Share

Langkah ke Aula.

Author: Jimmy Chuu
last update Last Updated: 2025-09-21 21:32:37

Tanpa ragu sedikitpun, ia juga mengambil sepotong kue osmantus dan memakannya dengan lahap. Ia mengunyah perlahan untuk menikmati setiap gigitan yang lembut dan manis.

Kue itu lembut dan manis di lidah, dengan aroma bunga osmantus yang khas menyebar di mulutnya. Teksturnya sempurna, menunjukkan keahlian juru masak istana yang tidak tertandingi.

Mathilda hanya bisa menelan ludah berkali-kali sambil menatap iri. Ia menahan keinginan yang membakar untuk ikut mencicipi kemewahan itu.

"Mathilda," kata Yesica sambil mengelap sudut bibirnya dengan sapu tangan sutra halus yang berbordir bunga-bunga kecil. "Atur kembali rambutku dan pastikan setiap helai berada di tempatnya."

"Aku ingin terlihat sempurna tanpa cacat sedikit pun saat berhadapan dengan Pangeran Surya nanti malam," lanjutnya dengan mata berkilat ambisi. "Ini malam yang akan mengubah hidupku selamanya."

Sementara Mathilda sibuk menata rambutnya dengan gerakan hati-hati, Yesica memandang pantulannya di cermin dengan mata yang berki
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Balas Dendam Sang Dokter Ahli Farmakologi   Kunci ke Kamar Pangeran.

    Elena menuliskan nama-nama guru seni istana yang ia dengar dari gosip para pelayan, beserta reputasi dan harga mereka. Kebanyakan terlalu mahal dan terlalu berisiko, karena mereka akan melaporkan setiap murid baru kepada Selir Wanda."Ada cara lain," gumam Elena sambil menatap tulisannya. "Cara yang tidak akan menarik perhatian.""Cara apa, Nona?"Elena tidak langsung menjawab. Pikirannya kembali ke Paviliun Bunga Teratai, ke lampion merah yang bergoyang, ke musik yang merdu, dan ke tawa-tawa pramuria yang terlatih dalam seni merayu."Besok," katanya akhirnya, "kita akan kembali ke kota. Ada sesuatu yang perlu kuatur."Ratmi menatap Elena dengan mata yang penuh pertanyaan, tetapi ia tidak bertanya lebih lanjut. Ia sudah cukup lama bersama Elena untuk tahu bahwa ketika Elena membuat keputusan, tidak ada yang bisa mengubahnya.Matahari merekah, mucnul di ufuk Timur, sinarnya tampak hangat di luar jendela.Cahaya keemasan mulai menyusup masuk, menandai dimulainya hari baru. Tetapi bagi E

  • Balas Dendam Sang Dokter Ahli Farmakologi   Janji Dendam di Bawah Salju.

    Dalam mimpi, Elena berdiri di halaman belakang mansion Jenderal Arka Wirawan. Tempat yang sama di mana tubuh ini pernah tergeletak hampir mati, dikelilingi oleh keluarga yang berkhianat.Salju tipis menutupi tanah, meski Elena tidak merasakan dingin. Obor-obor di pilar batu berkeredap dengan cahaya yang redup, menciptakan bayangan yang bergerak seperti makhluk hidup. Di kejauhan, nama Arka Wirawan terukir di batu besar, tanda kekuasaan yang kini terasa sangat jauh."Kau datang," kata sebuah suara dari belakang.Elena berbalik. Di sana, berdiri seorang gadis muda dengan gaun lusuh yang sudah robek di beberapa bagian. Wajahnya pucat seperti mayat, bibirnya kebiruan, dan matanya yang cekung menatap Elena dengan campuran harap dan putus asa.Elena mengenali wajah itu. Wajah yang ia lihat setiap kali menatap cermin, tetapi dengan ekspresi yang sangat berbeda. Ini adalah Elena yang asli. Pemilik tubuh ini sebelum jiwa dari 2025 masuk dan mengambil alih."Kau," bisik Elena dengan suara yang

  • Balas Dendam Sang Dokter Ahli Farmakologi   Tubuh yang Bukan Milikku.

    Kereta berderak pelan memasuki gerbang istana ketika senja hampir sepenuhnya tertelan malam. Elena duduk dalam diam, jari-jarinya meraba ujung lengan hanfu hijau mudanya yang kini berdebu tipis dari perjalanan pasar. Matanya menatap kosong ke luar jendela kereta, tetapi pikirannya tidak berada di sana.Lampion merah Paviliun Bunga Teratai masih membayang di retinanya seperti luka bakar yang tidak kunjung pudar. Setiap kali ia berkedip, bayangan itu muncul kembali dengan detail yang menyakitkan: susunan lampion yang rapi, gerbang megah dengan ukiran naga, papan nama yang bertuliskan nama Maya Tanaka dengan tinta emas yang berkilat."Nona," panggil Ratmi dengan suara pelan sambil menyentuh lengan Elena. "Kita sudah sampai."Elena tersentak kecil, seolah baru menyadari bahwa kereta telah berhenti di depan Kompleks Barat. Ia turun dengan gerakan yang lambat, kakinya terasa berat meskipun perjalanan tidak terlalu jauh.Udara malam di kompleks terasa lebih dingin dari biasanya. Kain-kain je

  • Balas Dendam Sang Dokter Ahli Farmakologi   Paviliun Bunga Teratai

    Minggu berikutnya, Elena berdiri di gerbang istana bersama Ratmi. Mereka sudah mendapat izin khusus untuk keluar, lengkap dengan surat bertanda tangan Tabib Handoko dan stempel kasim kepala.Kereta sederhana mengantar mereka melintasi jalan-jalan ibukota yang ramai. Udara berbeda dari istana, lebih hangat, lebih hidup, dipenuhi suara pedagang yang berteriak, anak-anak yang bermain, dan musik dari berbagai paviliun hiburan.Pasar herbal terletak di distrik timur, sebuah area yang dipenuhi toko-toko kecil dengan atap genteng merah dan papan nama yang bergoyang tertiup angin. Aroma rempah-rempah memenuhi udara, bercampur dengan bau tanah basah dan asap dari tungku-tungku yang menyala di belakang toko."Nona, ke toko mana kita pergi dulu?" tanya Ratmi sambil memegang daftar bahan yang diberikan Handoko.Elena menatap sekeliling dengan mata yang waspada. "Kita mulai dari toko yang paling tua. Biasanya mereka punya stok bahan langka yang tidak dijual di toko-toko baru."Mereka berjalan meli

  • Balas Dendam Sang Dokter Ahli Farmakologi   Murid Rahasia Sang Tabib

    Handoko berjalan mendekat dan merebut pisau itu dengan gerakan yang cepat, seolah takut istrinya akan berubah pikiran. Ia menatap Karmila dengan mata yang penuh campuran amarah, ketakutan, dan sesuatu yang mungkin menyerupai rasa sayang."Jangan pernah lakukan itu lagi," katanya dengan suara yang bergetar. "Mengerti?"Karmila mengangguk sambil menghapus air matanya. "Aku mengerti."Senja semakin gelap di luar jendela. Cahaya jingga berubah menjadi ungu kebiruan yang perlahan ditelan kegelapan malam. Di Kompleks Barat, jauh dari rumah Tabib Handoko, Elena duduk dengan tenang di kursi kecilnya sambil menyesap teh hangat.Kamarnya diterangi oleh satu lilin yang menyala di atas meja, menciptakan cahaya yang lembut dan hangat. Ratmi sedang merapikan kain-kain di sudut ruangan ketika pintu tiba-tiba terbuka dengan tergesa.Ratmi masuk dengan napas yang terengah, wajahnya berseri meski lelah. "Nona Elena," katanya sambil berhenti di tengah ruangan. "Kabar gembira."Elena meletakkan cangkirny

  • Balas Dendam Sang Dokter Ahli Farmakologi   Ultimatum Karmila

    Senja merayap perlahan di balik jendela kisi bambu yang sudah usang, mewarnai ruang kerja Tabib Handoko dengan cahaya jingga keemasan yang menerobos celah-celah sempit. Aroma herbal kering memenuhi udara, bercampur dengan bau kayu tua dan asap tipis dari tungku kecil yang menyala redup di sudut ruangan.Karmila berdiri di ambang pintu dengan napas yang tertahan. Tangannya meremas ujung lengan hanfu abu-abunya hingga kain itu kusut, mencerminkan kegugupan yang sudah menggerogoti sejak pagi tadi. Di dalam ruangan, Tabib Handoko duduk di hadapan meja panjang yang dipenuhi botol-botol kaca berisi cairan berwarna-warni, tumpukan daun kering, akar-akaran yang sudah dikeringkan, dan berbagai ramuan yang baunya menyengat.Suaminya itu sedang meracik sesuatu dengan gerakan yang terukur, tangannya yang kurus namun percaya diri menuangkan bubuk hijau ke dalam mangkuk tanah liat. Cahaya senja membuat bayangan panjang di wajahnya yang keriput, menegaskan garis-garis keseriusannya."Handoko," pangg

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status