Kriekk!
“Akhirnya, aku kembali ke rumah ini,” gumam Rayden saat membuka pintu kayu yang sudah lapuk.
Aroma kayu tua dan debu menyambutnya, memancing kembali ingatan menyakitkan, saat ayahnya tergeletak bersimbah darah tepat di depan pintu itu. Amarah dan dendam terhadap Keluarga Bramasta dan Paman Hery kembali membara dalam dadanya.
Setelah kembali ke Kota Malora, Rayden tahu rumah keluarganya telah lama dijual oleh Keluarga Bramasta, tapi tak pernah laku karena dianggap angker. Justru itulah keberuntungannya karena dia berhasil membelinya kembali.
Semua itu berkat kartu hitam tanpa limit yang diberikan oleh seorang mantan murid Desa Dewa, sebagai imbalan atas bantuan Rayden membujuk Guru Sena mengajarkan teknik pedang rahasia. Awalnya Rayden ragu, tapi setelah rumah itu berhasil ia beli tanpa hambatan, semua keraguan lenyap.
“Aku harus mandi,” gumamnya.
Ia masuk tanpa repot mengunci pintu. Menurutnya, tak ada yang tertarik menerobos rumah tua penuh cerita kelam.
Setibanya di kamar, Rayden meletakkan tas belanja berisi pakaian, lalu menuju kamar mandi.
Beberapa menit kemudian, ia keluar, hanya mengenakan handuk putih yang melilit pinggangnya. Uap masih menggantung di udara, sementara tetesan air mengalir dari rambut dan dadanya.
Tatapannya tajam ke arah cermin. Wajahnya serius, rahangnya mengeras.
Namun tiba-tiba—
Brakk!
Suara keras dari arah pintu kamar membuat insting Rayden langsung bereaksi. Dalam sekejap, tubuhnya bergerak cepat, menghindari kemungkinan serangan, lalu berbalik dan menindih sosok yang baru saja menerobos masuk.
Tangannya mencengkeram leher orang itu, menekannya ke dinding dengan kekuatan yang terlatih. Matanya tajam, penuh kewaspadaan, sementara tubuhnya masih hanya dibalut handuk putih yang meneteskan air ke lantai.
Namun begitu Rayden menatap wajah orang itu, alisnya langsung berkerut.
Seorang wanita.
Mata wanita itu membelalak, terkejut dan panik. Kedua tangannya berusaha melepaskan cekikan Rayden, tetapi suaranya tercekat.
“A-Apa yang…?” gumam wanita itu terputus karena tekanan di lehernya.
Rayden tidak bergeming. Meski sadar lawannya adalah wanita, kewaspadaannya tetap tinggi. Matanya menatap tajam, tak terganggu oleh kenyataan bahwa dia sendiri dalam keadaan setengah telanjang.
“Siapa kamu?” tanyanya dingin, tanpa melepaskan cekikannya.
Wanita itu masih terlihat kebingungan. Napasnya terengah, matanya berpindah antara wajah Rayden dan tubuhnya yang basah kuyup. Tampak jelas dia tak mengerti apa yang sedang terjadi, antara ancaman nyawa dan ketelanjangan pria di depannya.
“Jawab,” desis Rayden, suaranya rendah tapi penuh tekanan. “Siapa kamu dan kenapa kamu bisa masuk ke rumah ini?”
Wanita itu membuka mulutnya, masih terengah, tetapi belum sempat memberi penjelasan apa pun. Dia semakin menggeliat panik. Matanya berkaca-kaca, tubuhnya gemetar di bawah tekanan tangan Rayden.
“T-tolong... lepaskan aku... aku bukan orang jahat...” ucapnya dengan suara parau, nyaris berbisik karena napasnya yang tercekik.
Rayden tetap menatapnya tajam, mencoba membaca kebohongan di matanya. Namun yang terlihat hanyalah ketakutan. Akhirnya, dia melepaskan wanita itu. Namun, begitu melihat mata dan tahi lalat di pelipis kiri wanita itu, Rayden seolah teringat pada seseorang.
“Kak Mireya?” kata Rayden lirih.
Mireya Arsana, anak Bibi Diana, teman baik ibu Rayden.
Wanita itu membelalakkan mata tak percaya, napasnya masih tersengal. “Bagaimana bisa kamu … tahu namaku?”
Namun, begitu dia sadar bahwa Rayden hanya menggunakan handuk di pinggangnya untuk menutup tubuhnya, wanita itu langsung berbalik memunggungi Rayden sambil menutup wajahnya dengan kedua tangannya, wajahnya terasa panas.
“Kak Mire, ini aku Rayden,” kata Rayden langsung.
Wajah Mireya seketika membeku, dia menurunkan kedua tangannya dari wajahnya. “Itu tidak mungkin! Rayden sudah mati sepuluh tahun lalu!”
“Kalau aku mati, bagaimana aku bisa berdiri di sini sekarang?” Rayden langsung membalikkan tubuh Mireya dan tersenyum kecil.
Tatapan mereka bertabrakan dalam diam yang mencekam.
Mireya melangkah mundur, matanya berkaca. Dia tidak bisa mengenali Rayden karena saat ini Rayden telah tumbuh dengan wajah yang tegas, tubuhnya tinggi kekar, dan bahkan rambutnya cukup panjang untuk seorang pria, sangat berbeda dengan Rayden yang dulu.
“Kamu benar-benar masih hidup, Ray?” tanya Mireya dengan lirih, seolah masih tidak percaya dengan apa yang dia lihat.
Rayden mengangguk pelan, lalu melangkah pelan mendekat ke arah Mireya yang masih berdiri terpaku. Sorot matanya melembut, tetapi penuh tanda tanya. “Apa yang kamu lakukan di rumah ini?”
Mireya membuka mulutnya, dan berkata. "A-aku... tunggu!”
Namun, mendadak dia menyadari bahwa Rayden masih hanya mengenakan handuk putih yang menempel basah di pinggang. Wajah Mireya langsung memerah.
“Ray, bisa tidak ... kamu pakai baju dulu?!” katanya cepat sambil menoleh ke arah lain, menutupi wajahnya dengan tangan.
Rayden menatapnya beberapa detik, kemudian tersenyum tipis.
“Maaf, aku terlalu fokus pada pertanyaan,” ucapnya sambil berbalik santai menuju lemari pakaiannya.
Sementara Rayden mencari baju, Mireya tetap membelakangi, mencoba menenangkan detak jantungnya yang kacau. Wajahnya masih memerah, pikirannya kalut. Bukan hanya karena kehadiran Rayden yang tiba-tiba, tapi juga karena sikapnya yang terlihat begitu tenang dan biasa saja meski nyaris telanjang di hadapan seorang wanita dewasa. Seolah hal itu tak berarti apa-apa baginya.
“Sudah,” kata Rayden akhirnya. Dia kembali mendekati Mireya. “Jadi, kenapa kamu bisa ada di sini?”
“Aku ingin mencari boneka Raelyn, belakangan dia terus meminta boneka itu,” jawab Mireya sambil berbalik untuk menatap Rayden.
“Raelyn?” Rayden terperanjat. “Raelyn masih hidup?”
Mireya mengangguk pelan.
“Di mana dia sekarang?” tanya Rayden tanpa basa-basi, tatapannya tampak semakin membara. Satu misinya akan segera berhasil, yaitu menemukan Raelyn.
“Dia … ada di rumahku,” jawab Mireya sedikit terbata.
Rayden terdiam sejenak, matanya menatap lurus ke arah Mireya, seolah memastikan bahwa apa yang baru saja didengarnya bukan mimpi. Helaan napasnya terdengar berat, tetapi penuh harapan.
“Kalau begitu, antar aku ke sana. Aku ingin lihat Raelyn. Aku ingin memastikan dia benar-benar baik-baik saja,” katanya perlahan, lalu menatap Mireya lebih serius.
Mireya sempat ragu, tapi saat melihat sorot mata Rayden yang begitu tulus, dia perlahan mengangguk. “Tentu. Tapi... Ray, bagaimana bisa kamu ada di rumah ini?”
Rayden mengangkat alisnya sedikit dan menjawab santai. "Aku sudah membelinya.”
Mireya membelalak. “Kamu beli rumah ini? Tapi… bagaimana caranya?”
Rayden hendak menjawab, bahkan mulutnya sudah terbuka, tapi tiba-tiba—
“Tuan Kartadewa! Kau ada di dalam?!” terdengar teriakan keras dari luar rumah.
Mendengar itu, Rayden tersenyum tipis, seolah momen yang dinanti akhirnya datang. Sementara Mireya justru terkejut karena dia sangat mengenali pemilik suara itu.
“Ray, kita harus lari!” kata Mireya dengan tergesa, dia telah bersiap untuk mendorong kursi roda Raelyn ke arah pintu belakang.
Namun, Rayden mencegahnya. “Kenapa?”
“Aku tahu siapa orang itu. Dia adalah Lazren Bramasta, putra bungsu keluarga Bramasta yang mengambil alih rumah ini—”
“Lalu, apa masalahnya?” potong Rayden langsung.
Lagi-lagi, saat Mireya akan kembali bersuara, pria itu tiba-tiba telah muncul di hadapan mereka.
“Tuan Kartadewa, ah ternyata Anda benar ada di sini. Entah bisnis besar apa yang telah Anda lakukan dengan ayah saya sampai beliau meminta saya menemui Anda secara langsung di rumah tua ini,” kata Lazren dengan senyum lebar.
Rayden langsung mengalihkan pandangannya pada pria itu, lalu tersenyum dingin. Aura membunuh seketika muncul dari sorot matanya. “Jadi, ini putra bungsu keluarga yang telah membantai keluargaku 10 tahun lalu?”
Peringatan terakhir dari Tetua Agung Altair masih menggema di telinga Rayden, meninggalkan jejak dingin dari paranoia. Namun, pria tua itu tidak menunggu jawaban. Ia mendorong piringan giok kusam itu ke seberang meja dengan gerakan final."Hutang keluargaku, baik pada Kalesvara maupun pada cucuku, tidak akan pernah bisa lunas," katanya dengan suara yang dipenuhi kelelahan. "Anggap ini sebagai bunga pertamanya."Ia menjelaskan dengan singkat. Piringan itu adalah Kunci Spasial, sebuah artefak kuno sekali pakai. Fungsinya hanya satu, membuka gerbang sementara menuju perbatasan Wilayah Nebulon, dimensi tersembunyi tempat para kultivator tingkat tinggi seperti Brahma Angkara bersemayam. Ini adalah satu-satunya cara bagi Rayden untuk melanjutkan perburuannya.Rayden menatap kunci di tangannya, lalu pada pria tua di hadapannya. Tujuannya kini jelas, dan jalan di hadapannya, meskipun berbahaya, telah terbentang. Ia mengambil kunci itu tanpa berkata apa-apa.***Di atap markas bawah tanahnya,
Rayden menatap pria tua di hadapannya, matanya menyipit dengan tatapan menyelidik yang dingin. Secercah harapan yang ditawarkan sang Tetua terasa seperti umpan di atas sebuah perangkap yang rumit."Jalan masuk?" tanyanya skeptis, suaranya datar. "Setelah semua kebohongan dan manipulasi, kenapa aku harus percaya kau tidak sedang menuntunku ke dalam jebakan lain?"Menghadapi ketidakpercayaan itu, Tetua Agung Altair justru tersenyum getir. Itu bukan lagi senyum licik, melainkan senyum lelah dari seorang pemain catur yang telah kalah dan kini membuka semua strateginya."Kau tidak harus percaya padaku, anak muda," jawabnya, suaranya terdengar jujur untuk pertama kalinya. "Tapi kau harus percaya pada logikaku. Percaya pada kepentingan pribadiku."Ia menegakkan tubuhnya, kembali ke persona seorang ahli strategi. "Aku akan jujur padamu. Tindakanku ini bukan didasari oleh kebaikan hati atau keinginan untuk menebus dosa. Ini adalah pertaruhan terakhirku."Ia mengangkat satu jari. "Pertama, Brah
"Aku adalah monster yang sebenarnya dalam cerita ini."Bisikan yang bergetar itu menggantung di udara paviliun teh yang kini terasa dingin, sebuah pengakuan akhir yang menyedihkan. Tetua Agung Altair menunduk, bahunya yang rapuh berguncang karena isak tangis yang tertahan, sosoknya tidak lebih dari seorang pria tua yang hancur oleh dosanya sendiri.Rayden terdiam untuk waktu yang sangat lama.Ia tidak merasakan kemenangan. Ia tidak merasakan kepuasan dari melihat musuhnya yang licik ini hancur. Ia bahkan tidak merasakan amarah yang meledak-ledak. Yang ia rasakan hanyalah hawa dingin yang menusuk dari sebuah kebenaran yang pahit, rumit, dan sangat melelahkan.Di dalam keheningan itu, pikirannya bekerja dengan kecepatan kilat, menyusun kembali semua masalah yang selama ini terasa salah tempat.Kara Kalderis.Sikapnya yang dingin namun penuh selidik saat pertama kali mereka bertemu. Itu bukanlah arogansi, melainkan kewaspadaan dari seseorang yang telah belajar untuk tidak mempercayai sia
Rayden menatap Tetua Agung Altair, matanya yang berwarna amber kini menyipit menjadi dua titik cahaya yang berbahaya. Udara di sekelilingnya terasa mendingin, dan suaranya keluar bukan sebagai teriakan, melainkan desisan yang jauh lebih menakutkan."Apa... yang telah kau lakukan padanya?"Pertanyaan itu menggantung di udara, sebuah tuntutan yang absolut. Wajah sang Tetua yang keriput kini basah oleh air mata yang akhirnya tak bisa lagi ia bendung. Ia tidak lagi terlihat seperti seorang penguasa licik, melainkan hanya seorang kakek tua yang hancur oleh penyesalannya sendiri."Aku melakukan dosa yang tak termaafkan," bisiknya, suaranya parau. Ia mulai menceritakan bagian terakhir dari kisahnya, bagian yang paling ia kubur dalam-dalam.Ia menceritakan hari saat Kara dengan mata berbinar penuh kebanggaan, mengumumkan bahwa ia telah siap. Siap untuk melakukan meditasi tertutup, untuk mengerahkan seluruh kekuatannya dan menerobos belenggu terakhir dari tingkat Master menuju alam Grandmaster
Kalimat terakhir dari laporan Lucien Dorne—"saksi mata itu... adalah salah satu dari kita"—menggantung di udara seperti vonis mati. Rayden menatap Tetua Agung Altair, semua kepingan puzzle yang membingungkan itu akhirnya mulai mengarah pada satu nama, satu sosok yang tak terduga. Kesabarannya habis."Aku tidak tertarik dengan detail kegagalanmu," potong Rayden dengan tajam, suaranya dingin dan tidak menyisakan ruang untuk basa-basi. "Aku melihat seorang anak perempuan di belakang Lucien Dorne malam itu. Jelaskan tentang Kara."Saat nama itu disebut, topeng ketenangan dan kendali yang selama ini dikenakan oleh Tetua Agung Altair hancur berkeping-keping. Wajahnya yang keriput mengeras, dipenuhi oleh penderitaan yang begitu dalam dan nyata hingga membuat amarah Rayden seketika surut, digantikan oleh firasat buruk yang mencekam. Ini adalah inti dari penyesalannya."Kara..." bisik sang Tetua, suaranya serak seolah kata itu terasa sakit untuk diucapkan. Ia memejamkan matanya. "Dia adalah bi
"Masalah besar?" ulang Rayden, firasat terburuknya langsung mencengkeram hatinya. Seluruh tubuhnya menegang. "Apa yang terjadi pada Raelyn? Apa yang Lucien lakukan padanya?"Tetua Agung Altair menatap Rayden, dan untuk sesaat, topeng baja di wajahnya yang tua retak. Di kedalaman matanya yang keruh, ada secercah simpati yang tulus, sebuah kilatan rasa sakit yang beresonansi. Namun, kata-kata yang keluar dari mulutnya tetap dingin dan faktual, seolah ia hanya membacakan kembali laporan dari malam terkutuk itu, sebuah mekanisme pertahanan yang telah ia asah selama sepuluh tahun."Bukan itu," jawab sang Tetua pelan. "Masalah yang ia maksud bukanlah adikmu. Menurut laporan singkat Lucien, Raelyn telah diurus. Dia tidak memberikan detailnya. Laporannya hanya menyatakan bahwa target kedua tidak lagi menjadi ancaman bagi rencana kita."Kata-kata 'diurus' dan 'tidak lagi menjadi ancaman' terdengar lebih kejam di telinga Rayden daripada deskripsi penyiksaan mana pun. Ia langsung mengerti apa ar