Home / Urban / Balas Dendam sang Kultivator / Bab 2. Tempat Pulang

Share

Bab 2. Tempat Pulang

Author: Imgnmln
last update Last Updated: 2025-06-29 20:43:24

Kriekk!

“Akhirnya, aku kembali ke rumah ini,” gumam Rayden saat membuka pintu kayu yang sudah lapuk.

Aroma kayu tua dan debu menyambutnya, memancing kembali ingatan menyakitkan, saat ayahnya tergeletak bersimbah darah tepat di depan pintu itu. Amarah dan dendam terhadap Keluarga Bramasta dan Paman Hery kembali membara dalam dadanya.

Setelah kembali ke Kota Malora, Rayden tahu rumah keluarganya telah lama dijual oleh Keluarga Bramasta, tapi tak pernah laku karena dianggap angker. Justru itulah keberuntungannya karena dia berhasil membelinya kembali.

Semua itu berkat kartu hitam tanpa limit yang diberikan oleh seorang mantan murid Desa Dewa, sebagai imbalan atas bantuan Rayden membujuk Guru Sena mengajarkan teknik pedang rahasia. Awalnya Rayden ragu, tapi setelah rumah itu berhasil ia beli tanpa hambatan, semua keraguan lenyap.

“Aku harus mandi,” gumamnya.

Ia masuk tanpa repot mengunci pintu. Menurutnya, tak ada yang tertarik menerobos rumah tua penuh cerita kelam.

Setibanya di kamar, Rayden meletakkan tas belanja berisi pakaian, lalu menuju kamar mandi.

Beberapa menit kemudian, ia keluar, hanya mengenakan handuk putih yang melilit pinggangnya. Uap masih menggantung di udara, sementara tetesan air mengalir dari rambut dan dadanya.

Tatapannya tajam ke arah cermin. Wajahnya serius, rahangnya mengeras.

Namun tiba-tiba—

Brakk!

Suara keras dari arah pintu kamar membuat insting Rayden langsung bereaksi. Dalam sekejap, tubuhnya bergerak cepat, menghindari kemungkinan serangan, lalu berbalik dan menindih sosok yang baru saja menerobos masuk.

Tangannya mencengkeram leher orang itu, menekannya ke dinding dengan kekuatan yang terlatih. Matanya tajam, penuh kewaspadaan, sementara tubuhnya masih hanya dibalut handuk putih yang meneteskan air ke lantai.

Namun begitu Rayden menatap wajah orang itu, alisnya langsung berkerut.

Seorang wanita.

Mata wanita itu membelalak, terkejut dan panik. Kedua tangannya berusaha melepaskan cekikan Rayden, tetapi suaranya tercekat.

“A-Apa yang…?” gumam wanita itu terputus karena tekanan di lehernya.

Rayden tidak bergeming. Meski sadar lawannya adalah wanita, kewaspadaannya tetap tinggi. Matanya menatap tajam, tak terganggu oleh kenyataan bahwa dia sendiri dalam keadaan setengah telanjang.

“Siapa kamu?” tanyanya dingin, tanpa melepaskan cekikannya.

Wanita itu masih terlihat kebingungan. Napasnya terengah, matanya berpindah antara wajah Rayden dan tubuhnya yang basah kuyup. Tampak jelas dia tak mengerti apa yang sedang terjadi, antara ancaman nyawa dan ketelanjangan pria di depannya.

“Jawab,” desis Rayden, suaranya rendah tapi penuh tekanan. “Siapa kamu dan kenapa kamu bisa masuk ke rumah ini?”

Wanita itu membuka mulutnya, masih terengah, tetapi belum sempat memberi penjelasan apa pun. Dia semakin menggeliat panik. Matanya berkaca-kaca, tubuhnya gemetar di bawah tekanan tangan Rayden.

“T-tolong... lepaskan aku... aku bukan orang jahat...” ucapnya dengan suara parau, nyaris berbisik karena napasnya yang tercekik.

Rayden tetap menatapnya tajam, mencoba membaca kebohongan di matanya. Namun yang terlihat hanyalah ketakutan. Akhirnya, dia melepaskan wanita itu. Namun, begitu melihat mata dan tahi lalat di pelipis kiri wanita itu, Rayden seolah teringat pada seseorang.

“Kak Mireya?” kata Rayden lirih.

Mireya Arsana, anak Bibi Diana, teman baik ibu Rayden.

Wanita itu membelalakkan mata tak percaya, napasnya masih tersengal. “Bagaimana bisa kamu … tahu namaku?”

Namun, begitu dia sadar bahwa Rayden hanya menggunakan handuk di pinggangnya untuk menutup tubuhnya, wanita itu langsung berbalik memunggungi Rayden sambil menutup wajahnya dengan kedua tangannya, wajahnya terasa panas.

“Kak Mire, ini aku Rayden,” kata Rayden langsung.

Wajah Mireya seketika membeku, dia menurunkan kedua tangannya dari wajahnya. “Itu tidak mungkin! Rayden sudah mati sepuluh tahun lalu!”

“Kalau aku mati, bagaimana aku bisa berdiri di sini sekarang?” Rayden langsung membalikkan tubuh Mireya dan tersenyum kecil.

Tatapan mereka bertabrakan dalam diam yang mencekam.

Mireya melangkah mundur, matanya berkaca. Dia tidak bisa mengenali Rayden karena saat ini Rayden telah tumbuh dengan wajah yang tegas, tubuhnya tinggi kekar, dan bahkan rambutnya cukup panjang untuk seorang pria, sangat berbeda dengan Rayden yang dulu.

“Kamu benar-benar masih hidup, Ray?” tanya Mireya dengan lirih, seolah masih tidak percaya dengan apa yang dia lihat. 

Rayden mengangguk pelan, lalu melangkah pelan mendekat ke arah Mireya yang masih berdiri terpaku. Sorot matanya melembut, tetapi penuh tanda tanya. “Apa yang kamu lakukan di rumah ini?”

Mireya membuka mulutnya, dan berkata. "A-aku... tunggu!”

Namun, mendadak dia menyadari bahwa Rayden masih hanya mengenakan handuk putih yang menempel basah di pinggang. Wajah Mireya langsung memerah.

“Ray, bisa tidak ... kamu pakai baju dulu?!” katanya cepat sambil menoleh ke arah lain, menutupi wajahnya dengan tangan.

Rayden menatapnya beberapa detik, kemudian tersenyum tipis.

“Maaf, aku terlalu fokus pada pertanyaan,” ucapnya sambil berbalik santai menuju lemari pakaiannya.

Sementara Rayden mencari baju, Mireya tetap membelakangi, mencoba menenangkan detak jantungnya yang kacau. Wajahnya masih memerah, pikirannya kalut. Bukan hanya karena kehadiran Rayden yang tiba-tiba, tapi juga karena sikapnya yang terlihat begitu tenang dan biasa saja meski nyaris telanjang di hadapan seorang wanita dewasa. Seolah hal itu tak berarti apa-apa baginya.

“Sudah,” kata Rayden akhirnya. Dia kembali mendekati Mireya. “Jadi, kenapa kamu bisa ada di sini?”

“Aku ingin mencari boneka Raelyn, belakangan dia terus meminta boneka itu,” jawab Mireya sambil berbalik untuk menatap Rayden.

“Raelyn?” Rayden terperanjat. “Raelyn masih hidup?”

Mireya mengangguk pelan.

“Di mana dia sekarang?” tanya Rayden tanpa basa-basi, tatapannya tampak semakin membara. Satu misinya akan segera berhasil, yaitu menemukan Raelyn.

“Dia … ada di rumahku,” jawab Mireya sedikit terbata.

Rayden terdiam sejenak, matanya menatap lurus ke arah Mireya, seolah memastikan bahwa apa yang baru saja didengarnya bukan mimpi. Helaan napasnya terdengar berat, tetapi penuh harapan.

“Kalau begitu, antar aku ke sana. Aku ingin lihat Raelyn. Aku ingin memastikan dia benar-benar baik-baik saja,” katanya perlahan, lalu menatap Mireya lebih serius.

Mireya sempat ragu, tapi saat melihat sorot mata Rayden yang begitu tulus, dia perlahan mengangguk. “Tentu. Tapi... Ray, bagaimana bisa kamu ada di rumah ini?”

Rayden mengangkat alisnya sedikit dan menjawab santai. "Aku sudah membelinya.”

Mireya membelalak. “Kamu beli rumah ini? Tapi… bagaimana caranya?”

Rayden hendak menjawab, bahkan mulutnya sudah terbuka, tapi tiba-tiba—

“Tuan Kartadewa! Kau ada di dalam?!” terdengar teriakan keras dari luar rumah.

Mendengar itu, Rayden tersenyum tipis, seolah momen yang dinanti akhirnya datang. Sementara Mireya justru terkejut karena dia sangat mengenali pemilik suara itu.

“Ray, kita harus lari!” kata Mireya dengan tergesa, dia telah bersiap untuk mendorong kursi roda Raelyn ke arah pintu belakang.

Namun, Rayden mencegahnya. “Kenapa?”

“Aku tahu siapa orang itu. Dia adalah Lazren Bramasta, putra bungsu keluarga Bramasta yang mengambil alih rumah ini—”

“Lalu, apa masalahnya?” potong Rayden langsung.

Lagi-lagi, saat Mireya akan kembali bersuara, pria itu tiba-tiba telah muncul di hadapan mereka.

“Tuan Kartadewa, ah ternyata Anda benar ada di sini. Entah bisnis besar apa yang telah Anda lakukan dengan ayah saya sampai beliau meminta saya menemui Anda secara langsung di rumah tua ini,” kata Lazren dengan senyum lebar.

Rayden langsung mengalihkan pandangannya pada pria itu, lalu tersenyum dingin. Aura membunuh seketika muncul dari sorot matanya. “Jadi, ini putra bungsu keluarga yang telah membantai keluargaku 10 tahun lalu?”

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Balas Dendam sang Kultivator   Bab 245. Bara Api Terakhir

    Rayden menembus perut naga itu dengan kecepatan melampaui cahaya. Setiap pukulan dan tebasannya mengandung bentuk.“Teknik Pertama, Tebasan Masa Lalu!”.“Teknik Kedua, Tebasan Kehendak!”“Teknik Ketiga, Tebasan Takdir!”.Dalam perut naga, energi merah dan putih beradu, membentuk pusaran besar. Rayden berteriak, suaranya menggema di seluruh dimensi.“Kau ingin abadi, Brahma? Maka abadi bersamaku!” Tubuhnya terbakar total, menjadi inti cahaya. Ia menancapkan pedangnya ke jantung naga. Dunia berhenti berputar.Ledakan putih lahir tanpa suara.Ketika cahaya mereda, hanya keheningan yang tersisa. Void tak lagi hitam, tapi biru muda, seperti fajar pertama setelah badai. Di tengahnya, Rayden jatuh perlahan, tubuhnya kini manusia lagi. Pedangnya sudah lenyap. Tapi di dadanya, api kecil masih berkedip.Dalam bayangan samarnya, ia mendengar langkah pelan di balik kabut cahaya. Raelyn berjalan mendekat, senyumnya lembut. “Kak…”Rayden menatapnya lama, bibirnya gemetar. “Aku… benar-benar pulang,

  • Balas Dendam sang Kultivator   Bab 244. Dimensi Void II

    Ia mengangkat tangan, menancapkan pedangnya ke tanah kehampaan. Api dari tubuhnya melonjak ke segala arah, menyalakan Void, menelan langit, bumi, dan bahkan bayangan Brahma itu sendiri.Lord Dragon menjerit, separuh wajahnya meleleh. “Kau bodoh, Rayden! Kalau aku mati, kau mati bersamaku!”“Kau ingin abadi, Brahma?” Rayden tersenyum samar. “Maka abadi bersamaku… dalam api ini.”Ledakan putih meluas. Void runtuh. Langit pertama jatuh menimpa dunia roh, langit kedua jatuh ke dunia manusia. Lembah Sunyi meledak menjadi debu emas. Semuanya hancur, tapi bukan dalam kehancuran yang dingin. Hancur dalam keheningan yang hangat, seperti akhir dari lagu yang sudah terlalu lama dinyanyikan.Rayden berdiri di tengah lautan cahaya, tubuhnya perlahan lenyap. Api di dadanya padam satu per satu, menyisakan bara kecil yang berkedip pelan. Ia memandang tangannya yang hampir tak berbentuk, lalu menatap ke atas.Di atas sana, langit baru muncul. Tidak merah, tidak hitam. Tapi biru lembut, biru yang belum

  • Balas Dendam sang Kultivator   Bab 243. Dimensi Void

    “Bara yang Menghapus Nama!”Cahaya menyapu kegelapan, tapi bayangan itu tidak hancur. Sebaliknya, ia tertawa.“Kau tidak bisa menghancurkan kehendak, Rayden. Karena kehendak itu juga hidup di dalammu.”Rayden berhenti di udara. Nafasnya berat. Suara tawa itu bergema dari segala arah. Lalu sebuah tangan bayangan keluar dari tanah, menembus dadanya. Rayden terhuyung, darahnya menyembur. Tapi anehnya, api di tubuhnya malah semakin besar.“Kau benar,” katanya pelan, suaranya mulai terdistorsi oleh panas. “Kau hidup di dalamku.”Bayangan itu menatapnya bingung. “Apa maksudmu?”Rayden menatap lurus ke mata kegelapan itu, senyum kecil muncul di bibirnya. “Kalau begitu,” katanya, suaranya tenang tapi tajam, “Aku akan memulai dari diriku.”Cahaya merah menyala dari dalam tubuhnya, seperti ledakan matahari. Api itu bukan keluar, tapi masuk menyusup ke setiap sel, setiap ingatan, setiap bayangan yang pernah ia bawa. Seluruh Void berubah warna. Kegelapan berubah menjadi merah, lalu emas, lalu put

  • Balas Dendam sang Kultivator   Bab 242. Lord Dragon II

    Mereka saling menerjang. Benturan berikutnya bukan sekadar pertarungan, itu perang antar dua kehendak ilahi. Rayden memanggil Teknik Dewa Perang Arka ke tujuh.“Bara yang Membelah Langit.” raung RaydenApi keluar dari setiap pori tubuhnya, membentuk sayap cahaya merah keemasan.Brahma Angkara membalas dengan Teknik Saint Dragon.“Nafas Kekekalan,” desis Brahma Angkara.Semburan energi murni yang bisa menghapus eksistensi.Api dan cahaya bertubrukan, menghasilkan dentuman yang memecah lapisan ketujuh langit. Dunia bergetar.Di bawah, Orion berteriak. “Lembah jatuh!”Anya menahan formasi dengan darahnya sendiri, sementara Mireya dan Kara di bumi menegakkan perisai spiritual, menahan hujan energi naga yang membakar langit seperti meteor.Rayden terlempar lagi, tubuhnya penuh luka bakar. Tapi di wajahnya, tak ada rasa takut. Ia melangkah maju, darah menetes dari dagunya, bercampur dengan cahaya merah yang mengelilinginya.Brahma Angkara menatapnya, napasnya berat.“Kau seharusnya sudah ma

  • Balas Dendam sang Kultivator   Bab 241. Lord Dragon

    Namun jumlah mereka tak berkurang. Dari balik awan, puluhan lagi muncul lebih besar, lebih cepat. Salah satunya meluncur ke Rayden, menabrak dengan kekuatan yang cukup untuk memecahkan gunung.Benturan itu menimbulkan ledakan cahaya putih. Tanah di bawah mereka terbelah, menciptakan jurang sejauh beberapa kilometer. Orion menutupi wajahnya, tapi tetap menatap ke tengah ledakan.Di sana, Rayden masih berdiri. Tubuhnya berlumuran darah, tapi matanya menyala lebih terang dari sebelumnya.“Kalian makhluk yang lahir dari darah naga…” katanya perlahan. “Kalian mencium darah itu di dalam diriku, bukan?”Pasukan Saint Dragon berhenti menyerang. Mereka terdiam. Ratusan makhluk bersisik itu berlutut serempak, menundukkan kepala mereka ke arah Rayden.Suara mereka bergema, serempak seperti mantra kuno. “Kami hanya tunduk pada pewaris naga sejati.”Orion terpaku. “Mereka... menyembahmu.”Rayden menatap mereka lama, lalu menggeleng dengan tatapan dingin. “Bangkit.”Tak ada yang bergerak. Rayden me

  • Balas Dendam sang Kultivator   Bab 240. Saint Dragon

    Rayden mengangkat tangannya, dan seketika ribuan bara berputar mengelilingi aula. “Kalau begitu, kita bakar kegelapan itu sampai tak tersisa.”Api menyala dari dalam tubuhnya. Lidah-lidah merah keemasan menembus langit-langit, menelan bayangan yang bersembunyi di setiap sudut.Satu demi satu, tubuh-tubuh yang disusupi meledak menjadi serpihan cahaya, meninggalkan abu putih yang jatuh seperti salju. Namun darah menetes dari bibir Rayden. Cahaya di dadanya berdenyut liar, seolah jiwanya berjuang menahan beban dunia.Anya berlari ke arahnya, tapi Rayden menahan tangan wanita itu.“Jangan hentikan aku,” katanya pelan. “Biarkan mereka melihat pemimpin mereka bukan dewa, tapi manusia yang memilih terbakar demi mereka.”Cahaya terakhir menyala lembut tapi tak tergoyahkan. Saat api mereda, Lembah Sunyi berubah. Dinding-dinding hitam kini memantulkan kilau merah keemasan. Pilar-pilar yang runtuh berdiri kembali. Dan di tengahnya, Rayden berdiri dengan mata yang memantulkan langit.Orion berlut

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status