Elena membalut punggungnya dengan perban steril, lalu memakai kembali hanfu hijau mudanya. Tubuhnya terasa jauh lebih baik dan kuat, siap menghadapi perjalanan panjang ke istana yang berbahaya.Namun pengobatan bukan satu-satunya tujuan Elena membuka ruang spasialnya. Matanya menyapu deretan botol-botol berisi ekstrak tanaman dan bahan herbal terkonsentrasi yang tersimpan di bagian penelitian farmakologi.Di sana ada berbagai macam ekstrak yang bisa digunakan untuk keperluan khusus.Elena mengambil sebuah botol kecil berisi serbuk kecoklatan yang terlihat seperti rempah biasa.Serbuk itu adalah ekstrak jelatang terkonsentrasi yang telah diproses dengan teknologi modern, menghasilkan konsentrasi zat iritan yang sangat tinggi.Dalam dosis tepat, ekstrak itu akan menyebabkan ruam dan luka yang sangat menyakitkan, berlangsung berbulan-bulan, namun tidak mematikan.Elena tersenyum keji sambil mengamati serbuk coklat itu dengan mata yang berkilat jahat.Bayangan wajah Maya dan Lina yang can
Suara gemuruh roda kereta dan derap kuda terdengar semakin jelas dari halaman depan mansion. Suara itu diikuti oleh langkah-langkah tegas para pengawal istana dan suara kasim Lu yang lantang memerintah persiapan penjemputan."Putri bangsawan dari keluarga terhormat Jenderal Arka Wirawan," teriak kasim Lu dari luar dengan suara yang penuh kewibawaan. "Kereta istana Yang Mulia Pangeran Mahkota sudah siap untuk berangkat."Elena mendengar suara itu dengan tenang, seolah mendengar undangan pesta biasa. Matanya menatap ke arah halaman tempat kereta istana yang megah berhenti dengan dikawal puluhan penjaga berkuda.Pelayan Ratmi berlutut di hadapan Elena dengan mata berkaca-kaca. "Nona, ini adalah kesempatan terakhir. Hamba mohon dengan sangat, mari kita kabur melalui hutan belakang sebelum terlambat."Elena menyentuh kepala Pelayan Ratmi dengan lembut. "Bibi Ratmi yang setia, putri tahu bahwa ayah sedang bertugas di perbatasan utara. Itulah mengapa Maya dan Lina bisa sewenang-wenang sepert
Fajar menyingsing dengan cahaya keemasan yang lembut menembus celah-celah jendela kayu tua di kamar sederhana Elena.Sinar matahari pagi yang hangat membentuk garis-garis tipis di lantai batu yang dingin, menciptakan kontras dengan suasana mencekam yang menyelimuti seluruh mansion Jenderal Arka Wirawan sejak dini hari.Elena duduk di tepi tempat tidur kayu yang keras dengan postur tegak seperti patung. Tubuhnya masih terasa nyeri dari luka cambukan kemarin, namun matanya menatap tajam ke arah lemari kayu sederhana yang berdiri di sudut kamar.Lemari itu berisi koleksi pakaian milik Elena yang asli, gadis malang yang tubuhnya kini ditempatinya.Pintu kamar terbuka perlahan dengan bunyi engsel yang berderit pelan. Pelayan Ratmi masuk dengan langkah hati-hati sambil membawa baskom air hangat dan handuk putih yang sudah agak kusam.Wajahnya terlihat pucat dan mata sembabnya menunjukkan bahwa ia tidak tidur semalaman karena kecemasan yang luar biasa."Nona Elena yang mulia," bisik Pelayan
Pelayan Ratmi menghampiri Elena dengan langkah yang sangat hati-hati, lalu berlutut di hadapannya sambil meletakkan nampan berisi semangkuk bubur hangat dan obat-obatan herbal. Tangannya gemetar hebat karena ketakutan dan kecemasan yang luar biasa."Nona yang mulia," kata Pelayan Ratmi sambil menundukkan kepala dalam-dalam dengan hormat. "Hamba mendengar dengan tidak sengaja percakapan Nyonya Maya dan Nona Lina tadi malam yang sangat mengerikan.""Mereka berencana mengirim Nona ke istana Pangeran Mahkota Surya Wijaya sebagai calon selir pengganti Nona Lina yang seharusnya pergi ke sana," lanjut Pelayan Ratmi dengan suara yang semakin bergetar ketakutan. "Kereta istana sudah dalam perjalanan kemari untuk menjemput."Elena mendengarkan dengan tenang yang mengejutkan, seolah kabar mengerikan itu hanyalah berita cuaca biasa. Tangannya terangkat perlahan untuk menyentuh bahu Pelayan Ratmi dengan gerakan yang penuh hormat dan ketenangan yang aneh.Pelayan Ratmi mengangkat wajahnya yang puca
Mereka berdua menatap ke arah sayap belakang mansion dengan tatapan yang penuh kepuasan dan kebencian. Di sana, Elena dikurung dalam kamar sempit yang dingin dan gelap, tubuhnya masih lemah dan penuh luka setelah hukuman cambuk yang brutal kemarin.Maya membayangkan dengan detail yang menyenangkan hatinya: Elena terbaring menggigil di lantai istana yang dingin seperti es. Tubuhnya akan terkubur tanpa nama, tanpa upacara, di pemakaman selir-selir yang terlupakan, seperti boneka rusak yang dibuang setelah tidak berguna lagi."Esok hari ketika fajar menyingsing, hamba akan mengirim utusan ke istana," kata Maya sambil mengusap kaca jendela dengan jari telunjuknya yang berhias cincin emas mahal. "Menyatakan bahwa keluarga terhormat Wirawan dengan bangga menyerahkan putri sulung sebagai calon selir yang taat."Lina membayangkan dirinya duduk megah dan anggun di samping Romy Limbara yang tampan dan kaya. Gaun pengantin sutra emas dengan bordir naga dan phoenix akan menyelimuti tubuhnya, mahk
Malam telah tenggelam dalam kegelapan di mansion megah Jenderal Arka Wirawan yang terletak di ujung bukit yang sunyi. Keheningan malam hanya dipecah oleh suara jangkrik dan angin yang berdesir melalui dedaunan bambu di taman belakang mansion.Di lantai dua mansion, ruang pribadi Maya Tanaka dipenuhi kemewahan yang menyilaukan mata namun menyimpan hawa dingin yang mencekam. Dinding ruangan dilapisi sutra merah marun dengan motif naga emas, lantai dari kayu jati yang dipoles halus hingga mengkilap seperti cermin.Furnitur ukir rosewood yang sangat mahal tersebar di seluruh ruangan, namun semua kemewahan itu tidak bisa menutupi aroma busuk kebencian yang menguar dari hati kedua perempuan yang sedang duduk di dalamnya. Aroma dupa mawar dan melati yang menyengat sengaja dinyalakan untuk menutupi bau logam dan pahit yang samar menguar dari botol-botol kecil tersembunyi di lemari obat.Maya Tanaka duduk dengan anggun di kursi ukir phoenixnya, gaun tidur sutra ungu berkilau menutupi tubuhnya