Dicampakkan, direbut cintanya, dan di ambang kematian… Takdir Elena berputar. Sebuah kekuatan gaib menghubungkannya dengan roh seorang wanita perkasa dari masa depan. Kini... Elena modern, sang ahli Farmasi dan jago bela diri modern, dan dengan kekuatan baru yang luar biasa, ia akan membalaskan dendam, merebut kembali takhtanya, dan mengungkap rahasia kelam keluarga yang telah menghancurkannya.
View MoreMalam itu, tubuh Elena tergeletak di halaman rumah Jenderal Arka Wirawan, rambutnya kusut seperti tinta tumpah. Bulan sabit menggantung tajam di langit, menerangi wajah yang disangka mayat.
Namun kelopak matanya perlahan terbuka, dan ia mendengar jelas bisikan mereka yang yakin ia sudah tidak bernyawa.
Kesadaran datang seperti bilah baja yang membelah gelap. Nyeri singkat menghantam kepalanya lalu reda, berganti kejernihan asing yang menusuk.
Sejenak sebelumnya, di tempat yang sangat jauh, di waktu yang berbeda, tahun 2025, seorang dokter farmasi bernama Elena Wirawan ambruk di laboratoriumnya. Wanita yang bulan lalu baru saja memenangkan kejuaraan dunia beladiri itu tiba-tiba saja berhenti bernapas.
Serangan jantung mendadak, begitu diagnosis rekan-rekannya, meski tidak ada yang percaya tubuh sekuat itu bisa menyerah begitu mudah.
Tapi kematian ternyata bukan akhir dari segalanya. Entah bagaimana, jiwa sang juara itu terseret melintasi waktu, menembus batas yang tidak bisa dijelaskan logika, dan mendarat tepat di saat gadis sembilan belas tahun bernama sama, Elena Wirawan, yang menghembuskan napas terakhirnya.
Gadis malang yang diracun perlahan dengan arsenik oleh keluarganya sendiri.
Kini jiwa dari masa depan itu menempati tubuh dari masa lalu. Elena bukan lagi gadis lemah yang mereka hina, melainkan jiwa baru yang bangkit di tubuh lama, membawa tekad untuk membalikkan naskah yang sudah ditulis atas namanya.
"Sudah waktunya." Suara Maya Tanaka terasa halus dan dingin sekaligus. "Bunga yang layu sebaiknya dipetik sebelum mencemari taman."
Cahaya obor memantul di gaun hijau emerald Maya. Senyum di bibirnya tampak tipis, seolah belas kasih, padahal mata itu tenang seperti permukaan danau yang menutup bangkai.
Di sisi lain berdiri Lina Tanaka, kepala sedikit miring, jemari menyentuh ujung kipas yang tidak ia butuhkan malam ini.
"Ayah akan merasa lebih tenang bila rumah ini dijaga oleh mereka yang kuat dan berguna." Ucapannya terdengar seperti doa, padahal lebih dekat pada doa syukur atas kejatuhan orang lain.
Tidak jauh dari situ, Diana Aditya menunduk. Pelayan yang telah dua dekade menyusuri lorong-lorong rumah ini menahan getar suaranya. "Nyonya, apakah saya perlu menyiapkan cerita yang sesuai untuk Tuan Jenderal?"
"Kau paham kebutuhan rumah ini, Diana." Maya tidak menoleh. "Katakan saja putri itu lalai pada lentera. Api tidak menyukai kecerobohan."
Di gerbang kebun yang menutup halaman, Rian Santoso berdiri tegap. Mantel pengawal menggantung rapi, pedang di pinggangnya memantulkan sinar.
"Ketenangan malam ini akan saya pastikan, Nyonya." Kata-katanya tertata, tapi tatapannya tidak berani menyentuh tubuh yang terbaring.
Elena mendengar nama-nama itu bergema. Maya, Lina, Diana, Rian. Setiap suku kata datang membawa ingatan asing yang masuk begitu saja seperti hujan di tanah kering. Ingatan gadis yang tubuhnya kini ia tempati mengalir deras, bercampur dengan ingatannya sendiri dari tahun 2025.
Kilasan lain menyergap. Sirene laboratorium, cahaya putih yang pecah, sejenak hampa, lalu kesadaran baru yang tajam di tempat yang sama sekali berbeda.
Dr. Elena Wirawan, ahli farmakologi sekaligus atlet beladiri peraih podium dunia, kini berada dalam tubuh gadis sembilan belas tahun yang ironisnya memakai nama yang sama, Elena Wirawan. Luka dan aib gadis itu, kini juga menjadi miliknya.
Ingatan menyeruak. Elena lama adalah anak sah dari istri pertama. Ibunya mati diracun dengan arsenik oleh selir yang kemudian naik menjadi nyonya utama. Maya Tanaka, wanita yang kini berdiri di hadapannya dengan obor di tangan, adalah pembunuh ibunya. Dan Lina, gadis yang memanggil Elena dengan sebutan kakak, adalah anak bawaan Maya yang kini menduduki posisi yang seharusnya milik Elena.
Sejak kematian ibunya, segalanya terbalik. Anak bawaan selir menduduki kursi utama, sementara Elena tersingkir, dihina diam-diam, dipaksa meneguk teh beracun, dan setiap hari menghadapi senyum palsu yang menyembunyikan kebencian. Hingga malam ini, mereka pikir racun arsenik yang mereka berikan perlahan-lahan akhirnya berhasil membunuhnya.
Kini Elena tahu pasti, rumah besar ini bukan tempat aman, melainkan sarang penindasan. Setiap cangkir teh adalah ancaman, setiap senyum adalah kedok, dan setiap perintah sopan hanyalah cara halus untuk merendahkannya.
Maya mengangkat obor lebih tinggi. Api itu bergoyang, bayangannya memanjang di dinding batu seperti lidah yang hendak menjilat.
"Tidurlah, anakku. Dunia ini terlalu berat untuk pundak yang halus."
Lina menunduk sambil merapikan gaunnya. "Ia tampak damai, Ibu. Mungkin ini jalan yang terbaik."
Diana meletakkan kaleng minyak kosong di dekat tubuh Elena. "Semua sudah siap," bisiknya. Rian hanya diam, tapi sepatu botnya sempat bergerak, lalu berhenti lagi.
Tiba-tiba Elena menarik napas panjang. Bahunya terangkat, matanya terbuka lebar. Tatapan coklat gelap itu kini dingin dan jernih.
Suasana mendadak hening, jangkrik pun seperti berhenti bersuara.
Bersambung
Pelayan Ratmi menghampiri Elena dengan langkah yang sangat hati-hati, lalu berlutut di hadapannya sambil meletakkan nampan berisi semangkuk bubur hangat dan obat-obatan herbal. Tangannya gemetar hebat karena ketakutan dan kecemasan yang luar biasa."Nona yang mulia," kata Pelayan Ratmi sambil menundukkan kepala dalam-dalam dengan hormat. "Hamba mendengar dengan tidak sengaja percakapan Nyonya Maya dan Nona Lina tadi malam yang sangat mengerikan.""Mereka berencana mengirim Nona ke istana Pangeran Mahkota Surya Wijaya sebagai calon selir pengganti Nona Lina yang seharusnya pergi ke sana," lanjut Pelayan Ratmi dengan suara yang semakin bergetar ketakutan. "Kereta istana sudah dalam perjalanan kemari untuk menjemput."Elena mendengarkan dengan tenang yang mengejutkan, seolah kabar mengerikan itu hanyalah berita cuaca biasa. Tangannya terangkat perlahan untuk menyentuh bahu Pelayan Ratmi dengan gerakan yang penuh hormat dan ketenangan yang aneh.Pelayan Ratmi mengangkat wajahnya yang puca
Mereka berdua menatap ke arah sayap belakang mansion dengan tatapan yang penuh kepuasan dan kebencian. Di sana, Elena dikurung dalam kamar sempit yang dingin dan gelap, tubuhnya masih lemah dan penuh luka setelah hukuman cambuk yang brutal kemarin.Maya membayangkan dengan detail yang menyenangkan hatinya: Elena terbaring menggigil di lantai istana yang dingin seperti es. Tubuhnya akan terkubur tanpa nama, tanpa upacara, di pemakaman selir-selir yang terlupakan, seperti boneka rusak yang dibuang setelah tidak berguna lagi."Esok hari ketika fajar menyingsing, hamba akan mengirim utusan ke istana," kata Maya sambil mengusap kaca jendela dengan jari telunjuknya yang berhias cincin emas mahal. "Menyatakan bahwa keluarga terhormat Wirawan dengan bangga menyerahkan putri sulung sebagai calon selir yang taat."Lina membayangkan dirinya duduk megah dan anggun di samping Romy Limbara yang tampan dan kaya. Gaun pengantin sutra emas dengan bordir naga dan phoenix akan menyelimuti tubuhnya, mahk
Malam telah tenggelam dalam kegelapan di mansion megah Jenderal Arka Wirawan yang terletak di ujung bukit yang sunyi. Keheningan malam hanya dipecah oleh suara jangkrik dan angin yang berdesir melalui dedaunan bambu di taman belakang mansion.Di lantai dua mansion, ruang pribadi Maya Tanaka dipenuhi kemewahan yang menyilaukan mata namun menyimpan hawa dingin yang mencekam. Dinding ruangan dilapisi sutra merah marun dengan motif naga emas, lantai dari kayu jati yang dipoles halus hingga mengkilap seperti cermin.Furnitur ukir rosewood yang sangat mahal tersebar di seluruh ruangan, namun semua kemewahan itu tidak bisa menutupi aroma busuk kebencian yang menguar dari hati kedua perempuan yang sedang duduk di dalamnya. Aroma dupa mawar dan melati yang menyengat sengaja dinyalakan untuk menutupi bau logam dan pahit yang samar menguar dari botol-botol kecil tersembunyi di lemari obat.Maya Tanaka duduk dengan anggun di kursi ukir phoenixnya, gaun tidur sutra ungu berkilau menutupi tubuhnya
Maya yang melihat keraguan Jenderal langsung melangkah maju. "Tuan Jenderal, bukankah hukuman harus diselesaikan? Demi keadilan?""Benar, ayah," tambah Lina dengan nada yang dibuat-buat prihatin. "Elena sendiri sudah menerima keputusan ini dengan lapang dada."Jenderal Arka menatap putrinya yang masih berdiri tegak meski berlumuran darah. "Elena, ayah tidak sanggup melihat ini.""Pergilah, ayah," Elena berkata dengan suara yang lembut namun tegas. "Ini terlalu berat untuk seorang ayah yang baik seperti ayah."Konflik batin Jenderal Arka mencapai puncaknya. Dia memutar tubuh dengan cepat, tidak sanggup lagi melihat darah putrinya sendiri."Pengawal Rian, selesaikan tugasmu," ucapnya dengan suara parau sebelum melangkah cepat menuju mansion.Maya bertukar pandang dengan Lina. Mata mereka berkilat dengan sesuatu yang jahat. Inilah kesempatan yang mereka tunggu-tunggu."Pengawal Rian," panggil Maya dengan suara yang tiba-tiba berubah keras. "Berikan cambuk itu padaku."Pengawal Rian terke
Fajar yang dingin menyapa mansion Jenderal Wirawan dengan helaian salju tipis yang mulai turun dari langit kelabu.Halaman depan mansion yang biasanya tenang kini dipenuhi para pelayan yang berkumpul dalam keheningan. Wajah mereka menunjukkan ketegangan dan ketidaknyamanan.Mereka dipaksa menyaksikan eksekusi hukuman yang akan dilaksanakan pagi ini.Elena berdiri dengan tenang di tengah halaman. Tubuhnya terikat pada tiang kayu yang telah disiapkan khusus untuk hukuman cambuk.Hanfu putih yang dikenakannya semalam kini terlihat kontras dengan salju yang mulai menumpuk di tanah. Napasnya keluar dalam bentuk uap putih. Ekspresi wajahnya tetap tenang seperti permukaan danau yang membeku.Dalam hati, Elena tersenyum pahit. Sebagai seorang ahli farmakologi dari tahun 2025 yang telah bertransmigrasi ke tubuh ini, dia tahu persis bagaimana mengendalikan rasa sakit.Teknik meditasi dan penguasaan sistem saraf yang dipelajarinya di dunia modern membuatnya mampu memblokir sinyal nyeri. Belum la
Tiga hari telah berlalu sejak insiden di ruang makan, dan mansion Jenderal Wirawan terbungkus dalam ketegangan yang mencekam. Setiap pelayan bergerak dengan hati-hati, berbisik pelan, dan menghindari kontak mata dengan siapapun.Pintu utama mansion terbuka dengan keras, menghasilkan gema yang mengguncang seluruh bangunan. Jenderal Arka Wirawan memasuki rumahnya dengan langkah berat yang autoritatif.Seragam militernya berdebu dan kusam, wajahnya lelah setelah perjalanan panjang dari perbatasan utara. Namun aura kekuasaannya masih memancar kuat seperti harimau yang baru pulang dari perburuan.Maya dan Lina, yang semula merasa terpojok selama tiga hari terakhir, kini melihat kesempatan emas. Mereka dengan cepat mengubah ekspresi mereka, mempersiapkan pertunjukan terbaik dalam hidup mereka."Suami yang terhormat!" Maya berlari menghampiri Jenderal dengan langkah yang sengaja dibuat terhuyung. Air mata palsu sudah disiapkan dengan sempurna di sudut matanya, mengalir dengan waktu yang tepa
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments