Hari yang dinantikan pun tiba. Sera datang lebih awal ke gedung perkantoran, dengan hati yang berdebar-debar. Pagi itu, suasana di gedung tampak lebih sibuk dari biasanya, namun Sera berusaha tetap tenang. Setelah mengantar anak-anak ke sekolah dan mempersiapkan dirinya sebaik mungkin, ia merasa siap untuk menghadapi apa pun yang ada di depan.
Setelah menunggu beberapa saat di ruang tunggu, Rani datang menjemputnya. "Hai, Sera. Kamu udah siap?" sapa Rani dengan senyuman ramah. Sera mengangguk, mencoba menyembunyikan kegugupannya. "Iya, siap. Terima kasih banyak, Mbak Rani." "Bagus. Yuk, kita ke lantai atas. Pak Galendra sudah menunggu," kata Rani sambil mempersilakannya menuju lift. Di dalam lift, suasana terasa sedikit tegang, tetapi Rani mencoba mencairkan suasana dengan beberapa obrolan ringan tentang cuaca dan aktivitas sehari-hari. Begitu pintu lift terbuka di lantai tertinggi, Rani mengarahkan Sera ke sebuah ruangan besar dengan pemandangan kota yang menakjubkan dari jendela besar. Di balik meja kerja yang besar dan rapi, duduklah Galendra Romanov, pria dengan aura karismatik dan wibawa yang tak terbantahkan. Galendra berdiri dan menyambut Sera dengan senyuman yang hangat. "Selamat pagi, Sera. Silakan duduk," katanya sambil mengulurkan tangan. "Pagi, Pak Galendra. Terima kasih atas kesempatannya," balas Sera sambil menjabat tangan Galendra, merasa sedikit lebih tenang. Rani pun meninggalkan mereka berdua di ruangan tersebut, menutup pintu dengan lembut. Galendra duduk kembali di kursinya, mengamati Sera dengan penuh perhatian. "Jadi, Sera, saya sudah membaca CV dan portofoliomu. Sangat mengesankan. Saya ingin tahu lebih banyak tentang dirimu dan bagaimana kamu melihat dirimu bisa berkontribusi di perusahaan ini." Sera menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab, berusaha menenangkan detak jantungnya yang semakin cepat. "Terima kasih, Pak. Saya sudah bekerja di beberapa perusahaan sebelumnya, dan saya merasa pengalaman saya di bidang ini bisa sangat berguna di sini. Saya tertarik dengan visi dan misi Romanov Corp. yang inovatif dan berorientasi pada masa depan. Saya ingin sekali menjadi bagian dari tim yang membawa perubahan positif." Galendra mengangguk, tampak puas dengan jawaban awal Sera. "Apa yang menurutmu paling menantang dari pekerjaan ini dan bagaimana kamu mengatasinya?" tanyanya, kali ini dengan sorot mata yang lebih tajam. Sera berpikir sejenak, lalu menjawab dengan penuh keyakinan. "Tantangan terbesar mungkin adalah beradaptasi dengan budaya perusahaan yang baru dan memastikan bahwa saya bisa memenuhi ekspektasi yang tinggi. Namun, saya yakin dengan kemampuan saya untuk belajar cepat dan berkolaborasi dengan tim, saya bisa mengatasi tantangan itu. Saya selalu berusaha memberikan yang terbaik dan terbuka terhadap masukan dan kritik untuk terus berkembang." Percakapan pun berlanjut, dengan Galendra mengajukan beberapa pertanyaan mendalam tentang pengalaman kerja Sera, cara pandangnya terhadap inovasi, dan ide-ide yang mungkin bisa diterapkan di Romanov Corp. Sera menjawab setiap pertanyaan dengan percaya diri, menunjukkan pengetahuan dan antusiasmenya yang tulus. Setelah sekitar satu jam, wawancara pun mendekati akhir. Galendra tersenyum, merasa puas dengan pertemuan tersebut. "Terima kasih, Sera. Saya sangat menghargai waktu dan kejujuranmu. Kami akan segera memberi kabar terkait hasil wawancara ini." "Terima kasih banyak, Pak Galendra. Saya sangat berharap bisa bergabung dengan tim Anda," jawab Sera dengan senyuman lega. Setelah berpamitan, Sera keluar dari ruangan dengan perasaan campur aduk antara lega dan harap-harap cemas. Ia tahu, apa pun hasilnya, ia telah memberikan yang terbaik. Di dalam ruangan, Galendra duduk sejenak, merenungkan pertemuannya dengan Sera. Ada sesuatu yang berbeda dari kandidat kali ini, sesuatu yang membuatnya merasa optimis tentang masa depan perusahaan dengan potensi yang dibawa oleh Sera. Sambil memandangi kota dari jendelanya, Galendra tersenyum kecil. Hari ini adalah awal yang baik, dan ia merasa keputusan besar yang akan diambilnya tidak lama lagi akan membawa perubahan positif bagi Romanov Corp. dan mungkin juga bagi hidup Sera. Setelah pertemuan itu, Galendra tidak bisa menghilangkan bayangan Sera dari pikirannya. Ada sesuatu dalam cara Sera berbicara dan menjelaskan ide-idenya yang membuat Galendra merasa penasaran. Ia merasa bahwa Sera bukan hanya kandidat biasa; ada sesuatu yang istimewa yang membuatnya ingin mengenal lebih jauh sosok wanita itu. Hari-hari berlalu, dan meskipun kesibukan kerja menumpuk, pikiran Galendra sering melayang ke pertemuan mereka. Di sela-sela rapat dan tumpukan dokumen yang harus ditandatangani, ia teringat senyuman Sera, cara dia menjawab pertanyaan dengan percaya diri, dan bagaimana matanya berbinar ketika berbicara tentang inovasi. Suatu pagi, saat sedang memeriksa laporan di ruangannya, Galendra memutuskan untuk mengambil langkah lebih lanjut. Ia menekan tombol interkom dan memanggil Rani. "Rani, bisa kamu datang ke ruangan saya sebentar?" suaranya terdengar tegas namun penuh rasa ingin tahu. Tak lama kemudian, Rani masuk ke ruangan dengan membawa beberapa berkas. "Ada yang bisa saya bantu, Pak Galendra?" tanyanya dengan sopan. "Saya ingin kamu menjadwalkan pertemuan informal dengan Sera. Saya ingin mengenal dia lebih jauh di luar konteks formal pekerjaan. Mungkin kita bisa makan siang bersama atau ngopi di tempat yang santai. Apa kamu bisa atur itu?" ujar Galendra sambil melihat ke arah Rani. Rani sedikit terkejut mendengar permintaan tersebut, tetapi ia segera mengangguk. "Tentu, Pak. Saya akan segera menghubungi Sera dan mengatur jadwalnya. Apakah ada waktu khusus yang Anda inginkan?" "Secepatnya, mungkin besok atau lusa. Saya ingin ini terasa santai, jadi pilihlah tempat yang nyaman dan tidak terlalu formal," kata Galendra sambil tersenyum tipis. Setelah Rani keluar untuk mengatur jadwal, Galendra merasa sedikit lega. Ia tahu, sebagai CEO, keputusannya untuk mengenal calon karyawan lebih jauh mungkin tidak biasa, tetapi intuisi dan rasa ingin tahunya mengatakan bahwa Sera bisa membawa perubahan besar, bukan hanya untuk perusahaan, tetapi mungkin juga dalam hidupnya. Keesokan harinya, Rani kembali dengan kabar baik. "Pak Galendra, saya sudah mengatur pertemuan dengan Sera besok siang di kafe di dekat sini. Sera sangat antusias dan setuju untuk bertemu," lapornya dengan senyuman. "Terima kasih, Rani. Itu sempurna," jawab Galendra, merasa senang dengan kabar tersebut. Hari yang dinantikan pun tiba. Di sebuah kafe yang hangat dan nyaman, dengan suasana yang tenang dan dekorasi yang menarik, Galendra duduk menunggu kedatangan Sera. Ia mengenakan pakaian kasual, berbeda dengan setelan jas formal yang biasa dipakainya di kantor, untuk menciptakan suasana yang lebih santai. Tak lama kemudian, Sera tiba. Dengan senyum ramah, ia menyapa Galendra. "Halo, Pak Galendra. Terima kasih sudah mengundang saya." "Selamat siang, Sera. Panggil saya Galendra saja. Ini pertemuan santai, jadi tidak perlu terlalu formal," jawab Galendra sambil mempersilakan Sera duduk. Mereka mulai berbicara, awalnya tentang hal-hal ringan seperti cuaca, hobi, dan kehidupan sehari-hari. Galendra terkejut melihat betapa mudahnya mereka berdua mengalir dalam percakapan. Ia menemukan bahwa Sera bukan hanya cerdas dan bersemangat dalam pekerjaannya, tetapi juga memiliki pandangan hidup yang menarik dan selera humor yang menyenangkan. "Jadi, apa yang membuat kamu tertarik bekerja di Romanov Corp., Sera?" tanya Galendra sambil menyeruput kopinya. "Saya tertarik dengan visi perusahaan ini yang selalu berinovasi dan tidak takut mengambil risiko untuk mencapai hal-hal besar. Saya juga melihat ada banyak kesempatan untuk belajar dan berkembang di sini," jawab Sera dengan antusias. Percakapan mereka berlanjut selama beberapa jam, dan Galendra semakin yakin bahwa Sera adalah orang yang tepat untuk perusahaan. Tapi lebih dari itu, ia merasa ada koneksi yang dalam dan tulus antara mereka. Sera bukan hanya seorang calon karyawan; dia adalah seseorang yang membawa inspirasi dan energi positif. Ketika akhirnya pertemuan berakhir, Galendra merasa sangat puas dan semakin penasaran dengan sosok Sera. "Terima kasih banyak atas waktunya, Sera. Saya benar-benar menikmati pertemuan ini," katanya sambil tersenyum. "Saya juga, Galendra. Terima kasih sudah mengundang saya. Saya berharap bisa segera bergabung dan memberikan yang terbaik untuk Romanov Corp.," jawab Sera dengan senyuman penuh harap. Setelah berpamitan, Galendra melihat Sera pergi dengan perasaan yang campur aduk antara kagum dan antusias. Ia tahu, ini bukan hanya awal dari hubungan profesional yang baik, tetapi mungkin juga awal dari sesuatu yang lebih berarti. Dengan hati yang ringan dan pikiran yang dipenuhi ide-ide baru, Galendra kembali ke kantornya, siap untuk menyambut hari-hari yang lebih cerah.Daffi menutup telepon tanpa berkata sepatah kata pun lagi. Suara napasnya terdengar berat, matanya menatap kosong ke kejauhan. Ruangan itu dipenuhi dengan ketegangan yang belum terurai. Giska mendekatinya, menaruh tangan lembut di pundaknya. “Kau baik-baik saja?” Daffi mengangguk pelan, meski ekspresinya menunjukkan konflik batin. “Aku tak bisa menolongnya, Giska. Dia telah menghancurkan hidup kita. Semua yang terjadi... luka yang ia tinggalkan... terlalu dalam.” Galen, yang sejak tadi mendengarkan dengan penuh perhatian, akhirnya bersuara. “Kau sudah membuat keputusan yang benar, Nak. Ada hal-hal yang tak bisa diperbaiki begitu saja.” Sera mengangguk, mendukung pernyataan suaminya. “Dia hanya akan mempermainkanmu lagi. Ini bukan tentang dendam, Daffi, ini tentang melindungi dirimu dan keluargamu.” Daffi menarik napas dalam, seolah ingin mengusir beban berat dari dadanya. “Aku tahu. Tapi... ada rasa bersalah di sini,” ujarnya sambil menepuk dadanya. “Aku ingin percaya bahwa
Daffi menatap layar ponsel dengan tatapan yang semakin goyah. Matanya bergerak cepat, mengikuti gambar-gambar kenangan yang terpampang jelas di sana. Suara Giska terdengar dari rekaman itu, tawa lembut yang selama ini terasa begitu akrab namun asing di benaknya. Daffi mulai mengingat, kilatan memori muncul seperti kilat di tengah badai. “Giska?” bisiknya nyaris tak terdengar, namun semua orang di ruangan itu mendengarnya. Lily, yang berdiri di sampingnya, merasakan ancaman itu semakin nyata. Dengan cepat, dia menarik lengan Daffi, memaksa senyumnya yang paling manis meskipun dalam hatinya gemuruh ketakutan mulai melanda. “Daffi, sayang, jangan biarkan mereka membingungkanmu lagi. Kau tahu aku satu-satunya yang selalu ada untukmu,” kata Lily, nada suaranya mencoba mengunci perhatian Daffi. Namun, detik itu juga, Daffi menepis tangannya. “Cukup, Lily,” ucap Daffi dengan nada yang tak lagi ragu. Dia menatap Giska, melihat matanya yang memerah dan wajahnya yang dipenuhi luka hati. “
Giska menatap Daffi dengan mata yang berbinar penuh harapan, meski ada ketakutan yang bersembunyi di sudut hatinya. “Daffi, aku hanya ingin kau tahu satu hal—cinta kita bukan sekadar kenangan. Itu nyata, dan kau merasakannya sebelum semua ini terjadi.” Lily mengepalkan tangannya erat di samping tubuhnya, mencoba mempertahankan senyuman manis di wajahnya, meski hatinya bergejolak marah. “Daffi, kau tahu aku selalu di sini. Aku yang mendampingimu saat semua terasa gelap, bukan dia.” Daffi mengalihkan pandangannya ke arah ibunya, Sera, yang menatapnya penuh kasih sayang. “Nak, pilih dengan hatimu. Kebenaran selalu datang pada saatnya.” Daffi terdiam, tatapannya beralih antara Giska yang penuh harapan dan Lily yang berusaha memancarkan keyakinan. Ingatan-ingatan kabur mulai terbangkitkan, seperti bayangan-bayangan samar yang muncul dan tenggelam. Rasa sakit di kepalanya kembali menyeruak, membuatnya memegangi pelipisnya. “Aku... aku hanya butuh waktu untuk mengingat,” gumam Daffi,
Daffi berdiri di tengah ruangan, pandangannya terarah ke lantai, tampak kebingungan. Giska berdiri di sudut lain, memegang selembar kertas yang penuh bukti, matanya berkaca-kaca. Lily di sisi lain, menggenggam erat tangannya, menyembunyikan ketegangan di balik senyum tipisnya. “Semuanya sudah jelas, Daffi,” ujar Giska dengan suara yang bergetar namun penuh keberanian. “Aku istrimu. Kau harus tahu kebenarannya, bahkan jika kau tidak mengingatnya sekarang.” Daffi memandang Giska dengan sorot mata yang kosong, seolah mencoba mencari serpihan ingatan di balik kabut yang membelenggu pikirannya. “Tapi… aku tak mengerti. Kenapa aku tak bisa mengingatnya?” Lily, yang sejak tadi diam, melangkah maju. Wajahnya seolah diliputi ketegasan palsu yang dibuat-buat. “Daffi, mereka hanya ingin membuatmu ragu. Kau tak harus memaksakan diri untuk mengingat sesuatu yang sudah hilang. Aku di sini untukmu, untuk masa depan kita,” katanya, suaranya mengalun lembut seperti mantra berbahaya. Sera, yang
Hari yang telah direncanakan Lily dengan penuh kegigihan akhirnya tiba—hari pernikahannya dengan Daffi. Di antara dekorasi mewah dan tamu-tamu yang hadir dalam suasana meriah, Daffi berdiri di sampingnya, mengenakan setelan yang elegan dan tampak siap untuk memulai babak baru dalam hidupnya. Hanya Lily yang tahu kenyataan di balik semua ini—bahwa pria yang sekarang berdiri di altar dengannya adalah pria yang telah hilang ingatan, terlupa pada cintanya yang dulu, dan kini siap mengucapkan janji suci untuknya. Mata Lily berbinar penuh kemenangan saat pastor di depan mereka mulai mengucapkan sumpah pernikahan. Namun, suasana sakral itu tiba-tiba terpecah ketika pintu gereja terbuka lebar. Giska muncul di ambang pintu, wajahnya penuh tekad. Gaun sederhana yang dikenakannya tak mampu mengurangi auranya—keberaniannya memancar, menuntut perhatian semua orang di dalam gereja. “Daffi!” seru Giska, suaranya lantang namun penuh haru. Beberapa tamu menoleh, terkejut dengan kedatangan tak terd
Setelah pengumuman pernikahan Daffi dan Lily, suasana di keluarga Daffi menjadi campur aduk. Meski orang tuanya, Sera dan Galen, mencoba untuk mendukung keputusan Daffi, mereka tidak bisa menutupi kekhawatiran di wajah mereka. Daffi, di sisi lain, berusaha menampakkan sikap optimis saat merencanakan pernikahan. Hari-hari berlalu dan Daffi mulai menghadiri berbagai pertemuan untuk merencanakan hari besarnya. Dalam proses ini, Lily sangat bersemangat dan aktif, tetapi terkadang Daffi merasakan ketidaknyamanan yang samar, terutama ketika Lily terlalu banyak berbicara tentang masa lalu mereka. Suatu sore, saat Daffi sedang duduk di taman rumahnya sambil memikirkan detail pernikahan, Sera datang menghampirinya. “Daffi, bisakah kita bicara sebentar?” tanyanya lembut, duduk di sampingnya. “Ya, Mama. Ada apa?” jawab Daffi, berusaha tersenyum. Sera menatapnya dengan tatapan penuh perhatian. “Aku hanya ingin memastikan bahwa kau baik-baik saja dengan keputusan ini. Aku tahu kau berusaha