan semua ini Diko.” “Dari mana kamu tahu?” tanya Diko seraya membenarkan posisi duduknya dan menyilangkan kedua tangannya di depan dada. “Ya dia yang bilang padaku dan dari yang dia bicarakan aku rasa dia jujur,” kata Thalita lalu menghempaskan dirinya di kursi depan meja Diko. “Baru bertemu tapi sepertinya kamu sangat mengenal dia ya,” ujar Diko merasa cemburu. “Aku hanya menyampaikan apa yang aku lihat Diko, tolonglah jangan libatkan pribadi kita dalam masalah ini,” kata Thalita tegas. “Baik ... aku minta maaf, lalu Joe bekerja sama dengan siapa kalau begitu?” tanya Diko lalu melipat tangannya di atas meja. Thalita mengedikkan bahunya. “Aku juga tidak tahu, itu yang harus kita selidiki,” ucapnya. ** Diko pulang ke rumah dengan perasaan yang bercampur aduk, ia sangat marah pada dirinya karena
Thalita kembali ke kantor saat menjelang jam makan siang hampir tiba, segera Cya menghampirinya untuk menyampaikan beberapa hal yang telah Thalita lewatkan karena mengantar Diko ke bandara tadi.“Thalita ... kamu itu dari mana saja? Kamu tahu tidak banyak hal yang kamu lewatkan seharian ini,” cecar Cya begitu Thalita baru memasuki ruangan kerjanya.Thalita duduk di kursinya lalu melepas syal dan meletakkan tas serta syal tadi di tempatnya. “Memangnya ada apa?” tanyanya setenang mungkin.“Kamu tahu tidak, Joe sudah ditangkap oleh polisi karena kasus pencurian data perusahaan. Ternyata selama ini dia mendekati kamu ada tujuan tertentu ya, secara kamu sekretaris CEO,” celoteh Cya.Thalita merasa bahwa itu bukan berita besar untuknya. “Lalu, apa lagi?”“Lalu ... kalau aku tidak salah dengar tadi kamu di cari sama CEO yang baru. Yang tampannya beda tipis dengan pak Diko itu loh, hehe” goda Cya seraya terkekeh pelan.Thalita melirik jam di pergelangan tangannya. “Pantas saja, dia kan