12 jam setelah tayangan Prime Talk
Sari masuk ke ruangan Nayla dengan langkah cepat, wajahnya menyimpan kegembiraan sekaligus kegelisahan. Di tangannya, laptop terbuka dengan layar penuh data.
"Bu Nayla... Ibu harus lihat ini."
Nayla yang tengah menelaah kontrak proyek hanya mengangkat alis. "Seberapa parah?"
Sari menggeleng. "Bukan parah, Bu. Ini... luar biasa." Ia meletakkan laptop di meja Nayla dan memutar layar ke arahnya. "Video Prime Talk sudah ditonton 2,3 juta kali di YouTube. 850 ribu kali dibagikan di Facebook. Dan 45 ribu retweet di Twitter. Itu baru dalam 12 jam."
Nayla terdiam, matanya terpaku pada angka-angka yang bergerak cepat.
"Ini beneran?" suaranya nyaris berbisik.
Sari mengangguk. "Dan itu belum semuanya. Hashtag #WanitaTangguh sekarang trending nomor satu. #BangkitTanpaBalas di posisi ketiga. Dan nama Ibu sendiri, #NaylaMahardika, ada di nomor tujuh."
"Bangkit tanpa balas?"
"Netizen
Keesokan paginya, Nayla baru saja menyelesaikan tinjauan presentasi untuk klien saat resepsionisnya mengetuk pintu kantor.“Bu Nayla, Pak Galan ada di lobi. Katanya membawa proposal bisnis yang sangat mendesak.”Nayla menarik napas dalam. Semalam, ia sudah menyampaikan dengan sangat jelas bahwa percakapan mereka selesai. Tapi rupanya, Galan belum benar-benar mendengar.“Sudah berapa lama dia menunggu?”“Sekitar setengah jam, Bu. Katanya akan menunggu sampai Ibu bisa meluangkan waktu.”“Baik. Suruh dia ke Ruang Rapat B. Saya beri lima belas menit.”Di Ruang Rapat B, Galan masuk dengan membawa koper kerja dan wajah penuh tekad. Jas yang ia kenakan rapi, penampilannya seperti hendak menghadapi rapat bisnis penting.“Nayla, terima kasih sudah bersedia bertemu.”“Galan, kupikir pembicaraan kita tadi malam sudah cukup.”“Memang. Tapi ini berbeda. Aku datang dengan proposal bisnis, bukan urusan pribadi.”Nayla menunjuk kursi di hadapannya. “Silakan. Tapi waktumu lima belas menit.”“Aku ingin
Galan duduk sendirian di ruang makan pribadi yang elegan, menghadap gemerlap langit malam Jakarta. Ia telah merancang pertemuan ini dengan penuh perhitungan—bukan di kantor Nayla, bukan dalam suasana konsultasi profesional, melainkan sebuah makan malam di tempat netral."Situasi putus asa menuntut tindakan putus asa," pikirnya, sembari merapikan dasi dengan gugup.Pintu terbuka. Nayla melangkah masuk dalam balutan gaun hitam yang anggun, rambutnya tergerai lembut di bahu. Sejenak, Galan seolah kembali ke masa lalu—makan malam berdua, acara bisnis, saat-saat ketika mereka benar-benar menjadi rekan dalam segala hal."Terima kasih sudah datang, Nayla.""Kamu bilang ini penting," jawab Nayla singkat, sopan tapi berjaga."Silakan duduk. Aku sudah pesan wine favoritmu."Nayla melirik botol Bordeaux di meja. "Aku tidak minum anggur merah lagi, Galan.""Oh... aku tidak tahu.""Ada banyak hal tentangku yang tidak kamu tahu lagi."Hening mengisi ruangan ketika Nayla duduk di hadapannya. Jarak d
Dua hari setelah Alya mengundurkan diri. Galan duduk sendirian di ruang kerjanya yang kini tak lagi terasa seperti kantor, melainkan seperti bunker—terkunci, sunyi, dan penuh tekanan. Di mejanya, berderet dokumen hukum, surat keluhan dari para investor, dan potongan berita media yang makin hari makin tajam menghantam nama perusahaannya.“Pak Galan,” suara Dimas terdengar pelan dari balik pintu, mengetuk dengan ragu. “Laporan dari tim legal dan keuangan sudah siap.”“Berapa total kerugiannya?” tanya Galan, suaranya berat.“Pak… Singapore Investment Group resmi menarik diri. Itu 150 miliar. Kredit dari Jakarta Development Bank dibekukan, 200 miliar. Dan ada lima investor lain yang sedang mempertimbangkan untuk keluar juga.”Galan memejamkan mata. “Total?”“Kalau semuanya jadi keluar… kerugiannya bisa sampai 500 miliar, Pak.”“Cash flow kita sekarang?”“Dengan proyek berjalan dan biaya operasional… maksimal bisa bertahan tiga bulan, mungkin empat kalau semua pengeluaran non-essensial dip
Nayla berdiri di depan cermin di ruang rias, memeriksa penampilannya untuk terakhir kali. Blazer biru navy yang pas di tubuh, rambut disanggul rendah dengan rapi, riasan tipis tapi memberi kesan tegas. Hari ini, ia akan memoderatori sesi utama bertajuk “Kepemimpinan Perempuan di Dunia Bisnis Asia-Pasifik”—sebuah forum bergengsi yang dihadiri dua ribu peserta dan disiarkan langsung ke seluruh Asia."Bu Nayla, sudah siap?" Sari muncul dari balik pintu, membawa clipboard dan earpiece."Sepertinya... ya." Nayla menarik napas panjang. "Ingatkan aku lagi, siapa saja panelisnya?""CEO Unilever Indonesia, Managing Director Google Asia Tenggara, Presiden Direktur BCA, dan Pendiri Tokopedia. Semuanya pemain besar, Bu.""Sempurna. Lalu setelah sesi ini, apa jadwal kita?""Istirahat makan siang, lalu ada sesi networking dengan investor internasional. Oh ya, Bu—ada yang menarik. Ternyata di ruangan lain ada sesi panel soal konstruksi berkelanjutan."Nayla terdiam sejenak. "Konstruksi?""Ya. Hanya
Pagi itu, Nayla tengah menikmati kopi hangat ketika sebuah email masuk dengan subjek yang mencuri perhatiannya: “Undangan Keynote Speaker - Seminar Nasional Perempuan Indonesia 2025.”“Sari, tolong ke ruanganku sebentar,” panggil Nayla sambil tetap menatap layar.Sari masuk dengan wajah penuh semangat dan tablet di tangan. “Bu, ini luar biasa. Ibu sudah baca email dari Kongres Perempuan Indonesia?”“Baru saja. Mereka mengundangku jadi keynote speaker bulan depan?” tanya Nayla, masih belum sepenuhnya percaya.“Benar, Bu. Dan ini bukan acara biasa. Ini pertemuan tahunan paling bergengsi—5.000 perempuan dari seluruh Indonesia akan hadir. Mulai dari CEO, pengusaha, tokoh publik, aktivis, hingga profesional. Temanya ‘Transformasi Diri, Transformasi Bangsa.’”Nayla membaca lebih lanjut. “Mereka memintaku membawakan pidato berjudul From Heartbreak to Empowerment: A Personal Journey.”Sari tersenyum lebar. “Ini kesempatan emas, Bu. Bukan sekadar tampil di media sosial—tapi langsung menyentuh
12 jam setelah tayangan Prime TalkSari masuk ke ruangan Nayla dengan langkah cepat, wajahnya menyimpan kegembiraan sekaligus kegelisahan. Di tangannya, laptop terbuka dengan layar penuh data."Bu Nayla... Ibu harus lihat ini."Nayla yang tengah menelaah kontrak proyek hanya mengangkat alis. "Seberapa parah?"Sari menggeleng. "Bukan parah, Bu. Ini... luar biasa." Ia meletakkan laptop di meja Nayla dan memutar layar ke arahnya. "Video Prime Talk sudah ditonton 2,3 juta kali di YouTube. 850 ribu kali dibagikan di Facebook. Dan 45 ribu retweet di Twitter. Itu baru dalam 12 jam."Nayla terdiam, matanya terpaku pada angka-angka yang bergerak cepat."Ini beneran?" suaranya nyaris berbisik.Sari mengangguk. "Dan itu belum semuanya. Hashtag #WanitaTangguh sekarang trending nomor satu. #BangkitTanpaBalas di posisi ketiga. Dan nama Ibu sendiri, #NaylaMahardika, ada di nomor tujuh.""Bangkit tanpa balas?""Netizen