Share

Bab 8

Author: Author Receh
last update Last Updated: 2024-09-12 09:16:21

Di sisi lain kota, Arga duduk di ruang kerjanya yang luas, namun kali ini suasananya tidak terasa nyaman baginya. Dia merasa gelisah sejak pertemuan tadi malam. Pikirannya terus kembali ke momen saat dia melihat Sera bersama Galendra, pria yang tampaknya begitu perhatian dan mendukung Sera. Hal itu membuatnya merasa kesal dan tidak nyaman.

Arga berjalan mondar-mandir di ruangan, mencoba mengalihkan pikirannya dengan pekerjaan, tapi wajah Sera yang tersenyum bahagia terus muncul di benaknya. "Kenapa Sera harus bersama pria itu?" gumamnya dengan nada penuh frustrasi.

Anissa, yang sedang berada di ruangan lain, merasakan ketegangan di udara. Dia mencoba untuk tetap tenang, namun tidak bisa menahan rasa penasaran. "Ada apa, Arga? Kamu kelihatan tidak tenang sejak tadi malam."

Arga berhenti sejenak, mencoba menenangkan diri sebelum menjawab. "Tidak ada apa-apa, Anissa. Aku hanya sedikit lelah," jawabnya singkat, meskipun jelas ada sesuatu yang mengganggunya.

Anissa menghela napas, merasa bahwa Arga tidak sepenuhnya jujur. "Kalau kamu bilang begitu. Tapi aku bisa merasakan ada yang tidak beres. Kamu harus belajar untuk lebih jujur, terutama dengan dirimu sendiri."

Arga tidak menanggapi, hanya kembali duduk di kursinya dengan ekspresi kesal. Dia merasa marah pada dirinya sendiri karena tidak bisa mengabaikan perasaan itu. Kenyataan bahwa Sera telah menemukan kebahagiaan dengan pria lain, setelah dia meremehkannya begitu lama, membuatnya merasa terluka dan terhina.

"Bagaimana bisa dia begitu cepat move on?" pikir Arga dengan amarah yang tertahan. Dia mencoba mengingat saat-saat ketika dia dan Sera masih bersama, tapi kenangan itu sekarang terasa pahit. Dia tahu bahwa dia yang bersalah, dia yang menghancurkan kepercayaan dan kebahagiaan Sera.

Arga mencoba untuk fokus pada pekerjaannya, membuka laptop dan melihat dokumen-dokumen yang menumpuk di mejanya. Tapi pikirannya terus kembali pada malam itu, pada senyum Sera dan tatapan penuh perhatian Galendra.

Dia menghela napas panjang, merasa ada sesuatu yang hilang dalam hidupnya. Sesuatu yang tidak bisa dia kembalikan. "Mungkin aku yang salah," bisiknya pada dirinya sendiri. "Mungkin aku yang kehilangan kesempatan untuk memperbaiki semuanya."

Anissa, yang mendengar bisikan itu, mendekat dan meletakkan tangannya di bahu Arga. "Arga, kadang kita harus menerima kenyataan dan belajar dari kesalahan kita. Mungkin ini saatnya kamu melangkah maju dan menemukan kebahagiaanmu sendiri."

Arga menatap Anissa, merasa sedikit tenang oleh kehadirannya. "Kamu benar, Anissa. Aku harus belajar menerima kenyataan. Tapi itu tidak mudah."

Anissa tersenyum lembut. "Tidak ada yang bilang itu mudah, Arga. Tapi kamu bisa mulai dengan menerima dirimu sendiri dan apa yang telah terjadi."

Dengan perasaan campur aduk antara kesal dan introspeksi, Arga mencoba untuk memulai hari dengan sikap yang lebih positif. Dia tahu bahwa perjalanan untuk melupakan masa lalu dan menemukan kebahagiaan baru tidak akan mudah, tapi dia harus mencoba. Dan mungkin, suatu hari nanti, dia akan menemukan kedamaian dalam hatinya.

Di ruang kerja Arga yang dipenuhi dengan berkas-berkas dan dokumen, ketegangan masih terasa di udara. Arga duduk di kursinya, memandang kosong ke layar laptop. Pikirannya masih terjebak pada momen ketika dia melihat Sera bersama Galendra. Tidak jauh dari sana, Anissa memandangnya dengan tatapan penuh rasa penasaran dan sedikit cemburu. Dia tidak bisa lagi menahan perasaannya yang mengganggu.

Anissa berjalan mendekati Arga, lalu berdiri di depan meja kerjanya dengan tangan terlipat di dada. "Arga, aku tahu kamu masih memikirkan Sera," ucapnya dengan nada yang terdengar kesal dan cemburu.

Arga mendongak, menatap Anissa dengan pandangan lelah. "Anissa, aku sudah bilang tadi, aku hanya lelah. Ini bukan tentang Sera," jawabnya, meskipun jelas ada ketidakjujuran dalam kata-katanya.

Anissa menggelengkan kepala, tidak mau menerima alasan itu. "Jangan bohong, Arga. Aku bisa melihatnya di matamu. Kamu masih belum bisa melupakan dia, dan itu menggangguku."

Arga terdiam, tahu bahwa Anissa benar. Dia menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab, mencoba meredakan ketegangan. "Anissa, aku hanya kaget melihat Sera dengan pria lain. Itu saja. Aku tidak bermaksud membuatmu cemburu."

Anissa menatap Arga dengan tatapan yang lebih lembut, namun tetap ada rasa sakit di dalamnya. "Arga, kamu harus berhenti memikirkan Sera. Kamu tidak bisa terus-terusan hidup di masa lalu. Aku di sini sekarang, bersamamu. Aku ingin kamu fokus padaku, pada kita."

Arga merasa bersalah melihat Anissa seperti itu. Dia tahu bahwa Anissa pantas mendapatkan perhatian penuh darinya, bukan bayang-bayang masa lalu. "Kamu benar, Anissa. Aku minta maaf. Aku akan mencoba untuk lebih fokus pada kita."

Anissa mendekat dan meraih tangan Arga, menggenggamnya dengan lembut. "Aku hanya ingin kita bisa bahagia bersama, Arga. Tapi aku butuh kamu untuk benar-benar ada di sini, bersamaku, bukan dengan pikiranmu di tempat lain."

Arga mengangguk, merasakan sentuhan Anissa yang hangat. "Aku mengerti, Anissa. Aku akan berusaha lebih baik. Terima kasih sudah mengingatkanku."

Anissa tersenyum tipis, merasa sedikit lega mendengar kata-kata Arga. "Bagus. Kita harus melangkah maju bersama, Arga. Kita bisa melewati ini, asal kita saling mendukung."

Dengan perasaan yang sedikit lebih ringan, Anissa dan Arga berusaha untuk memulai kembali, meninggalkan bayang-bayang masa lalu dan fokus pada hubungan mereka. Mereka tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah, tapi mereka siap untuk menghadapi segala tantangan bersama-sama.

Malam itu, setelah percakapan yang menegangkan dengan Arga, Anissa duduk sendirian di kamar apartemen mereka, memandangi pemandangan kota dari jendela. Pikirannya sibuk merencanakan sesuatu yang lebih besar, sesuatu yang akan memastikan Sera tidak lagi menjadi ancaman bagi hubungannya dengan Arga. Perlahan, senyuman licik terbentuk di wajahnya. Dia sudah tahu apa yang harus dilakukan.

Anissa mulai membuat rencana dengan hati-hati. Dia mengambil ponselnya dan mulai mencari informasi tentang Sera. Setelah beberapa saat, dia menemukan beberapa detail yang cukup berguna—tempat kerja Sera, proyek-proyek yang sedang dia tangani, dan beberapa kontak penting.

Dia kemudian menghubungi seorang kenalannya yang bekerja di bidang informasi, seorang pria bernama Bimo yang dikenal karena kemampuannya mendapatkan informasi rahasia. "Bimo, ini Anissa. Aku butuh bantuanmu. Ada seseorang yang perlu diawasi," katanya dengan nada serius.

Bimo, yang sudah biasa dengan permintaan semacam itu, menjawab dengan tenang, "Siapa yang harus diawasi dan informasi apa yang kamu butuhkan?"

"Sera. Aku butuh semua informasi yang bisa kamu dapatkan tentang aktivitas bisnisnya, proyek-proyeknya, dan apapun yang bisa digunakan untuk menjatuhkannya. Dan ingat, semuanya harus dilakukan dengan sangat hati-hati. Jangan sampai ada yang tahu," jawab Anissa, menekankan pentingnya kerahasiaan.

Bimo setuju dan mulai bekerja, mencari semua informasi yang bisa dia dapatkan tentang Sera. Sementara itu, Anissa mulai memikirkan langkah berikutnya. Dia tahu bahwa menyerang Sera langsung bukanlah cara yang bijak; dia harus membuatnya tampak seperti Sera yang gagal atau membuat kesalahan fatal dalam pekerjaannya.

Keesokan harinya, Anissa kembali ke rutinitasnya seperti biasa, berpura-pura tidak ada yang terjadi. Dia menjaga sikapnya tetap tenang dan manis di depan Arga, memastikan bahwa dia tidak menaruh curiga sedikit pun. Setiap kali Arga bertanya tentang rencana hariannya, Anissa selalu memberikan jawaban yang sama, tentang pekerjaan dan rutinitasnya yang biasa.

Namun, di balik semua itu, Anissa terus bekerja dalam bayangan. Dia menghubungi beberapa orang di industri yang bisa membantu menyebarkan desas-desus atau informasi negatif tentang Sera. Dia tahu bahwa jika bisa menciptakan cukup banyak keraguan dan masalah di sekitar Sera, maka Sera akan kesulitan menjaga reputasinya.

Setelah beberapa hari, Bimo menghubungi Anissa dengan informasi yang dia butuhkan. "Aku punya beberapa informasi penting tentang proyek besar yang sedang ditangani Sera. Jika ada kesalahan atau masalah yang terjadi di sana, itu bisa merusak reputasinya," kata Bimo dengan nada puas.

Anissa tersenyum, merasa bahwa rencananya semakin dekat dengan keberhasilan. "Bagus, Bimo. Kirim semua informasinya padaku dan pastikan tidak ada jejak yang mengarah padaku. Aku akan mengurus sisanya."

Dengan informasi di tangannya, Anissa mulai menyusun rencana liciknya

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Balas Dendam Wanita Yang Terhina   Ban 78

    Daffi menutup telepon tanpa berkata sepatah kata pun lagi. Suara napasnya terdengar berat, matanya menatap kosong ke kejauhan. Ruangan itu dipenuhi dengan ketegangan yang belum terurai. Giska mendekatinya, menaruh tangan lembut di pundaknya. “Kau baik-baik saja?” Daffi mengangguk pelan, meski ekspresinya menunjukkan konflik batin. “Aku tak bisa menolongnya, Giska. Dia telah menghancurkan hidup kita. Semua yang terjadi... luka yang ia tinggalkan... terlalu dalam.” Galen, yang sejak tadi mendengarkan dengan penuh perhatian, akhirnya bersuara. “Kau sudah membuat keputusan yang benar, Nak. Ada hal-hal yang tak bisa diperbaiki begitu saja.” Sera mengangguk, mendukung pernyataan suaminya. “Dia hanya akan mempermainkanmu lagi. Ini bukan tentang dendam, Daffi, ini tentang melindungi dirimu dan keluargamu.” Daffi menarik napas dalam, seolah ingin mengusir beban berat dari dadanya. “Aku tahu. Tapi... ada rasa bersalah di sini,” ujarnya sambil menepuk dadanya. “Aku ingin percaya bahwa

  • Balas Dendam Wanita Yang Terhina   Bab 77

    Daffi menatap layar ponsel dengan tatapan yang semakin goyah. Matanya bergerak cepat, mengikuti gambar-gambar kenangan yang terpampang jelas di sana. Suara Giska terdengar dari rekaman itu, tawa lembut yang selama ini terasa begitu akrab namun asing di benaknya. Daffi mulai mengingat, kilatan memori muncul seperti kilat di tengah badai. “Giska?” bisiknya nyaris tak terdengar, namun semua orang di ruangan itu mendengarnya. Lily, yang berdiri di sampingnya, merasakan ancaman itu semakin nyata. Dengan cepat, dia menarik lengan Daffi, memaksa senyumnya yang paling manis meskipun dalam hatinya gemuruh ketakutan mulai melanda. “Daffi, sayang, jangan biarkan mereka membingungkanmu lagi. Kau tahu aku satu-satunya yang selalu ada untukmu,” kata Lily, nada suaranya mencoba mengunci perhatian Daffi. Namun, detik itu juga, Daffi menepis tangannya. “Cukup, Lily,” ucap Daffi dengan nada yang tak lagi ragu. Dia menatap Giska, melihat matanya yang memerah dan wajahnya yang dipenuhi luka hati. “

  • Balas Dendam Wanita Yang Terhina   bab 76

    Giska menatap Daffi dengan mata yang berbinar penuh harapan, meski ada ketakutan yang bersembunyi di sudut hatinya. “Daffi, aku hanya ingin kau tahu satu hal—cinta kita bukan sekadar kenangan. Itu nyata, dan kau merasakannya sebelum semua ini terjadi.” Lily mengepalkan tangannya erat di samping tubuhnya, mencoba mempertahankan senyuman manis di wajahnya, meski hatinya bergejolak marah. “Daffi, kau tahu aku selalu di sini. Aku yang mendampingimu saat semua terasa gelap, bukan dia.” Daffi mengalihkan pandangannya ke arah ibunya, Sera, yang menatapnya penuh kasih sayang. “Nak, pilih dengan hatimu. Kebenaran selalu datang pada saatnya.” Daffi terdiam, tatapannya beralih antara Giska yang penuh harapan dan Lily yang berusaha memancarkan keyakinan. Ingatan-ingatan kabur mulai terbangkitkan, seperti bayangan-bayangan samar yang muncul dan tenggelam. Rasa sakit di kepalanya kembali menyeruak, membuatnya memegangi pelipisnya. “Aku... aku hanya butuh waktu untuk mengingat,” gumam Daffi,

  • Balas Dendam Wanita Yang Terhina   bab 75

    Daffi berdiri di tengah ruangan, pandangannya terarah ke lantai, tampak kebingungan. Giska berdiri di sudut lain, memegang selembar kertas yang penuh bukti, matanya berkaca-kaca. Lily di sisi lain, menggenggam erat tangannya, menyembunyikan ketegangan di balik senyum tipisnya. “Semuanya sudah jelas, Daffi,” ujar Giska dengan suara yang bergetar namun penuh keberanian. “Aku istrimu. Kau harus tahu kebenarannya, bahkan jika kau tidak mengingatnya sekarang.” Daffi memandang Giska dengan sorot mata yang kosong, seolah mencoba mencari serpihan ingatan di balik kabut yang membelenggu pikirannya. “Tapi… aku tak mengerti. Kenapa aku tak bisa mengingatnya?” Lily, yang sejak tadi diam, melangkah maju. Wajahnya seolah diliputi ketegasan palsu yang dibuat-buat. “Daffi, mereka hanya ingin membuatmu ragu. Kau tak harus memaksakan diri untuk mengingat sesuatu yang sudah hilang. Aku di sini untukmu, untuk masa depan kita,” katanya, suaranya mengalun lembut seperti mantra berbahaya. Sera, yang

  • Balas Dendam Wanita Yang Terhina   Bab 74

    Hari yang telah direncanakan Lily dengan penuh kegigihan akhirnya tiba—hari pernikahannya dengan Daffi. Di antara dekorasi mewah dan tamu-tamu yang hadir dalam suasana meriah, Daffi berdiri di sampingnya, mengenakan setelan yang elegan dan tampak siap untuk memulai babak baru dalam hidupnya. Hanya Lily yang tahu kenyataan di balik semua ini—bahwa pria yang sekarang berdiri di altar dengannya adalah pria yang telah hilang ingatan, terlupa pada cintanya yang dulu, dan kini siap mengucapkan janji suci untuknya. Mata Lily berbinar penuh kemenangan saat pastor di depan mereka mulai mengucapkan sumpah pernikahan. Namun, suasana sakral itu tiba-tiba terpecah ketika pintu gereja terbuka lebar. Giska muncul di ambang pintu, wajahnya penuh tekad. Gaun sederhana yang dikenakannya tak mampu mengurangi auranya—keberaniannya memancar, menuntut perhatian semua orang di dalam gereja. “Daffi!” seru Giska, suaranya lantang namun penuh haru. Beberapa tamu menoleh, terkejut dengan kedatangan tak terd

  • Balas Dendam Wanita Yang Terhina   Bab 73 Season 2 Part 20

    Setelah pengumuman pernikahan Daffi dan Lily, suasana di keluarga Daffi menjadi campur aduk. Meski orang tuanya, Sera dan Galen, mencoba untuk mendukung keputusan Daffi, mereka tidak bisa menutupi kekhawatiran di wajah mereka. Daffi, di sisi lain, berusaha menampakkan sikap optimis saat merencanakan pernikahan. Hari-hari berlalu dan Daffi mulai menghadiri berbagai pertemuan untuk merencanakan hari besarnya. Dalam proses ini, Lily sangat bersemangat dan aktif, tetapi terkadang Daffi merasakan ketidaknyamanan yang samar, terutama ketika Lily terlalu banyak berbicara tentang masa lalu mereka. Suatu sore, saat Daffi sedang duduk di taman rumahnya sambil memikirkan detail pernikahan, Sera datang menghampirinya. “Daffi, bisakah kita bicara sebentar?” tanyanya lembut, duduk di sampingnya. “Ya, Mama. Ada apa?” jawab Daffi, berusaha tersenyum. Sera menatapnya dengan tatapan penuh perhatian. “Aku hanya ingin memastikan bahwa kau baik-baik saja dengan keputusan ini. Aku tahu kau berusaha

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status