Share

Bab 113

Author: perdy
last update Last Updated: 2025-06-21 23:56:31

Cahaya pagi menyinari meja konferensi oval di ruang rapat eksekutif, tempat Nayla duduk bersama tim senior untuk membahas fenomena pertumbuhan yang pesat. Whiteboard penuh dengan nama perusahaan, timeline, dan proyeksi pendapatan—visualisasi dari momentum yang terjadi secara alami.

“Tim,” Nayla memulai dengan suara yang tenang namun tegas, “dalam seminggu terakhir kita menerima 73 permintaan konsultasi. Ini momentum yang luar biasa, tapi kita harus sangat hati-hati dalam menanggapinya.”

Dika mengangkat tablet, menampilkan data terbaru. "Bu Nayla, ada tren yang menarik. 68% dari pertanyaan datang dengan pertanyaan yang sama: 'Bagaimana pendekatan Mahardika berbeda dari penyedia sebelumnya?' Mereka tidak langsung bertanya tentang teknis atau harga."

Raya, Head of Business Development, menambahkan, "Dan yang lebih menarik lagi, sebagian besar dari mereka menyebutkan bahwa mereka mencari 'kemitraan yang asli' bukan sekadar hubungan vendor."

Nayla mengangguk sambil berpikir. "Ini membuktik
Continue to read this book for free
Scan code to download App
Locked Chapter

Latest chapter

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 198

    "Aku butuh jujur sama kamu. Dan sama diri aku sendiri."Mereka akhirnya duduk di sofa, dengan jarak yang cukup nyaman. Nayla menarik nafas dalam sebelum mulai bicara."Tadi dia minta maaf. Bilang dia menyesal, bilang dia sadar betapa besar kesalahannya. Dan aku... aku ngomong sama dia dengan tegas. Aku kasih tahu dia bahwa aku sudah tidak butuh dia lagi, bahwa aku sudah punya hidup baru.""Kedengarannya kamu handle dengan baik.""Iya, tapi..." Nayla menggigit bibir bawahnya. "Tapi pulang ke rumah, aku mulai nanya sama diri sendiri: apakah aku benar-benar sudah move on, atau aku cuma jadi kuat karena dendam?"Arvino tidak langsung menjawab. Dia menatap Nayla dengan serius, seolah sedang mencerna pertanyaan itu dengan hati-hati."Dan kenapa pertanyaan itu penting buat kamu?""Karena kalau aku masih hidup dalam bayang-bayang Galan—entah itu dendam, sakit hati, atau apalah—berarti aku belum siap untuk hubungan yang baru. Berar

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 197

    Nayla sampai di apartemennya pukul sepuluh malam, tas tangan masih menggenggam invitation card acara peluncuran buku yang sudah lusuh karena diremas-remas selama perjalanan pulang. Dia melempar tas ke sofa dan langsung menuju kamar mandi, berharap air hangat bisa membasuh sisa-sisa perasaan yang masih menggumpal di dadanya.Tapi bahkan setelah mandi dan mengganti baju dengan kaos oversize dan celana pendek, rasa tidak nyaman itu masih ada. Seperti ada sesuatu yang tersangkut di tenggorokan, sesuatu yang ingin keluar tapi tidak tahu bagaimana caranya.Dia berjalan ke dapur, membuat secangkir teh chamomile, berharap bisa tidur lebih tenang. Tapi tangannya gemetar saat menuang air panas, dan dia harus meletakkan cangkir di meja untuk mencegahnya jatuh."Kenapa?" bisiknya pada dirinya sendiri. "Kenapa aku masih terguncang?"Dia pikir sudah cukup kuat. Dia pikir sudah bisa menghadapi Galan dengan tenang, dan memang dia berhasil melakukannya. Tapi sekarang, sen

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 196

    Seminggu setelah percakapan itu, hidup kembali berjalan normal. Setidaknya, itu yang Nayla coba yakini. Di kantor, dia dan Arvino tetap profesional—presentasi berjalan lancar, meeting dengan klien seperti biasa, dan sesekali bercanda saat beban kerja mulai berat. Tapi ada sesuatu yang berubah dalam cara mereka saling melirik. Sekilas, hampir tidak terlihat, tapi cukup membuat udara di antara mereka terasa lebih hidup.Malam itu, Nayla menghadiri peluncuran buku karya salah satu kliennya di sebuah hotel mewah di kawasan Sudirman. Acara yang sederhana tapi elegan, dihadiri para penulis, editor, dan beberapa pengusaha kreatif. Nayla mengenakan blazer hitam dan celana kulot krem—formal tapi tidak berlebihan.Dia sedang berbincang dengan penerbit tentang strategi pemasaran digital ketika matanya menangkap sosok yang berdiri di dekat meja registrasi. Tinggi, berjas abu-abu, rambut disisir rapi ke belakang. Galan.Jantung Nayla berdetak lebih cepat, bukan karena rindu, tapi karena shock. Dia

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 195

    Langit Jakarta malam itu menggantung berat, awan kelabu menutupi bintang-bintang. Hujan belum turun, tapi udara terasa lembap, seperti pertanda sesuatu yang belum selesai. Di dalam mobil yang terparkir di depan rumah Nayla, hanya suara mesin AC dan detak jam tangan yang terdengar.Arvino menyentuh kemudi tanpa niat menyalakan mobil. Mereka baru saja pulang dari pertemuan dengan komunitas pelaku UMKM, dan seperti biasa, Nayla duduk di sampingnya, lelah tapi enggan langsung masuk ke rumah. Ada sesuatu yang belum selesai—dan Arvino tahu waktunya sudah dekat."Nayla," suaranya pelan, hampir tenggelam oleh suara kota yang redup di luar, "kalau suatu saat aku ingin lebih dari sekadar rekan kerja... kamu akan?"Nayla tidak langsung menjawab. Tangannya memainkan resleting tas kecil di pangkuannya, matanya menatap ke depan tapi tidak melihat apa-apa. Lalu ia menggigit bibir bawahnya, sesuatu yang hanya dilakukan ketika ia sedang mencoba menahan sesuatu yang rapuh dari jatuh."Aku tidak bisa ja

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 194

    Pukul delapan malam dan kantor sudah sepi ketika Nayla duduk kembali di meja rapat kecil lantai dua, berkas-berkas kasus klien baru masih berserakan di hadapannya. Di depannya, duduk seorang perempuan muda bernama Siska. Usianya tidak jauh berbeda dengan Nayla saat memulai usaha pertama kali.Tapi malam itu, bukan tentang bisnis atau strategi. Siska menangis pelan, tangannya menggenggam cangkir teh yang sejak tadi tak disentuh."Dia bawa kabur uang tabungan kami. Semua hasil kerja keras catering kecil itu, hilang dalam semalam. Aku kira kami sedang bangun masa depan bersama... ternyata aku sendiri yang dibangun untuk ditinggalkan," suara Siska bergetar.Nayla tidak langsung menjawab. Matanya terfokus pada ekspresi Siska—patah tapi berusaha tegar. Familiar. Terlalu familiar."Apakah kamu mencurigai dia sebelumnya?" tanya Nayla pelan.Siska mengangguk lemah. "Pernah. Tapi aku memilih percaya. Karena... bukankah itu yang dilakukan pasangan? Saling percaya?"Pertanyaan itu menggema lebih

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 193

    Hujan mengguyur jendela ruang kerja Nayla dengan ritme yang konstan, seperti ingin menyamakan diri dengan pikirannya yang tak berhenti berputar. Di meja kayu yang biasanya dipenuhi dokumen dan laptop, malam itu hanya ada satu benda yang jadi pusat perhatiannya: sebuah bingkai foto.Foto itu tak baru. Sudut kacanya sedikit retak, dan warnanya mulai memudar. Terlihat Nayla di usia awal 30-an, mengenakan kebaya biru muda, berdiri di samping pria yang sekarang hanya tinggal sebagai bagian dari masa lalu: Adrian.Suara pintu terbuka pelan, lalu tertutup lagi.“Aku ketuk dua kali tadi,” kata Arvino sambil masuk, sedikit basah karena gerimis.“Kamu selalu masuk pelan-pelan, ya,” gumam Nayla tanpa menoleh. Tangannya masih memegang bingkai foto itu, tapi wajahnya tertuju ke luar jendela.Arvino tak langsung menjawab. Ia hanya menarik kursi di seberangnya, duduk, dan memperhatikan wanita yang selama ini ia kenal sebagai pemimpin yang tak gentar bahkan saat diterpa tekanan besar. Tapi malam ini,

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status