Accueil / Romansa / Balas Dendam Sang Pendamping Setia / Bab 17 – Cahaya Panggung yang Menyilaukan

Share

Bab 17 – Cahaya Panggung yang Menyilaukan

Auteur: perdy
last update Dernière mise à jour: 2025-04-14 23:12:15

Pagi itu matahari bersinar cerah, tapi di dalam rumah kecil mereka, dunia terasa dingin bagi Nayla. Ia duduk di meja makan dengan secangkir kopi yang sudah kehilangan uapnya. Di hadapannya, layar ponsel menyala, menampilkan sebuah artikel dari salah satu media startup lokal ternama: “Galan Pradipta: Pendiri Muda yang Siap Mengubah Dunia UMKM Digital”.

Judulnya besar, mencolok. Wajah Galan memenuhi layar, mengenakan setelan kasual elegan, tersenyum percaya diri di bawah sorotan lampu. Di bawah fotonya, ada kutipan yang menonjol:

“Kami memulai dari mimpi. Sekarang saatnya mimpi itu jadi kenyataan—berkat kerja keras dan visi saya.”

Nayla membaca paragraf demi paragraf, matanya menelusuri kata-kata yang terasa seperti luka baru. Tak satu pun menyebut tentang orang lain di balik proyek itu. Tak satu pun menyebut tentang mereka—yang dulu memulai semua ini bersama.

Tak ada "kami".

Tak ada Nayla.

Galan pulang sore itu dengan semangat meletup-letup, masih mengenakan jaket abu-abu dengan logo m
Continuez à lire ce livre gratuitement
Scanner le code pour télécharger l'application
Chapitre verrouillé

Latest chapter

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 352

    Angin sore membawa aroma tanah basah dari halaman rumah sakit. Langit baru saja berhenti menangis, tapi tanah masih menyimpan jejak hujan yang deras. Di salah satu bangku panjang dekat taman kecil rumah sakit itu, Nayla duduk dengan jaket abu-abu, menatap ke arah danau buatan yang permukaannya bergetar lembut diterpa angin.Langkah cepat terdengar dari arah belakang. Alya datang, mantel lusuhnya kini tampak lebih kusam karena air hujan, rambutnya berantakan, wajahnya letih. Tapi yang paling mencolok bukan penampilannya — melainkan matanya. Ada sesuatu yang baru di sana: bukan lagi amarah, melainkan kepanikan.“Aku butuh bantuanmu, Nayla,” katanya terburu-buru, tanpa basa-basi.Nayla menoleh pelan. “Bantuan apa?”Alya menelan ludah. “Perusahaanku… sudah di ujung. Investor mundur semua. Rekening dibekukan. Aku… aku nggak punya siapa-siapa lagi.”Suara itu nyaris pecah. “Kau tahu rasanya, kan? Ketika semua orang menjauh begitu saja.”Nayla menatap lurus, ekspresinya sulit ditebak. “Aku t

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 351

    Hujan turun pelan malam itu, membasahi halaman depan gedung rumah sakit. Lampu-lampu parkir memantulkan cahaya kekuningan di atas aspal basah. Di bawah atap kecil dekat lobi, dua perempuan berdiri berhadapan—bayangan masa lalu yang tak pernah benar-benar selesai.Alya masih mengenakan mantel lusuhnya. Rambutnya basah, bibirnya pucat, tapi matanya menyala—bukan oleh kehidupan, melainkan oleh amarah yang terlalu lama dipendam.Nayla berdiri tegak di depannya, tenang, dengan payung kecil di tangan kanan dan tatapan lembut yang tidak menghindar.Beberapa jam sebelumnya, keduanya sama-sama menerima kabar: Galan Prasetya, lelaki yang pernah mengikat dan menghancurkan keduanya, dirawat dalam keadaan kritis setelah kecelakaan di jalan tol. Dunia yang dulu mengikat mereka dalam lingkaran ambisi dan luka kini menarik keduanya kembali ke tempat yang sama.Dan di situlah, di depan pintu rumah sakit, semua yang tak pernah diucapkan akhirnya meledak.“Kenapa kamu datang?” suara Alya pecah di antara

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 350

    Langit sore itu memantulkan warna oranye lembut ketika acara kewirausahaan tahunan diadakan di aula besar Hotel Arya. Spanduk besar bertuliskan “Empowering Women in Business” terpasang di depan panggung. Musik lembut mengalun dari pengeras suara, sementara para tamu—pebisnis muda, investor, dan mahasiswa—berkumpul, menunggu pembicara terakhir naik ke panggung: Nayla Arindya, CEO perempuan yang belakangan ini menjadi simbol kebangkitan bisnis etis dan kepemimpinan empatik di tengah dunia korporat yang keras.Namun di luar gedung yang megah itu, di parkiran yang sudah mulai gelap, seorang perempuan berdiri terpaku di balik tiang beton. Mantelnya lusuh, rambutnya acak-acakan, dan kacamata hitam menutupi mata yang sembab. Di genggamannya, sebuah ponsel dengan layar penuh notifikasi—semuanya tentang dirinya.ALYA PRAMESWARI: BISNISNYA RESMI BANGKRUT, TERLIBAT SKANDAL MANIPULASI LAPORAN KEUANGAN.INVESTOR MENARIK DANA, PROYEK BESAR GAGAL.Ia membaca judul-judul itu berulang kali, seperti in

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 349

    Pagi itu, matahari muncul perlahan dari balik perbukitan, menembus celah pepohonan dan menyinari halaman rumah kayu yang sudah berumur puluhan tahun. Aroma tanah basah sisa hujan semalam masih terasa. Burung-burung kecil berkicau di ranting, dan dari dapur terdengar bunyi air mendidih—pertanda teh sedang diseduh.Nayla duduk di beranda, mengenakan sweater lembut warna krem. Di sebelahnya, ibunya dengan kain batik melingkar di bahu, sibuk menata piring kecil berisi singkong rebus dan kelapa parut. Harra, yang kini beranjak remaja, duduk di tangga kayu, menatap pemandangan pagi dengan mata berbinar.Tiga perempuan, tiga generasi, dalam satu ruang yang penuh kenangan—dan kali ini, tanpa beban.“Ibu, ini enak banget,” kata Harra sambil menggigit singkong. “Aku nggak pernah makan yang kayak gini di rumah kota.”Ibunya Nayla terkekeh. “Ya iyalah, di kota semua serba instan. Di sini masih alami. Gula aja Ibu tumbuk sendiri.”Nayla tertawa kecil, menatap dua orang yang ia cintai dengan pandan

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 348

    Hujan semalam sudah reda, tapi udara pagi masih menyisakan aroma basah dan dingin yang menempel di daun-daun jambu di halaman belakang. Dari dapur, terdengar bunyi sendok mengaduk perlahan di dalam cangkir. Uap tipis teh melayang, menciptakan semacam kehangatan yang lembut di antara dua perempuan yang duduk berhadapan di meja makan tua.Nayla diam, menatap wajah ibunya yang kini tampak lebih tua dari yang ia ingat. Ada garis-garis halus di sekitar mata, tapi di balik keriput itu, tersimpan ketenangan yang tidak pernah Nayla lihat dulu—ketenangan yang lahir setelah bertahun-tahun berjuang dalam diam.“Ma…” Nayla membuka suara pelan, “tadi malam aku nggak bisa tidur.”Ibunya menatap lembut. “Masih kepikiran tentang kita?”Nayla mengangguk. “Tentang semua yang nggak pernah kita omongin. Tentang hal-hal yang mungkin seharusnya kita tangisi dulu, tapi kita tahan.”Ibunya tersenyum kecil, mengaduk tehnya pelan. “Kadang diam itu cara bertahan, Nay. Kalau Ibu dulu bicara, mungkin Ibu bakal ha

  • Balas Dendam Sang Pendamping Setia   Bab 347

    Di ruang tengah, dua perempuan duduk berdampingan di sofa lawas yang mulai melengkung di bagian tengahnya. Teh di meja sudah tak lagi hangat, tapi percakapan mereka justru semakin menghangat.Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, tidak ada jarak di antara mereka. Hanya ada dua hati yang sedang belajar bicara dengan jujur.“Ma,” Nayla memecah keheningan. “Aku masih ingat waktu aku kecil. Aku sering nunggu di depan jendela, berharap Ibu pulang lebih cepat.”Ibunya tersenyum samar, tapi matanya sudah mulai berkaca. “Ibu juga ingat. Waktu itu kamu selalu nulis di kertas, ‘Jangan lupa makan, Ma.’ Ibu masih simpan catatan-catatan kecil itu.”Nayla menatap ibunya, agak terkejut. “Masih?”“Iya. Di dalam kotak kayu di lemari kamar. Surat-surat kecil dari kamu, yang ditulis pakai spidol warna ungu.” Ibunya tertawa kecil, suaranya pelan. “Tulisanmu jelek sekali waktu itu.”Mereka berdua tertawa, tapi tawa itu segera mereda, berganti dengan keheningan lembut yang menyimpan banyak kenangan.

Plus de chapitres
Découvrez et lisez de bons romans gratuitement
Accédez gratuitement à un grand nombre de bons romans sur GoodNovel. Téléchargez les livres que vous aimez et lisez où et quand vous voulez.
Lisez des livres gratuitement sur l'APP
Scanner le code pour lire sur l'application
DMCA.com Protection Status