Galan membuka pintu apartemen penthouse-nya—tempat yang dulu menjadi simbol kejayaan. Lantai marmer yang pernah berkilau kini terlihat kusam, seperti kehilangan cahaya yang dulu memantulkan rasa bangga. Ruang tamu yang luas tampak sunyi, terlalu rapi untuk terasa hidup. Furnitur mewah yang pernah membuatnya bangga kini hanya menggarisbawahi kehampaan yang menyelimuti setiap sudut.Ia melemparkan kunci ke atas meja marmer dengan suara keras yang bergema. Suara yang dulu mungkin biasa saja, kini terasa seperti pengingat. Dulu, Nayla akan menyambutnya di pintu, dengan senyum hangat dan pertanyaan sederhana, “Hari ini bagaimana?” Sekarang, yang menyambutnya hanya kesunyian—tajam, dingin, dan tak memberi ampun.Ia berjalan ke arah bar kecil di pojok ruangan. Dengan tangan sedikit gemetar, ia menuangkan whisky ke dalam gelas kristal—hadiah ulang tahun pernikahan dari Nayla tiga tahun lalu. Ironis, pikir Galan. Bahkan gelas ini mengingatkannya pa
Galan duduk di ruang tunggu kantor Waskita Karya. Jam di dinding sudah menunjukkan pukul 10.30 pagi—meeting-nya seharusnya dimulai satu jam yang lalu. Tapi yang ia dapat hanya senyum canggung dari sekretaris, disertai alasan bahwa “Pak Direktur masih rapat penting”.Ini sudah yang ketiga kalinya minggu ini. Kemarin, Wijaya Karya membatalkan pertemuan secara sepihak. Lusa, giliran Adhi Karya yang menunda dengan alasan serupa. Galan mencoba tetap tenang, tapi hatinya gelisah."Pak Galan..." Sekretaris paruh baya menghampirinya dengan raut wajah bersalah. "Maaf, Pak Direktur mendadak harus menghadiri rapat bersama dewan direksi. Bolehkah kita jadwalkan ulang minggu depan?""Minggu depan?" Galan berusaha menahan nadanya agar tetap sopan. "Bu, ini sudah ketiga kalinya pertemuan ini ditunda."Perempuan itu menunduk, lalu berkata pelan, "Situasinya sedang... rumit, Pak.""Rumit bagaimana?"Ia ragu, menimbang kata. "Pak, mungkin le
Sinar matahari sore menembus kaca besar di lantai 35, membanjiri ruangan kerja Nayla dengan cahaya keemasan. Dari balik jendela, Jakarta terlihat kecil dan jauh, seolah kota ini sedang berada dalam genggamannya. Di balik kesunyian elegan itu, duduk seorang perempuan yang diam-diam telah mengguncang fondasi kekuasaan seorang pria.Melissa, kepala riset strategis Mahardika Capital, berdiri dengan tenang di hadapannya, menaruh map laporan di atas meja kaca.“Mbak Nayla, semua proses akuisisi telah rampung. Portofolio dari Santoso Capital dan dua firma investasi lainnya resmi berpindah tangan kemarin.”Nayla tidak langsung membuka map itu. Ia hanya mengetukkan jarinya perlahan ke meja, seirama dengan denyut keyakinannya yang semakin mantap.“Berapa total persentase kepemilikan kita di GalanCorp sekarang?”“72,5 persen, Mbak. Lebih dari yang semula diproyeksikan.”Nayla mengangguk tipis, lalu bertanya lagi tanpa mengalihkan pandangan dari jendela, “Dan secara hukum?”“Kita berhak penuh ata
Tiga hari sudah berlalu sejak pertemuan pahit itu. Namun bagi Galan, waktu seolah membeku. Setiap malam, ia terjaga di balik gelapnya langit Jakarta, dihantui oleh deretan angka merah dan tenggat tiga puluh hari yang terus mendekat seperti bayangan tak kasatmata.Pagi ini, ia duduk di balik meja kerjanya. Secangkir kopi dingin yang tak disentuh menggambarkan kekacauan pikirannya. Ia mencoba menyusun ulang semua jalur, semua kemungkinan investor yang bisa ia dekati. Tapi satu per satu nama yang muncul seperti pintu yang sudah tertutup rapat. Tak ada yang membuka, tak ada yang menjanjikan secercah harapan.Ketukan di pintu menginterupsi lamunannya. Sari, sekretaris yang setia menemaninya bertahun-tahun, masuk dengan wajah cemas.“Pak Galan… ada yang perlu Bapak lihat. Berita di media bisnis pagi ini... mengejutkan.”Galan mengangkat kepala. “Mengejutkan bagaimana?”Sari meletakkan tablet di mejanya. Beberapa artikel terbuka. Galan membaca headline paling atas:"Mahardika Capital Akuisis
Pagi itu, ruangan kerja Galan terasa lebih sunyi dari biasanya. Cahaya matahari menerobos jendela besar, memantul di tumpukan laporan keuangan yang berserakan di atas mejanya—angka-angka yang tak lagi menenteramkan, melainkan menyisakan kecemasan. Tiga proyek besar GalanCorp kini tersendat, dan napas perusahaan kian pendek setelah klien-klien utama perlahan pergi. Seolah waktu ikut menjauh, meninggalkannya sendirian di tengah reruntuhan ambisi yang dulu menjulang.Lonceng telepon meja berdering, memecah keheningan. Nama di layar membuat dada Galan sedikit lapang—Tuan Richard Santoso, CEO Santoso Capital. Investor utama. Satu dari sedikit orang yang masih bisa memberinya harapan.“Richard, semoga kabarmu baik. Kita harus duduk bersama untuk finalisasi pendanaan proyek Kemayoran, ya?” Galan mencoba terdengar optimis.Namun suara di seberang sana dingin, formal. “Galan, kita perlu bertemu. Hari ini juga.”Galan terdiam. Tak ada basa-basi, tak ada tawa hangat seperti biasa. Sebuah firasat
Lampu-lampu studio Metro TV memancarkan kehangatan lembut. Di kursi wawancara “Mata Najwa”, Nayla duduk dengan tenang mengenakan blazer navy yang elegan. Hadapannya, Najwa Shihab menyambutnya dengan senyuman tulus.“Malam ini kita kedatangan sosok penting di dunia konstruksi Indonesia—Nayla Mahardika,” kata Najwa membuka. “Selamat malam, Nayla.”“Selamat malam, Kak Najwa. Terima kasih atas kesempatannya.”Najwa memulai: “Kamu pernah di posisi sulit, secara personal dan profesional. Bagaimana kamu bangkit?”Nayla menarik napas pendek, lalu berkata lembut:“Saya pernah merasa dikecilkan—diremehkan, bahkan ngga dianggap mampu. Saat itu, saya miliki dua pilihan: tenggelam dalam rasa sedih, atau bangkit secara konstruktif.”“Jadi apa yang membuat kamu memilih bangkit?”“Karena saya percaya, balas dendam terbaik adalah menjadi versi terbaik diri sendiri. Tidak dengan merugikan orang lain, tapi membuktikan bahwa penilaian negatif itu keliru.”Najwa menanggapi: “Langkah awal dari nol itu past