Share

Bab 3

Penulis: Author Receh
last update Terakhir Diperbarui: 2024-08-19 12:22:32

Setelah memastikan Alana dan Alina tertidur, Sera menuju ke ruang tamu. Dia duduk di sofa dengan secangkir teh hangat di tangan, menyalakan lampu baca, dan membuka salah satu buku baru yang dibelinya tadi. Halaman demi halaman ia nikmati dengan tenang, merasa rileks setelah hari yang panjang.

Beberapa saat kemudian, ponselnya bergetar. Ternyata ada pesan dari Rina.

"Hai, Sera. Bagaimana pertemuan tadi pagi? Apa kabar proyek kita?" tanya Rina.

"Hai, Rina. Pertemuan berjalan lancar. Aku merasa sangat optimis dengan proyek ini. Terima kasih banyak atas bantuanmu!" balas Sera.

"Sama-sama, Sera. Aku juga senang bisa membantu. Kita akan membuat proyek ini sukses!" ungkap Rina.

Sera tersenyum puas, membalas pesan Rina dengan semangat yang sama. Setelah menutup percakapan, dia melanjutkan membaca bukunya. Malam itu, di tengah ketenangan rumah dan dengan perasaan bahagia di hatinya, Sera tahu bahwa masa depannya dan anak-anaknya akan cerah. Dengan semangat baru dan dukungan dari orang-orang terdekat, dia siap menghadapi hari-hari yang akan datang.

Setelah selesai membaca beberapa bab, Sera merasa kantuk mulai menguasai dirinya. Dia meletakkan buku di meja samping sofa, mematikan lampu baca, dan membawa cangkir teh yang kosong ke dapur. Sambil merapikan dapur dan memastikan semuanya bersih, pikirannya melayang ke rencana-rencana masa depannya dan proyek yang akan segera dimulai.

Ketika dia masuk ke kamarnya, dia melihat foto keluarga kecilnya di meja samping tempat tidur. Foto itu menunjukkan Sera bersama Alana dan Alina, senyum mereka merekah di wajah masing-masing. Sera mengambil foto itu dan memandangnya sejenak, merasa bangga atas apa yang telah mereka lalui dan capai.

Sera: "Kami akan baik-baik saja. Aku akan memastikan itu," bisiknya pada dirinya sendiri.

Setelah itu, Sera berbaring di tempat tidurnya, menarik selimut hingga menutupi tubuhnya, dan memejamkan mata. Pikiran tentang proyek barunya, kebahagiaan anak-anaknya, dan masa depan yang cerah membuatnya merasa tenang. Tak lama kemudian, dia tertidur dengan senyum tipis di wajahnya, siap menyambut hari esok dengan semangat dan optimisme baru.

Malam itu, rumah kecil mereka dipenuhi dengan kedamaian dan harapan, menyongsong masa depan yang penuh janji dan kebahagiaan yang layak mereka dapatkan.

Pagi itu, setelah mengantar anak-anak ke sekolah, Sera melanjutkan perjalanan menuju sebuah perusahaan tempat ia akan melamar pekerjaan. Rasa gugup bercampur semangat terpancar dari raut wajahnya. Jalanan kota yang mulai ramai dengan kendaraan dan orang-orang yang sibuk dengan aktivitas pagi membuat Sera semakin bersemangat untuk menghadapi tantangan hari ini.

Setibanya di gedung perkantoran yang menjulang tinggi, Sera menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan hatinya. Ia merapikan pakaian dan memastikan semua dokumen sudah rapi dalam tasnya. Dengan langkah mantap, ia memasuki lobi gedung yang megah, disambut oleh udara sejuk dari pendingin ruangan dan suara dering telepon yang sesekali terdengar. Petugas keamanan yang ramah mengarahkan Sera menuju resepsionis.

"Selamat pagi, ada yang bisa saya bantu?" sapa resepsionis dengan senyuman hangat.

"Pagi, saya Sera. Saya ada janji untuk wawancara kerja dengan HRD pada pukul sembilan," jawab Sera, mencoba terdengar tenang meskipun hatinya berdegup kencang.

"Oh, baik, Bu Sera. Silakan duduk sebentar, nanti akan saya panggilkan," kata resepsionis sambil mempersilakannya duduk di ruang tunggu yang nyaman.

Sera duduk dan membuka tasnya, memastikan kembali bahwa semua persiapan sudah maksimal. CV, surat lamaran, portofolio, semuanya sudah siap. Tak lama kemudian, seorang wanita muda berpenampilan rapi menghampirinya.

"Bu Sera, saya Rani dari bagian HRD. Silakan ikut saya, ruang wawancaranya di lantai lima," kata wanita tersebut dengan ramah.

Dengan perasaan campur aduk antara gugup dan antusias, Sera mengikuti Rani ke lift. Suasana di dalam lift terasa begitu sunyi, hanya suara alunan musik lembut yang menemani perjalanan singkat itu. Setibanya di lantai lima, Sera dibawa ke sebuah ruangan dengan dekorasi modern dan pencahayaan yang terang.

"Silakan duduk, Bu Sera. Sebentar lagi manajer HRD akan datang," ujar Rani sambil mempersilakannya duduk di kursi yang nyaman.

Sera duduk dan mencoba menenangkan diri dengan mengatur napas. Beberapa menit kemudian, pintu ruangan terbuka dan masuklah seorang pria paruh baya dengan wajah ramah.

"Selamat pagi, Bu Sera. Saya Pak Budi, manajer HRD di sini. Apa kabar?" sapanya sambil mengulurkan tangan.

"Pagi, Pak Budi. Saya baik, terima kasih," jawab Sera sambil tersenyum dan menjabat tangan Pak Budi.

Wawancara pun dimulai dengan suasana yang cukup santai namun tetap profesional. Pak Budi menanyakan berbagai hal tentang pengalaman kerja Sera, motivasinya melamar di perusahaan tersebut, serta keterampilan yang dimiliki. Sera menjawab dengan percaya diri, menjelaskan dengan detail setiap pertanyaan yang diajukan.

Waktu berlalu tanpa terasa, dan wawancara pun berakhir. Pak Budi tersenyum dan berkata, "Terima kasih banyak atas waktunya, Bu Sera. Kami akan menghubungi Anda dalam beberapa hari ke depan untuk informasi selanjutnya."

Sera mengangguk sambil tersenyum. "Terima kasih banyak, Pak Budi. Saya berharap mendapatkan kabar baik."

Setelah berpamitan, Sera keluar dari gedung perkantoran dengan perasaan lega. Langkahnya terasa lebih ringan, dan hatinya dipenuhi harapan akan masa depan yang lebih cerah. Ia tahu, apa pun hasilnya nanti, ia telah memberikan yang terbaik. Sambil berjalan menuju halte bus, Sera tak bisa menahan senyum yang terus mengembang di wajahnya.

Di sisi lain, Rani bergegas menuju ruang kantor di lantai tertinggi gedung itu, tempat sang CEO, Galendra Romanov, menjalankan operasional sehari-hari Romanov Corp. Galendra, seorang pria tampan dengan wajah tegas dan sorot mata tajam, sudah menunggu di balik meja kerjanya yang besar dan berkilau. Sejak mengambil alih perusahaan keluarga, ia dikenal sebagai pemimpin yang karismatik dan berwawasan luas, mampu membawa Romanov Corp. ke puncak kesuksesan dengan berbagai inovasi dan kebijakan strategisnya.

Setibanya di depan pintu kantor yang besar dan terbuat dari kayu mahoni yang elegan, Rani mengetuk pintu dengan lembut. "Masuk," terdengar suara Galendra dari dalam, penuh otoritas namun tetap hangat.

Rani masuk dengan penuh keyakinan, membawa berkas-berkas lamaran yang telah diseleksi dengan cermat. "Pagi, Pak Galendra. Ini berkas lamaran dari salah satu kandidat yang baru saja saya wawancarai. Namanya Sera, dan menurut saya, dia memiliki potensi yang sangat baik untuk posisi yang kita butuhkan," ujar Rani sambil menyerahkan map berwarna biru yang berisi CV dan portofolio Sera.

Galendra menerima berkas tersebut, membuka map, dan mulai membaca CV Sera dengan seksama. Ia mengerutkan alis, tanda bahwa ia tengah memeriksa setiap detail dengan penuh konsentrasi. Di balik penampilan dingin dan tegasnya, Galendra dikenal sangat teliti dan tidak pernah melewatkan satu pun informasi penting dalam setiap berkas yang ditinjau.

Rani, yang sudah terbiasa dengan cara kerja Galendra, menunggu dengan sabar sambil tetap berdiri di depan mejanya. Suasana di ruangan itu sangat tenang, hanya terdengar suara lembaran kertas yang dibalik dan sesekali detik jam dinding.

"Pengalaman kerjanya cukup mengesankan," ujar Galendra akhirnya, tanpa mengalihkan pandangannya dari berkas di tangannya.

"Dia pernah bekerja di beberapa perusahaan besar dan memiliki keterampilan yang relevan dengan kebutuhan kita."

Rani mengangguk, menambahkan, "Betul, Pak. Selain itu, dari wawancara tadi, saya bisa merasakan bahwa dia memiliki motivasi yang tinggi dan sangat antusias untuk bergabung dengan tim kita. Dia juga tampak sangat cerdas dan memiliki kemampuan komunikasi yang baik."

Galendra mengangguk pelan, tampak puas dengan penjelasan Rani. "Baiklah, jadwalkan dia untuk wawancara lanjutan dengan saya. Saya ingin melihat langsung bagaimana dia bisa berkontribusi untuk perusahaan ini," kata Galendra sambil menutup map berkas Sera dan meletakkannya di atas meja.

"Tentu, Pak. Akan segera saya atur," jawab Rani dengan senyum profesional. "Apakah ada hal lain yang perlu saya siapkan untuk pertemuan tersebut?"

"Pastikan dia mendapatkan gambaran yang jelas tentang visi dan misi perusahaan kita. Saya ingin melihat sejauh mana pemahamannya tentang apa yang kita lakukan di sini dan bagaimana dia bisa menjadi bagian dari itu," jelas Galendra.

"Baik, Pak. Akan saya sampaikan," ujar Rani sebelum berpamitan dan meninggalkan ruangan.

Setelah Rani keluar, Galendra duduk sejenak memandangi berkas Sera. Ada sesuatu dalam CV tersebut yang menarik perhatiannya. Mungkin bukan hanya pengalaman kerjanya, tetapi juga cara Sera menyusun dan menjelaskan setiap detail dengan jelas dan meyakinkan. Dengan rasa penasaran yang mulai tumbuh, Galendra merasa semakin ingin mengenal lebih jauh kandidat yang satu ini.

Di luar ruangan, Rani merasa lega karena berhasil menyampaikan berkas Sera dengan baik. Ia tahu bahwa wawancara lanjutan dengan Galendra adalah langkah penting, dan ia berharap Sera bisa menunjukkan potensinya dengan maksimal. Dengan semangat, Rani melanjutkan tugasnya, memastikan semuanya berjalan lancar untuk pertemuan berikutnya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Balas Dendam Wanita Yang Terhina   Ban 78

    Daffi menutup telepon tanpa berkata sepatah kata pun lagi. Suara napasnya terdengar berat, matanya menatap kosong ke kejauhan. Ruangan itu dipenuhi dengan ketegangan yang belum terurai. Giska mendekatinya, menaruh tangan lembut di pundaknya. “Kau baik-baik saja?” Daffi mengangguk pelan, meski ekspresinya menunjukkan konflik batin. “Aku tak bisa menolongnya, Giska. Dia telah menghancurkan hidup kita. Semua yang terjadi... luka yang ia tinggalkan... terlalu dalam.” Galen, yang sejak tadi mendengarkan dengan penuh perhatian, akhirnya bersuara. “Kau sudah membuat keputusan yang benar, Nak. Ada hal-hal yang tak bisa diperbaiki begitu saja.” Sera mengangguk, mendukung pernyataan suaminya. “Dia hanya akan mempermainkanmu lagi. Ini bukan tentang dendam, Daffi, ini tentang melindungi dirimu dan keluargamu.” Daffi menarik napas dalam, seolah ingin mengusir beban berat dari dadanya. “Aku tahu. Tapi... ada rasa bersalah di sini,” ujarnya sambil menepuk dadanya. “Aku ingin percaya bahwa

  • Balas Dendam Wanita Yang Terhina   Bab 77

    Daffi menatap layar ponsel dengan tatapan yang semakin goyah. Matanya bergerak cepat, mengikuti gambar-gambar kenangan yang terpampang jelas di sana. Suara Giska terdengar dari rekaman itu, tawa lembut yang selama ini terasa begitu akrab namun asing di benaknya. Daffi mulai mengingat, kilatan memori muncul seperti kilat di tengah badai. “Giska?” bisiknya nyaris tak terdengar, namun semua orang di ruangan itu mendengarnya. Lily, yang berdiri di sampingnya, merasakan ancaman itu semakin nyata. Dengan cepat, dia menarik lengan Daffi, memaksa senyumnya yang paling manis meskipun dalam hatinya gemuruh ketakutan mulai melanda. “Daffi, sayang, jangan biarkan mereka membingungkanmu lagi. Kau tahu aku satu-satunya yang selalu ada untukmu,” kata Lily, nada suaranya mencoba mengunci perhatian Daffi. Namun, detik itu juga, Daffi menepis tangannya. “Cukup, Lily,” ucap Daffi dengan nada yang tak lagi ragu. Dia menatap Giska, melihat matanya yang memerah dan wajahnya yang dipenuhi luka hati. “

  • Balas Dendam Wanita Yang Terhina   bab 76

    Giska menatap Daffi dengan mata yang berbinar penuh harapan, meski ada ketakutan yang bersembunyi di sudut hatinya. “Daffi, aku hanya ingin kau tahu satu hal—cinta kita bukan sekadar kenangan. Itu nyata, dan kau merasakannya sebelum semua ini terjadi.” Lily mengepalkan tangannya erat di samping tubuhnya, mencoba mempertahankan senyuman manis di wajahnya, meski hatinya bergejolak marah. “Daffi, kau tahu aku selalu di sini. Aku yang mendampingimu saat semua terasa gelap, bukan dia.” Daffi mengalihkan pandangannya ke arah ibunya, Sera, yang menatapnya penuh kasih sayang. “Nak, pilih dengan hatimu. Kebenaran selalu datang pada saatnya.” Daffi terdiam, tatapannya beralih antara Giska yang penuh harapan dan Lily yang berusaha memancarkan keyakinan. Ingatan-ingatan kabur mulai terbangkitkan, seperti bayangan-bayangan samar yang muncul dan tenggelam. Rasa sakit di kepalanya kembali menyeruak, membuatnya memegangi pelipisnya. “Aku... aku hanya butuh waktu untuk mengingat,” gumam Daffi,

  • Balas Dendam Wanita Yang Terhina   bab 75

    Daffi berdiri di tengah ruangan, pandangannya terarah ke lantai, tampak kebingungan. Giska berdiri di sudut lain, memegang selembar kertas yang penuh bukti, matanya berkaca-kaca. Lily di sisi lain, menggenggam erat tangannya, menyembunyikan ketegangan di balik senyum tipisnya. “Semuanya sudah jelas, Daffi,” ujar Giska dengan suara yang bergetar namun penuh keberanian. “Aku istrimu. Kau harus tahu kebenarannya, bahkan jika kau tidak mengingatnya sekarang.” Daffi memandang Giska dengan sorot mata yang kosong, seolah mencoba mencari serpihan ingatan di balik kabut yang membelenggu pikirannya. “Tapi… aku tak mengerti. Kenapa aku tak bisa mengingatnya?” Lily, yang sejak tadi diam, melangkah maju. Wajahnya seolah diliputi ketegasan palsu yang dibuat-buat. “Daffi, mereka hanya ingin membuatmu ragu. Kau tak harus memaksakan diri untuk mengingat sesuatu yang sudah hilang. Aku di sini untukmu, untuk masa depan kita,” katanya, suaranya mengalun lembut seperti mantra berbahaya. Sera, yang

  • Balas Dendam Wanita Yang Terhina   Bab 74

    Hari yang telah direncanakan Lily dengan penuh kegigihan akhirnya tiba—hari pernikahannya dengan Daffi. Di antara dekorasi mewah dan tamu-tamu yang hadir dalam suasana meriah, Daffi berdiri di sampingnya, mengenakan setelan yang elegan dan tampak siap untuk memulai babak baru dalam hidupnya. Hanya Lily yang tahu kenyataan di balik semua ini—bahwa pria yang sekarang berdiri di altar dengannya adalah pria yang telah hilang ingatan, terlupa pada cintanya yang dulu, dan kini siap mengucapkan janji suci untuknya. Mata Lily berbinar penuh kemenangan saat pastor di depan mereka mulai mengucapkan sumpah pernikahan. Namun, suasana sakral itu tiba-tiba terpecah ketika pintu gereja terbuka lebar. Giska muncul di ambang pintu, wajahnya penuh tekad. Gaun sederhana yang dikenakannya tak mampu mengurangi auranya—keberaniannya memancar, menuntut perhatian semua orang di dalam gereja. “Daffi!” seru Giska, suaranya lantang namun penuh haru. Beberapa tamu menoleh, terkejut dengan kedatangan tak terd

  • Balas Dendam Wanita Yang Terhina   Bab 73 Season 2 Part 20

    Setelah pengumuman pernikahan Daffi dan Lily, suasana di keluarga Daffi menjadi campur aduk. Meski orang tuanya, Sera dan Galen, mencoba untuk mendukung keputusan Daffi, mereka tidak bisa menutupi kekhawatiran di wajah mereka. Daffi, di sisi lain, berusaha menampakkan sikap optimis saat merencanakan pernikahan. Hari-hari berlalu dan Daffi mulai menghadiri berbagai pertemuan untuk merencanakan hari besarnya. Dalam proses ini, Lily sangat bersemangat dan aktif, tetapi terkadang Daffi merasakan ketidaknyamanan yang samar, terutama ketika Lily terlalu banyak berbicara tentang masa lalu mereka. Suatu sore, saat Daffi sedang duduk di taman rumahnya sambil memikirkan detail pernikahan, Sera datang menghampirinya. “Daffi, bisakah kita bicara sebentar?” tanyanya lembut, duduk di sampingnya. “Ya, Mama. Ada apa?” jawab Daffi, berusaha tersenyum. Sera menatapnya dengan tatapan penuh perhatian. “Aku hanya ingin memastikan bahwa kau baik-baik saja dengan keputusan ini. Aku tahu kau berusaha

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status